Monday, January 27, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 21

  

 

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  21

(Tien Kumalasari)

 

Pak Wita terkejut. Dari kantor polisi? Bu Wita memperhatikan wajah suaminya yang tampak tegang.

“Dari kantor polisi?” tanyanya cemas.

“Ada kecelakaan lalu lintas. Mobil yang dikendarai menabrak truk di depannya. Korbannya dua, laki-laki dan perempuan.  Salah satunya bernama Wanda.”

“Apa? Bagaimana keadaannya? Anakku? Di mana sekarang.”

“Masih di rumah sakit di Salatiga Pak.”

Pak Wita meletakkan ponselnya dan bergegas menuju mobil.

“Eh, Pak … ada apa Pak … kenapa?”

Bu Wita mengejar suaminya, ikut masuk ke dalam mobil.

“Ada apa? Kenapa?”

Kepergian kedua majikan itu membuat bibik yang baru selesai memasukkan bawaan majikan ke dalam rumah, menjadi heran.

Pak Wita langsung menjalankan mobilnya, memacunya di jalan raya.

“Wanda, entah pergi ke mana anak itu, mengapa bisa sampai ke Salatiga? Kenapa dia bohong? Katanya ada di rumah, ternyata sejak kemarin dia pergi. Kenapa bohong?” omelnya sambil mengemudi.

“Sabar Pak, jangan marah-marah dulu. Bagaimana keadaannya?”

“Mana aku tahu bagaimana keadaannya? Aku kan belum melihatnya.”

“Iya, maksudku tadi yang mengabari bilang bagaimana?”

“Sudah, jangan banyak bertanya dulu. Aku kaget, cemas, tapi juga kesal. Tadi dia bilang ada di rumah, mengapa bisa sampai ke Salatiga? Main ke mana sejak kemarin? Jangan-jangan menemui si miskin itu.”

“Pak, hati-hati setir mobilnya. Jalanan ramai. Jangan sambil marah-marah begitu. Sabar Pak. Berdoa saja semoga Wanda baik-baik saja.”

Pak Wita tidak mengurangi laju mobilnya. Ia mengusap wajahnya kasar. Rasa cemas tidak bisa hilang dari hatinya. Tapi tetap saja merasa kesal juga karena dibohongi.

Walau mengingatkan suaminya, tapi bu Wita juga tak bisa menghilangkan kecemasannya. Wanda adalah anak semata wayang, dan sekarang mengalami kecelakaan. Entah bagaimana keadaannya. Kalau bisa ia ingin terbang agar segera bisa bertemu sang anak, sehingga bisa tahu bagaimana keadaannya.

Hanya saja ia bisa memendamnya dalam hati, berbeda dengan suaminya yang meledak-ledak.

“Siapa laki-laki yang sedang bersama Wanda, coba? Kalau dia si miskin, mana mungkin mengendarai mobil? Apa Wanda menyewa mobil, tapi mana mungkin temannya bisa menyetir.”

Masih dalam suasana cemas, pak Wito masih saja sempat memaki-maki si miskin.

Bu Wita selalu mengingatkan sang suami, karena lalu lintas sedang ramai-ramainya.

“Sabar ya Pak, sabaaaar. Berdoa saja, jangan marah-marah terus,” kata bu Wita yang sebenarnya juga berlinangan air mata menahan rasa cemasnya.

Begitu memarkir kendaraannya, pak Wita langsung turun, lalu menarik sang istri agar secepatnya masuk ke dalam.

Ia menerobos masuk ke ruang IGD, dan melihat keadaan Wanda yang tidak sadarkan diri. Bajunya berlumuran darah, kepalanya berdarah dan sudah dibalut perban. Selang infus dan oksigen membuat kedua orang tuanya semakin cemas. Wanda tak bergerak, Bu Wita manangis sambil memeluk tubuhnya.

“Apa yang terjadi Wanda? Mengapa kamu pergi dari rumah dan berbohong? Ayo sadarlah, Wanda. Ini bapak dan ibu ada di dekatmu. Wanda … Wanda ….”

Pak Wita bergegas menemui dokter, dan keterangan dokter membuatnya semakin cemas. Lukanya sungguh parah. Ada pendarahan otak dan barangkali memerlukan operasi.

“Temannya lebih parah lagi. Bukan hanya kepala, dadanya terantuk kemudi dan luka dalam yang sangat berat, keluarganya belum datang karena ada di Jakarta. Apa Bapak mengenal orang tuanya?” kata dokter.

“Tidak, saya tidak kenal dia apalagi orang tuanya. Dokter, lakukan yang terbaik untuk anak saya. Selamatkan dia, berapapun biayanya. Tolong dokter,” kata pak Wita memelas.

“Ya, tentu saja kami akan melakukan yang terbaik. Bapak berdoa saja, semoga kami bersama team bisa menyelamatkannya.”

Pak Wita dan istri diminta agar menunggu di luar, karena Wanda akan dibersihkan dari noda-noda darah, dan tentu saja diganti bajunya.

Mereka duduk di ruang tunggu dengan wajah pucat. Pak Wita sebentar berdiri, sebentar duduk, dengan wajah gelisah, sementara bu Wita duduk sambil menangis, tapi mulutnya berkomat-kamit melantunkan doa.

***

Ardi sedang berada di rumah Guntur. Kemarin dia bermaksud bezoek, tapi sesampai di sana ternyata Guntur sudah pulang ke rumah.

“Aku minta maaf, baru bisa menemui kamu sekarang. Setelah acara perpisahan itu aku harus mengantar orang tua ke luar kota, baru kemarin pulang langsung ke rumah sakit, tapi kamu sudah tidak lagi dirawat. Aku bersyukur, berarti kamu sehat,” kata Ardi.

“Terima kasih atas perhatian kamu, Ardi. Ada beberapa teman membezoek. Tidak apa-apa. Menginap sehari hanya untuk diperiksa keseluruhan, dan aku tidak apa-apa, kecuali luka di kepala. Inipun hanya luka luar, walau harus dijahit karena lukanya cukup dalam.”

“Ini karena hati kamu sedang panas,” canda Ardi seperti biasanya.

“Apa maksudmu?” tanya Guntur sambil memelototi sahabatnya.

“Yaah, tidak usah ingkar lah. Pasti hatimu panas melihat ulah Zaki di panggung bersama Kinanti.”

“Ngawur.”

“Kalau aku pacarnya, aku juga sudah pasti panas. Untung aku bukan pacarnya, hanya sekedar mengaguminya.”

“Memangnya aku pacarnya?”

“Kalian ini pacaran tapi dalam hati.”

“Apa? Mana ada pacaran dalam hati?”

“Suka, cinta, tapi dipendam di hati masing-masing.”

“Ngawur,” selalu itu yang dikatakan Guntur. Ia memang tak berani mengakuinya. Masa dia pacaran dengan Kinanti? Mana berani dia mencintai gadis anak orang kaya, sementara dirinya menjadi beban orang tua gadis itu?

“Orang itu tidak boleh ingkar pada perasaannya. Seperti aku nih, lihat. Aku suka pada Kinanti, tapi hanya suka karena kagum, bukan cinta. Kamu tidak boleh mencemburui aku.”

“Kamu itu ngomong yang tidak-tidak.”

“Aku tuh beda sama kamu, dicintai banyak gadis. Oh ya, kemarin aku melihat Wanda bezoek. Sempat bertemu kamu? Tapi kayaknya tidak.”

“Apa? Siapa yang bezoek?”

“Tapi tampaknya dia seperti aku. Bezoek tapi kamu sudah pulang.”

“Memangnya kamu melihatnya?”

“Ketika aku datang, aku melihat Wanda keluar dari lobi rumah sakit, menuju parkiran mobil. Dia bersama siapa, coba tebak?”

“Teman-temannya?”

“Bukan, dia bersama Zaki. Kamu pasti tak bisa melupakan Zaki kan?”

“Zaki?”

“Iya, Zaki, si penyanyi yang sok romantis itu. Nggak tahu kenapa, dia bisa bersama Wanda. Aku melihatnya bersama, dengan mata kepalaku sendiri. Aku pikir mereka sudah ketemu kamu. Tapi tampaknya mereka seperti aku. Gagal bertemu karena kamu sudah pulang.”

“Pagi harinya, Zaki datang bersama Kinanti, tapi dia pulang lebih dulu. Bagaimana bisa bersama Wanda?”

“Entahlah, mungkin bertemu dijalan, atau kencan. Mana aku tahu? Apa mereka sudah lama kenal. Aku juga tidak mengira Wanda akan datang untuk membezoekmu.”

“Aku sama sekali tidak bertemu Wanda bersama Zaki. Kalau paginya memang, tapi dia bersama Kinanti. Hanya saja Zaki pulang lebih dulu.”

“Ah, ya sudahlah, mengapa jadi memikirkan Zaki dan Wanda. Tapi kalau benar bereka sudah bersama, aku yakin bahwa kamu pasti lega.  Dengan begitu Wanda tak akan lagi mengganggumu.”

“Kuharap begitu.”

“Oh ya, kamu jadi melanjutkan kuliah?”

“Ada donatur yang meminta aku lanjut. Tapi mungkin baru besok aku menemuinya. Kamu kan sudah mendengar, dia orang tua Kinanti.”

“Iya, aku pernah mendengar. Dan tampaknya nantinya kamu juga akan diambil menantu oleh mereka.”

“Kamu itu seperti perempuan ya, sukanya bergosip.”

Ardi tertawa. Ia tak pernah berhenti dengan candanya, dan selalu berterus terang tentang apa yang ada di dalam hatinya.

“Kamu sudah bisa pergi-pergi? Ayuk ke rumah Kinanti.”

“Aku baru besok ke sana, siang. Paginya aku harus kontrol dulu ke rumah sakit. Kalau bisa perban di kepalaku ini lebih baik dilepas saja. Seperti orang sakit beneran saja,” keluh Guntur.

“Apa maksudmu? Bukankah luka seperti itu namanya juga sakit?”

“Tidak terlalu berat, justru perban ini membebani aku.”

“Kamu jangan bandel. Sudah besar tapi masih suka bandel. Kalau dokter masih mengatakan harus diperban, ya diperban. Memangnya kenapa kalau pergi-pergi kelihatan perbannya? Malah bagus jadi perhatian orang lhoh. Tadinya orang nggak perhatian sama kamu, tapi melihat perban kamu itu, mereka jadi perhatian. Ya ampuun, kasihan sekali orang itu. Ganteng-ganteng terluka.”

“Cerewet banget sih kamu.”

“Ya sudah, kalau kamu nggak mau, aku ke rumah Kinanti saja dulu. Kangen tiga hari nggak ketemu.”

“Baiklah, aku besok saja. Sampaikan salamku ya.”

“Salam apa nih, salam manis, salam mesra, atau salam kangen?”

“Suka-suka kamu ah, salam sembarang, pokoknya salam,” kesal Guntur. Tapi Ardi hanya menanggapinya sambil tertawa. Kemudian ia ke belakang untuk menemui bu Raji yang masih berkutat di dapur, untuk pamitan.

“Lhoh, kok pulang, makan siang dulu, nih … sudah ibu siapkan. Tapi ya hanya masakan ala kadarnya. Goreng tahu, goreng tempe, sama sup sayur, nggak ada ayamnya. Bagaimana?”

“Wah, tampaknya menarik,” kata Ardi yang kemudian ragu-ragu untuk pulang. Sebenarnya Ardi sungkan. Kalau dia menolak, nanti dikira nggak mau karena lauknya sederhana, jadi akhirnya Ardi menerimanya, makan siang dulu di rumah bu Raji, membuat bu Raji senang.

“Sekali-sekali makan tanpa daging dan ikan ya Nak, di sini seringnya sayur, sama tahu tempe,” kata bu Raji ketika Guntur dan Ardi sudah duduk semeja bersama.

“Ini sangat enak Bu, jangan marah kalau nasinya Ardi habiskan nanti.”

“Habiskan saja, nanti ibu masak lagi,” kata bu Raji sambil tertawa.

“Dia ini sih gentong Bu, makannya selalu banyak.”

“Bikin malu kamu!!" sergah Ardi.

“Tidak apa-apa. Kalau makan sedikit, ibu justru kecewa.”

***

Ketika sampai di rumah Kinanti, rupanya Kinanti sedang makan bersama ibunya. Karenanya bu Bono memaksa Ardi untuk makan bersama mereka.

“Tidak bisa Bu, saya baru saja dari rumah Guntur, menghabiskan sebakul nasi. Bener nih, kalau dipaksa juga, perut saya bisa meletus,” kata Ardi yang kemudian tetap ikut duduk di ruang makan.

“Meletus? Gunung ‘kali,” kata Kinanti yang hampir selesai makan.

“Bener. Aku nggak bohong. Tadi makan banyak sekali di sana. Bu Raji masakannya enak sekali, jadi aku nambah berkali-kali.”

“Dasar doyan kamu.”

“Memangnya bu Raji masak apa?” tanya bu Bono.

“Sup sayur, sama goreng tahu tempe. Wah, biarpun sederhana, tapi bener Bu, enak sekali.”

“Syukurlah kamu bisa menikmati makan sederhana. Di rumah selalu makan enak kan? Kalau di sini juga nggak selalu masak ikan atau daging. Yang penting sayur. Itu sehat kan?”

“Benar Bu. Yang penting sehat.”

“Ayuk duduk di depan, aku sudah selesai nih,” kata Kinanti sambil berdiri.

“Jangan malu kalau mau nambah lagi, nggak apa-apa jadi gadis gembrot, kan sudah lulus.”

“Apaan sih, memang sudah kenyang aku,” katanya sambil beranjak ke depan diikuti Ardi.

“Kamu nggak jalan-jalan? Sudah lulus berarti bisa nyantai dong.”

“Jalan-jalan ke mana? Biasa saja. Masih sekolahpun kalau mau jalan-jalan ya jalan saja. Mengapa harus menunggu lulus?”

“Soalnya kalau sudah lulus tuh hati terasa lebih ringan. Ya kan. Tidak memikirkan hafalan, ulangan, ujian.”

“Ya, benar. Tapi kenapa Guntur nggak kamu ajak sekalian kemari?”

“Guntur bilang kemarinya besok. Mau kontrol dulu. Malu kepalanya masih diperban.”

“Iya, dia juga bilang. Kami akan segera mengurus pendaftaran ke perkuliahan secepatnya. Kamu mau lanjut ke mana?”

“Aku ekonomi saja lah, biar bisa ngelanjutin usaha bapakku. Walau kecil, namanya usaha kan juga harus dilakukan dengan memiliki ilmu.”

“Syukurlah.”

“Oh ya, kemarin kamu bezoek bersama Zaki ya? Pagi-pagi?”

“Guntur yang cerita? Iya memang. Aku sudah mau numpang ayahku saat mau berangkat kantor. Zaki datang, lalu ikut bezoek ke rumah sakit.”

“Ngapain dia datang pagi-pagi?”

“Maksudnya mau ngajakin sarapan. Tapi aku nggak mau, jadi dia ikut ke rumah sakit.”

“Nggak tahu bagaimana, kemarin siang aku tuh ke rumah sakit, tapi Guntur sudah pulang. Nah, waktu aku datang itu, aku melihat Wanda bersama Zaki. Tampaknya maksudnya mau bezoek, tapi Guntur sudah pulang.”

“Begitu hasilnya keluar, langsung diperbolehkan pulang. Jadi kamu datang juga kemarin? Bagaimana Wanda bisa bersama Zaki?”

“Entahlah, aku tidak bertemu langsung. Aku datang, dia sudah mau pulang. Aku juga enggan menyapa, penginnya segera ketemu Guntur. Malah sudah pulang. Jadi mereka juga pasti tidak bertemu.”

“Guntur pulang bersama aku, nggak ada Wanda, nggak ada Zaki yang datang.”

Tiba-tiba ponsel Kinanti berdering.

“Fitria nih,” kata Kinanti yang langsung mengangkat ponselnya.

“Kinanti … Kinanti … kamu sudah dengar berita belum?” Fitria langsung nyerocos sebelum Kinanti menyapanya.

“Ada apa?”

“Baru saja teman Zaki menelpon. Katanya Zaki meninggal dalam kecelakaan.”

“Apa?”

***

Besok lagi ya.

 

47 comments:

  1. 🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    Alhamdulillah.. Syukron..🙏

    JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 21, sudah tayang.

    Semoga Bu Tien selalu sehat dan berkarya. Aamiin 🤲 🤲 🤲

    🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    ReplyDelete
  2. 🌸🌼🌸🌼🌸🌼🌸🌼
    Alhamdulillah 🙏🤩
    JeBeBeeL_21 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat & bahagia.
    Aamiin.Salam seroja😍🦋
    🌸🌼🌸🌼🌸🌼🌸🌼

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya Allah, Zaki meninggal... Innalilahi wainna ilaihi raaji'un. Kasian jg Wanda... Gmn nasibnya kalo nanti halim. Bu Tien selalu bikin penisirin... Ikutan deg2an deh... Bu Tien pancen wokèh bangets me ngaduk2 perasaan pemirsah... eh pembaca... 🤭. Sehat2 selalu nggih Bu... 🤲🤲

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari..
      Wokeh jugaaak

      Delete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 21 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU~21 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),21 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete

  7. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 21* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  8. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete
  9. Waduuuh...si Wanda jadi 'janda' dadakan dong...tragis amat nasibnya, si Zaki juga, baru beberapa episode sudah tamatlah riwayatnya. Teganyaa...😅

    Terima kasih, ibu Tien...sehat selalu ya...🙏🏻🙏🏻🙏🏻😘😘😀

    ReplyDelete
  10. Mks bun JBBL 21 nya.....selamat malam smg bunda sll sehat sejahtera, sll bahagia bersama kelrg tercinta,.....ingat jaga kesehatan jangan terlalu capai ya bun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Supriyati

      Delete
  11. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  12. Zaki meninggal, Wanda hamil. Tentu yang jadi sasaran Guntur. Semoga Kinanti sabar dan tabah.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  13. Slmt mlm bundaqu..terimaksih jbbl nya🙏slmt istrhat dan slm sht sll🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan jangan biarkan bungaku layu 21
    Semoga bu tien sehat² n bahagia, senantiasa dlm lindungan Allah SWT ..... AAMIIN YRA

    ReplyDelete
  15. Terima kasi bu Tien ... JBBL ke 21 sdh tayang ... tambah seru ceritanya ...
    Semoga bu Tien & kelrg sehat selalu ...
    Salam Aduhai .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Enny
      Aduhai..

      Delete
  16. Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 21 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Selamat memperingati hari Isra' Miraj nggeh Bunda ugi sedaya Pandemen Cerbung nya Bunda Tien.

    Kasihan Wanda luka nya parah, s Zaki malah tdk tertolong lagi. Yang sangat di sayangkan mereka habis 'bersenang - senang' terus menyesal kemudian. Bagaimana klu ortu nya Zaki tahu bahwa Zaki telah meninggal. Klu ortu nya Wanda sdh tahu..mereka geram krn Wanda telah berbohong.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillaah, Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Makin seru nih, Zaki meninggal trs Wanda bgm ...

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun Bu Tien, ceritanya semakin seru. Semoga Ibu sekeluarga selalu sehat wal'afiat....

    ReplyDelete
  19. Alhqmdulilaah JBBL-21 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
    Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin🤲

    ReplyDelete
  20. Pak Wita ndremimil turut dalan gimana tidak, dibohongi, katanya dirumah malah dari kemaren perginya, kata bibik.
    Malah tau² dikabari Wanda di rumah sakit nggak sadar, kecelakaan lan-lin.
    Heboh anak band dapat berita Zaki meninggal karena kecelakaan lan-lin.
    Waduh åjå² tinggalane Zaki bertumbuh, terus Wanda nyruduk Guntur.
    Lha kok bisa, lha wong Ardi lihat Wanda sama Zaki berdua satu mobil di halaman rumkit.
    Genah Zaki yang nyruduk bokong truck, sampai tetes darah terakhir lho.

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke dua puluh satu sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun mas crigis

      Delete
  21. Zaki dimatiin Mbak Tien...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Salamhangat dan sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu umi
      Salam hangat juga

      Delete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 22

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  22 (Tien Kumalasari)   Kinanti tertegun, untuk sesaat ia tak mampu berkata-kata, membuat Fitria yang menelpon...