KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 26
(Tien Kumalasari)
Pak Truno menatap anaknya yang tampak lesu. Ia terus memandangi bungkusan di sampingnya.
“Ini rejeki, aku makan masakan mbokmu saja, bawa ini pulang, sepertinya bisa dimakan bersama,” kata pak Truno.
“Ya, bapak makanlah dulu, Arumi tungguin sampai selesai,” kata Arumi yang sebenarnya tidak usah mengatakannya, karena setiap mengirim makanan dia selalu menunggui sampai bapaknya selesai makan.
Arumi mencoba tersenyum. Menunggui ayahnya yang sedang makan, sambil menatap tanaman padi yang mulai menguning, sedikit membuatnya merasa tenang. Ia berdiri, kemudian berlarian diantara pematang, sesekali menggerak-gerakkan tali-tali yang terhubung dengan boneka-boneka buatan pengusir burung sambil berteriak-teriak. Lalu ia terkekeh melihat burung-burung beterbangan menjauh.
Pak Truno menatapnya sambil tersenyum. Anaknya memang sudah dewasa. Ia cantik dan menawan, tapi Arumi selalu mengatakan bahwa dia belum ingin menikah.
Arumi masih saja berlarian diantara pematang sawah. Udara segar serasa membersihkan seluruh paru-parunya. Terik panas tak begitu terasa menyengat, karena semilir angin membuat rasa panas itu melemah.
Seekor kupu-kupu cantik membuat Arumi ingin menangkapnya. Ia berlarian mengejarnya sampai agak jauh dari tempat di mana ayahnya makan. Ia terperosok dan nyaris jatuh, kalau saja tidak ada sepasang tangan menahan tubuhnya.
“Hati-hati,” katanya.
Arumi menatapnya tak berkedip.
“Mas Sutris?”
“Senang kamu tidak melupakan aku Arumi.”
“Lama sekali tidak melihat kamu Mas,” kata Arumi riang.
“Aku jadi kuliah di kota, sudah satu semester tidak pulang.”
“Ah, syukurlah, senang aku mendengarnya.”
“Kamu tidak ingin melanjutkan sekolah?”
“Tidak Mas, biar begini saja. Apa kamu sedang liburan?”
“Sebenarnya tidak. Seminggu lagi mbak Yuni menikah, jadi aku memerlukan pulang.”
“Mbak Yuni menikah? Alhamdulillah, aku juga sudah lama tidak ketemu.”
“Kamu tidak mendapat undangan?”
“Tidak. Keluargaku miskin, mana mungkin diundang oleh pak Carik?”
“Jangan begitu, mungkin orang tuaku lupa. Nanti aku yang akan mengundang kamu.”
“Tidak usah Mas, aku mendoakan saja dari jauh. Calon suaminya siapa Mas, orang dari sini saja, atau dari desa lain?”
“Dia mas Yono, anak pak Lurah.”
“O, mas Yono. Syukurlah. Pokoknya aku ikut senang, tidak usah mengundang saja Mas, yang penting kan mendoakan. Ya kan?”
“Arumiii!”
Teriakan pak Truno mengejutkannya. Arumi segera membalikkan tubuhnya, kembali ke tempat ayahnya. Tapi Sutris mengikutinya.
Pak Truno heran melihat Sutris.
“Kok ada kamu?”
“Iya, kebetulan pulang, lalu melihat Arumi di sawah.”
“Mas Sutris sekarang kuliah Pak, di kota.”
“O, begitu. Pantas tidak pernah ketemu. Ini, aku sudah selesai makan. Bawa rantangnya, dan juga bungkusan ini.”
“Baiklah.”
“Aku antarkan pulang, mari saya bantu membawanya,” kata Sutris.
“Tidak usah Mas, aku bisa berjalan kaki.”
“Kebetulan aku membawa sepeda motor. Ayolah, permisi dulu Lik,” kata Sutris yang tidak segan mencium tangan pak Truno. Sikapnya ini meninggalkan kesan baik di hati pak Truno. Ia tersenyum mengangguk.
“Hati-hati,” pesannya.
Sutris membawakan bungkusan besar itu, dan Arumi membawa rantang bekas makan ayahnya.
“Kamu habis belanja di mana? Baunya makanan enak.”
“Bukan belanja. Tadi ada yang ngasih untuk Bapak.”
“O. Ini juga bukan makanan dari desa ini. Ini masakan orang kota.”
“Iya, pak Bachtiar yang membawakannya tadi.”
“O, pak Bachtiar? Kabarnya proyek-proyek yang dikerjakan sudah selesai, tinggal membuat saluran untuk air bersih.” kata Sutris yang kemudian mengira bahwa hubungan Bachtiar dan Arumi masih berlanjut.
“Iya.”
“Bapakku juga sudah membuka tokonya di kios yang baru. Kamu sudah melihatnya?”
“Sudah, kalau kebetulan ke pasar.”
Sutris hanya mengantarkan sampai Arumi bertemu simboknya, lalu pamit pulang, katanya ada yang harus dikerjakannya sehubungan dengan akan menikahnya Wahyuni.
“Aku ikut senang, Wahyuni akan menikah, dan menjadi menantu pak Lurah.”
“Terima kasih Lik, nanti datang ya?”
“Wah, mana pantas, kami datang ke pasamuan orang-orang kaya?”
“Jangan begitu, nanti Sutris jemput, pakai mobil.”
“Nggak usah Tris, aku juga kalau naik mobil suka mabuk,” kata mbok Truno.
“Lhoh, kan tidak begitu jauh.”
“Ikut mendoakan saja Tris, semoga lancar semuanya, Wahyuni juga hidup bahagia bersama suaminya kelak. Setelah itu, kamu menyusul kan?”
“Saya masih harus menyelesaikan kuliah dulu Lik, tidak tergesa-gesa. Barangkali nanti Arumi dulu,” kata Sutris sambil menatap Arumi.
“Eeeh, jangan, aku belum mau menikah.”
“Ya sudah, Sutris pamit dulu ya Lik,” kata Sutris yang lagi-lagi kali ini mencium tangan Mbok Truno.
“Hati-hati ya.”
Ketika Sutris berlalu, mbok Truno juga merasa bahwa Sutris sudah berbeda.
“Setelah yang namanya kuliah, apa membuat orang menjadi mengerti tata krama?” kata mbok Truno sambil masih menatap kepergian Sutris.
“Pastinya Mbok, tapi tergantung orangnya juga. Kalau dasarnya orang tidak mau diatur ya tetap saja tidak mengerti tata krama,” kata Arumi yang tiba-tiba membayangkan Luki, yang kelihatannya cantik dan orang pintar, tapi kelakuannya benar-benar seperti penjahat.
“Iya sih. Ini kamu bawa apa?”
“Ini Mbok, kata bapak, tadi mas Tiar datang menemui bapak di sawah, membawakan ini. Tapi bapak belum memakannya. Bapak memilih makan masakan simbok, lalu menyuruh membawa pulang semua ini.”
“Ini makanan orang kaya. Ayam goreng, ikan goreng, sayur rendang. Mengapa banyak sekali?”
“Entahlah, mungkin karena untuk orang serumah, walaupun tetap saja tidak bisa habis.”
“Ya nanti kalau sisa bisa dipanasi untuk makan berikutnya. Tapi kenapa ya, nak Bachtiar tidak memberikannya ke rumah saja. Lama sekali, sudah berbulan-bulan tidak mampir ke rumah ya Rum?”
“Iya, barangkali sibuk,” kata Arumi yang langsung pergi ke belakang untuk mengambil piring dan mangkuk, untuk tempat makanan yang baru saja dibawanya.
“Kalau begitu ayo makanlah, ini tidak akan habis dimakan bertiga.”
“Iya Mbok. Tapi Arumi belum lapar, tadi kan sudah sarapan.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Aku juga belum lapar. Mau memetik sayur di kebun saja. Sayur kangkung sudah banyak sekali, besok biar bisa dijual ke pasar.”
“Mbok, mulai sekarang biar Arumi saja yang menjual sayur.”
“Ke pasar?”
“Iya, ke mana lagi?”
“Tapi terkadang berat lhoh, masa kuat kamu menggendong bakul seperti simbok?”
“Ya kuat lah mbok, setiap hari menggendong klenthing saja tidak keberatan. Arumi merasa bosan kalau harus di rumah terus."
“Kalau begitu coba saja besok pagi, sekarang aku petik dulu kangkungnya, nanti kamu ikat seperti biasa, barangkali bisa duapuluhan ikat atau lebih.”
“Ayo Arumi bantuin Mbok.”
“Kamu tidak istirahat dulu?”
“Memangnya kenapa sih Mbok? Hanya pergi ke sawah, biasanya juga begitu.”
“Ya sudah, ayo. Bawa bakulnya yang besar, nanti kurang wadahnya kalau terlalu kecil."
Arumi ingin membuat dirinya sibuk, demi berusaha mengendapkan perasaan yang selalu mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.
***
Arumi cantik sudah menjadi penjual sayur, yang selalu habis terjual karena sikapnya yang manis kepada setiap pembeli. Terkadang ada penjual sayur di pasar yang memborong semuanya, sehingga Arumi bisa segera pulang dengan membawa uang. Walau tak seberapa, tapi Arumi senang bisa menambah uang belanja bagi keluarganya.
“Mbok, bagaimana kalau kita menjual makanan?”
“Makanan apa?”
“Di pasar kan banyak orang mencari makanan. Maksudnya cemilan. Misalnya pisang goreng, singkong goreng.”
“Wah, nanti kalau sisa nggak bisa dijual lagi.”
“Yah, jangan memikirkan kalau sisa Mbok. Harus yakin kalau laku.”
“Jangan itu. Kalau yang tidak begitu susah, jual keripik saja. Itu kan kering, kalau hari ini tidak habis, masih bisa dijual esok harinya.”
“Wah, iya Mbok, keripik kacang, keripik singkong. Aku suka, ayuh Mbok, kapan mulainya?”
“Nanti dulu, baru ngomong sudah ribut kapan mulainya.”
“Punya keinginan itu harus segera dilaksanakan Mbok, keburu padam semangatnya.”
“Mengapa kamu tiba-tiba ingin mencari kesibukan?”
“Bukankah tidak enak kalau pekerjaan selesai lalu kita hanya berpangku tangan? Nah, kalau Arumi bisa jualan selain sayur, Arumi tidak akan berhenti sibuk. Sayuran kan bisa saja tidak setiap hari. Kalau tidak ada yang dijual dan menunggu masa panen lagi, nganggur dong.”
“Baiklah, ayo kita pikirkan, lebih dulu akan menjual apa?”
“Buat keripik kacang dulu Mbok, besok Arumi akan membeli plastik di pasar untuk pembungkus, dan beli kacang, sama tepungnya. Juga minyak goreng. Ya kan? Tepung apa Mbok supaya nanti keripiknya renyah?"
“Harus ada campurannya selain tepung beras.”
“Arumi catat ya Mbok, besok sambil jualan sayur bayam yang sudah dipetik, sekalian Rumi akan belanja,” kata Arumi bersemangat.
Mbok Truno tertawa melihat anak gadisnya begitu bersemangat.
***
Dua hari lagi Wahyuni akan menikah. Akhirnya apa yang didambakannya bisa menjadi kenyataan. Bukan hanya karena kelakuan baik yang selalu dijalankannya, tapi juga selalu dipanjatkannya permohonan kepada Yang Maha Kuasa, sehingga ia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Suyono, laki-laki yang tadinya selalu acuh terhadapnya, akhirnya akan bisa menjadi pendamping hidupnya. Laki-laki yang semula perokok berat, lalu berhasil menghentikannya berkat omelan Wahyuni yang tak kunjung henti.
“Wahyuni, kamu itu mau jadi pengantin, sepekan sebelum dan sesudahnya tidak boleh keluar rumah. Dari mana kamu itu?” tegur ibunya yang tadinya sibuk mengurusi warga desa yang membantu menyiapkan perhelatan itu.
“Dari toko. Dompet Yuni ketinggalan.”
“Apa tidak bisa suruhan seseorang?"
“Ibu jangan kolot deh, jaman sekarang tidak ada pengantin dipingit.”
“Eh, jangan sembarangan kamu. Ini tradisi yang tidak bileh dilanggar. Demi keselamatan semuanya.”
“Iya Bu, lain kali tidak.”
“Kalau diberi tahu itu jangan ngeyel.”
“Bu, kan dua hari lagi ada acara siraman. Seingat Yuni, kalau siraman itu kan ada suguhan semacam apa tuh, nasi tumpang, lalu ada keripik kacang sama teri.”
“Oh iya, ibu lupa menyiapkan itu. Sebentar, ibu suruh buat saja keripik-keripik itu.”
“Jangan Bu. Ibu tahu nggak, sudah beberapa hari ini Arumi menjual kripik kacang di pasar. Bagaimana kalau ibu pesan saja sama dia, berapa banyak yang ibu mau buat. Pasti Arumi senang. Kata orang-orang, keripiknya enak, gurih, kremes pula.”
“Oh iya, ibu juga mendengarnya. Bagus sekali, pesan saja sama dia.”
“Biar Wahyuni ke sana sekarang ya. Sekalian mengundang dia. Sutris bilang, dia sudah mengundang Arumi, dan juga menyampaikannya ke lik Truno, tapi mereka tidak mau datang.”
“Eh, jangan. Kamu itu calon pengantin, bandel ya. Sudah diberi tahu kalau tidak boleh keluar rumah kok masih bandel. Ibu suruhan orang saja. Sekalian nitip duitnya, nanti berapa kurangnya, gampang, sekalian nanti mengundang mereka. Oh ya, harus menyiapkan punjungan juga, kalau mengundang kan harus mengirimkan punjungan,” kata bu Carik yang bergegas ke kamar untuk mengambil uang, dan suruhan orang untuk pergi ke rumah mbok Truno untuk memesan keripik kacang dan teri, sambil membawa punjungan untuk mereka.
***
Arumi senang sekali, hari itu ia tidak berjualan ke pasar, karena membantu simboknya membuat keripik untuk acara dua hari mendatang.
“Tapi kita tidak usah datang saja ya, malu simbok, mereka kan orang-orang kaya di desa ini.”
“Iya Mbok, tidak usah datang juga tidak apa-apa. Arumi juga malu datang ke sana.”
“Iya Rum, simbok juga sudah pernah mengatakan kepada Sutris bahwa tidak usah datang.”
Mbok Truno ikut sibuk karena pesanan keripik lumayan banyak. Tapi ia bersyukur karena mendapat tambahan uang belanja yang lebih dari biasanya.
“Ini rejeki kita.”
“Arumi bisa menabung Mbok.”
“Syukurlah. Nanti uangnya bisa kamu buat beli baju atau lainnya yang kamu inginkan. Selama ini bapak sama simbokmu tidak pernah membelikan apa-apa untuk kamu. Apalagi baju yang bagus.”
“Simbok tidak usah memikirkan itu. Arumi cukup senang menjalani hidup seperti yang kita jalani ini kok.”
“Syukurlah Rum, simbok bangga memiliki kamu.”
***
Sore hari itu Bachtiar termenung di rumahnya. Di depannya ada undangan yang diberikan pak Lurah, bahkan dengan datang sendiri ke kantornya, atas pernikahan Suyono dan Wahyuni.
Bachtiar tidak mampu menolak, karena hubungan baiknya dengan pak lurah, dan Suyono yang pernah menjadi anak buahnya. Karenanya malam itu ia bersiap untuk datang ke perhelatan itu.
Tapi ketika sedang bersiap, tiba-tiba dilihatnya seseorang datang. Ia adalah Luki yang memang sering datang kekota itu, dengan alasan kangen kepada keluarga Wirawan. Rupanya ia belum sepenuhnya bisa melepaskan Bachtiar.
“Lhoh, mau kemana Tiar? Kok sudah rapi?”
“Maaf, aku mau pergi ke kondangan.”
“Ke mana?”
“Ke desa Sabrang, pak Lurah menikahkan anaknya.”
“Kalau begitu aku ikut ya, aneh ke kondangan sendirian. Bajuku cukup bagus kan? Hanya di desa, yang begini pasti sudah pantas.”
***
Besok lagi ya