Tuesday, December 31, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 52

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  52

(Tien Kumalasari)

 

Bachtiar tertegun. Bu Nuke berusaha bunuh diri? Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran nyonya cantik nan sombong itu?

“Bachtiar, sungguh, aku minta tolong kamu, istriku ingin bertemu bu Wirawan, entah apa yang diinginkannya. Dia sekarang ada di rumah sakit, dan tidak mau bicara padaku. Keadaannya parah, karena banyak mengeluarkan darah."

“Maaf Pak Johan, saya masih bingung mendengar berita ini. Seakan tidak percaya bahwa …_”

“Dia mengiris nadinya sendiri, hampir tidak tertolong, karena dia sedang di kamarnya, dan aku baru saja masuk ke kamar mandi. Kami berbincang lama, dan aku selalu memberi pengertian padanya, bahwa lebih baik mengakui kesalahan dan menerima apapun yang akan terjadi. Dia diam, aku kira dia bisa menerima apa yang aku katakan, ternyata tidak.”

“Tapi akhirnya tertolong kan?”

“Untunglah aku bisa segera melarikannya ke rumah sakit, dalam keadaan lemas tak sadarkan diri. Ketika sadar dia hanya menyebut nama ibumu. Tapi keadaannya sangat lemah, dia kehilangan banyak darah. Tolong Bachtiar, siapa tahu bu Wirawan bisa memberinya semangat, dia hanya bilang bahwa dia ingin mati.”

“Baiklah, saya akan bicara pada ibu, tapi saya tidak bisa menjanjikan apapun.”

“Semoga ada jalan terbaik untuk Nuke.”

Bachtiar meletakkan ponselnya ketika pembicaraan telah berakhir, tapi sang ibu kemudian mendekat.

“Tadi kamu menyebut ibu, ada apa?”

“Bu Nuke berusaha bunuh diri.”

“Apa?” teriakan itu serempak dilontarkan oleh bu Wirawan, pak Wirawan dan juga Arumi yang baru muncul dari belakang.

“Mengapa begitu?” tanya bu Wirawan.

“Mungkin panik, karena tak menyangka menjadi terseret ke kasus hukum. Ia mengiris nadinya sendiri dan nyaris tak tertolong. Sekarang ada di rumah sakit.”

“Mengapa dia menghubungi kamu?” tanya pak Wirawan.

“Tante Nuke ingin ketemu ibu. Beliau hanya tahu nomor Tiar,"

“Aku? Ketemu aku? Kenapa? Aku nggak ikutan.”

“Entahlah, pak Johan hanya bilang begitu.”

“Mengapa aku? Dan aku dimintanya datang ke sana untuk menemui dia?”

“Mungkin karena ibu bersahabat sama dia, lalu dia ingin mencurahkan isi hatinya pada Ibu,” kata pak Wirawan.

“Nggak ah, aku nggak mau. Jangan sampai aku terbawa-bawa dalam kasusnya. Dia  bohong ketika mengatakan tentang umur Luki dan bodohnya aku mempercayainya.”

“Barangkali ini tidak ada hubungannya dengan kasus dia. Dia hanya ingin berkeluh pada Ibu.”

“Mengapa Bapak sepertinya mendorong aku agar aku melakukannya,” keluh bu Wirawan.

“Trenyuh saja mendengar nasibnya. Dia polah yang tak terkendali, akhirnya menjerumuskannya ke jurang dalam yang tak pernah dibayangkannya.”

“Tapi aku tidak mau menemui dia.”

“Ya sudah kalau tidak mau, tidak akan ada yang memaksa kok.”

“Tapi apa ya kira-kira yang akan dia bicarakan kalau ketemu aku?”

“Lhaah, Ibu bilang tidak mau, tapi Ibu menaruh perhatian pada dia.”

“Hanya ingin tahu saja.”

“Satu-satunya jalan supaya menjadi tahu, ibu harus ketemu dia.”

“Tidak, jangan paksa aku. Aku nanti terlibat, aku nggak mau.”

“Baiklah. Tiar, segera kabari pak Johan bahwa ibumu keberatan. Jakarta itu jauh dan ibumu tidak bisa kelelahan. Katakan begitu saja.”

Bachtiar mengangguk, lalu dia menghubungi pak Johan lagi.

“Baiklah, aku bisa mengerti. Kalau begitu biarkan dia menelpon ibu Wirawan saja, bagaimana? Tolong terima kalau Nuke menelpon. Kamu bisa mengabari ibumu lagi? Kata Nuke, bu Wirawan tidak pernah mau menerima telponnya.”

Bachtiar tidak mengatakan kalau dia sedang berada di rumah orang tuanya dan  berjanji akan segera mengabari.

Tapi bu Wirawan tetap tidak ingin bicara.

Ketika Bachtiar menelpon untuk yang kesekian kalinya, justru bu Nuke yang menerima.

“Bachtiar, ini aku. Perempuan yang gagal menjadikanmu menantuku,” katanya lemah dan terbata-bata.

“Tante, tante harus kuat menerima semuanya. Semuanya akan baik-baik saja.”

“Bachtiar, aku bisa mengerti kalau ibumu tak mau berbicara dengan aku. Aku bersalah pada dia. Aku melukainya. Membuatnya ikut-ikutan memaksamu. Benar, aku bisa mengerti. Tapi ini adalah saat-saat terakhirku,” suaranya semakin lemah.

“Tante jangan bilang begitu. Tante harus kuat dan sembuh.”

“Kemudian dipenjara?”

“Tante ….”

“Bachtiar, baiklah, sampaikan saja pada ibumu, aku minta maaf. Satu lagi, sampaikan juga maafku kepada istrimu. Dia gadis yang baik, pasti bisa memaafkan aku, dan juga memaafkan Luki. Lagi, sampaikan maafku kepada kedua mertuamu yang dengan segala kebaikannya telah menerima aku walaupun aku menipu mereka tentang keadaanku. Aku banyak menyusahkan mereka, istrimu, dan ibumu. Aku tidak akan lama lagi hidup di dunia ini,” ucapannya panjang, tapi terbata-bata dan lemah, membuat Bachtiar merasa miris.

“Tante jangan begitu.”

“Aku tidak kuat lagi. Aku sudah memilih jalanku. Aku hanya butuh kata maaf,”

“Tante ….”

“Maaf ….” lalu pembicaraan terputus, terdengar suara ponsel terjatuh, dan teriakan pak Johan.

“Nuke !”

Lalu pembicaraan terputus. Bachtiar berteriak memanggil berkali-kali, tapi tak ada jawaban.

“Sepertinya hal buruk terjadi,” gumam Bachtiar.

“Hal buruk apa?” tanya Arumi yang sedari tadi melihat ekspresi suaminya.

“Kita tunggu saja beritanya, semoga tidak terjadi seperti perkiraanku.”
***

Di tengah malam itu ponsel Bachtiar berdering. Sambil mengucek matanya, ia menerimanya, bahkan tak jelas telpon dari mana.

“Bachtiar ….”

Bachtiar membuka matanya lebar-lebar, mencoba mengingat-ingat suara yang terdengar dari seberang itu suara siapa.

“Bachtiar, kamu pasti sudah tidur. Maaf mengganggu.”

“Pak Johan?”

“Ya. Aku hanya ingin mengabari, Nuke sudah berpulang.”

“Innalillahi wa inna illaihi roji’un… “ suara Bachtiar terdengar bergetar.

“Dia kehilangan banyak darah, dan tidak punya semangat untuk hidup. Ia meninggal setelah sejam yang lalu dokter berusaha menyelamatkannya.”

“Ikut berduka Om,” lirih kata Bachtiar karena sesungguhnya dia juga terpukul. Keinginan untuk berbicara dengan ibunya tak kesampaian, dan itu adalah permintaan terakhirnya.

“Dimakamkan jam berapa Om?”

“Besok siang. Aku sedang meminta ijin untuk Luki, agar bisa menghadiri pemakaman ibunya.”

“Baiklah, saya akan berusaha ke Jakarta untuk menghadiri pemakamannya.”

“Terima kasih, Bachtiar.”

Bachtiar termenung sepanjang malam. Ia ingin segera mengabarkan berita itu kepada kedua orang tuanya, tapi sudah lewat tengah malam. Ketika ia membuka kamar istrinya, ia juga melihat Arumi sedang tertidur pulas. Tak tega rasanya kalau harus membangunkannya.

Bachtiar duduk di ruang tengah, menyeduh kopi sendiri dan diminumnya perlahan. Banyak hal buruk terjadi, apakah itu semua karena dirinya? Cinta buta di hati Luki, perlakuan membabi buta yang tanpa perhitungan, perhatian seorang ibu yang kelewat batas, semuanya berakibat sangat buruk. Dua orang menunggu vonis untuk dipenjara, dan seorang ibu meninggal karena putus asa dan ketakutan.

“Apakah aku berdosa?” rintihnya sambil menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.

Tiba-tiba Bachtiar merasa seseorang mengelus lengannya, sangat lembut. Bachtiar yang semula memejamkan matanya, membukanya perlahan, dan melihat Arumi duduk di sebelahnya.

“Mengapa merasa berdosa?” tanya Arumi lembut.

Bachtiar mengusap wajahnya kasar.

“Kenapa kamu bangun?”

“Entahlah. Tiba-tiba perasaanku tak enak. Lalu ingin bangun dan keluar dari kamar, ternyata aku melihat Mas duduk sendirian dan seperti gelisah.”

“Arumi, baru saja pak Johan mengabari, bahwa tante Nuke telah berpulang."

“Innalillahi wa inna illahi rojiun. Kapan?”

“Setelah bertelpon, bukankah aku bilang bahwa hal buruk mungkin terjadi? Saat itu aku mendengar ponsel yang dipegang tante Nuke terjatuh, lalu pak Johan berteriak. Lalu aku tidak tahu apa yang terjadi.”

“Sakitnya parahkah?”

“Dia kehabisan darah, dan tidak bersemangat untuk hidup.”

“Ya Tuhan ….”

“Besok pagi aku mau ke Jakarta, aku ingin menghadiri pemakamannya.”

“Aku ikut.”

Bachtiar mengangguk.

“Masih terlalu dini untuk bangun, tidurlah, nanti kamu kecapekan.”

***

Pagi hari itu tanpa terasa bu Wirawan meneteskan air mata. Baru saja Bachtiar mengabari bahwa bu Nuke telah meninggal. Ada sesal yang sangat mengganggunya, karena ia menolak berbicara pada malam harinya.

“Ya Tuhan, kalau saja aku tahu bahwa itu adalah permintaan terakhirnya, aku pasti akan bersedia berbicara dengan dia.”

“Ya sudah, tidak usah disesali. Ini sudah kehendak Allah Yang Maha Kuasa.”

“Aku tidak menduga separah itu.”

“Bachtiar dan istrinya akan berangkat ke Jakarta pagi ini.”

“Aku ikut, bolehkah?”

“Kalau begitu aku bilang dulu pada Bachtiar agar pesan tiketnya untuk kita juga.”

“Iya, aku harus minta maaf. Aku akan ikut mengantarkannya ke peristirahatannya yang terakhir.”

“Iya, sudah nggak usah menangis. Aku mengabari Bachtiar dulu.”

“Baiklah, aku akan bersiap-siap.”

Bu Wirawan masuk ke kamar untuk bersiap-siap, sambil terus bergumam menyesali jalan yang dipilih sahabatnya.

“Ini adalah sesuatu yang harus kamu tebus. Kamu bohong tentang kematian anakmu, dan ucapan kamu itu berbalik kepada dirimu sendiri. Tidak usah menunggu enam bulan dan kamu sudah menjalani sendiri kematian itu. Ya Tuhan, aku sempat mendukung kebohongan itu. Tapi kemudian Allah menunjukkan kebenaran di mataku, di mata hatiku, bahwa cinta sepasang insan yang adalah cinta anakku dan istrinya, adalah cinta yang murni dan tulus. Aku menyadari kebenaran itu. Aku menyadari kesalahanku. Mengapa kamu tidak, jeng Nuke?”

“Bu, tiketnya sudah dapat, Bachtiar akan nyamperin kemari,” tiba-tiba kata pak Wirawan yang kemudian juga segera bersiap.

***

Pagi hari itu mbok Truno sedang memetik sayuran yang sudah siap di panen. Keranjang besar yang dipasang di kiri kanan sepedanya sudah penuh, dan siap dibawanya ke pasar.

Tiba-tiba ia melihat Suyono datang mengendarai sepeda motor, dan berhenti di depannya.

“Lik, mau ke pasar?”

“Iya, ada apa?”

“Mau beli sayurannya Lik, itu yang ada apa?”

“Kok beli sih, gimana kamu itu Yono? Ambil sendiri tuh, di kebun, tidak usah beli.”

“Tapi ini yang minta Wahyuni, saya harus beli, karena dia ingin makan nasi urap yang sayurnya dibeli dari kebun lik Truno.”

Mbok Truno tersenyum.

“Wahyuni ngidam?”

“Iya Lik,” jawab Yono tersipu.

“Ya sudah ambil saja, tidak usah beli.”

“Tidak mau Lik, Yuni mintanya harus beli. Jadi ini uangnya, harus Lik terima, nanti saya tinggal ambil sayurannya,” kata Yono sambil mengulurkan uang puluhan ribu.

“Suruh ambil kok nekat bayar.”

“Ini yang minta jabangbayi Lik, maunya beli, tidak mau diberi cuma-cuma,” kata Suyono sambil tersenyum.

“Ya sudah, ambil sepuasmu sana.”

“Saya tadi menelpon pak Bachtiar, menanyakan tentang kebun di bekas rumah lik Truno ini, ternyata seluruh halaman sudah menjadi kebun.”

“Kamu tadi menelpon nak Tiar? Cuma tinggal datang saja, pakai nanya ke sana segala.”

“Sama mau mengabarkan kalau istri saya sudah mengandung kok Lik.”

“O, begitu. Kabar mereka baik-baik saja kan?”

“Mereka mau berangkat ke Jakarta pagi ini.”

“Nak Tiar dan Arumi? Kok tiba-tiba, dan tidak mengabari kalau mau pergi jauh?”

“Mau melayat, katanya ibunya Luki meninggal.”

“Apa? Ibunya Luki itu siapa? Luki, yang dulu katanya calon istri nak Bachtiar?”

“Iya sepertinya. Ya sudah Lik, saya ambil sayurnya dulu, sudah ditunggu nih,” kata Yono sambil masuk ke dalam halaman yang sudah menjadi kebun.

Mbok Truno mengayuh sepedanya sambil mengingat-ingat tentang Luki.

***

Suasana pemakaman yang tentu saja penuh haru. Pak Johan berterima kasih karena pak Wirawan dan istri, juga Bachtiar dan istri, menyempatkan datang dari tempat yang jauh.

Bu Wirawan sempat menangis ketika menaburkan bunga, menyesali ketidak sanggupannya untuk berbicara disaat-saat terakhir.

Berkali-kali yang diucapkan hanyalah maafkan aku … dan maafkan aku … setelah melantunkan doa secukupnya.

Tiba-tiba Bachtiar terkejut, ketika seseorang memeluknya dari belakang. Ketika ia membalikkan tubuh, dilihatnya Luki yang bersimbah air mata menatapnya sedih, lalu memeluknya erat sekali sambil menangis di dadanya.

Arumi menatapnya tak berkedip.

***

Besok lagi ya.

Monday, December 30, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 51

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  51

(Tien Kumalasari)

 

Mendengar jerit Arumi, semua orang berhamburan ke arah kamar, di mana bu Nuke tidur di sana.

“Tolong, mengapa perempuan ini mengancamku? Sudah ditolong malah mau membuat celaka? Aku sudah menduga, perempuan ini jahat," teriak mbok Truno.

“Lepaskan simbokku!!” pekik Arumi sambil mendekat. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar teriakan bu Nuke.

“Selangkah lagi kamu mendekat, perempuan tua ini akan tamat.”

“Nuke!! Apa yang kamu lakukan?”

Yang berteriak adalah pak Johan. Ia sudah datang bersama Bachtiar, karena seperti juga Bachtiar, ia yakin bahwa perempuan yang menginap di rumah pak Truno adalah Nuke.

“Kamu mau apa Pa? Menyerahkan aku pada polisi? Jangan harap. Kamu laki-laki tidak bertanggung jawab Pa, kamu menjerumuskan istri sendiri untuk masuk ke penjara. Suami macam apa kamu hah? Awas, jangan ada yang mendekat, atau perempuan bernama mbok Truno ini akan tamat.”

“Mengapa ini … mengapa aku diancam, ya ampuun, jauhkan gunting itu,” teriak mbok Truno ketakutan.

“Nuke. Kamu jangan menyalahkan aku. Kamu sendiri yang berbuat. Tolong mengertilah. Lebih baik kamu menyerah, kalau kamu terus begini, hukumanmu akan lebih berat.”

“Aku tidak mau dihukum! Menyingkir semuanya, aku mau pergi.”

“Bu Nuke! Simbok tidak bersalah. Bu Nuke membuatnya ketakutan. Lepaskan dia!”

“Menyingkir. Biarkan aku pergi. Awas, siapa menghalangi berarti membuat perempuan ini celaka. Aku tidak main-main.”

“Bu Nunuk, ternyata sampeyan itu orang jahat. Menyesal aku menolongmu,” pak Truno juga berteriak.

“Menyingkir semuanya, aku harus pergi dengan membawa simbok-simbok yang ternyata adalah simboknya Arumi?”

“Nuke, hentikan. Kamu melawan hukum. Kamu tidak akan bisa lari lagi. Tolong menyerahlah. Nuke, menyerahlah.”

“Tidak mau. Biarlah aku mati, aku tidak mau dipenjara. Tapi tidak. Aku tidak mau mati, aku mau pergi saja. Menyingkir semuanya.”

Bu Nuke sudah mendorong mbok Truno maju, menuju pintu. Tapi tak ada yang menyingkir. Arumi masih berdiri di depan pintu, pak Johan dan pak Truno ada dibelakangnya. Mbok Truno sudah ketakutan. Ia gemetar, dan wajahnya pucat pasi.

“Minggir!!”

“Bu Nuke, sadarlah,” teriak Arumi.

“Jangan melakukan hal bodoh, Nuke.”

“Kamu laki-laki jahat! Kamu ingin istrimu masuk penjara?”

“Ini semua karena kelakuanmu sendiri Nuke. Tolong. Menyerah lebih baik.”

“Apa kalau aku menyerah maka aku tidak akan dipenjara?”

“Nanti kita bicara lagi. Jangan keras kepala begini. Kasihan mbok Truno itu. Dia tidak tahu apa-apa.”

“Kamu kasihan pada perempuan yang kamu tidak kenal Pa, kamu tidak kasihan pada istri kamu sendiri. Betapa kejamnya kamu itu Pa. Kalau kamu suami baik, kamu akan menyelamatkan aku.”

“Nuke, kalau kamu mau bicara dengan baik, dan tidak melarikan diri, maka kamu tidak akan ditahan.”

“Tapi aku tetap akan dipenjara bukan? Menyingkir dan biarlah perempuan ini menjadi tameng buat aku.”

“Jangaaaan Bu, toloong …” mbok Truno benar-benar ketakutan.

Tapi tiba-tiba dari arah belakang bu Nuke, terdengar suara keras. Braaaakkk. Bu Nuke terkejut. Jendela kamar dijebol dari luar dan seseorang melompat masuk. Dia adalah Bachtiar. Karena terkejut, bu Nuke melepaskan mbok Truno, dan dengan cekatan Arumi menariknya. Celakanya bu Nuke masih membawa gunting. Ia berdiri merapat ke dinding, dan sekarang gunting itu diarahkan kearah ulu hatinya.

“Nuke! Jangan nekat kamu.” teriak pak Johan.

“Jangan mendekat, kalau ingin aku tetap hidup,” kata bu Nuke terengah-engah. Akal warasnya sudah lenyap entah kemana. Ia seperti orang kehilangan pegangan. Sebenarnya ia tak tahu harus berbuat apa, tapi ia enggan menyerah.

Bachtiar menyesal tidak segera menangkap bu Nuke dari belakang. Sekarang dia berdiri termangu, sementara Arumi sudah membawa ibunya keluar dari kamar, diikuti pak Truno yang merasa lega.

“Tante, tolong sadar,” bujuk Bachtiar.

“Apa kamu? Bukankah kamu senang melihat aku celaka? Kamu akan bertepuk tangan melihat aku tersudut dalam masalah.”

“Bukan begitu Tante, saya justru _”

“Diaaam!” teriak bu Nuke.

“Nuke! Sadarlah. Lepaskan gunting itu, ayo pulang bersamaku,” bujuk pak Johan.

Tapi bu Nuke masih memegang gunting yang diarahkan ke ulu hatinya,

“Pikirkan baik-baik Nuke, apa kamu akan terus begini?”

“Apa pedulimu? Bukankah kamu tidak peduli padaku?

“Lalu kamu mau bagaimana?” kata pak Johan sambil berusaha mendekat.

“Berhenti!!”

Ketika mengucapkan kata berhenti itu, bu Nuke mengacungkan gunting ke arah suaminya, dan saat itulah Bachtiar meraih bantal melemparkannya kepada bu Nuke. Seperti mendapat aba-aba, pak Johan melompat ke arah istrinya dan berhasil merebut gunting yang dipegang sang istri, lalu melemparkannya ke lantai.

“Nuke, ayo pulang,” katanya sambil memeluk sang istri.

Bu Nuke meronta, tapi akhirnya jatuh ke pelukan pak Johan yang merengkuhnya erat.

“Nuke, ayo pulang. Aku akan mendampingi kamu, kamu harus berani menghadapi semuanya.”

Tanpa daya, kemudian bu Nuke menangis terisak-isak.

Semua orang merasa lega ketika pak Johan berhasil menuntun istrinya keluar dari ruangan.

Sebelum keluar, pak Johan menoleh sekilas kepada Arumi.

“Arumi, aku minta maaf atas kesalahan keluargaku,” katanya pilu. Tak bisa disangkal, mengetahui kelakuan anak dan istrinya, pak Johan merasa sangat sedih. Sungguh teramat sedih.

Arumi melihat air mata menggenang dipelupuk mata pak Johan, dan merasa iba. Ia hanya bisa mengangguk dengan tersenyum tipis, karena ia juga sedang menenangkan ibunya yang sempat panik dan ketakutan.

***

Kejadian itu sudah berlalu. Pak Truno dan istrinya sudah merasa tenang kembali walau merasa heran akan semua yang terjadi. Bachtiar maupun Arumi sama sekali tidak menceritakan kejadian demi kejadian yang menimpa Arumi, sejak Arumi di culik dan rentetan kejadian yang lain, karena tak ingin menambah beban pikiran kedua orang tuanya.

Ketika kejadian mbok Truno hampir celaka karena bu Nuke menjadikannya tameng, Arumi bahkan tidak menceritakan secara rinci apa yang sebenarnya terjadi. Karenanya mereka hanya menganggap bahwa terjadi pertengkaran antara bu Nuke dan suaminya, dan sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan ketika mbok Truno diancam dengan gunting di dalam kamar.

“Mengapa bertengkar dengan suami sampai sebegitunya? Apa suaminya punya istri muda?” tanya pak Truno.

Arumi yang masih berada di rumah orang tuanya sampai beberapa hari, tertawa lucu.

“Tidak Pak, entahlah, barangkali hanya pertengkaran biasa.”

“Pertengkaran biasa sampai pergi dari rumah dan membahayakan keselamatan orang lain? Ini bisa menjadi pelajaran untuk kamu, Arumi. Sebesar apapun permasalahannya, tidak boleh seorang istri sampai lari dari rumah, sehingga semua orang mengetahui adanya pertengkaran itu. Semua permasalahan bisa dibicarakan dengan baik, bukan? Kalau itu terjadi, akan sangat memalukan.”

“Baiklah, Pak.”

“Tapi tadi bicara tentang penjara segala macam. Masa bertengkar lalu mau memasukkan istrinya ke penjara? Apa sebegitu kejamnya si suami?”

“Kita tidak usah memikirkan permasalahan itu Mbok, ayo Arumi bantu masak rempeyeknya,” kata Arumi untuk mengalihkan permasalahan itu.

***

Dan hari itu kesibukan seperti biasa sudah dilakukan mbok Truno dengan menjual rempeyek ke pasar, sementara pak Truno sudah kembali bekerja di sawah sejak beberapa hari sebelumnya.

Tapi di hari itu pak Truno mendengar kabar yang mengejutkannya dari teman-temannya petani.

“Apa kamu belum tahu, kalau pak Carik ditangkap polisi?” kata seseorang.

“Ditangkap polisi?” tanya pak Truno.

“Sudah beberapa hari, semingguan lebih.”

“Masa? Masalah apa?”

“Bukan ditangkap, kabarnya malah pak Carik yang menyerahkan diri, katanya mending menyerahkan diri, daripada ditangkap,” kata yang lain.

“Ada apa sebenarnya?” tanya pak Truno lagi.

“Kabarnya sudah terdengar di mana-mana. Kamu itu ketinggalan berita, kang Truno.”

“Aku tidak pernah ke mana-mana, apalagi mendengar berita seperti itu. Ada masalah apa? Dia kan hanya pemilik toko di pasar? Menipu orangkah?”

“Tidak. Itu masalah penculikan.”

“Penculikan?” pak Truno terkejut.

“Penculikan apa? Menculik siapa?”

“Entahlah, beritanya simpang siur. Katanya bekerja sama dengan orang kota.”

“Siapa yang bilang?”

“Anakku punya teman polisi di kota, ketika bertemu mereka cerita begitu.”

Celoteh teman-teman petani itu membuat pak Truno teringat tentang anak gadisnya yang pernah diculik. Apa itu ada hubungannya? Tapi ketika pak Truno  bertanya, tak seorangpun tahu.

“Katanya menculik anak gadis orang.”

“Mau cari istri lagi, apa? O, namanya orang kaya, polahnya pasti macam-macam. Bu Carik kan sudah tua, pantas kalau mau dicarikan madu.”

“Kamu sok tahu.”

“Sudah … sudah, ayo kerja, malah ngobrol yang nggak jelas.”

***

Tapi ketika sampai di rumah, pak Truno  mengatakan tentang celoteh teman-temannya itu, membuat  mbok Truno juga heran.

“Ketika aku ke pasar kok tidak mendengar cerita apa-apa ya? Soalnya kalau aku habis jualan, langsung pulang. Tidak pernah mendengarkan orang ngobrol. Bu Carik juga jarang ke pasar. Wahyuni pastinya di toko. Tapi kalaupun ketemu mereka, masa iya mereka akan menceritakan perihal keluarganya yang ditangkap polisi?” kata mbok Truno.

“Katanya kok pak Carik menculik seorang gadis. Ada yang mengatakan gadis itu mau dijadikan bini muda,” kata pak Truno lagi.

“Ada-ada saja. Sudah tua banyak polahnya,” sambung mbok Truno.

“Soalnya punya uang banyak.”

“Pak, Mbok, nanti barangkali Rumi mau dijemput mas Tiar, soalnya besok harus sekolah,” kata Arumi yang ingin mengalihkan pembicaraan sang ayah.

“Iya. Pergilah, tidak apa-apa. Bapak sama simbokmu sudah mempercayakan kamu kepada nak Tiar, semoga dia bisa menjadi pelindung kamu yang baik,” kata mbok Truno.

“Hati-hati ketika menjalani hidup berumah tangga, jangan sampai bertengkar, yang rukun, saling menjaga dan mengasihi,” kata pak Truno.

“Iya Pak.”

***

Di rumahnya, malam hari itu, bu Wirawan juga bertanya-tanya tentang Arumi yang beberapa hari tidak datang ke rumahnya.

“Arumi kan sudah bilang kalau mau ketemu orang tuanya?”

“Tumben agak lama.”

“Masih kerasan, kan orang tuanya sudah pindah di rumah yang baru di bangun itu.”

“Syukurlah kalau mau. Kata Bachtiar, orang tua Arumi itu tidak suka diberi apapun, takut dikira memanfaatkan kekayaan menantunya.” kata bu Wirawan lagi.

“Benar, itupun kan karena dipaksa dan dibujuk sehingga mau tinggal di sana.”

“Suatu hari nanti aku ingin pergi ke sana. Sejak menjadi besan aku belum pernah ketemu."

“Baguslah kalau ibu mau. Nanti kita ke sana bersama-sama.”

“Bagaimana ya kabarnya jeng Nuke?”

“Ibu kok mikir dia lagi.”

“Kepikiran sih, soalnya kan tadinya dekat sekali sama ibu. Tapi aku kesal ketika dia pakai cara menipu … benar-benar bikin kesal.”

“Ya sudah, kalau begitu tidak usah dipikirkan.”

Tiba-tiba mereka mendengar mobil berhenti di halaman, ternyata Bachtiar dan istrinya.

Bu Wirawan berdiri dan menunggu di halaman. Wajahnya berseri ketika melihat Arumi.

“Baru saja kami membicarakan kamu Rumi, lama tidak datang kemari.”

“Maaf Bu, saya di dusun beberapa hari,” jawabnya setelah dekat dan mencium tangan kedua mertuanya.

“Ibu, ini ada rempeyek teri dan kacang dari simbok,” kata Arumi sambil mengacungkan bungkusan.

“Waduh, aku suka sekali rempeyek teri, langsung bawa ke belakang, berikan pada bibik.”

Arumi mengangguk lalu langsung pergi ke belakang.

“Saya baru saja kembali dari menjemput Arumi,” kata Bachtiar setelah duduk.

“Tumben lama. Bapak ibunya sehat kan?” tanya bu Wirawan.

“Beberapa hari yang lalu ada kejadian agak menggemparkan seisi rumah.”

“Ada apa?” tanya pak Wirawan.

“Tante Nuke tiba-tiba nyasar sampai ke rumah pak Truno, menginap di sana.”

“Lhoh, memangnya mereka kenal?”

“Tidak, dia mengaku sedang dikejar orang jahat, minta agar diijinkan tinggal di sana beberapa hari.”

“Dan diijinkan?”

“Pak Truno itu kan orang sederhana, lugu, dan tidak pernah berpikiran macam-macam. Dia hanya kasihan, seorang perempuan dikejar orang jahat, begitu.”

Lalu Bachtiar menceritakan semuanya, sehingga pak Johan membawanya pulang.

“Ya ampuun, bisa melakukan itu dari mana? Kebanyakan nonton sinetron dia itu,” celetuk bu Wirawan.

“Semoga semuanya baik-baik saja.”

“Kalau rumah sakit ngotot memperkarakan, benar-benar bu Nuke akan mendapat hukuman.”

Tiba-tiba ponsel Bachtiar berdering. Dari pak Johan.

“Bachtiar, tolonglah. Mamanya LukI ada di rumah sakit, dia berusaha bunuh diri.”

“Apa?”

“Dia ingin ketemu ibumu.”

***

Besok lagi ya.

                      

 

ADALAH ROMANTIKA KEHIDUPAN

ADALAH ROMANTIKA KEHIDUPAN

(Tien Kumalasari)


Wajah-wajah sendu

terbalut mendung kelabu 

Semua mimpi-mimpi

seperti kelamnya udara tanpa mentari

Hai bangkitlah, walau lelah tetaplah melangkah

Bukankah sederet angan dan sejuta mimpi tergantung diawang sana?

kehancuran bukan berarti tak bangkit

tanpa makna bila  hidup tanpa sakit

ia adalah romantika

ia adalah ujian

semangaaat...

Haiiiii

Selamat pagiiii


-----




Sunday, December 29, 2024

KUTUNGGU

KUTUNGGU

(Tien Kumalasari)


Tersedu dalam pelukan rindu

Papa dalam genggaman rasa

Bukan salahmu juga bukan salah siapa

Saat hati resah dan mataku membasah

Aku tau bahwa kau akan tiba

Membawakanku seikat bunga

Mendendangkanku kidung-kidung cinta

Haiii pagi

Ketika ditimur sana kau menampakkan diri

Dukaku telah pergi

Kutunggu kau datang kembali

Haiiii..

Selamat pagiiiii


-----






Saturday, December 28, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 50

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  50

(Tien Kumalasari)

 

Wanita itu berdiri tegak di depan pintu. Kidung yang mengalun tak lagi terdengar, tapi ia harus mengetuk pintu. Rumah mungil itu tampaknya tempat yang pantas untuk disinggahi, dalam perjalanannya dengan hati dan pikiran gelap bagai malam tanpa bintang.

Tangannya menyentuh gerendel pintu, yang tentu saja terkunci, kemudian dia mengetuknya perlahan lalu semakin keras.

“Pak Truno yang hampir saja mematikan lampu untuk kemudian pergi tidur, mengurungkan niatnya. Memang sih, hari belum begitu malam. Bagi orang perkotaan, jam delapan masih terlalu sore untuk merebahkan tubuh ke peraduan. Tapi di desa, jam segitu suasananya sudah sangat senyap.

Pak Truno heran ada yang mengetuk pintu malam-malam. Ia merasa belum ada yang tahu bahwa dirinya tinggal di tempat baru. Di rumah ‘titipan’ yang harus dijaganya.

Ia mendekat ke arah pintu, menyibakkan korden yang tersampir. Lalu ia melihat sosok seorang wanita berdiri di depan pintu. Ia merasa tidak mengenalnya.

“Siapa Pak?” mbok Truno yang belum sempat tertidur, keluar dari kamar ketika mendengar ketukan pintu. Pak Truno mengangkat bahunya, tanda tak mengerti.

“Permisi, tolonglah saya,” suara dari luar terdengar memelas.

“Coba buka Pak,” kata mbok Truno.

Pak Truno membuka pintu perlahan. Seorang wanita dengan baju kusut menatap dengan pandangan memelas.

“Tolonglah saya. Ijinkan saya masuk dulu, saya kedinginan.”

“Oh, silakan,” kata pak Truno yang merasa kasihan melihat keadaan wanita itu. Ia membawa tas besar, lalu pak Truno mempersilakan duduk.

“Saya butuh tempat untuk bernaung. Saya sedang dikejar-kejar orang jahat.”

“Ibu orang dari mana?” tanya mbok Truno yang kemudian juga duduk, mengikuti suaminya.

“Saya dari kota. Ada orang jahat yang mengejar-ngejar saya. Saya lari sampai ke tempat ini, tolong ijinkan saya berada di sini sementara waktu. Saya akan membayar biayanya. Tidur di lantai dengan tikar juga tak apa-apa.”

“Oh, masalah bayaran itu tidak penting. Kalau memang ibu butuh pertolongan, silakan saja menginap di sini dulu.”

“Benarkah? Terima kasih banyak ya Pak, Bu,” kata sang tamu sambil mengawasi sekeliling ruangan. Rumah yang lumayan bagus, untuk ukuran orang-orang sedesanya.

Mbok Truno membuatkan minuman hangat, yang kemudian disuguhkan kepada tamunya itu.

“Silakan diminum. Apa ibu sudah makan?”

“Sudah, biarlah saya minum saja, lalu saya ingin beristirahat. Adakah tikar di sini?”

“Jangan tidur di bawah, masih ada kamar kosong di situ, akan saya siapkan dulu,” kata mbok Truno yang segera pergi untuk menyiapkan kamar bagi tamunya.

“Maaf, nama Ibu siapa?” tanya pak Truno.

“Saya … nama saya … mm … orang memanggil saya bu Nunuk.”

“Apa orang yang mengejar ibu itu bermaksud merampok? Atau apa?”

“Mungkin juga, dia mengikuti saya sejak dari kota. Lalu saya sampai di tempat ini, dan melihat rumah yang berbeda dari lainnya. Kemudian saya masuk kemari.”

“Ini rumah titipan. Sebenarnya rumah anak saya. Saya ini hanya petani, istri saya jualan di pasar. Sebenarnya tidak pantas tinggal di rumah sebagus ini. Tapi bagaimana lagi, anak saya memaksa agar saya menunggui rumahnya,” kata pak Truno yang tak ingin menyebutkan nama anak dan menantunya.

Wanita yang mengaku bernama Nunuk itu mengangguk-angguk.

“Saya berterima kasih kalau diijinkan menginap di sini. Barangkali untuk beberapa hari. Tolong terimalah uang ini,” kata bu ‘Nunuk’ sambil menyerahkan uang ratusan beberapa lembar.

“Tidak Bu, jangan. Bawa saja uangnya. Kami tidak mau menerimanya. Tidak usah bayar.”

‘Bu Nunuk’ mengambil kembali uangnya, setelah uang yang disodorkannya ditolak oleh pak Truno.

“Bu, silakan kalau mau istirahat. Ini sudah malam. Di desa, jam segini semua orang sudah pada tidur,” kata mbok Truno yang kemudian mengajak tamunya memasuki sebuah kamar yang lain, yang sudah ditata rapi dengan seprei dan sarung bantal bersih, dimana Arumi menyiapkan semua keperluan untuk rumah yang ‘dititipkannya’.

“Terima kasih banyak ya Bu. Oh iya, tadi saya sudah mengatakan, nama saya Nunuk. Tapi saya belum tahu nama Ibu.”

“Suami saya pak Truno Prawiro, lha saya pastinya juga dipanggil mbok Truno. Jangan panggil saya Bu, saya kan hanya orang desa. Jadi panggil saja saya mbok Truno.”

“Baiklah.”

“Silakan istirahat Bu, ini sudah malam. Tas ibu itu ditaruh di meja sini saja ya, jangan dibawah, nanti kotor.”

“Terima kasih ya Bu.”

“Mbok Truno, gitu saja.”

“Iya, mbok Truno.”

Mbok Truno kembali ke arah depan, suaminya masih duduk di sana.

“Siapa dia Pak?” tanya mbok Truno pelan, setengah berbisik.

“Orang kota. Dia bilang, namanya bu Nunuk. Katanya sedang dikejar orang jahat. Kasihan aku. Biar saja kalau dia ingin tinggal di sini sementara,” jawab pak Truno dengan berbisik pula.

“Lha orang jahat itu maksudnya apa? Kok tidak dilaporkan polisi saja.”

“Entahlah Mbokne, dia sepertinya ketakutan. Nanti kalau hatinya sudah tenang, kita bisa bertanya lebih lanjut.”

“Bapak percaya sama orang itu?”

“Ah, hanya seorang perempuan. Kalau dia mau jahat kepada kita, apa yang bisa didapatkannya? Kita kan tidak punya apa-apa.”

“Ya sudah, kalau begitu kita istirahat saja, besok bisa kesiangan aku.”

“Tapi masalah ada orang menginap di rumah ini, kita juga harus bilang pada Arumi atau suaminya. Ini kan rumah mereka.”

“Lha caranya bagaimana?”

“Kalau mbokne mau ke pasar, tolong ketemu Yono. Kan Yono itu dulu anak buah nak Tiar. Jadi pasti bisa menghubungi nak Tiar.”

“O iya, benar. Dia kan bisa menelpon nak Tiar. Baiklah, besok aku mampir ke balai desa sebentar."

***

Bu Nunuk yang sesungguhnya adalah bu Nuke, bangun ketika hari sudah siang. Ia keluar dari kamar, dan menemukan makanan dan minuman di meja makan. Minuman itu berupa segelas kopi, lalu ada nasi dengan sayur urap dan telur rebus.

Bu Nunuk mencari ke seluruh rumah, tak ada siapapun, lalu ia ingat ketika pak Truno mengatakan, bahwa dirinya petani yang pastinya sudah pergi ke sawah, sedangkan istrinya jualan di pasar.

“Barangkali mereka sudah berangkat,” katanya sambil duduk di kursi makan, menghirup kopinya yang sudah tidak lagi panas. Pasti mereka sudah sejak pagi-pagi sekali berangkatnya.

Bu Nuke menghela napas lega. Ditempat pak Truno dia merasa aman. Pasti tidak mudah polisi menangkapnya. Pesan dari suaminya yang mengatakan bahwa dia sudah dilaporkan polisi, sudah dibacanya. Tapi ia tak menggubrisnya. Ia bahkan lari jauh ke desa, yang tanpa disadarinya malah nyasar di rumah mertua Bachtiar, alias orang tua Arumi. Celakanya, ia merasa aman di rumah itu. Ia menghirup lagi kopinya, dan menyantap nasi urap yang sebenarnya kurang disukainya, tapi dimakannya juga karena sesungguhnya dia merasa lapar.

“Syukurlah keluarga pak Truno ini sangat baik, mau menerima aku di sini, bahkan tidak mau menerima uang yang aku berikan. Entah bagaimana lagi setelah ini. Yang penting aku merasa aman lebih dulu. Atau ... Apakah sebaiknya aku lari saja ke luar negri? Kerabatku di Amerika pasti mau menerima aku kalau seandainya aku ke sana. Itu bagus, tapi harus menunggu saat yang baik dulu. Saat ini aku pasti sedang diawasi. Kebangetan papanya Luki, dia tidak mau membantuku,” gumamnya kesal.

Ia selesai makan, membawanya ke belakang, menaruh piring kosong di tempat cucian, tanpa mau mencucinya sekalian. Ia langsung mandi, dan tetap berada di rumah itu sambil menyetel televisi yang suaranya dibuatnya pelan, agar tidak menarik perhatian orang yang kebetulan lewat. Yang jelas dia sudah merasa aman.

***

Suyono kaget ketika pagi itu mbok Truno menemuinya di Balai Desa. Ia bergegas keluar, dan mengajaknya bicara di ruang tunggu.

“Ada apa Lik?”

“Yono, aku mau minta tolong kamu untuk menghubungi nak Tiar.”

“Maksudnya … pak Bachtiar?”

“Iya, kan kamu bisa menelponnya?”

“Ya, tentu saja bisa. Ada apa lik? Di suruh pulang? Oh ya, lik Truno sudah tinggal di rumah baru itu kan?”

“Iya, No. Likmu menolak, tapi nak Tiar memaksa. Katanya rumah itu dititipkan pada kami untuk dijaga. Begitu. Ya sudah, terpaksa kami tinggal di sana. Baru beberapa hari ini.”

“Senang kan tinggal di sana Lik?”

“Senang nggak senang, namanya dititipin. Ya mau bagaimana lagi.”

“Oh ya, tentang saya disuruh telpon pak Bachtiar lagi, saya harus bilang apa Lik, disuruh pulang, simboknya kangen, begitu?”

“Kamu itu No. Kangen seperti apa, namanya sudah menjadi milik orang ya tidak bisa sering-sering memintanya datang. Lagi pula Arumi sudah sekolah, dan nak Tiar kan juga harus bekerja.”

“Iya benar, Lik. Lalu saya harus bilang apa?”

“Bilang saja, kalau di rumah sedang ada tamu, gitu.”

“Di rumah baru itu? Ada tamu?”

“Ada seorang wanita yang datang malam-malam, seperti ketakutan, begitu. Katanya dia dikejar orang jahat.”

“Tadi malam? Siapa dia itu Lik? Bukan orang jahat kan?”

“Tadinya aku juga kepikiran begitu, tapi dia benar-benar ketakutan. Ketika aku berangkat ke pasar tadi, dia masih tidur, sepertinya kelelahan.”

Lalu mbok Truno mengatakan semuanya, hanya saja belum jelas orang jahat seperti apa yang mengejarnya.

“Kata likmu, biar dia tenang dulu, nanti kalau sudah tenang, ditanya lagi secara jelas. Semalam dia juga ingin membayar, tapi likmu tidak mau.”

“Namanya siapa Lik, tamunya itu? Masih muda atau sudah tua, atau setengah tua?”

“Tidak muda, tapi belum tua benar. Sebenarnya orangnya cantik kok. Dan kelihatannya orang berada. Namanya Nunuk, begitu sepertinya No.”

“Oh begitu ya Lik. Lha sekarang saja saya telpon, nanti Lik bicara sendiri sama pak Bachtiar?”

“Emoh, No. Aku nggak bisa telpon.”

“Hanya ngomong biasa, saya sambungkan.”

“Nggak mau. Kamu saja yang ngomong. Cuma bilang kalau ada tamu saja kok. Aku kan harus bilang sama yang punya rumah, kalau di rumahnya ada tamu menginap dan meminta pertolongan.”

“Baiklah. Iya Lik, saya tilpon sekarang.”

“Aku langsung pulang lho No, ini sudah belanja, mau masak. Harus masak yang berbeda, karena ada tamu.”

“Baiklah. Hati-hati Lik. Wah, sepedanya baru.”

“Ini juga barang titipan, No. Pokoknya aku tuh dipaksa-paksa supaya kalau ke pasar tidak capek jalan kaki,” kata mbok Truno sambil mengendarai sepedanya.

***

Bachtiar sedang ada di kantor ketika Yono menelponnya. Ada perasaan aneh ketika mendengar ada yang menginap di rumah mertuanya. Datang malam-malam dan ketakutan. Orangnya cantik, tidak muda tapi juga belum tua. Namanya Nunuk? Bukan Nuke? Katanya sedang dikejar penjahat? Sudah berhari-hari pak Johan selalu menelpon dan menanyakan istrinya, bahkan memintanya mengabari kalau melihatnya. Pak Johan tidak mau pusing dengan urusan istrinya yang membuatnya terbebani. Kalau memang sudah ditangani yang berwajib, mau bagaimana lagi. Dia justru ingin agar masalah segera selesai, karena kemanapun sang istri lari, pasti akan tertangkap juga. Karenanya dia meminta Bachtiar agar kalau melihatnya, segera mengabari dirinya.

“Mungkinkah itu bu Nuke yang mengaku bernama Nunuk?”

Bachtiar segera menelpon pak Johan, tapi dia juga belum merasa pasti, karenanya dia harus melihatnya sendiri. Mungkin setelah pulang kantor nanti.

Di rumah, Arumi memaksa ikut ketika Bachtiar mau menemui orang tuanya yang katanya kedatangan tamu.Tapi kemudian pak Johan menelpon lagi, dan mengatakan bahwa dia sedang dalam perjalanan untuk bersama-sama melihat ‘tamu’ mertua Bachtiar. Karena itulah Bachtiar menunggu.

***

Sore hari itu pak Truno sedang beristirahat dan duduk di ruang tengah bersama istrinya. Mereka baru saja selesai makan malam, yang dilakukan bukan pada malam hari, tapi sore menjelang malam.

Bu Nuke sedang berada di kamar. Ia enggan keluar, karena tidak ingin pak Truno atau istrinya bertanya macam-macam tentang dirinya. Ia baru saja menelpon saudaranya yang ada di luar negri, dan mereka bilang bersedia menerimanya. Besok pagi dia akan mengurus semuanya. Ia merasa lega ketika melihat paspor dan lain-lain masih ada di dalam tas yang dibawanya. Belum lama ini dia menjemput Luki dan semua surat masih berlaku. Yang lain-lain gampang, Dia masih punya uang di bank dan gampang mengambilnya.

Tiba-tiba ia mendengar suara mobil berhenti. Bukan hanya satu, lalu langkah-langkah kaki mendekat.

Wajah bu Nuke pucat pasi. Ia ingin mengunci pintu kamarnya, tapi tiba-tiba seseorang menerobos masuk. Mbok Truno mengatakan, ada yang mencarinya. Tiba-tiba bu Nuke menarik tangan mbok Truno, dan entah dari mana dapatnya, ia membawa gunting yang diacungkannya di leher mbok Truno.

Arumi yang datang kemudian menjerit melihat pemandangan itu.

***

Besok lagi ya.

KISAH PAGI TADI

KISAH PAGI TADI

(Tien Kumalasari)

Hai pagi, terlalu nyenyakkah tidurku sehingga tak mendengar ketukan pintu?

Matahari telah tinggi, sedikit malu memandangmu

Dinginnya udara mendekapku erat

Cemerlang mentari pagi tak membuat tubuhku hangat

Namun nikmatilah,  

Haiii

Selamat soreee


-----


Friday, December 27, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 49

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  49

(Tien Kumalasari)

 

Bachtiar masih bertanya-tanya dalam hati, mengapa bu Nuke sampai dicari-cari suaminya.

“Hallo … hallo … Tiar, kamu masih di situ?”

“Oh … iya Om, nggak apa-apa, saya cuma mikir, mengapa Om mencari-carinya. Apa tidak bisa menghubungi langsung pada tante?”

“Ponselnya tidak aktif. Aku pikir ada di rumah keluarga Wirawan, tapi aku menelpon ke sana nggak diangkat, lalu dokter Adi memberikan nomor ponsel kamu.”

“Om kenal dokter Adi?”

“Dia teman kamu kan? Yang menelusuri kebenaran surat dari rumah sakit, tentang sakitnya Luki?”

“Oh, iya. Benar.”

“Aku terus terang saja pada kamu, toh akhirnya kamu juga akan tahu. Sekarang ini kasus pemalsuan surat dari rumah sakit itu menjadi urusan, karena dokter Adi sudah berhubungan sendiri dengan rumah sakitnya.”

“Maksudnya … urusan hukum?”

“Ya, aku berusaha minta damai, tapi rumah sakit ternyata sudah melaporkannya pada yang berwajib. Aku suruh Nuke pulang, malah sudah tiga hari tidak pulang.”

“Beberapa hari yang lalu datang ke rumah.”

“Aku suruh minta maaf kepada istri kamu karena Luki. Dia melakukannya?”

“Belum. Saya tidak mengerti apa maksudnya datang, lalu pulang ketika Om menelponnya.”

“Aku bingung memikirkan hal itu. Ya sudah, aku akan mencarinya ke tempat lain. Kalau dia menghilang, urusannya bisa lebih ruwet. Tolong kalau kamu bertemu dia, bujuk dia supaya pulang, atau kamu langsung menghubungi aku, ya.”

“Baik, Om.”

Ketika menutup ponselnya, Bachtiar menghela napas panjang. Ia tak mengira, permasalahan jadi semakin melebar.

“Ada apa?” tanya Arumi.

“Tante Nuke dicari suaminya. Sudah diminta pulang tiga hari yang lalu, tapi sampai sekarang belum pulang juga. Dikiranya ada di rumah ibu.”

“Pasti tidak. Ibu kelihatan tidak suka. Entah mengapa.”

“Pasti karena tante Nuke juga membohongi ibu tentang surat dari rumah sakit itu.”

“Kelihatannya rumah sakit melaporkan penipuan itu. Sekarang tante Nuke diminta segera datang. Entahlah, suaminya baru mengurus semuanya, barangkali ada permohonan damai atau entahlah. Aku jadi ikutan bingung," sambung Bachtiar.

“Gara-gara mas Tiar. Seorang laki-laki ganteng yang digandrungi Luki, beberapa orang terlibat.”

“Ahaaa, kamu mengakui kalau aku ganteng ya?”

“Iih, sebel. Ganteng tapi nyebelin.”

“Kok nyebelin?”

“Suka sentuh-sentuh, janjinya tidak akan menyentuh sebelum aku lulus.”

“Itu sentuhan yang lain. Kalau cuma menggandeng, memeluk, masa tidak boleh? Mana ada suami istri hanya pandang-pandangan dari kejauhan?” kata Bachtiar yang segera memeluk istrinya dengan gemas.

“Tuh, kan?”

Bachtiar hanya tertawa, kemudian melepaskannya ketika Arumi mendorongnya pelan.

“Sabaaar … sabaaar … masih tiga tahun lagi ya?” keluhnya, lalu Arumi masuk ke dalam kamar belajarnya. Bachtiar mengikutinya, tapi Arumi menggoyang-goyangkan tangannya sambil mengejek.

“Aku belajar dulu yaa,” lalu ia menutup pintunya.

Bachtiar tertawa, tapi kemudian ia meraih lagi ponselnya. Ia ingin menghubungi Adi, dokter sahabatnya.

“Ya Tiar, maaf nih, sibuk banget, tapi sebenarnya aku mau ke rumah kamu saja, biar bisa ngomong lebih jelas.”

“Aku sudah tahu apa yang akan kamu omongkan.”

“Sudah dapat bocoran dari bu Nuke?”

“Bukan, suaminya. Malah barusan dia telpon mencari istrinya. Tiga hari setelah disuruh pulang malah menghilang.”

“Sepertinya pihak rumah sakit melaporkan tentang pemalsuan surat itu. Entahlah, sepertinya tidak terima. Pak Johan inginnya damai, tapi tergantung. Kepala rumah sakitnya sangat keras. Sepertinya susah. Jadi mau tidak mau ya harus menanggung akibatnya.”

“Wah, kasus ini jadi melebar ke mana-mana. Tante Nuke banyak polah, anaknya apalagi.”

“Gara-gara kesengsem sama pengusaha ganteng.”

“Kamu sama saja dengan istriku.”

“Apanya yang sama?”

“Menuduh aku menjadi gara-gara. Padahal aku tidak melakukan apa-apa.”

“Yaa itulah, resiko orang ganteng.”

“Katanya kamu mau ke rumah, kapan?”

“Tunggu waktu senggang. Aku juga mau buka praktek di rumah nih, lagi mengurus ijinnya.”

“Waah, kurang sibuk rupanya?”

“Kalau sore bengong melulu. Harus mencari kesibukan.”

“Kalau kamu sudah punya istri, pasti punya kesibukan,” ledek Bachtiar.

“Mentang-mentang sudah punya istri,” kesal dokter Adi.

“Kamu tidak tahu sih. Aku tuh masih nungguin dia sampai dia besar. Sekarang masih kecil.”

“Oo, masih harus ngajarin, maksudnya?”

“Dia memang lagi belajar. Gimana sih. Dia tuh harus lulus SMA dulu, sekarang belum lulus, baru awal, harus bersabar tiga tahunan lagi.”

“Kasihan deh lo.” kata Adi sambil tertawa.

“Ya sudah, aku cuma mau menanyakan soal surat palsu itu.”

“Sebenarnya aku tidak sengaja sih, hanya konfirmasi, apa benar ini surat dari sana, malah jadi perkara. Ya sudah, apa boleh buat.”

Bachtiar mengakhiri pembicaraan itu, lalu berbaring di sofa, sampai ketiduran. Ketika ia terbangun, lampu di ruang belajar masih menyala. Ia membuka pintu dan melihat sang istri meletakkan kepalanya di meja, tertidur, Bachtiar tertawa, lalu menggendongnya masuk ke dalam kamarnya, menidurkannya pelan, menyelimuti penuh kasih sayang, lalu keluar setelah mematikan lampu, menggantikannya dengan lampu kamar yang redup. Harus buru-buru keluar, sebelum setan-setan menggelitik naluri lelakinya.

***

Seminggu setelahnya, rumah kecil Bachtiar yang direnovasi sudah selesai. Bangunan yang manis dengan tanaman bunga-bunga cantik yang sengaja dipesan Bachtiar untuk membuat halaman menjadi semarak. Ada perabotan lengkap untuk ruang tidur, ruang tamu, ruang makan dan dapur, juga ada televisi.

Ketika pak Truno dan istrinya melihatnya, ia terbelalak kagum.

“Ini terlalu bagus untuk saya dan simboknya Rumi,” kata pak Truno.

“Iya Pakne, malah nggak bisa tidur nanti, bagaimana?” seru mbok Truno.

Arumi dan Bachtiar tertawa. Ia kemudian mengajari simboknya, bagaimana mengoperasikan alat-alat dapur, seperti menyalakan kompor, menyalakan televisi dan lain sebagainya. Ada kulkas kecil untuk menyimpan sayur dan buah. Dan itu semua membuat mbok Truno geleng-geleng kepala.

“Nanti dikira kami memanfaatkan menantu kaya, lalu tinggal di rumah seperti ini,” keluh pak Truno. Dalam kesederhanaannya, kehidupan yang diterimanya dianggapnya sangat mewah, dan ia tak ingin dikira memanfaatkan kekayaan menantunya. Ia lebih suka hidup seperti apa adanya, yang sesuai dengan kemampuannya. Hal itu terbaca oleh Bachtiar yang sebenarnya sangat mengagumi kedua orang mertuanya.

“Pak, ini bukan karena Bapak dan Ibu memanfaatkan apapun. Saya dan Arumi hanya minta tolong, menitipkan rumah yang sudah terlanjur dibuat ini, agar Bapak dan Ibu menjaganya,” kata Bachtiar hati-hati.

Pak Truno tampak memikirkan perkataan menantunya.

“Jadi ini adalah rumah Arumi, yang mohon agar Bapak Ibu menjaganya,” lanjutnya.

“Nanti kalau Bapak sama Simbok tidak menjaganya, kalau digondol keong, bagaimana?” canda Arumi, yang membuat kemudian sang simbok mencubit lengannya.

“Aduuh, Simbok nih,” teriak Arumi sambil tersenyum.

Ketika memasuki kamar tidur, dan duduk ditepi pembaringan, pak Truno geleng-geleng kepala.

“Apa bisa, tidur di kasur empuk seperti ini. Lha kalau dipakai bergerak lalu terasa seperti melompat-lompat,” keluhnya.

“Nanti lama-lama akan terbiasa,” kata Bachtiar sambil tersenyum.

“Mbokne, besok bawa tikar kita yang di rumah, aku mau tidur di lantai saja. Adem.”

“Bapak bagaimana sih, jangan. Ini lantainya dingin, nanti Bapak masuk angin.”

“Apa bisa toh, aku tidur di sini. Lihat, aku bergerak saja rasanya seperti dilempar-lempar.”

“Lama-lama akan terbiasa.”

“Ini juga tempat tidur titipan?” pak Truno ganti bercanda.

“Benar Pak, ini semua milik Arumi, dititipkan pada Bapak sama Simbok,” sambung Arumi.

“Oh ya Bu, ini cermin dari rumah yang saya janjikan. Besar kan, jadi kalau bercermin bisa kelihatan jelas seluruh badan, bukan hanya wajahnya saja,” kata Bachtiar.

“Ya ampuun, kok tiba-tiba bisa menemukan hidup mukti seperti ini.”

“Ingat Mbokne, ini titipan.”

“Iya, iya … titipan yang enak, apik, ini namanya mukti.”

“Besok akan ada kiriman sepeda. Nanti kalau ke pasar membawa sayur bisa naik sepeda, tidak menggendong sampai terbungkuk-bungkuk," kata Arumi.

“Itu juga titipan?” kata mbok Truno.

“Betul Bu, anggap saja titipan, kalau  istilah itu yang bisa membuat Ibu nyaman. Kalau mau sepeda motor, akan saya kirimkan sepeda motor. Bagaimana?”

“Haaa? Tidak … tidak … aku tidak bisa. Nanti malah nabrak-nabrak,” pekik mbok Truno.

“Besok kalau Bapak sama Ibu sudah pindah kemari, rumah lama akan dirobohkan, akan dibuat kebun ya Pak,” kata Bachtiar hati-hati. Pasti tidak mudah bagi pak Truno untuk merobohkan rumah yang ditinggali sejak dirinya masih kanak-kanak.o

Pak Truno tampak terdiam. Lalu Bachtiar berpikiran lain.

“Tidak … tidak dirobohkan Pak. Maksud saya, rumah itu dibenahi, biarkan berdiri di tengah-tengah kebun, bisa untuk tempat kalau panen sayurnya banyak. Semacam gudang, begitu. Saya tidak akan merubah kecuali memperbaiki, dan bisa dipergunakan untuk gudang, bisa untuk beristirahat juga kalau Ibu capek memanen sayur dikebun. Nanti kebunnya lebih luas lhoh, belakang ada, depan rumah sampai jalan juga akan dibuat lahan yang bisa ditanami.”

“Simbok punya kebun yang lebih luas. Bisa ditanami jagung. Aduh, tiba-tiba ingin makan jagung bakar,” kata Arumi.

“Kamu ngidam?” tanya mbok Truno sambil menatap Arumi, membuat Arumi segera berteriak.

“Apa? Simbok ada-ada saja.”

Bachtiar tertawa.

“Biar Arumi menyelesaikan sekolahnya dulu, Bu,” kata Bachtiar.

“Oh, begitu ya.”

Mbok Truno terdiam ketika ingat bahwa Bachtiar pernah berjanji tidak akan menyentuh istrinya sampai lulus SMA.

***

Malam hari itu, bu Wirawan yang merasa sudah benar-benar sehat, menemani suaminya duduk di ruang tengah. Pak Wirawan meminta agar istrinya segera beristirahat, tapi bu Wirawan menolaknya.

“Aku belum mengantuk Pak, kalau dipaksakan ke kamar, tetap saja tidak bisa tidur.”

“Apa tadi pak Johan menelpon lagi?”

“Tidak, seminggu yang lalu menelpon berkali-kali, tapi aku tidak mengangkatnya.”

“Sebenarnya sesekali diangkat juga tidak apa-apa kan Bu, siapa tahu ada hal penting.”

“Paling-paling menanyakan istrinya, aku tidak mau bicara tentang dia.”

“Kalau itu benar-benar menjadi kasus, Ibu pasti juga akan dipanggil sebagai saksi.”

“Tuh kan, bikin orang susah saja. Menyesal aku sahabatan sama dia. Aku kira baik, ternyata memiliki hati culas.”

“Karena terlalu menginginkan anaknya bahagia.”

“Aku baru sadar kalau sudah terbius oleh kata-katanya. Anaknya cantik, sekolah di luar negri, pintar, aduh. Kok tiba-tiba jadi penjahat.”

“Aku juga heran. Luki itu cantik, mencari laki-laki manapun kan gampang. Mengapa mengejar Bachtiar sampai sebegitunya. Menurut aku, itu bukan sekedar cinta, tapi ada rasa penasaran. Yang membuat dia ingin menjadi orang yang berhasil menundukkan hati Bachtiar yang selama ini selalu dingin terhadapnya,” kata pak Wirawan.

“Tapi tidak berhasil.”

“Bachtiar tahu, mana yang harus dipilihnya.”

“Iya Pak, aku bersyukur punya menantu Arumi. Tapi hari ini kok tidak datang kemari ya?”

“Ibu itu bagaimana, Arumi kan sekarang harus sekolah, meskipun tidak setiap hari, tapi dia juga harus melayani suaminya. Lagi pula hari ini kan dia pamit mau ke desa untuk ketemu orang tuanya.”

“Iya, aku lupa.”

“Ya sudah, istirahatlah, ini sudah malam.”

***

Malam hari itu Pak Truno dan istrinya sudah tidur di rumah titipan yang harus dijaganya. Ada acara televisi yang ternyata tidak disukai keduanya.

"Matikan saja mbokne, acara cengengesan seperti itu, aku nggak suka," kata pak Truno. 

"Kalau ada wayang kulit, atau apa, aku mau.” lanjutnya.

Mbok Truno segera mematikannya.

“Tidak pernah aku bayangkan, bisa hidup mukti seperti ini. Orang mengira kita ini kaya raya ya Pak. Rumah bagus, perabotan mewah, ada telepisi untuk hiburan. Tapi aku sebentar lagi mau tidur, besok harus nggoreng rempeyek kacang pagi-pagi.”

“Ya sudah, tidurlah sana. Sambil ngidung mbokne, sudah lama aku tidak mendengar kamu ngidung setelah maghrib. Apalagi ini rumah yang baru beberapa hari kita tinggali.”

“Iya Pak, sejak jaman simbokku, sebelum tidur pasti ada suara kidung disetiap rumah.”

Lalu terdengarlah suara mbok Truno, yang nyaring membelah sepinya malam.

“Ana kidung, rumeksa ing wengi, teguh ayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh. Jin setan datan purun, paneluhan tan ana wani. Miwah panggawe ala, gunaning wong luput. Geni atemahan tirta, maling adoh tan ana ngarah mring kami. Guna duduk pan sirna.”

Tanpa sadar, seorang wanita berendap-endap di teras rumah, mendengarkan alunan tembang yang dirasa aneh. Ia urung mengetuk pintu, menunggu kidung selesai ditembangkan.

***

Besok lagi ya.

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 16

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 16 (Tien Kumalasari)   Kinanti sangat geram. Bahkan ketika mereka sudah tidak ada dalam satu sekolah karena ma...