KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 49
(Tien Kumalasari)
Bachtiar masih bertanya-tanya dalam hati, mengapa bu Nuke sampai dicari-cari suaminya.
“Hallo … hallo … Tiar, kamu masih di situ?”
“Oh … iya Om, nggak apa-apa, saya cuma mikir, mengapa Om mencari-carinya. Apa tidak bisa menghubungi langsung pada tante?”
“Ponselnya tidak aktif. Aku pikir ada di rumah keluarga Wirawan, tapi aku menelpon ke sana nggak diangkat, lalu dokter Adi memberikan nomor ponsel kamu.”
“Om kenal dokter Adi?”
“Dia teman kamu kan? Yang menelusuri kebenaran surat dari rumah sakit, tentang sakitnya Luki?”
“Oh, iya. Benar.”
“Aku terus terang saja pada kamu, toh akhirnya kamu juga akan tahu. Sekarang ini kasus pemalsuan surat dari rumah sakit itu menjadi urusan, karena dokter Adi sudah berhubungan sendiri dengan rumah sakitnya.”
“Maksudnya … urusan hukum?”
“Ya, aku berusaha minta damai, tapi rumah sakit ternyata sudah melaporkannya pada yang berwajib. Aku suruh Nuke pulang, malah sudah tiga hari tidak pulang.”
“Beberapa hari yang lalu datang ke rumah.”
“Aku suruh minta maaf kepada istri kamu karena Luki. Dia melakukannya?”
“Belum. Saya tidak mengerti apa maksudnya datang, lalu pulang ketika Om menelponnya.”
“Aku bingung memikirkan hal itu. Ya sudah, aku akan mencarinya ke tempat lain. Kalau dia menghilang, urusannya bisa lebih ruwet. Tolong kalau kamu bertemu dia, bujuk dia supaya pulang, atau kamu langsung menghubungi aku, ya.”
“Baik, Om.”
Ketika menutup ponselnya, Bachtiar menghela napas panjang. Ia tak mengira, permasalahan jadi semakin melebar.
“Ada apa?” tanya Arumi.
“Tante Nuke dicari suaminya. Sudah diminta pulang tiga hari yang lalu, tapi sampai sekarang belum pulang juga. Dikiranya ada di rumah ibu.”
“Pasti tidak. Ibu kelihatan tidak suka. Entah mengapa.”
“Pasti karena tante Nuke juga membohongi ibu tentang surat dari rumah sakit itu.”
“Kelihatannya rumah sakit melaporkan penipuan itu. Sekarang tante Nuke diminta segera datang. Entahlah, suaminya baru mengurus semuanya, barangkali ada permohonan damai atau entahlah. Aku jadi ikutan bingung," sambung Bachtiar.
“Gara-gara mas Tiar. Seorang laki-laki ganteng yang digandrungi Luki, beberapa orang terlibat.”
“Ahaaa, kamu mengakui kalau aku ganteng ya?”
“Iih, sebel. Ganteng tapi nyebelin.”
“Kok nyebelin?”
“Suka sentuh-sentuh, janjinya tidak akan menyentuh sebelum aku lulus.”
“Itu sentuhan yang lain. Kalau cuma menggandeng, memeluk, masa tidak boleh? Mana ada suami istri hanya pandang-pandangan dari kejauhan?” kata Bachtiar yang segera memeluk istrinya dengan gemas.
“Tuh, kan?”
Bachtiar hanya tertawa, kemudian melepaskannya ketika Arumi mendorongnya pelan.
“Sabaaar … sabaaar … masih tiga tahun lagi ya?” keluhnya, lalu Arumi masuk ke dalam kamar belajarnya. Bachtiar mengikutinya, tapi Arumi menggoyang-goyangkan tangannya sambil mengejek.
“Aku belajar dulu yaa,” lalu ia menutup pintunya.
Bachtiar tertawa, tapi kemudian ia meraih lagi ponselnya. Ia ingin menghubungi Adi, dokter sahabatnya.
“Ya Tiar, maaf nih, sibuk banget, tapi sebenarnya aku mau ke rumah kamu saja, biar bisa ngomong lebih jelas.”
“Aku sudah tahu apa yang akan kamu omongkan.”
“Sudah dapat bocoran dari bu Nuke?”
“Bukan, suaminya. Malah barusan dia telpon mencari istrinya. Tiga hari setelah disuruh pulang malah menghilang.”
“Sepertinya pihak rumah sakit melaporkan tentang pemalsuan surat itu. Entahlah, sepertinya tidak terima. Pak Johan inginnya damai, tapi tergantung. Kepala rumah sakitnya sangat keras. Sepertinya susah. Jadi mau tidak mau ya harus menanggung akibatnya.”
“Wah, kasus ini jadi melebar ke mana-mana. Tante Nuke banyak polah, anaknya apalagi.”
“Gara-gara kesengsem sama pengusaha ganteng.”
“Kamu sama saja dengan istriku.”
“Apanya yang sama?”
“Menuduh aku menjadi gara-gara. Padahal aku tidak melakukan apa-apa.”
“Yaa itulah, resiko orang ganteng.”
“Katanya kamu mau ke rumah, kapan?”
“Tunggu waktu senggang. Aku juga mau buka praktek di rumah nih, lagi mengurus ijinnya.”
“Waah, kurang sibuk rupanya?”
“Kalau sore bengong melulu. Harus mencari kesibukan.”
“Kalau kamu sudah punya istri, pasti punya kesibukan,” ledek Bachtiar.
“Mentang-mentang sudah punya istri,” kesal dokter Adi.
“Kamu tidak tahu sih. Aku tuh masih nungguin dia sampai dia besar. Sekarang masih kecil.”
“Oo, masih harus ngajarin, maksudnya?”
“Dia memang lagi belajar. Gimana sih. Dia tuh harus lulus SMA dulu, sekarang belum lulus, baru awal, harus bersabar tiga tahunan lagi.”
“Kasihan deh lo.” kata Adi sambil tertawa.
“Ya sudah, aku cuma mau menanyakan soal surat palsu itu.”
“Sebenarnya aku tidak sengaja sih, hanya konfirmasi, apa benar ini surat dari sana, malah jadi perkara. Ya sudah, apa boleh buat.”
Bachtiar mengakhiri pembicaraan itu, lalu berbaring di sofa, sampai ketiduran. Ketika ia terbangun, lampu di ruang belajar masih menyala. Ia membuka pintu dan melihat sang istri meletakkan kepalanya di meja, tertidur, Bachtiar tertawa, lalu menggendongnya masuk ke dalam kamarnya, menidurkannya pelan, menyelimuti penuh kasih sayang, lalu keluar setelah mematikan lampu, menggantikannya dengan lampu kamar yang redup. Harus buru-buru keluar, sebelum setan-setan menggelitik naluri lelakinya.
***
Seminggu setelahnya, rumah kecil Bachtiar yang direnovasi sudah selesai. Bangunan yang manis dengan tanaman bunga-bunga cantik yang sengaja dipesan Bachtiar untuk membuat halaman menjadi semarak. Ada perabotan lengkap untuk ruang tidur, ruang tamu, ruang makan dan dapur, juga ada televisi.
Ketika pak Truno dan istrinya melihatnya, ia terbelalak kagum.
“Ini terlalu bagus untuk saya dan simboknya Rumi,” kata pak Truno.
“Iya Pakne, malah nggak bisa tidur nanti, bagaimana?” seru mbok Truno.
Arumi dan Bachtiar tertawa. Ia kemudian mengajari simboknya, bagaimana mengoperasikan alat-alat dapur, seperti menyalakan kompor, menyalakan televisi dan lain sebagainya. Ada kulkas kecil untuk menyimpan sayur dan buah. Dan itu semua membuat mbok Truno geleng-geleng kepala.
“Nanti dikira kami memanfaatkan menantu kaya, lalu tinggal di rumah seperti ini,” keluh pak Truno. Dalam kesederhanaannya, kehidupan yang diterimanya dianggapnya sangat mewah, dan ia tak ingin dikira memanfaatkan kekayaan menantunya. Ia lebih suka hidup seperti apa adanya, yang sesuai dengan kemampuannya. Hal itu terbaca oleh Bachtiar yang sebenarnya sangat mengagumi kedua orang mertuanya.
“Pak, ini bukan karena Bapak dan Ibu memanfaatkan apapun. Saya dan Arumi hanya minta tolong, menitipkan rumah yang sudah terlanjur dibuat ini, agar Bapak dan Ibu menjaganya,” kata Bachtiar hati-hati.
Pak Truno tampak memikirkan perkataan menantunya.
“Jadi ini adalah rumah Arumi, yang mohon agar Bapak Ibu menjaganya,” lanjutnya.
“Nanti kalau Bapak sama Simbok tidak menjaganya, kalau digondol keong, bagaimana?” canda Arumi, yang membuat kemudian sang simbok mencubit lengannya.
“Aduuh, Simbok nih,” teriak Arumi sambil tersenyum.
Ketika memasuki kamar tidur, dan duduk ditepi pembaringan, pak Truno geleng-geleng kepala.
“Apa bisa, tidur di kasur empuk seperti ini. Lha kalau dipakai bergerak lalu terasa seperti melompat-lompat,” keluhnya.
“Nanti lama-lama akan terbiasa,” kata Bachtiar sambil tersenyum.
“Mbokne, besok bawa tikar kita yang di rumah, aku mau tidur di lantai saja. Adem.”
“Bapak bagaimana sih, jangan. Ini lantainya dingin, nanti Bapak masuk angin.”
“Apa bisa toh, aku tidur di sini. Lihat, aku bergerak saja rasanya seperti dilempar-lempar.”
“Lama-lama akan terbiasa.”
“Ini juga tempat tidur titipan?” pak Truno ganti bercanda.
“Benar Pak, ini semua milik Arumi, dititipkan pada Bapak sama Simbok,” sambung Arumi.
“Oh ya Bu, ini cermin dari rumah yang saya janjikan. Besar kan, jadi kalau bercermin bisa kelihatan jelas seluruh badan, bukan hanya wajahnya saja,” kata Bachtiar.
“Ya ampuun, kok tiba-tiba bisa menemukan hidup mukti seperti ini.”
“Ingat Mbokne, ini titipan.”
“Iya, iya … titipan yang enak, apik, ini namanya mukti.”
“Besok akan ada kiriman sepeda. Nanti kalau ke pasar membawa sayur bisa naik sepeda, tidak menggendong sampai terbungkuk-bungkuk," kata Arumi.
“Itu juga titipan?” kata mbok Truno.
“Betul Bu, anggap saja titipan, kalau istilah itu yang bisa membuat Ibu nyaman. Kalau mau sepeda motor, akan saya kirimkan sepeda motor. Bagaimana?”
“Haaa? Tidak … tidak … aku tidak bisa. Nanti malah nabrak-nabrak,” pekik mbok Truno.
“Besok kalau Bapak sama Ibu sudah pindah kemari, rumah lama akan dirobohkan, akan dibuat kebun ya Pak,” kata Bachtiar hati-hati. Pasti tidak mudah bagi pak Truno untuk merobohkan rumah yang ditinggali sejak dirinya masih kanak-kanak.o
Pak Truno tampak terdiam. Lalu Bachtiar berpikiran lain.
“Tidak … tidak dirobohkan Pak. Maksud saya, rumah itu dibenahi, biarkan berdiri di tengah-tengah kebun, bisa untuk tempat kalau panen sayurnya banyak. Semacam gudang, begitu. Saya tidak akan merubah kecuali memperbaiki, dan bisa dipergunakan untuk gudang, bisa untuk beristirahat juga kalau Ibu capek memanen sayur dikebun. Nanti kebunnya lebih luas lhoh, belakang ada, depan rumah sampai jalan juga akan dibuat lahan yang bisa ditanami.”
“Simbok punya kebun yang lebih luas. Bisa ditanami jagung. Aduh, tiba-tiba ingin makan jagung bakar,” kata Arumi.
“Kamu ngidam?” tanya mbok Truno sambil menatap Arumi, membuat Arumi segera berteriak.
“Apa? Simbok ada-ada saja.”
Bachtiar tertawa.
“Biar Arumi menyelesaikan sekolahnya dulu, Bu,” kata Bachtiar.
“Oh, begitu ya.”
Mbok Truno terdiam ketika ingat bahwa Bachtiar pernah berjanji tidak akan menyentuh istrinya sampai lulus SMA.
***
Malam hari itu, bu Wirawan yang merasa sudah benar-benar sehat, menemani suaminya duduk di ruang tengah. Pak Wirawan meminta agar istrinya segera beristirahat, tapi bu Wirawan menolaknya.
“Aku belum mengantuk Pak, kalau dipaksakan ke kamar, tetap saja tidak bisa tidur.”
“Apa tadi pak Johan menelpon lagi?”
“Tidak, seminggu yang lalu menelpon berkali-kali, tapi aku tidak mengangkatnya.”
“Sebenarnya sesekali diangkat juga tidak apa-apa kan Bu, siapa tahu ada hal penting.”
“Paling-paling menanyakan istrinya, aku tidak mau bicara tentang dia.”
“Kalau itu benar-benar menjadi kasus, Ibu pasti juga akan dipanggil sebagai saksi.”
“Tuh kan, bikin orang susah saja. Menyesal aku sahabatan sama dia. Aku kira baik, ternyata memiliki hati culas.”
“Karena terlalu menginginkan anaknya bahagia.”
“Aku baru sadar kalau sudah terbius oleh kata-katanya. Anaknya cantik, sekolah di luar negri, pintar, aduh. Kok tiba-tiba jadi penjahat.”
“Aku juga heran. Luki itu cantik, mencari laki-laki manapun kan gampang. Mengapa mengejar Bachtiar sampai sebegitunya. Menurut aku, itu bukan sekedar cinta, tapi ada rasa penasaran. Yang membuat dia ingin menjadi orang yang berhasil menundukkan hati Bachtiar yang selama ini selalu dingin terhadapnya,” kata pak Wirawan.
“Tapi tidak berhasil.”
“Bachtiar tahu, mana yang harus dipilihnya.”
“Iya Pak, aku bersyukur punya menantu Arumi. Tapi hari ini kok tidak datang kemari ya?”
“Ibu itu bagaimana, Arumi kan sekarang harus sekolah, meskipun tidak setiap hari, tapi dia juga harus melayani suaminya. Lagi pula hari ini kan dia pamit mau ke desa untuk ketemu orang tuanya.”
“Iya, aku lupa.”
“Ya sudah, istirahatlah, ini sudah malam.”
***
Malam hari itu Pak Truno dan istrinya sudah tidur di rumah titipan yang harus dijaganya. Ada acara televisi yang ternyata tidak disukai keduanya.
"Matikan saja mbokne, acara cengengesan seperti itu, aku nggak suka," kata pak Truno.
"Kalau ada wayang kulit, atau apa, aku mau.” lanjutnya.
Mbok Truno segera mematikannya.
“Tidak pernah aku bayangkan, bisa hidup mukti seperti ini. Orang mengira kita ini kaya raya ya Pak. Rumah bagus, perabotan mewah, ada telepisi untuk hiburan. Tapi aku sebentar lagi mau tidur, besok harus nggoreng rempeyek kacang pagi-pagi.”
“Ya sudah, tidurlah sana. Sambil ngidung mbokne, sudah lama aku tidak mendengar kamu ngidung setelah maghrib. Apalagi ini rumah yang baru beberapa hari kita tinggali.”
“Iya Pak, sejak jaman simbokku, sebelum tidur pasti ada suara kidung disetiap rumah.”
Lalu terdengarlah suara mbok Truno, yang nyaring membelah sepinya malam.
“Ana kidung, rumeksa ing wengi, teguh ayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh. Jin setan datan purun, paneluhan tan ana wani. Miwah panggawe ala, gunaning wong luput. Geni atemahan tirta, maling adoh tan ana ngarah mring kami. Guna duduk pan sirna.”
Tanpa sadar, seorang wanita berendap-endap di teras rumah, mendengarkan alunan tembang yang dirasa aneh. Ia urung mengetuk pintu, menunggu kidung selesai ditembangkan.
***
Besok lagi ya.
🍁🌵🍁🌵🍁🌵🍁🌵
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💞
KaBeTeeS_49 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai🦋😍
🍁🌵🍁🌵🍁🌵🍁🌵
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Salam aduhai deh
Yesssss
ReplyDeleteYesss
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur nuwun
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiiik
DeleteAss..wr..wb.
ReplyDeleteWa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
DeleteNuwun pak Indriyanto
Alhamdulillah ,,Terima kasih Bunda Tien sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwin
Hamdallah sampun tayang..
ReplyDeleteAlhamdulillah,terima kasih Bunda Tien,sehat selalu Aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun cerbung hebat 🌹 semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulilah bu Tien , maturnuwun sampun tayang, salam sehat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteSami2 ibu Sri
DeleteAduhai 2x
Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Mtr nwn bu Tien 🙏
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteAlhamdullillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulillah KBTS 49 sdh hadir. Matur nuwun Bu Tien🙏
ReplyDeleteSugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Sis
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sehat walafiat nggeh
Salam aduhai hai hai
Sami2 ibu Endah
DeleteAduhaihaihai..
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 49* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Terima kasih Mbu Tien...
ReplyDeleteApakah Perempuan itu Bu Nuke... kayaknya makin asyik nih...
Sehat sllu bersama keluarga trcnta
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Zimi
Terima kasih Bunda...
ReplyDeleteMakin seru ..
Salam sehat salam Aduhai
Sami2 ibu Sriyati
DeleteSalam aduhai dan sehat
Suwun Bu Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Subagyo
Terima kasih Bunda Tien Kumalasari, salam sehat dari Pasuruan
ReplyDeleteSami2 ibu Munjiati
DeleteSalam sehat dari Solo
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien *ketika bulan tinggal separuh 49* sdh tayang dgn lancar
Semoga bu tien selalu sehat² n tetap semangat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Matur nuwun ibu 🙏🏻
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhamdulilah, episode teranyar sdh tayang hehehe...matur nuwun mbakyuku Tienkumalasari sayang, salam sehat dan tetep semangat dari Gn3, Tanggamus Lamoung
ReplyDeleteSami2 jeng Sis
DeleteSalam sehat dari Solo
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteSiapa perempuan itu , kl Bu Nuke jauh bener perginya , hihi namanya cerita , Krn penasaran 😁😁😁🤭
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Bu Tien. ..arti kidung nya apa itu? Saya gak ngerti... Hehehe...
ReplyDeleteAda sebuah kidung
DeleteMenjaga di malam hari
Teguh rahayu lepas dari penyakit
Terlepas dari semua bahaya
Jin setan gak mau menyentuh
Santet atau teluh gak akan berani
Semua niat jahat dan semua guna2 lewat.
Api bagaikan air. Jauh dari maling
Tak ada yang berani kepada kami
Segala guna2 sirna.
Begitu jeng arti secara gampangnya.
Kaman duli dibaca ibu2 setelah maghrin.
Jaman dulu dibaca ibu2 setelah maghrib
DeleteHehe...pak Truno dan simbok dibelikan kasur karet saja yg rata, ga mentul2, enak buat tidur, sebelahnya goyang ga terasa.😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏🏻
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Kok datang dengan mengendap endap ya, biasanya berniat kurang baik. Apa Bu Nuke , tapi kurang meyakinkan.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 49 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala.
Akhir nya tante Nuke dadi buronan Polisi.
Siapa tuh...yang mengendap menyelinap di teras rumah baru nya pak Truno. Semoga tdk mempunyai niat jahat, sebab mbok Truno sedang Ngidung hal keselamatan lan Rahayu...nir Sambikolo.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah .. Terima kasih bunda Tien.
ReplyDeleteSelalu sehat dan bahagia bersama keluarga.
Mungkin yang mengendap di teras, adalah tante Nuke ..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Ermi
Oh Nuke mengendap-ngendap?...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
Delete