KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 52
(Tien Kumalasari)
Bachtiar tertegun. Bu Nuke berusaha bunuh diri? Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran nyonya cantik nan sombong itu?
“Bachtiar, sungguh, aku minta tolong kamu, istriku ingin bertemu bu Wirawan, entah apa yang diinginkannya. Dia sekarang ada di rumah sakit, dan tidak mau bicara padaku. Keadaannya parah, karena banyak mengeluarkan darah."
“Maaf Pak Johan, saya masih bingung mendengar berita ini. Seakan tidak percaya bahwa …_”
“Dia mengiris nadinya sendiri, hampir tidak tertolong, karena dia sedang di kamarnya, dan aku baru saja masuk ke kamar mandi. Kami berbincang lama, dan aku selalu memberi pengertian padanya, bahwa lebih baik mengakui kesalahan dan menerima apapun yang akan terjadi. Dia diam, aku kira dia bisa menerima apa yang aku katakan, ternyata tidak.”
“Tapi akhirnya tertolong kan?”
“Untunglah aku bisa segera melarikannya ke rumah sakit, dalam keadaan lemas tak sadarkan diri. Ketika sadar dia hanya menyebut nama ibumu. Tapi keadaannya sangat lemah, dia kehilangan banyak darah. Tolong Bachtiar, siapa tahu bu Wirawan bisa memberinya semangat, dia hanya bilang bahwa dia ingin mati.”
“Baiklah, saya akan bicara pada ibu, tapi saya tidak bisa menjanjikan apapun.”
“Semoga ada jalan terbaik untuk Nuke.”
Bachtiar meletakkan ponselnya ketika pembicaraan telah berakhir, tapi sang ibu kemudian mendekat.
“Tadi kamu menyebut ibu, ada apa?”
“Bu Nuke berusaha bunuh diri.”
“Apa?” teriakan itu serempak dilontarkan oleh bu Wirawan, pak Wirawan dan juga Arumi yang baru muncul dari belakang.
“Mengapa begitu?” tanya bu Wirawan.
“Mungkin panik, karena tak menyangka menjadi terseret ke kasus hukum. Ia mengiris nadinya sendiri dan nyaris tak tertolong. Sekarang ada di rumah sakit.”
“Mengapa dia menghubungi kamu?” tanya pak Wirawan.
“Tante Nuke ingin ketemu ibu. Beliau hanya tahu nomor Tiar,"
“Aku? Ketemu aku? Kenapa? Aku nggak ikutan.”
“Entahlah, pak Johan hanya bilang begitu.”
“Mengapa aku? Dan aku dimintanya datang ke sana untuk menemui dia?”
“Mungkin karena ibu bersahabat sama dia, lalu dia ingin mencurahkan isi hatinya pada Ibu,” kata pak Wirawan.
“Nggak ah, aku nggak mau. Jangan sampai aku terbawa-bawa dalam kasusnya. Dia bohong ketika mengatakan tentang umur Luki dan bodohnya aku mempercayainya.”
“Barangkali ini tidak ada hubungannya dengan kasus dia. Dia hanya ingin berkeluh pada Ibu.”
“Mengapa Bapak sepertinya mendorong aku agar aku melakukannya,” keluh bu Wirawan.
“Trenyuh saja mendengar nasibnya. Dia polah yang tak terkendali, akhirnya menjerumuskannya ke jurang dalam yang tak pernah dibayangkannya.”
“Tapi aku tidak mau menemui dia.”
“Ya sudah kalau tidak mau, tidak akan ada yang memaksa kok.”
“Tapi apa ya kira-kira yang akan dia bicarakan kalau ketemu aku?”
“Lhaah, Ibu bilang tidak mau, tapi Ibu menaruh perhatian pada dia.”
“Hanya ingin tahu saja.”
“Satu-satunya jalan supaya menjadi tahu, ibu harus ketemu dia.”
“Tidak, jangan paksa aku. Aku nanti terlibat, aku nggak mau.”
“Baiklah. Tiar, segera kabari pak Johan bahwa ibumu keberatan. Jakarta itu jauh dan ibumu tidak bisa kelelahan. Katakan begitu saja.”
Bachtiar mengangguk, lalu dia menghubungi pak Johan lagi.
“Baiklah, aku bisa mengerti. Kalau begitu biarkan dia menelpon ibu Wirawan saja, bagaimana? Tolong terima kalau Nuke menelpon. Kamu bisa mengabari ibumu lagi? Kata Nuke, bu Wirawan tidak pernah mau menerima telponnya.”
Bachtiar tidak mengatakan kalau dia sedang berada di rumah orang tuanya dan berjanji akan segera mengabari.
Tapi bu Wirawan tetap tidak ingin bicara.
Ketika Bachtiar menelpon untuk yang kesekian kalinya, justru bu Nuke yang menerima.
“Bachtiar, ini aku. Perempuan yang gagal menjadikanmu menantuku,” katanya lemah dan terbata-bata.
“Tante, tante harus kuat menerima semuanya. Semuanya akan baik-baik saja.”
“Bachtiar, aku bisa mengerti kalau ibumu tak mau berbicara dengan aku. Aku bersalah pada dia. Aku melukainya. Membuatnya ikut-ikutan memaksamu. Benar, aku bisa mengerti. Tapi ini adalah saat-saat terakhirku,” suaranya semakin lemah.
“Tante jangan bilang begitu. Tante harus kuat dan sembuh.”
“Kemudian dipenjara?”
“Tante ….”
“Bachtiar, baiklah, sampaikan saja pada ibumu, aku minta maaf. Satu lagi, sampaikan juga maafku kepada istrimu. Dia gadis yang baik, pasti bisa memaafkan aku, dan juga memaafkan Luki. Lagi, sampaikan maafku kepada kedua mertuamu yang dengan segala kebaikannya telah menerima aku walaupun aku menipu mereka tentang keadaanku. Aku banyak menyusahkan mereka, istrimu, dan ibumu. Aku tidak akan lama lagi hidup di dunia ini,” ucapannya panjang, tapi terbata-bata dan lemah, membuat Bachtiar merasa miris.
“Tante jangan begitu.”
“Aku tidak kuat lagi. Aku sudah memilih jalanku. Aku hanya butuh kata maaf,”
“Tante ….”
“Maaf ….” lalu pembicaraan terputus, terdengar suara ponsel terjatuh, dan teriakan pak Johan.
“Nuke !”
Lalu pembicaraan terputus. Bachtiar berteriak memanggil berkali-kali, tapi tak ada jawaban.
“Sepertinya hal buruk terjadi,” gumam Bachtiar.
“Hal buruk apa?” tanya Arumi yang sedari tadi melihat ekspresi suaminya.
“Kita tunggu saja beritanya, semoga tidak terjadi seperti perkiraanku.”
***
Di tengah malam itu ponsel Bachtiar berdering. Sambil mengucek matanya, ia menerimanya, bahkan tak jelas telpon dari mana.
“Bachtiar ….”
Bachtiar membuka matanya lebar-lebar, mencoba mengingat-ingat suara yang terdengar dari seberang itu suara siapa.
“Bachtiar, kamu pasti sudah tidur. Maaf mengganggu.”
“Pak Johan?”
“Ya. Aku hanya ingin mengabari, Nuke sudah berpulang.”
“Innalillahi wa inna illaihi roji’un… “ suara Bachtiar terdengar bergetar.
“Dia kehilangan banyak darah, dan tidak punya semangat untuk hidup. Ia meninggal setelah sejam yang lalu dokter berusaha menyelamatkannya.”
“Ikut berduka Om,” lirih kata Bachtiar karena sesungguhnya dia juga terpukul. Keinginan untuk berbicara dengan ibunya tak kesampaian, dan itu adalah permintaan terakhirnya.
“Dimakamkan jam berapa Om?”
“Besok siang. Aku sedang meminta ijin untuk Luki, agar bisa menghadiri pemakaman ibunya.”
“Baiklah, saya akan berusaha ke Jakarta untuk menghadiri pemakamannya.”
“Terima kasih, Bachtiar.”
Bachtiar termenung sepanjang malam. Ia ingin segera mengabarkan berita itu kepada kedua orang tuanya, tapi sudah lewat tengah malam. Ketika ia membuka kamar istrinya, ia juga melihat Arumi sedang tertidur pulas. Tak tega rasanya kalau harus membangunkannya.
Bachtiar duduk di ruang tengah, menyeduh kopi sendiri dan diminumnya perlahan. Banyak hal buruk terjadi, apakah itu semua karena dirinya? Cinta buta di hati Luki, perlakuan membabi buta yang tanpa perhitungan, perhatian seorang ibu yang kelewat batas, semuanya berakibat sangat buruk. Dua orang menunggu vonis untuk dipenjara, dan seorang ibu meninggal karena putus asa dan ketakutan.
“Apakah aku berdosa?” rintihnya sambil menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.
Tiba-tiba Bachtiar merasa seseorang mengelus lengannya, sangat lembut. Bachtiar yang semula memejamkan matanya, membukanya perlahan, dan melihat Arumi duduk di sebelahnya.
“Mengapa merasa berdosa?” tanya Arumi lembut.
Bachtiar mengusap wajahnya kasar.
“Kenapa kamu bangun?”
“Entahlah. Tiba-tiba perasaanku tak enak. Lalu ingin bangun dan keluar dari kamar, ternyata aku melihat Mas duduk sendirian dan seperti gelisah.”
“Arumi, baru saja pak Johan mengabari, bahwa tante Nuke telah berpulang."
“Innalillahi wa inna illahi rojiun. Kapan?”
“Setelah bertelpon, bukankah aku bilang bahwa hal buruk mungkin terjadi? Saat itu aku mendengar ponsel yang dipegang tante Nuke terjatuh, lalu pak Johan berteriak. Lalu aku tidak tahu apa yang terjadi.”
“Sakitnya parahkah?”
“Dia kehabisan darah, dan tidak bersemangat untuk hidup.”
“Ya Tuhan ….”
“Besok pagi aku mau ke Jakarta, aku ingin menghadiri pemakamannya.”
“Aku ikut.”
Bachtiar mengangguk.
“Masih terlalu dini untuk bangun, tidurlah, nanti kamu kecapekan.”
***
Pagi hari itu tanpa terasa bu Wirawan meneteskan air mata. Baru saja Bachtiar mengabari bahwa bu Nuke telah meninggal. Ada sesal yang sangat mengganggunya, karena ia menolak berbicara pada malam harinya.
“Ya Tuhan, kalau saja aku tahu bahwa itu adalah permintaan terakhirnya, aku pasti akan bersedia berbicara dengan dia.”
“Ya sudah, tidak usah disesali. Ini sudah kehendak Allah Yang Maha Kuasa.”
“Aku tidak menduga separah itu.”
“Bachtiar dan istrinya akan berangkat ke Jakarta pagi ini.”
“Aku ikut, bolehkah?”
“Kalau begitu aku bilang dulu pada Bachtiar agar pesan tiketnya untuk kita juga.”
“Iya, aku harus minta maaf. Aku akan ikut mengantarkannya ke peristirahatannya yang terakhir.”
“Iya, sudah nggak usah menangis. Aku mengabari Bachtiar dulu.”
“Baiklah, aku akan bersiap-siap.”
Bu Wirawan masuk ke kamar untuk bersiap-siap, sambil terus bergumam menyesali jalan yang dipilih sahabatnya.
“Ini adalah sesuatu yang harus kamu tebus. Kamu bohong tentang kematian anakmu, dan ucapan kamu itu berbalik kepada dirimu sendiri. Tidak usah menunggu enam bulan dan kamu sudah menjalani sendiri kematian itu. Ya Tuhan, aku sempat mendukung kebohongan itu. Tapi kemudian Allah menunjukkan kebenaran di mataku, di mata hatiku, bahwa cinta sepasang insan yang adalah cinta anakku dan istrinya, adalah cinta yang murni dan tulus. Aku menyadari kebenaran itu. Aku menyadari kesalahanku. Mengapa kamu tidak, jeng Nuke?”
“Bu, tiketnya sudah dapat, Bachtiar akan nyamperin kemari,” tiba-tiba kata pak Wirawan yang kemudian juga segera bersiap.
***
Pagi hari itu mbok Truno sedang memetik sayuran yang sudah siap di panen. Keranjang besar yang dipasang di kiri kanan sepedanya sudah penuh, dan siap dibawanya ke pasar.
Tiba-tiba ia melihat Suyono datang mengendarai sepeda motor, dan berhenti di depannya.
“Lik, mau ke pasar?”
“Iya, ada apa?”
“Mau beli sayurannya Lik, itu yang ada apa?”
“Kok beli sih, gimana kamu itu Yono? Ambil sendiri tuh, di kebun, tidak usah beli.”
“Tapi ini yang minta Wahyuni, saya harus beli, karena dia ingin makan nasi urap yang sayurnya dibeli dari kebun lik Truno.”
Mbok Truno tersenyum.
“Wahyuni ngidam?”
“Iya Lik,” jawab Yono tersipu.
“Ya sudah ambil saja, tidak usah beli.”
“Tidak mau Lik, Yuni mintanya harus beli. Jadi ini uangnya, harus Lik terima, nanti saya tinggal ambil sayurannya,” kata Yono sambil mengulurkan uang puluhan ribu.
“Suruh ambil kok nekat bayar.”
“Ini yang minta jabangbayi Lik, maunya beli, tidak mau diberi cuma-cuma,” kata Suyono sambil tersenyum.
“Ya sudah, ambil sepuasmu sana.”
“Saya tadi menelpon pak Bachtiar, menanyakan tentang kebun di bekas rumah lik Truno ini, ternyata seluruh halaman sudah menjadi kebun.”
“Kamu tadi menelpon nak Tiar? Cuma tinggal datang saja, pakai nanya ke sana segala.”
“Sama mau mengabarkan kalau istri saya sudah mengandung kok Lik.”
“O, begitu. Kabar mereka baik-baik saja kan?”
“Mereka mau berangkat ke Jakarta pagi ini.”
“Nak Tiar dan Arumi? Kok tiba-tiba, dan tidak mengabari kalau mau pergi jauh?”
“Mau melayat, katanya ibunya Luki meninggal.”
“Apa? Ibunya Luki itu siapa? Luki, yang dulu katanya calon istri nak Bachtiar?”
“Iya sepertinya. Ya sudah Lik, saya ambil sayurnya dulu, sudah ditunggu nih,” kata Yono sambil masuk ke dalam halaman yang sudah menjadi kebun.
Mbok Truno mengayuh sepedanya sambil mengingat-ingat tentang Luki.
***
Suasana pemakaman yang tentu saja penuh haru. Pak Johan berterima kasih karena pak Wirawan dan istri, juga Bachtiar dan istri, menyempatkan datang dari tempat yang jauh.
Bu Wirawan sempat menangis ketika menaburkan bunga, menyesali ketidak sanggupannya untuk berbicara disaat-saat terakhir.
Berkali-kali yang diucapkan hanyalah maafkan aku … dan maafkan aku … setelah melantunkan doa secukupnya.
Tiba-tiba Bachtiar terkejut, ketika seseorang memeluknya dari belakang. Ketika ia membalikkan tubuh, dilihatnya Luki yang bersimbah air mata menatapnya sedih, lalu memeluknya erat sekali sambil menangis di dadanya.
Arumi menatapnya tak berkedip.
***
Besok lagi ya.