KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 35
(Tien Kumalasari)
Bachtiar menatap Suyono yang seperti sedang memikirkan sesuatu. Ada harapan bahwa Suyono akan memberikan jawaban atas pertanyaannya, walau sedikit saja.
“Iya, mengapa bapak mertuaku mengatakan itu, ya” gumam Suyono seperti kepada dirinya sendiri. Sangat pelan, dan Bachtiar mendengarnya walau samar.
“Kamu ingat sesuatu?” tanya Bachtiar tak sabar.
“Bapak mertua saya.”
“Maksudmu pak Carik?”
”Ya, mengapa waktu itu mengatakan hal aneh ya?”
“Hal aneh?”
“Ketika Sutris mau kembali ke kota, pak Carik dan Sutris berbicara serius. Bukan di dalam rumah, tapi di sebuah bangku di bawah pohon nangka.”
“Di halaman?”
“Ya, di halaman. Mereka berbincang agak lama. Ketika saya keluar, saya mendengar ucapan pak Carik yang mengatakan tentang penjara.”
“Dia mengatakan apa?”
“Apa kamu ingin ayahmu ini masuk penjara? Begitu kira-kira. Saya agak heran juga waktu itu.”
“Apa kamu tidak menanyakan apa maksudnya?”
“Menanyakan sih, tapi katanya karena Sutris meminta uang banyak, pak Carik bilang kalau uangku habis apa harus merampok? Nanti bisa masuk penjara. Begitu kira-kira jawabannya ketika saya bertanya. Wahyuni juga mendengarnya. Lalu saya tidak menanyakannya lebih lanjut. Saya pikir bukan sesuatu yang penting.”
“Memangnya Sutris sering minta uang banyak?”
“Kata Wahyuni sih, tidak. Sutris selalu menerima berapa saja yang diberikan ayahnya. Tidak pernah menuntut.”
“Jadi jawaban pak Carik itu mengherankan, bukan?”
“Kalau dipikir-pikir memang mengherankan. Tapi waktu itu saya dan Wahyuni tidak mempedulikannya.”
Bachtiar terdiam. Jadi kira-kira memang ada hubungannya dengan peristiwa penculikan itu. Dan Arumi tidak begitu banyak bisa memberikan jawaban. Ada yang disembunyikan, tapi ada yang lebih tersembunyi. Motif penculikan dan atas dasar apa ada kerja sama antara Luki dan pak Carik.
Barangkali Sutris mengetahui lebih banyak. Tapi maukah Sutris berterus terang? Kalau ada hubungannya dengan pak Carik, pasti Sutris tidak ingin ayahnya itu celaka, bahkan sampai masuk penjara.
“Apa yang pak Bachtiar pikirkan? Ayah mertua saya terlibat dalam penculikan itu?”
“Kalaupun iya, kira-kira kenapa?”
“Ya, kenapa kalau iya?” Suyono ikutan bertanya. Ia juga bingung. Arumi gadis yang baik, mengapa pak Carik tega melakukannya?
“Ah … ya, dulu Sutris pernah tergila-gila pada Arumi. Wahyuni mengatakan semuanya. Bahkan Sutris pernah minggat dua hari dari rumah, gara-gara ayahnya tidak menyetujuinya. Sutris juga pernah mengatakan lebih baik mati kalau tidak mendapatkan Arumi. Tapi Wahyuni mengingatkan, mengapa Sutris begitu tergila-gila. Bagaimana kalau Arumi menolak cintanya? Nah, Wahyuni kemudian mendatangi Arumi dan menanyakannya. Ternyata Arumi menolaknya. Dia tidak pernah mencintai Sutris, hanya menganggapnya sebagai teman. Dari situ, barangkali Sutris berusaha mengendapkan perasaannya.”
“Dan berhasil?”
“Berhasil, buktinya dia kemudian menyelamatkan Arumi ketika diculik yang katanya tidak pernah menyentuhnya, lalu minta agar diijinkan kuliah di kota. Barangkali dengan begitu dia bisa melupakan rasa cintanya. Sutris sebenarnya anak baik.”
Bachtiar mengangguk-angguk. Ia harus mencari sesuatu yang membuat pak Carik berhubungan dengan Luki.
“Apakah kamu pernah melihat Luki menemui pak Carik?”
“Wah, waktu itu saya kan belum menjadi menantunya, jadi tidak tahu. Atau kalau mereka ketemu di toko kan juga bisa. Tapi entahlah, saya benar-benar tidak tahu.”
“Kalau pak Carik bertemu dengan seseorang, bukankah ada Wahyuni yang juga menjaga toko?”
“Tidak selalu begitu. Biasanya Wahyuni ada di toko kalau pak Carik harus bepergian entah ke mana.”
“Arumi cantik. Terlepas dari Arumi yang memang menolaknya, apa yang menyebabkan pak Carik melarang Sutris mencintai Arumi?”
“Mungkin karena Arumi anak pak Truno yang sederhana, tidak kaya seperti pak Carik. Mungkin, saya tidak tahu. Walau begitu, ketika mendengar bahwa ternyata Arumi menolak Sutris, kata Wahyuni, pak Carik marah bukan alang kepalang.”
“Haaa?”
“Aneh pak Carik itu. Barangkali merasa terhina atau apa, entahlah.”
Bachtiar tiba-tiba menemukan separuh jawaban. Kalau pak Carik melakukan penculikan karena marah pada Arumi yang telah menolak Sutris, lalu Luki sakit hati karena dirinya menolak dijodohkan dengan Luki … bukankah itu sebuah jawaban? Persekongkolan karena sakit hati. Tapi mengapa pak Carik membiarkan Sutris menemui Arumi di tempat di mana dia di sekap? Dan membiarkan Arumi terlepas begitu saja? Apakah Arumi mengetahui tentang terlepasnya dia dengan begitu mudah bersama Sutris? Bachtiar harus mencari lagi kelengkapan dari jawaban atas pertanyaannya. Apakah kemudian pak Carik mengikhlaskan Sutris berhubungan dengan Arumi? Tidak, ini aneh. Bachtiar harus menemukan dulu jawabannya sebelum dia lapor ke polisi. Penculikan adalah perbuatan kriminal. Tapi kemudian dia teringat ketika bertemu Arumi, dan Arumi seperti ketakutan ketika mengira dia akan melaporkannya ke polisi. Oh ya, ada ancaman tampaknya, kalau melapor, orang tuanya akan terancam keselamatannya. Dan Sutris, menutupinya karena takut orang tuanya masuk penjara. Tiga perempat jawaban dibawanya ketika pulang. Yang seperempatnya lagi dibawa Sutris. Bagaimana membuat Sutris mengaku? Tentu tidak dengan cara menyiksanya. Pasti nanti ada cara. Bachtiar belum menemukan caranya.
***
Pak Truno terkejut ketika pulang mendapatkan setumpuk pakaian dan sepatu sandal dari kulit yang masih mengkilap.
“Ini dari nak Bachtiar?”
“Iya, kalau tidak, lalu dari mana?” kata mbok Truno yang segera meminta agar sang suami mencobanya.
“Mengapa dia memberikan barang-barang bagus sebanyak ini?”
“Entahlah, katanya sekalian belanja. Arumi dan aku juga dibelikan.”
Pak Truno tidak segera mencoba baju dan sepatunya. Tampaknya ada sesuatu yang dipikirkannya.
“Pasti nak Bachtiar malu, kalau nanti mengajak orang tuanya datang, lalu kita tidak mengenakan baju yang pantas. Apa kamu sudah membeli baju seperti yang aku minta tadi pagi?”
“Sudah. Baju Arumi malah dipakai ketika tadi diajak nak Tiar berbelanja.”
“Harganya pasti tidak seberapa. Pasti nak Bachtiar malu karena kita tidak memiliki baju yang pantas.”
“Bapak jangan berprasangka buruk. Nak Bachtiar hanya ingin menyenangkan kita dengan membelikan baju-baju yang bagus. Apakah menurut Bapak kita harus menolaknya? Tadinya aku juga berpikir begitu, akhirnya aku lalu menganggap bahwa ini adalah rejeki.”
“Benar, tapi kok ada perasaan tidak enak ya Mbokne, tapi mau bagaimana lagi, dia sudah membelikannya.”
“Ya sudah, tidak usah dipikirkan. Aku yakin nak Tiar tidak bermaksud buruk. Coba dulu bajunya, kalau kekecilan atau kebesaran, kata nak Tiar bisa ditukarkan.”
Pak Truno hanya membuka bajunya, menempelkan di tubuhnya, lalu mengatakan bahwa sudah pas. Demikian juga celananya.
“Sepatunya juga pas di kakiku. Tapi besok aku akan menegur nak Tiar agar jangan lagi beli sesuatu untuk kita.”
“Ya jangan begitu Pak, nanti nak Tiar tersinggung, bagaimana?”
“Sekedar mengingatkan dia, bahwa walaupun kita miskin, tapi kita tidak menginginkan menjadi kaya karena Arumi dijadikan istrinya,” kata pak Truno sambil masuk ke dalam kamar.
Mbok Truno menghela napas panjang. Ia merapikan barang-barang baru yang tadinya ada di bangku, lalu membawanya ke dalam kamar.
***
Malam itu ketika pulang ke rumah, Bachtiar heran melihat sang ayah sedang menunggunya di teras. Tapi ia tak melihat ibunya.
Bachtiar masuk, dan duduk di depan sang ayah.
“Bapak sudah lama?”
“Belum.”
“Mana ibu? Kenapa Bapak sendirian?”
“Tadi bapak hanya jalan-jalan, lewat rumahmu, lalu ingin mampir. Kamu dari mana? Bekerja sampai malam?”
“Tadi ada urusan di luar, jadi tidak ke kantor. Ayo masuk, Pak.”
“Tidak usah, di sini saja. Hanya ingin omong-omong yang ringan-ringan saja.”
“Tapi sepertinya serius.”
“Kapan kamu mau mengajak bapak melamar?”
“Bapak sudah bicara dengan ibu?”
“Ibumu itu keras kepala. Dia tetap tidak mau ikut. Tapi dia mengijinkan kamu melakukannya. Biarkan saja, nanti kalau istrimu bisa mengambil hatinya, pasti hatinya akan luluh.”
“Saya akan mengajak Adi bersama kita, menemui keluarga pak Truno.”
“Maksudmu dokter Adi?”
“Keluarga kita semuanya jauh, bukan?”
“Ya, memang, tidak apa-apa.”
“Bagaimana kalau minggu depan?”
“Persiapkan sendiri apa yang akan kamu bawa dalam lamaran nanti.”
“Pak Truno keluarga sederhana. Kita hanya akan membawa barang-barang dengan cara yang sederhana pula. Misalnya seperti bertamu, sambil membawa oleh-oleh, begitu.”
“Terserah kamu saja. Kabari bapak sehari sebelumnya, karena bapak kan harus meninggalkan kantor.”
“Baiklah, terima kasih, Pak.”
Ada rasa lega di hati Bachtiar karena sang ayah benar-benar mendukungnya. Tapi saat malam dan ingin istirahat, pembicaraan dengan Suyono seperti kembali memberati kepalanya. Ada pertanyaan yang belum terjawab. Hanya sedikit sebenarnya, tapi terasa sulit.
***
Pagi sekali Bachtiar sudah berada di rumah dokter Adi, membuatnya terkejut.
“Ada apa lagi? Ibu tidak apa-apa kan?”
“Ibu baik-baik saja. Aku mau minta tolong. Minggu depan ini, aku akan mengajakmu melamar.”
“Melamar gadis?”
“Arumi. Tetap Arumi.”
“Ouw, hebat kamu. Baiklah. Gadis dusun pasti lebih memiliki kecantikan yang berbeda. Menarik, tapi sederhana. Masih adakah satu buat saya?” canda Adi.
“Nanti aku carikan, sekarang kamu harus bantu aku. Hanya aku, kamu dan bapakku.”
“Ibu?”
“Kamu kan tahu, ibuku tidak setuju?”
“Lalu kamu nekat?”
“Sebanarnya bukan tidak setuju, hanya tidak mau ikut ke sana. Tidak apa-apa, ada bapak yang mendukung aku.”
“Baiklah.”
“Besok temani aku belanja. Apa saja yang dibutuhkan untuk melamar.”
“Kok tanya aku? Aku kan belum pernah melamar?”
“Kamu kan punya kakak yang pernah melamar. Aku tidak akan melakukannya seperti kalau orang-orang melamar. Mereka keluarga sederhana, aku akan datang tanpa membuatnya terkejut, kemudian repot. Biasa saja, seperti bertamu, lalu membawa oleh-oleh. Begitu saja.”
“Baiklah, tapi kalau mengajak aku harus sore.”
“Baik, aku mengerti, dokter muda yang sangat laris dan sibuk.”
“Ah, biasa saja. Sekarang aku harus bersiap berangkat.”
“Aku juga, tadi hanya mampir untuk meminta tolong.”
***
Dua hari sebelum datang, Bachtiar sudah mengabari keluarga pak Truno, bahwa orang tuanya akan datang. Tapi Bachtiar berpesan agar tidak usah terlalu repot menyambut. Bachtiar meminta maaf karena telah lancang membelikan baju dan sepatu untuk keluarga pak Truno, ketika pak Truno menegurnya.
“Bukan karena menganggap baju yang pak Truno pakai tidak pantas. Ini hanya sebuah pemberian, dan mohon pak Truno beserta keluarga tidak tersinggung.”
Tapi tak urung pak Truno kemudian membeli tikar, dan menggelarnya di tempat yang biasanya ada bangku-bangku bambu untuk menemui siapapun yang datang.
Dan mbok Truno memasak yang lebih banyak dari hari-hari biasa.
Mereka juga memakai baju yang diberikan Bachtiar, karena takut menyinggung perasaan Bachtiar yang sudah berbaik hati memberikannya.
Pak Wirawan tidak terkejut melihat keadaan rumah pak Truno, karena Bachtiar sudah menggambarkan keadaannya. Pak Wirawan bahkan menyambut suguhan yang dihidangkan mbok Truno dengan suka cita. Ada makan siang dengan lauk sayur lodeh dan keripik teri, serta sambal terasi. Pak Wirawan makan dengan lahap, dan berkali-kali memuji masakan mbok Truno yang enak.
“Hanya masakan orang desa Pak, mohon maaf.”
“Lhoh, ini justru luar biasa bagi saya. Sangat enak. Saya belum pernah makan senikmat ini,” katanya sambil menambahkan lagi nasi ke piringnya. Sikap yang membuat gembira sang tuan dan nyonya rumah, yang semula merasa rendah diri mendapatkan tamu yang istimewa.
Pembicaraan tentang perjodohan sudah selesai. Begitu selesai mengurus surat-surat, pak Truno akan menikahkan anaknya.
“Kami orang miskin, tidak bisa mengadakan perjamuan seperti orang-orang kota. Jadi cukup menikah saja. Lagipula Arumi masih akan sekolah, dan nak Tiar sudah menyetujuinya.”
“Ya, itu tidak apa-apa. Suatu hari nanti kalau semuanya siap, pasti akan ada perhelatan untuk anak-anak kita.”
***
Dalam perjalanan pulang, pak Wirawan berbicara tentang rumah pak Truno yang akan dipugar. Tapi Bachtiar mengingatkan bahwa pak Truno tidak suka ada orang yang memberi sesuatu dengan alasan apa yang dimilikinya tidak pantas. Bachtiar mengatakan bagaimana sikap pak Truno ketika dia memberikan baju-baju untuk mereka. Mereka ingin apa saja yang mereka miliki, biarlah seperti sebelumnya.
“Ajaklah nanti bicara, dengan alasan yang masuk akal.”
“Nanti mereka beranggapan bahwa kita menilai rumahnya sangat tidak pantas, mereka akan tersinggung.”
“Mereka orang-orang sederhana yang tidak berharap mendapatkan perubahan dalam hidupnya, walau bermenantukan orang yang lebih berada. Salut,” kata pak Wirawan kemudian.
“Kalau begitu, carilah tempat di dusun itu, buat rumah kecil yang nanti akan bisa kamu tempati bersama Arumi.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Endah
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteTerima kasih, bu Tien cantiiik... semoga sehat selalu, yaa💕
ReplyDeleteHamdallah
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun Bu Tien ... Sugeng ndalu.
ReplyDeleteSami2 pak Sis
DeleteSugeng dalu
Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Matur nuwun jeng Tien , salam sehat tetap semangat.
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiiik
DeleteTerima kaih bunda..slmt mlm dan salam sht sll unk keluarga🙏🥰🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSelamat malam dan salam sehat juga
Maturnuwun bu Tien, salam sehat dan aduhai aduhai bun ... semoga bu Tien sekeluarga sll dlm lindungan Allah SWT aamiin yra
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x deh
Matur nuwun samoun tayang episode terbaru, salam sehat dan tetep semangat dari Cibubur
ReplyDeleteSami2 ibu Sis.
DeleteTerima kasih semuanya
Terima kasih Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteSami2 ibu Mundjiati
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteMatur nuwun ibu 🙏🏻
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteLangkah Bachtiar sudah terarah. Tapi jangan lupa, Luki dan kroninya masih akan beraksi.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Wah, kurang panjang episode kali ini mbakyu...tahu2 ada kata " besok lagi ya"...😁
ReplyDeleteHehee.
DeleteSabar ibu Anie
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan ketika bulan tinggal separuh 35
Semoga bu tien sehat² selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteSenang nya , Bachtiar melamar, semoga penasaran dg penculikan Arumi bisa terkuak,😁😁
Salam Aduhaiii
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 35 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Tiar adalah type orang yang suka bekerja keras, maka nya dia sdh berhasil mengumpulkan data, sampai batas tiga per empat, yang seper empat lagi, dia bisa menggali keterangan lebih dalam ke Arumi dan pelengkap nya ke Sutris. Terutama ke Arumi, Tiar hrs bisa mencari keterangan perihal, Arumi yang di paksa minum air berisi obat perangsang, agar ketahuan motif jahat nya Luki tsb.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah Ketika Bulan Tinggal Separuh-35 sdh hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin🤲
Salam Aduhai🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Aduhai deh
Alhamdulillah.... terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Selamat malam Bunda Tien ,salam Aduhai ... terima kasih cerbung nya
ReplyDeleteSelamat pagi ibu Sriyati
DeleteSami2
Aduhai deh
Alhamdulillah cerbung asyik sudah tayang... terimakasih bunda Tien....
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Umi
DeleteSami2 ibu Komariyah
ReplyDeleteKok Kakèk sama mbak Ninggak komen. Apa masih di Bojonegoro ya. Apa disana gak ada sinyal. Salam Kakèk...
ReplyDeleteLuki udah mau ketemu lho...
ReplyDeleteSejuk
ReplyDelete