KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 36
(Tien Kumalasari)
Bachtiar mendengarkan apa yang dikatakan ayahnya, dan menyetujuinya, sementara Adi yang berada dalam satu mobil mengacungkan jempolnya.
“Mengenai hal itu, aku kira pak Truno tidak akan tersinggung. Alasannya adalah karena anak sudah menikah, maka sebaiknya ikut suaminya. Begitu kan?” sambung pak Wirawan.
“Ya, saya akan segera mencari tempat yang pas. Mungkin yang lebih dekat dengan sekolahnya.”
“Mengenai sekolah, mengapa tidak kamu suruh untuk homeschooling saja? Tidak susah mendatangkan guru ke rumah, bukan? Justru akan bisa lebih cepat selesai, apalagi kalau anak itu cerdas.”
“O, iya, Tiar. Bukankah itu lebih baik?” kata Adi.
Bachtiar kembali mengangguk setuju. Dalam waktu dekat, bahkan dalam bulan ini, pak Truno berjanji akan menyelesaikan semuanya dan mengharapkannya menikah. Pak Truno terlalu menjaga anak gadisnya, karenanya melarang untuk bertunangan dulu seperti keinginan Bachtiar sebelumnya. Kalau sudah menikah, akan bebas melakukan apa saja. Mau jalan berdua, bahkan tidur berdua.
Tapi Bachtiar berjanji untuk tidak akan menyentuhnya sampai Arumi menyelesaikan SMA nya.
“Bahkan nanti setelahnya dia bisa kuliah juga. Ya kan?” sambung sang ayah.
“Baiklah Pak, akan saya atur semuanya nanti. Sekarang ini saya baru akan mencari tempat untuk membangun rumah kecil dulu, kalau sudah menikah pak Truno pasti akan menyetujui semua usul saya."
“Setelah ini, dokter Adi juga harus menyusul ya? Apa sudah punya pacar?” canda pak Wirawan.
Adi yang memegang kemudi mobil hanya tertawa.
“Belum ada yang cocok Pak.”
“Jangan terlalu memilih, keburu jadi perjaka tua lhoh,” sambung Bachtiar.
“Mentang-mentang sudah dapat calon istri,” jawab Adi.
“Kamu juga harus memikirkan untuk berumah tangga, bukan? Jangan hanya mengurusi orang sakit saja. Urus dirimu juga.”
“Baik, pak Bachtiar,” jawab Adi sambil tertawa.
“Itu benar lho, nak Dokter. Segera cari istri.”
“Mohon doanya ya Pak.”
“Nanti aku mau kok, jadi saksi nikahnya,” sambung Bachtiar lagi.
“Pokoknya mohon doanya saja.”
***
Pagi hari itu, ketika pak Wirawan menunjukkan foto-foto ketika acara lamaran di rumah pak Truno, bu Wirawan tak menunjukkan sikap apapun. Ia tampak dingin menanggapi.
“Ini rumahnya? Lantainya tanah? Kalian juga duduk di atas tikar begini? Lalu apa suguhannya?” ucapannya kemudian menunjukkan rasa tak suka.
“Iya Bu, kan Bachtiar sudah mengatakan bahwa memang Arumi anak orang sederhana. Tapi anaknya baik, santun, cantik. Kulitnya bersih.”
“Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana nanti kata orang ketika melihat mereka bersanding, dan kedua orang tuanya juga duduk di dekat pelaminan, bersama kita.”
“Bu, Ibu jangan merasa bahwa kemiskinan akan menjadi kendala untuk kita menjadi orang yang dihormati. Sikap yang baik dan menghargai sesama, membuat kita lebih berharga di mata orang. Jadi bukan gemerlapnya pakaian dan harta yang kita miliki.”
“Bapak bisa mengatakan itu karena Bapak sudah menyetujui sejak awal. Tapi aku tidak.”
“Bukankah Ibu sudah mengijinkan Bachtiar melamar Arumi?”
“Ibu mengijinkan, tapi tidak menyukainya.”
“Jangan begitu Bu, sebagai orang tua, Ibu harus menyetujuinya dengan tulus.”
“Ini suguhan apa? Tempat nasi dari bambu? Sayur apa ini … kerupuk apa ini?” katanya lagi sambil masih mengamati foto-foto di ponsel suaminya.
“Ibu tidak tahu ya, sayurnya itu enaak banget. Benar kok. Katanya namanya sayur lodeh. Ini bukan kerupuk tapi rempeyek teri. Gurih. Aku sampai nambah dua kali karena enaknya.”
”Bapak seperti tidak pernah makan saja,” cibir bu Wirawan.
“Benar, bapak tidak pernah merasakan masakan seenak itu. Hanya sayur sederhana, lauk sederhana, tapi nikmat. Nanti Ibu suruh simbok memasak seperti itu, ya.”
“Ogah. Ibu nggak doyan.”
“Tapi bapak suka, gurih dan menghabiskan nasi,” kata pak Wirawan yang tak peduli pada sikap tak suka sang istri.
Bu Wirawan meletakkan ponselnya.
“Mereka hanya akan menikah saja dulu, karena Arumi masih ingin sekolah. Bapak mengusulkan home shcooling saja, supaya segera selesai, dan tidak repot.”
“Home schooling itu mahal.”
“Biar Bachtiar yang mengurusnya. Dia sanggup kok.”
“Belum-belum sudah merepotkan.”
“Jangan begitu Bu, anakmu suka, Ibu harus merestui dan mendoakan yang terbaik untuk mereka.”
“Terserah Bapak saja. Nanti Bapak sendiri yang mengurusnya ya, ibu nggak ikutan.”
“Iya. Mereka juga nggak minta yang macam-macam. Pak Truno orang baik. Diberi baju oleh Bachtiar saja seperti agak tersinggung, begitu. Kelihatannya dia menerima keadaannya dan tidak suka menerima pemberian orang.”
“Huh, pura-pura.”
Pak Wirawan terdiam. Susah menghadapi orang tak suka. Yang baik kelihatan buruk. Yang benar kelihatan salah. Jadi lebih baik membiarkannya.
***
Wahyuni sedang membantu ibunya di dapur, sementara Suyono sekarang bekerja di balai desa. Karena rumahnya besar, pak Carik tidak mengijinkan Wahyuni tinggal dirumah sendiri, walaupun pak Lurah sudah memberikan rumah untuk mereka tinggal setelah menikah.
“Bu, ibu tahu tidak, minggu depan Arumi mau menikah,” kata Wahyuni.
“Benarkah? Ibu ikut senang. Dari mana orang yang menjadi suaminya?”
“Ibu itu tidak pernah kumpul-kumpul di luar, sehingga tidak pernah mendengar berita yang sedang heboh dibicarakan orang sedusun.”
“Lha kalau di rumah banyak pekerjaan, mengapa harus kumpul-kumpul dan akhirnya ngomong yang macam-macam, akhirnya menjadi gibah.”
“Kalau ke pasar kan pasti Wahyuni mendengar berita. Dan mas Yono juga sudah cerita bahwa pak Truno sedang mengurus surat-surat untuk menikahkan anaknya.”
“Ibu tadi bertanya, Arumi menikah dengan siapa?”
“Dengan pak Bachtiar lah Bu.”
“Oh ya? Alhamdulillah, akhirnya Arumi mendapatkan jodohnya,” kata bu Carik.
"Kata mas Yono, pak Bachtiar sedang membeli rumah baru yang akan dibangun secepatnya, untuk tempat tinggal mereka berdua.”
“Syukurlah, anak baik, pasti mendapatkan kehidupan yang baik,” kata bu Carik tulus.
“Dasar mata duitan. Tidak suka anakku, memilih orang kota yang punya mobil bagus. Kalau mau, aku juga bisa beli mobil seperti itu,” kata pak Carik yang tiba-tiba muncul.
“Kok Bapak tiba-tiba bilang begitu? Bukankah Bapak tidak suka punya mantu Arumi, yang kata Bapak anak orang miskin, tidak sepadan.”
“Itu benar, tapi kalau dia menolak Sutris, itu namanya menyakitkan.”
“Kok aneh. Memang tidak suka punya menantu dia, ditolakpun ya tidak masalah kan?”
“Penolakan itu yang menyakitkan.”
“Bapak pernah melamar, dan ditolak?”
“Mana sudi aku melamar? Bukankah Wahyuni yang mengatakan bahwa Arumi menolak Sutris?”
“Mengapa harus sakit hati? Aneh.”
“Sakit hati lah, cuma anaknya Truno saja menolak anakku. Memang aku tidak suka berbesan dengan Truno, tapi Arumi bilang menolak Sutris itu kan keterlaluan.”
“Nggak lucu ah, Bapak. Ayo Yun, masukkan sayurnya, airnya sudah mendidih tuh,” kata bu Carik mengalihkan pembicaraan.
“Ternyata memilih orang kota yang kaya raya. Pasti mengincar hartanya,” pak Carik masih mengomel.
Bu Carik mendiamkannya, karena kemarahan pak Carik seperti tidak pada tempatnya.
“Aku ke toko dulu,” kata pak Carik sambil menjauh.
“Hati-hati, kalau jatuh bangun sendiri,” celoteh Wahyuni yang kemudian dicubit oleh ibunya.
Wahyuni terkekeh pelan. Untunglah sang ayah tidak mendengar karena ia pergi sambil masih mengomel.
***
Hari yang membahagiakan itu akhirnya tiba. Pak Truno menggelar tikar yang sebagian pinjam dari tetangga, karena Arumi akan dinikahkan di rumah, dengan memanggil Naif ke rumahnya.
Bachtiar membawa makanan yang dibawa dari kota, dan dengan hati-hati sekali mengatakan kepada pak Truno, bahwa itu semua adalah sumbangan, jadi jangan sampai ditolak. Ia berharap mbok Truno tidak usah repot memasak untuk menjamu tamu yang datang, yang hanya beberapa orang dari kerabat dan tetangga dekat.
Bachtiar juga mengirimkan petugas dari salon kecantikan, untuk mendandani Arumi dan ibunya. Hanya berkebaya biasa, berwarna putih tulang, senada dengan kerudung yang dipakainya. Demikian juga dengan ibunya. Karena memang adalah sebuah acara khusus, pak Truno tidak menolak ketika dibawakan setelan jas yang pantas dan bagus.
Arumi yang pada dasarnya memang cantik, benar-benar menjadi lebih cantik dengan dandanan yang belum pernah dikenakannya. Ayah dan simboknya baru sadar bahwa mereka memiliki anak yang sangat cantik.
Bachtiar datang bersama ayahnya dan Adi, Suyono dan Sutris juga ada.
Ketika yang hadir mengatakan ‘SAH’, maka runtuhlah air mata Arumi, yang kemudian mencium tangan suaminya. Kedua mempelai bersujud di hadapan pak Truno dan mbok Truno, juga di hadapan pak Wirawan yang tak terasa juga menitikkan air mata. Baginya, tidak ada yang mengecewakan, selama sang anak semata wayang merasa bahagia.
“Semoga kalian bahagia,” kata masing-masing orang tua ketika sepasang mempelai bersujud di hadapan mereka.
Arumi menangis tersedu dalam rangkulan ibunya.
“Ini adalah awal kehidupanmu Rumi, jalani dengan baik, karena perjalanan yang baik akan menemukan muara yang indah. Jangan menangis, bukankah kamu bahagia?”
Sutris menyalami kedua mempelai dengan senyum bahagia.
“Ikut bahagia karena kebahagiaan kalian. Semoga cepat dapat momongan,” kata Sutris yang membuat wajah Arumi bersemu merah.
“Mas Sutris, kalau ada waktu senggang, saya ingin bicara. Apakah saat ini sedang liburan?” kata Bachtiar pelan.
“Tidak, saya akan kembali siang ini. Saya datang karena mas Yono yang meminta,” kata Sutris yang dalam hati bertanya-tanya, apa gerangan yang ingin dibicarakan suami Arumi ini.
***
Mbok Truno bingung menata kamar, yang nanti akan dipakai tidur oleh Bachtiar dan tentu saja Arumi.
Ia menumpuk beberapa tikar agar tidak terlalu keras ketika dipakai tidur. Bantal yang lusuh sudah digantinya dengan sarung bantal yang baru dibelinya kemarin di pasar. Ia terpaksa meminjam lagi tabungan Arumi untuk semua kekurangan dalam pernikahan itu.
“Nak Bachtiar, nanti tidurnya di kamar Arumi yang sederhana, tapi nanti tidak akan terlalu keras karena saya menumpuk beberapa tikar untuk alasnya.”
Arumi segera mendekati ibunya dan berbisik.
“Mbok, aku tidak mau tidur di kamar. Mau ikut tidur di kamar simbok saja,” katanya sambil wajahnya bersemu merah.
Bachtiar yang duduk di tikar tersenyum mendengarnya, walau Arumi sudah berkata pelan.
“Biar Arumi saja tidur di kamar, Bu. Saya akan tidur di sini saja.”
“Di situ, Nak?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Aduh Nak, saya sungguh minta maaf, mau bagaimana lagi, keadaan rumah seperti ini,” kata mbok Truno dengan wajah sedih.
“Bu, ini tidak apa-apa. Saya sudah berniat menjadi keluarga ini, jadi saya bersiap untuk menerima apa adanya,” kata Bachtiar bersungguh-sungguh, membuat mbok Truno dan Arumi terharu.
“Sekali lagi minta maaf ya Nak.”
“Ibu tidak usah minta maaf. Nanti kalau sudah waktunya, dan Arumi sudah siap, saya akan memboyongnya ke rumah saya.”
“Besok saya akan mengajak Arumi ke rumah saya yang di kota, tapi nanti saya akan membuatkan Arumi sebuah rumah di desa ini juga, sekarang sedang mulai dibangun. Nanti Arumi akan tinggal di sana bersama saya," sambungnya lagi.
“Mbok, besok simbok ikut ya?” rengek Arumi.
“Eh, kamu ini bagaimana, diajak suami kok mboknya disuruh ikut,” cela mbok Truno.
“Nanti … bagaimana ….”
“Ya tidak bagaimana-bagaimana, seperti anak kecil saja.”
“Arumi, kamu tidak usah takut, aku tidak akan menggigit kok. Nanti hanya melihat-lihat rumah saja. Kalau mau, ya tidur di sana walau hanya semalam dua malam.”
“Apa?”
“Jangan khawatir, aku kan sudah berjanji untuk tidak menyentuh kamu?” bisik Bachtiar di telinga Arumi.
“Sudah, nurut sama suami. Sekarang kamu itu milik suami kamu, jadi apa yang dikatakan suami, kamu harus nurut.”
***
Arumi terkagum-kagum melihat rumah Bachtiar. Tidak terlalu besar, tapi perabotnya sangat komplit dan mewah. Arumi tidak bisa mempergunakan semua peralatan yang ada. Menyalakan kompor, menghidupkan mesin cuci, menyalakan televisi, mengepel lantai, semuanya hal baru baginya. Bachtiar dengan telaten mengajarinya.
“Kalau senggang, aku biasa masak sendiri. Ada sayuran di dalam kulkas, ada telur, ada ikan, ada ayam. Nanti kita masak sama-sama ya.”
Arumi tersenyum. Hal baru yang sangat menarik baginya. Ia mengangguk setuju. Lalu setelah sehari, Arumi tidak lagi merasa canggung melakukan semuanya.
“Ini kamar tidur kamu. Ayo masuklah.”
Arumi terkejut ketika Bachtiar tiba-tiba duduk di samping tempat tidur. Arumi tegak berdiri tak bergerak. Membuat Bachtiar terkekeh.
“Aku tidak akan menggigit, kamu selalu kelihatan takut.”
“Mas Tiar juga tidur di … situ?”
“Tidak, aku di kamar lain, di sebelah.”
Arumi merasa lega.
Tiba-tiba Bachtiar mendengar dering ponsel dari kamarnya, ia bergegas menghampiri. Bachtiar lupa belum mengembalikan ponsel Luki.
Dari pak Carik lagi?
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Endang
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 36* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Nuning
DeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteSAH, Arumi dan Bachtiar sudah selesai akad nikahnya.
Terima kasih bu Tien yang baik, semoga sehat selalu dan selalu sehat. Salam ADUHAI 🙏🙏🌹
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Matur nuwun jeng Tien salam sehat selalu.
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniik
DeleteSalam sehat juga
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien, semoga bu Tien dan keluarga sll sehat danbahagia.. salam hangat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Horeee, jeng Sari juara dateng lebih awal menyaksikan acara Ajad Nikah Arumi dan Bachtiar.....
ReplyDeleteAlhamdullilah .terima kaih bunda..slm sht sll unk kelg 🙏🥰🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah, maturnuwun bu Tien, baca dulu baru komen.... 𝓢𝓮𝓱𝓪𝓽 𝓼𝓮𝓵𝓪𝓵𝓾 𝓫𝓾 𝓣𝓲𝓮𝓷
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Atiek
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah....terimakasih Bunda, semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tutus
Alhamdulillah mas Kakek, br muncul lg eh dpt nomer 1... Hehehe
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteTerus gimana ini nanti ya kira2 baiknya.
ReplyDeleteApa dr.Adi dijodohkan dng Luki...?
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteGara gara pak Carik sering menelepon Luki, ketahuanlah ulah mereka. Mungkin pak Carik harus menginap di hotel prodeo.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 36 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Setelah Akad Nikah, Arumi menangis tersedu sedu dalam rangkulan ibu nya.
Selamat menempuh hidup baru ya Arumi dan Tiar, salam SAMAWA..😁😁💐💐💐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun ibu 🙏🏻
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhamdulillah, matursuwun nggih Bu
ReplyDeleteSalam sehat... bahagia selalu bersama amancu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Weleh
ReplyDeleteApa kabar jeng Sari ?
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Sari
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillaah, senang nya Arumi & Bachtiar menikah .
ReplyDeleteapakah teror akan ada & akan terungkap dalang penculikan Arumi
Penasaran.. sungguh aduhaiii 😍
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya
Salam bahagia 🤗🥰
Rintik
ReplyDelete