Saturday, November 30, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 26

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  26

(Tien Kumalasari)

 

Pak Truno menatap anaknya yang tampak lesu. Ia terus memandangi bungkusan di sampingnya.

“Ini rejeki, aku makan masakan mbokmu saja, bawa ini pulang, sepertinya bisa dimakan bersama,” kata pak Truno.

“Ya, bapak makanlah dulu, Arumi tungguin sampai selesai,” kata Arumi yang sebenarnya tidak usah mengatakannya, karena setiap mengirim makanan dia selalu menunggui sampai bapaknya selesai makan.

Arumi mencoba tersenyum. Menunggui ayahnya yang sedang makan, sambil menatap tanaman padi yang mulai menguning, sedikit membuatnya merasa tenang. Ia berdiri, kemudian berlarian diantara pematang, sesekali menggerak-gerakkan tali-tali yang terhubung dengan boneka-boneka buatan pengusir burung sambil berteriak-teriak. Lalu ia terkekeh melihat burung-burung beterbangan menjauh.

Pak Truno menatapnya sambil tersenyum. Anaknya memang sudah dewasa. Ia cantik dan menawan, tapi Arumi selalu mengatakan bahwa dia belum ingin menikah.

Arumi masih saja berlarian diantara pematang sawah. Udara segar serasa membersihkan seluruh paru-parunya. Terik panas tak begitu terasa menyengat, karena semilir angin membuat rasa panas itu melemah.

Seekor kupu-kupu cantik membuat Arumi ingin menangkapnya. Ia berlarian mengejarnya sampai agak jauh dari tempat di mana ayahnya makan. Ia terperosok dan nyaris jatuh, kalau saja tidak ada sepasang tangan menahan tubuhnya.

“Hati-hati,” katanya.

Arumi menatapnya tak berkedip.

“Mas Sutris?”

“Senang kamu tidak melupakan aku Arumi.”

“Lama sekali tidak melihat kamu Mas,” kata Arumi riang.

“Aku jadi kuliah di kota, sudah satu semester tidak pulang.”

“Ah, syukurlah, senang aku mendengarnya.”

“Kamu tidak ingin melanjutkan sekolah?”

“Tidak Mas, biar begini saja. Apa kamu sedang liburan?”

“Sebenarnya tidak. Seminggu lagi mbak Yuni menikah, jadi aku memerlukan pulang.”

“Mbak Yuni menikah? Alhamdulillah, aku juga sudah lama tidak ketemu.”

“Kamu tidak mendapat undangan?”

“Tidak. Keluargaku miskin, mana mungkin diundang oleh pak Carik?”

“Jangan begitu, mungkin orang tuaku lupa. Nanti aku yang akan mengundang kamu.”

“Tidak usah Mas, aku mendoakan saja dari jauh. Calon suaminya siapa Mas, orang dari sini saja, atau dari desa lain?”

“Dia mas Yono, anak pak Lurah.”

“O, mas Yono. Syukurlah. Pokoknya aku ikut senang, tidak usah mengundang saja Mas, yang penting kan mendoakan. Ya kan?”

“Arumiii!”

Teriakan pak Truno mengejutkannya. Arumi segera membalikkan tubuhnya, kembali ke tempat ayahnya. Tapi Sutris mengikutinya.

Pak Truno heran melihat Sutris.

“Kok ada kamu?”

“Iya, kebetulan pulang, lalu melihat Arumi di sawah.”

“Mas Sutris sekarang kuliah Pak, di kota.”

“O, begitu. Pantas tidak pernah ketemu. Ini, aku sudah selesai makan. Bawa rantangnya, dan juga bungkusan ini.”

“Baiklah.”

“Aku antarkan pulang, mari saya bantu membawanya,” kata Sutris.

“Tidak usah Mas, aku bisa berjalan kaki.”

“Kebetulan aku membawa sepeda motor. Ayolah, permisi dulu Lik,” kata Sutris yang tidak segan mencium tangan pak Truno. Sikapnya ini meninggalkan kesan baik di hati pak Truno. Ia tersenyum mengangguk.

“Hati-hati,” pesannya.

Sutris membawakan bungkusan besar itu, dan Arumi membawa rantang bekas makan ayahnya.

“Kamu habis belanja di mana? Baunya makanan enak.”

“Bukan belanja. Tadi ada yang ngasih untuk Bapak.”

“O. Ini juga bukan makanan dari desa ini. Ini masakan orang kota.”

“Iya, pak Bachtiar yang membawakannya tadi.”

“O, pak Bachtiar? Kabarnya proyek-proyek yang dikerjakan sudah selesai, tinggal membuat saluran untuk air bersih.” kata Sutris yang kemudian mengira bahwa hubungan Bachtiar dan Arumi masih berlanjut.

“Iya.”

“Bapakku juga sudah membuka tokonya di kios yang baru. Kamu sudah melihatnya?”

“Sudah, kalau kebetulan ke pasar.”

Sutris hanya mengantarkan sampai Arumi bertemu simboknya, lalu pamit pulang, katanya ada yang harus dikerjakannya sehubungan dengan akan menikahnya Wahyuni.

“Aku ikut senang, Wahyuni akan menikah, dan menjadi menantu pak Lurah.”

“Terima kasih Lik, nanti datang ya?”

“Wah, mana pantas, kami datang ke pasamuan orang-orang kaya?”

“Jangan begitu, nanti Sutris jemput, pakai mobil.”

“Nggak usah Tris, aku juga kalau naik mobil suka mabuk,” kata mbok Truno.

“Lhoh, kan tidak begitu jauh.”

“Ikut mendoakan saja Tris, semoga lancar semuanya, Wahyuni juga hidup bahagia bersama suaminya kelak. Setelah itu, kamu menyusul kan?”

“Saya masih harus menyelesaikan kuliah dulu Lik, tidak tergesa-gesa. Barangkali nanti Arumi dulu,” kata Sutris sambil menatap Arumi.

“Eeeh, jangan, aku belum mau menikah.”

“Ya sudah, Sutris pamit dulu ya Lik,” kata Sutris yang lagi-lagi kali ini mencium tangan Mbok Truno.

“Hati-hati ya.”

Ketika Sutris berlalu, mbok Truno juga merasa bahwa Sutris sudah berbeda.

“Setelah yang namanya kuliah, apa membuat orang menjadi mengerti tata krama?” kata mbok Truno sambil masih menatap kepergian Sutris.

“Pastinya Mbok, tapi tergantung orangnya juga. Kalau dasarnya orang tidak mau diatur ya tetap saja tidak mengerti tata krama,” kata Arumi yang tiba-tiba membayangkan Luki, yang kelihatannya cantik dan orang pintar, tapi kelakuannya benar-benar seperti penjahat.

“Iya sih. Ini kamu bawa apa?”

“Ini Mbok, kata bapak, tadi mas Tiar datang menemui bapak di sawah, membawakan ini. Tapi bapak belum memakannya. Bapak memilih makan masakan simbok, lalu menyuruh membawa pulang semua ini.”

“Ini makanan orang kaya. Ayam goreng, ikan goreng, sayur rendang. Mengapa banyak sekali?”

“Entahlah, mungkin karena untuk orang serumah, walaupun tetap saja tidak bisa habis.”

“Ya nanti kalau sisa bisa dipanasi untuk makan berikutnya. Tapi kenapa ya, nak Bachtiar tidak memberikannya ke rumah saja. Lama sekali, sudah berbulan-bulan tidak mampir ke rumah ya Rum?”

“Iya, barangkali sibuk,” kata Arumi yang langsung pergi ke belakang untuk mengambil piring dan mangkuk, untuk tempat makanan yang baru saja dibawanya.

“Kalau begitu ayo makanlah, ini tidak akan habis dimakan bertiga.”

“Iya Mbok. Tapi Arumi belum lapar, tadi kan sudah sarapan.”

“Ya sudah, terserah kamu saja. Aku juga belum lapar. Mau memetik sayur di kebun saja. Sayur kangkung sudah banyak sekali, besok biar bisa dijual ke pasar.”

“Mbok, mulai sekarang biar Arumi saja yang menjual sayur.”

“Ke pasar?”

“Iya, ke mana lagi?”

“Tapi terkadang berat lhoh, masa kuat kamu menggendong bakul seperti simbok?”

“Ya kuat lah mbok, setiap hari menggendong klenthing saja tidak keberatan. Arumi merasa bosan kalau harus di rumah terus."

“Kalau begitu coba saja besok pagi, sekarang aku petik dulu kangkungnya, nanti kamu ikat seperti biasa, barangkali bisa duapuluhan ikat atau lebih.”

“Ayo Arumi bantuin Mbok.”

“Kamu tidak istirahat dulu?”

“Memangnya kenapa sih Mbok? Hanya pergi ke sawah, biasanya juga begitu.”

“Ya sudah, ayo. Bawa bakulnya yang besar, nanti kurang wadahnya kalau terlalu kecil."

Arumi ingin membuat dirinya sibuk, demi berusaha mengendapkan perasaan yang selalu mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.

***

Arumi cantik sudah menjadi penjual sayur, yang selalu habis terjual karena sikapnya yang manis kepada setiap pembeli. Terkadang ada penjual sayur di pasar yang memborong semuanya, sehingga Arumi bisa segera pulang dengan membawa uang. Walau tak seberapa, tapi Arumi senang bisa menambah uang belanja bagi keluarganya.

“Mbok, bagaimana kalau kita menjual makanan?”

“Makanan apa?”

“Di pasar kan banyak orang mencari makanan. Maksudnya cemilan. Misalnya pisang goreng, singkong goreng.”

“Wah, nanti kalau sisa nggak bisa dijual lagi.”

“Yah, jangan memikirkan kalau sisa Mbok. Harus yakin kalau laku.”

“Jangan itu. Kalau yang tidak begitu susah, jual keripik saja. Itu kan kering, kalau hari ini tidak habis, masih bisa dijual esok harinya.”

“Wah, iya Mbok, keripik kacang, keripik singkong. Aku suka, ayuh Mbok, kapan mulainya?”

“Nanti dulu, baru ngomong sudah ribut kapan mulainya.”

“Punya keinginan itu harus segera dilaksanakan Mbok, keburu padam semangatnya.”

“Mengapa kamu tiba-tiba ingin mencari kesibukan?”

“Bukankah tidak enak kalau pekerjaan selesai lalu kita hanya berpangku tangan? Nah, kalau Arumi bisa jualan selain sayur, Arumi tidak akan berhenti sibuk. Sayuran kan bisa saja tidak setiap hari. Kalau tidak ada yang dijual dan menunggu masa panen lagi, nganggur dong.”

“Baiklah, ayo kita pikirkan, lebih dulu akan menjual apa?”

“Buat keripik kacang dulu Mbok, besok Arumi akan membeli plastik di pasar untuk pembungkus, dan beli kacang, sama tepungnya. Juga minyak goreng. Ya kan? Tepung apa Mbok supaya nanti keripiknya renyah?"

“Harus ada campurannya selain tepung beras.”

“Arumi catat ya Mbok, besok sambil jualan sayur bayam yang sudah dipetik, sekalian Rumi akan belanja,” kata Arumi bersemangat.

Mbok Truno tertawa melihat anak gadisnya begitu bersemangat.

***

Dua hari lagi Wahyuni akan menikah. Akhirnya apa yang didambakannya bisa menjadi kenyataan. Bukan hanya karena kelakuan baik yang selalu dijalankannya, tapi juga selalu dipanjatkannya permohonan kepada Yang Maha Kuasa, sehingga ia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Suyono, laki-laki yang tadinya selalu acuh terhadapnya, akhirnya akan bisa menjadi pendamping hidupnya. Laki-laki yang semula perokok berat, lalu berhasil menghentikannya berkat omelan Wahyuni yang tak kunjung henti.

“Wahyuni, kamu itu mau jadi pengantin, sepekan sebelum dan sesudahnya tidak boleh keluar rumah. Dari mana kamu itu?” tegur ibunya yang tadinya sibuk mengurusi warga desa yang membantu menyiapkan perhelatan itu.

“Dari toko. Dompet Yuni ketinggalan.”

“Apa tidak bisa suruhan seseorang?"

“Ibu jangan kolot deh, jaman sekarang tidak ada pengantin dipingit.”

“Eh, jangan sembarangan kamu. Ini tradisi yang tidak bileh dilanggar. Demi keselamatan semuanya.”

“Iya Bu, lain kali tidak.”

“Kalau diberi tahu itu jangan ngeyel.”

“Bu, kan dua hari lagi ada acara siraman. Seingat Yuni, kalau siraman itu kan ada suguhan semacam apa tuh, nasi tumpang, lalu ada keripik kacang sama teri.”

“Oh iya, ibu lupa menyiapkan itu. Sebentar, ibu suruh buat saja keripik-keripik itu.”

“Jangan Bu. Ibu tahu nggak, sudah beberapa hari ini Arumi menjual kripik kacang di pasar. Bagaimana kalau ibu pesan saja sama dia, berapa banyak yang ibu mau buat. Pasti Arumi senang. Kata orang-orang, keripiknya enak, gurih, kremes pula.”

“Oh iya, ibu juga mendengarnya. Bagus sekali, pesan saja sama dia.”

“Biar Wahyuni ke sana sekarang ya. Sekalian mengundang dia. Sutris bilang, dia sudah mengundang Arumi, dan juga menyampaikannya ke lik Truno, tapi mereka tidak mau datang.”

“Eh, jangan. Kamu itu calon pengantin, bandel ya. Sudah diberi tahu kalau tidak boleh keluar rumah kok masih bandel. Ibu suruhan orang saja. Sekalian nitip duitnya, nanti berapa kurangnya, gampang, sekalian nanti mengundang mereka. Oh ya, harus menyiapkan punjungan juga, kalau mengundang kan harus mengirimkan punjungan,” kata bu Carik yang bergegas ke kamar untuk mengambil uang, dan suruhan orang untuk pergi ke rumah mbok Truno untuk memesan keripik kacang dan teri, sambil membawa punjungan untuk mereka.

***

Arumi senang sekali, hari itu ia tidak berjualan ke pasar, karena membantu simboknya membuat keripik untuk acara dua hari mendatang.

“Tapi kita tidak usah datang saja ya, malu simbok, mereka kan orang-orang kaya di desa ini.”

“Iya Mbok, tidak usah datang juga tidak apa-apa. Arumi juga malu datang ke sana.”

“Iya Rum, simbok juga sudah pernah mengatakan kepada Sutris bahwa tidak usah datang.”

Mbok Truno ikut sibuk karena pesanan keripik lumayan banyak. Tapi ia bersyukur karena mendapat tambahan uang belanja yang lebih dari biasanya.

“Ini rejeki kita.”

“Arumi bisa menabung Mbok.”

“Syukurlah. Nanti uangnya bisa kamu buat beli baju atau lainnya yang kamu inginkan. Selama ini bapak sama simbokmu tidak pernah membelikan apa-apa untuk kamu. Apalagi baju yang bagus.”

“Simbok tidak usah memikirkan itu. Arumi cukup senang menjalani hidup seperti yang kita jalani ini kok.”

“Syukurlah Rum, simbok bangga memiliki kamu.”

***

Sore hari itu Bachtiar termenung di rumahnya. Di depannya ada undangan yang diberikan pak Lurah, bahkan dengan datang sendiri ke kantornya, atas pernikahan Suyono dan Wahyuni.

Bachtiar tidak mampu menolak, karena hubungan baiknya dengan pak lurah, dan Suyono yang pernah menjadi anak buahnya. Karenanya malam itu ia bersiap untuk datang ke perhelatan itu.

Tapi ketika sedang bersiap, tiba-tiba dilihatnya seseorang datang. Ia adalah Luki yang memang sering datang kekota itu, dengan alasan kangen kepada keluarga Wirawan. Rupanya ia belum sepenuhnya bisa melepaskan Bachtiar.

“Lhoh, mau kemana Tiar? Kok sudah rapi?”

“Maaf, aku mau pergi ke kondangan.”

“Ke mana?”

“Ke desa Sabrang, pak Lurah menikahkan anaknya.”

“Kalau begitu aku ikut ya, aneh ke kondangan sendirian. Bajuku cukup bagus kan? Hanya di desa, yang begini pasti sudah pantas.”

***

Besok lagi ya

Friday, November 29, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 25

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  25

(Tien Kumalasari)

 

Arumi masih tegak di pinggir jalan, menatap laju mobil Bachtiar yang sangat kencang, dan membuat debu jalanan berhamburan.

“Mas Tiar, masa kamu tidak melihat aku?” gumamnya seperti merintih, sakit.

Arumi melanjutkan menyeberang jalan, menuju pulang, dengan hati yang kusut.

Bermacam pemikiran berkecamuk dalam batin. Apakah Bachtiar benar-benar marah, atau memang tak melihatnya.

“Mengapa mas Tiar bersikap begitu? Apakah dia marah? Soal pulangnya aku bersama mas Sutris? Harusnya dia bicara, bertanya, bukan tiba-tiba memukul orang, lalu pergi begitu saja. Tanpa pamit pula. Hal yang tak biasa dia lakukan. Ya Tuhan, mengapa marah Mas?” gumamnya sedih. Tak tahu harus berbuat apa. Arah datangnya mobil Bachtiar berlawanan dengannya, apakah dia akan ke proyek di mana tadi dia ke sana? Ingin Arumi kembali, tapi diurungkannya.

“Aku sudah pesan mas Yono bahwa aku ingin bertemu. Kalau dia bisa menerima pesan itu, pasti dia akan datang ke rumah. Tapi kalaupun tidak, terserah saja. Untuk apa aku memikirkannya? Nanti aku malah bertambah pusing.”

Tapi untuk tidak memikirkannya, sangat sulit bagi Arumi, karena bayangan Bachtiar terus memenuhi benaknya.

“Arumi?”

Arumi berhenti melangkah. Sutris sedang mendekatinya dengan sepeda. Arumi tak melihatnya, walau Sutris datang dari arah depan. Tentu saja, karena Arumi berjalan sambil menundukkan wajahnya.

“Kamu dari mana?” tanya Sutris setelah ia menghentikan sepedanya.

“Dari sana.”

“Sana mana? Bukan dari belanja kan?”

“Ingin menemui pak Bachtiar, tapi tidak ketemu.”

“Aku melihat mobil melewati aku, sepertinya itu mobil pak Bachtiar, aku pernah melihatnya di proyek. Apa kamu tidak melihatnya?”

Arumi hanya menggeleng.

“Aneh, bukannya tadi lewat sini? Ini satu-satunya jalan ke arah proyek.”

“Mungkin aku tidak melihatnya.”

“Kamu jalan sambil menunduk sih. Ayo aku antar ke sana.”

“Tidak, aku mau pulang saja.”

“Baiklah, aku boncengkan ya.”

“Tidak usah, kamu mau ke toko kan?”

“Iya, ngantar pulang kamu dulu tidak apa-apa.”

“Wajahmu masih sedikit lebam, mau bekerja di toko?”

“Mau menemui bapakku. Ada yang ingin aku bicarakan.”

“Soal penculikan itu?”

“Tidak, aku ingin melanjutkan sekolah lagi.”

“Wah, bagus Mas. Mau kuliah ya?”

“Kalau bapak mengijinkan. Dulu pernah dilarang, disuruh bekerja saja. Tapi sekarang aku ingin sekali bisa melanjutkan kuliah.”

“Bagus Mas, aku ikut senang.”

“Ya sudah, ayo aku antarkan kamu pulang.”

“Katanya mau ke toko?”

“Tidak apa-apa, mengantarkan kamu dulu.”

“Tidak repot?”

“Tidak, mengapa repot? Ayuh, cepat naik.”

Arumi tersenyum, kemudian naik ke boncengan sepeda Sutris. Ia juga sudah lelah, berjalan pulang pergi tanpa hasil.

***

Begitu Bachtiar sampai di proyek, Suyono langsung menyambut kedatangannya.

“Wah, Bapak terlambat sedikit.”

“Terlambat apanya?”

“Barusan Arumi datang kemari, mencari Bapak.”

“Dia bilang apa?”

“Tidak bilang apa-apa, hanya mengatakan kalau ingin ketemu, begitu. Kasihan dia berjalan kaki. Saya ingin mengantarkan, tapi takut kena marah.”

“Siapa yang marah?”

“Bapak,” kata Suyono cengengesan. Tapi Bachtiar tak menggubrisnya.

“Aku hanya ingin mengambil map biru di laci meja. Tolong diambilkan,” titahnya.

“Baik,” kata Suyono yang bergegas mengambilkan.

“Aku tergesa-gesa. Tadi hanya akan mengambil map ini,” kata Bachtiar yang segera kembali masuk ke mobil.

“ Apa tadi Bapak tidak ketemu Arumi di jalan? Belum lama, harusnya Bapak berpapasan.”

Tapi Bachtiar langsung menutup pintu mobil, menghidupkan mesinnya dan berlalu.

“Orang sibuk, diberitahu tentang kekasihnya, tidak menggubris? Sebetulnya mereka pacaran tidak sih? Tapi Arumi kan masih sangat muda. Paling-paling umurnya enambelas atau tujuhbelas tahun. Kalau untuk anak desa sih, sudah cukup umur, tapi dengan pak Bachtiar sepertinya terpaut jauh. Kok aku bisa menduga kalau mereka pacaran sih? Hanya karena perhatiannya yang besar kepada Arumi? Memang sih, sejak awal pak Bachtiar sudah menanyakan tentang gadis bernama Arumi, lalu kabarnya pak Bachtiar sering ke rumah Arumi, membelikan air bergalon-galon agar Arumi tidak kelelahan mengambil air di sumber. Seperti apa ya hubungan mereka? Aduh, kok aku jadi kepikiran tentang mereka sih?”

Suyono terus saja berpikir sehingga lupa bahwa rokoknya habis.

***

Bachtiar melajukan mobilnya. Diam-diam, apa yang dikatakan Suyono mengusik hatinya. Untuk apa Arumi mencarinya? Ingin rasanya bertemu, tapi untuk apa? Bukankah Arumi sudah dekat dengan Sutris anak pak Carik? Bahkan Sutris berani menculiknya, lalu mereka kembali dengan sangat akrab, berbincang manis. Pasti pertemuan mereka di tempat yang entah dimana itu, sangat menyenangkan. Bachtiar yang menyadari bahwa hatinya benar-benar terpikat pada gadis yang senyumnya sehangat matahari itu, sekarang merasa patah hati. Itu sebabnya ketika tadi melihat Arumi di jalan, ia malah mempercepat laju mobilnya. Sakit membayangkan gadis idamannya sedang berdua dengan laki-laki lain.

“Ya sudahlah, pilihanmu adalah pasti yang menurutmu terbaik. Barangkali aku terlalu tua untukmu. Semoga kamu ….”

Belum selesai Bachtiar bergumam, ia melihat sosok yang sedang dipikirkannya.

“Bukankah itu Arumi? Aku tidak lupa dengan baju yang dipakainya. Tadi memang dia berjalan kaki, tapi sekarang dia sedang membonceng seseorang. Siapa dia?” gumam Bachtiar.

Ketika sudah di depan mereka, Bachtiar memperlambat laju mobilnya, untuk melihat laki-laki yang membawa Arumi di boncengannya. Lalu darahnya kembali mendidih.

“Bukankah itu laki-laki yang aku hajar kemarin sore?”

Bachtiar kembali mempercepat laju mobilnya, dan lagi-lagi tak peduli dengan debu yang mengepul tinggi di jalanan yang dilaluinya.

“Itu … itu … bukan mobil pak Bachtiar?” kata Sutris sambil terbatuk-batuk.

Arumi bukan tak melihatnya. Hatinya berdebar tak karuan. Debar yang sakit, karena dia sadar bahwa Bachtiar benar-benar tak peduli padanya. Apalagi sekarang dia sedang bersama Sutris. Orang yang kemarin sore dihajarnya tanpa sebab.

“Dia pasti melihat kita. Mengapa tak mau berhenti?”

“Biarkan saja, dia orang sibuk,” kata Arumi sambil menahan kesedihan di hatinya.

Apa yang bisa dia perbuat? Kalau Bachtiar memang tak lagi mau mempedulikannya, Arumi akan menerimanya. Dulu dia tidak mengenalnya, kalau sekarang tidak, itu bukan masalah. Kata batin Arumi. Tapi benarkah itu yang dirasakannya? Kalau benar mengapa harus ada nyeri di dalam dada? Lagipula siapa dirinya maka berharap mendapat perhatian dari orang pintar nan kaya raya seperti Bachtiar. Arumi mengelus dadanya sendiri. Berharap bisa mengendapkan perasaan yang belum pernah dirasakannya ini.

Sutris menghentikannya di depan pagar, atas permintaan Arumi.

“Sampai di sini saja, Mas. Terima kasih sudah mengantar.”

Sutris hanya tersenyum. Gadis itu seperti sedang berduka. Apa karena Bachtiar tidak menyapanya? Apa Bachtiar marah karena semalam Arumi pulang bersamanya, dan karena itu pula maka dia menghajarnya? Kalau benar begitu, Sutris merasa kasihan terhadap Arumi. Ia yakin, ada sesuatu diantara mereka.

Sutris pergi setelah melambaikan tangannya.

***

Mbok Truno sedang menyiapkan makan untuk suaminya, ketika Arumi mendekatinya.

“Biar nanti aku saja yang mengirim makan untuk bapakmu, Rum. Kamu pasti capek. Tadi ketemu nak Bachtiar?”

“Tidak Mbok, dia punya pekerjaan di tempat lain.”

“Ya sudah, nanti kalau dia pas datang kemari kamu kan bisa menjelaskannya. Kasihan Sutris sampai wajahnya bengkak begitu.”

“Biar Arumi saja yang mengantar makanan ke sawah Mbok.”

“Kamu sudah berjalan jauh, lebih baik istirahat saja di rumah. Tiduran sana. Ayahmu juga meminta begitu, agar kamu istirahat dulu.”

“Tidak apa-apa. Arumi sudah biasa berjalan jauh. Masa siang-siang tiduran?”

“Kamu kalau dikasih tahu kok ngeyel.”

“Sungguh tidak apa-apa. Tadi ditengah jalan ketemu mas Sutris, lalu Arumi dibonceng pulang sampai ke rumah."

Mbok Truno tak bisa mencegah, ketika Arumi nekat mengantarkan makanan untuk ayahnya di sawah.

***

Wahyuni yang berada di toko terkejut ketika kembali terdengar orang  berteriak meminta rokok.

“Pasti mas Yono,” gerutunya kesal, karena Suyono masih saja sering membeli rokok.

“Iya, sudah sejak pagi tidak merokok.”

“Memangnya kenapa kalau tidak merokok?”

“Pait, mulutnya.”

“Hisap permen saja. Ada yang pahit, atau pedas, nih, ada.”

“Ya udah, sama permen pahit dan pedas tapi rokoknya tetep ya,” kata Suyono cengengesan, membuat Wahyuni cemberut.

“Ini sudah banyak berkurang, tidak seperti sebelumnya, sehari nggak sampai sebungkus. Tenang saja, lama-lama aku berhenti kok.”

“Benar?” kata Wahyuni yang melayani, tapi yang kemudian heran pada dirinya sendiri, mengapa harus peduli pada orang merokok, padahal bukan siapa-siapanya.

“Apa kamu selalu begitu kepada setiap orang yang membeli rokok?” tanya Suyono tiba-tiba, dan Wahyuni sangat terkejut mendengarnya. Ya, benar pertanyaannya, tapi yang dia bingung menjawabnya. Apakah dia selalu memarahi setiap orang yang membeli rokok? Wajah Wahyuni bersemu merah.

“Hei, aku bertanya padamu.”

“Apa?”

“Apa kamu selalu memarahi setiap pembeli rokok di toko ini?”

“Kenapa bertanya begitu sih? Ini kembaliannya,” kata Wahyuni yang ingin mengalihkan pembicaraan.

“Ditanya kok jawabnya malah ganti bertanya.”

Wahyuni hanya tersenyum. Suyono menatapnya, dan merasa heran. Berkali-kali ia merasa, ternyata Wahyuni manis juga kalau tersenyum.

“Apa kamu sudah tahu, kalau Arumi sudah kembali?” tanya Wahyuni yang benar-benar ingin mengalihkan pembicaraan.

“Sudah ketemu. Tadi pagi ke proyek.”

“Ke proyek? Pengin kerja di sana?”

“Bukan, mencari pak Bachtiar, tapi belum ketemu.”

“Oo,” hanya itu jawabnya, lalu keinginan agar Arumi menerima adiknya setelah diselamatkannya, menjadi pupus.

“Ya sudah, aku balik ya,” katanya sambil melempar senyum ke arah Wahyuni, yang ditanggapinya dengan wajah tersipu. Mengapa senyum-senyum segala sih. Kata batinnya. Tapi tanpa disadari, sejak detik itu ada perasaan aneh yang mengganggunya, tentang sosok laki-laki tinggi besar yang dulu pernah menolaknya. Bukan secara langsung, tapi ia mendengar ketika ayah dan ibunya berbincang.

***

Pak Truno heran ketika melihat Arumi datang mengirim makan. Padahal dia sudah melarangnya.

“Mengapa kamu? Tadi aku sudah berpesan sama mbokmu, sebaiknya kamu istirahat saja di rumah.”

“Tadi simbok juga melarang, tapi Arumi yang pengin,” katanya sambil meletakkan rantang makanannya di pematang.

“Dasar bandel.”

Arumi hanya tersenyum. Tapi pak Truno melihat senyuman itu seperti dipaksakan. Wajah Arumi tampak pucat dan kuyu, seperti sedang menahan sebuah perasaan yang tidak menyenangkannya.

“Apa kamu sakit?”

“Tidak, mengapa Bapak bertanya begitu?”

“Wajahmu pucat. Atau tidak tampak cerah seperti biasanya. Apa yang kamu pikirkan?”

“Bapak mengada-ada, Arumi baik-baik saja kok,” kata Arumi sambil mengusap wajahnya.

“Ya sudah kalau memang tidak apa-apa. Bapak makan ya,” katanya sambil mencuci tangannya dengan air yang dibawakan Arumi.

Arumi menunggui ayahnya makan, duduk begitu saja di pematang yang kering. Bayangan mobil yang melintas sambil meninggalkan debu mengepul, terus saja diingatnya, membuatnya nyeri. Mengapa nyeri? Kalau Bachtiar tak peduli, haruskah ditangisi? Dia bukan siapa-siapa baginya. Hanya orang baik yang selalu memperhatikannya. Mengingat hal itu, tak terasa matanya berkaca-kaca. Dan sialnya, sang ayah melihatnya.

“Kamu menangis?”

“Apa?” kata Arumi terkejut. Ia segera mengusap matanya yang sedikit basah.

“Kamu seperti menangis.”

“Bapak nih, Arumi sebenarnya mengantuk,” kata Arumi sekenanya.

“Makanya, kamu itu lelah. Nanti pulang langsung tidur saja.”

“Baiklah.”

***

Hari terus berlalu, dan bulan demi bulan sudah lewat. Proyek pasar yang dibuat Bachtiar sudah menjadi pasar yang bersih dan ramai.

Hari itu ketika pak Truno sedang mengerjakan sawah, tiba-tiba Bachtiar muncul dengan membawa bungkusan berisi makanan.

“Nak Tiar? Lama sekali tidak bertemu,” kata pak Truno.

“Iya Pak, maaf. Saya sangat sibuk, sehingga tidak sempat mampir ke rumah. Saya hanya ingin memberi tahu, bahwa proyek air bersih itu sudah selesai. Nanti akan ada pipa yang akan dipasang di setiap rumah, bagi yang membutuhkannya. Untuk rumah Bapak, hari ini juga sudah akan dikerjakan. Mohon maaf sekali lagi, saya tidak bisa menunggui, karena ada pekerjaan lain. Saya berharap, Bapak dan keluarga selalu sehat. Saya mohon diri, dan maaf juga karena tidak sempat pamit ke rumah.”

Panjang lebar yang dikatakan Bachtiar, membuat pak Truno terpana. Bachtiar sudah menyelesaikan pekerjaannya, dan tidak sempat mampir ke rumah. Ada sesuatu yang tersimpan di hati Bachtiar, yang tertangkap di mata tua pak Truno.

Sampai kemudian Bachtiar pergi, pak Truno masih merasa heran, kenapa Bachtiar sudah berbulan-bulan tidak lagi pernah ke rumah.

***

 Siang hari itu, Arumi mengirim makan untuk ayahnya, seperti biasa. Tapi ia heran melihat sebuah bungkusan besar terletak di pematang, dan sang ayah duduk melamun di samping bungkusan itu.

“Pak. Itu bungkusan apa?”

Dan Arumi merasa sesuatu telah terbang dari hatinya, ketika mendengar penjelasan yang diberikan ayahnya tentang apa yang dikatakan Bachtiar.

***

Besok lagi ya.

Thursday, November 28, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 24

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  24

(Tien Kumalasari)

 

Sutris menatap ayahnya yang tersenyum entah apa artinya. Ia benar-benar tidak mengerti. Menikmatinya? Tidak sudi mengambilnya menantu?  Hamil? Menggugurkannya? Apa semua itu?

“Kamu tidak usah kecewa. Bukankah dia telah menolak kamu, dan sekarang kamu berhasil menodai dia? Biar gadis sombong itu tahu rasa, biar dia mengerti kalau kesombongannya akan berbuah nestapa. Dia bukan lagi gadis suci yang menyombongkan diri karena kecantikannya. Apa artinya cantik kalau dia sudah ternoda?"

Lalu pak Carik terkekeh-kekeh.

“Apa sebenarnya maksud Bapak? Aku tidak mengerti.”

“Kamu itu bodoh atau apa?”

“Aku memang tidak mengerti.”

“Katakan siapa yang membuat wajahmu babak belur? Truno? Biar aku hajar dia.”

“Bapak belum menjawab pertanyaanku. Apa maksud Bapak dengan perkataan itu?”

“Bukankah kamu sudah tidur dengan gadis sombong itu? Bukankah dia merayu kamu seharian kemarin?”

“Merayu apa? Arumi bukan gadis semacam itu.”

“Apa maksudmu?”

“Apa juga maksud Bapak?” tanya Sutris yang semakin kesal dengan sikap ayahnya.

“Bukankah kamu telah tidur dengan dia?”

“Tidur apa? Mana sempat tidur? Seharian kesal karena pintu dikunci dari luar. Aku ingin bertanya pada Bapak, mengapa Bapak bersekongkol dengan Perempuan jahat itu?”

Pak Carik mengerutkan keningnya. Apakah anaknya bodoh, atau hanya malu mengakui kebersamaannya dengan Arumi? Bukankah Arumi sudah minum obat perangsang yang diberikan Luki, dan ketika Sutris datang, bukankah kemudian Arumi menyerangnya dan …

“Apa sebenarnya maksud Bapak? Mengapa menculik Arumi dan akhirnya toh kemudian dibebaskan?”

“Kamu ternyata benar-benar bodoh. Tris, kamu tidak perlu malu mengakui apa yang kalian lakukan. Seorang laki-laki dan perempuan yang saling melepaskan hasrat itu sudah biasa. Apalagi dalam keadaan seperti itu, mana mungkin Arumi bisa menahannya?”

“Aku tidak mengerti. Siapa yang malu? Malu karena apa? Bapak tidak menjawab pertanyaanku, malah bicara tidak karuan,” kata Sutris dengan nada meninggi, kehabisan rasa hormatnya kepada orang tuanya.

“Tris. Bukankah ketika kamu datang, lalu Arumi menyerangmu?”

“Menyerang apa? Dia dalam keadaan lemas ketika Sutris datang. Dua hari tidak makan, dia mengeluh lapar.”

“Apa?”

“Untunglah ada roti di kamar itu, lalu Sutris berikan rotinya, lalu kami berdua mencari akal agar bisa kabur dari tempat itu.”

“Jadi kalian tidak melakukan apa-apa?” tanya pak Carik dengan mata melotot.

“Kami hanya saling bertanya, mengapa Arumi ada di situ, mengapa tiba-tiba Sutris datang, lalu pintu dikunci dari luar. Lalu tak lama kemudian, saat menjelang sore, perempuan itu datang dan bicara semaunya, mengancam agar kalau terjadi sesuatu tidak usah menyebut namanya. Arumi, juga Sutris tidak mengerti, mengapa kalian melakukan semua itu?”

Pak Carik menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ini diluar perkiraannya. Jadi tidak terjadi apa-apa? Bagaimana Luki memberikan obatnya? Apakah keliru memberikan air tawar biasa?

“Mengapa Bapak tidak menjawab pertanyaanku? Ada apa Pak? Mengapa?”

“Bapakmu ini sakit hati karena Arumi menolak kamu. Bukan karena aku terlalu ingin menjadikannya menantu? Tidak. Tapi seorang miskin seperti Arumi, tidak menyukai anakku, tentu aku sakit hati.”

“Jadi Bapak melakukan itu karena sakit hati, dan ingin agar Sutris menodai Arumi hanya untuk membalaskan sakit hati karena ditolak?”

“Apa kamu tidak sakit hati kalau dia menolak kamu?”

“Kecewa, tentu saja.”

“Kamu tidak ingin membalas kesombongan dia?”

“Dengan menodainya? Bahkan Sutris merasa sayang untuk menyentuhnya.”

“Dasar gila! Bodoh!!”

“Kalau sampai Arumi melaporkan kejadian itu, dan Bapak terlibat, Bapak bisa masuk penjara,” ancam Sutris.

“Apa? Masuk penjara.”

“Perbuatan menculik orang adalah sebuah kejahatan. Tentu yang melakukan akan mendapatkan hukuman.”

“Apa maksudmu?”

“Masuk penjara, sudah pasti. Bapak dan perempuan jahat itu. Haa, mengapa perempuan jahat itu mau membantu Bapak?” tiba-tiba Sutris mengingat Luki, mengapa ikut membantu ayahnya?

“Dia juga punya dendam. Arumi menyebabkan pak Bachtiar menolaknya.”

“Jahat sekali.”

“Kamu akan melaporkan bapakmu atas kejadian ini?” suara pak Carik agak melunak.

Sutris tak menjawab, langsung masuk ke rumah.

“Bukankah kamu menginginkan Arumi? Aku hanya membantumu,” teriak pak Carik agak keras, karena Sutris sudah ada di dalam rumah.

“Tidak dengan cara ini,” kata Sutris lalu menghilang ke dalam kamarnya.

Pak Carik menstarter sepeda motornya lalu pergi meninggalkan rumah. Ada rasa khawatir kalau keluarga Arumi melapor ke yang berwajib.

***

Bu Carik yang ada di dapur mendengar suara rame di depan, ketika ia ingin melihatnya, Sutris sudah masuk ke dalam kamar. Bu Carik memburunya.

“Ada apa ayahmu, rame sekali.”

“Kesal sekali aku,” katanya sambil langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

“Sebenarnya kamu dari mana?”

“Dari rumah Arumi.”

“Sebenarnya aku juga ingin ke sana, melihat keadaannya.”

“Keadaannya baik-baik saja. Uang yang kemarin Ibu berikan dikembalikan.”

“Apa mereka tidak menggunakannya sama sekali?”

“Masih utuh. Sutris menolaknya, tapi lik Truno memaksa. Ya sudah. Mereka orang baik, tidak ingin menyusahkan orang lain, dan tidak ingin berhutang apapun.”

“Mengapa Arumi diculik? Apa keinginan penculik itu?”

“Ibu tanya saja pada bapak,”

“Tanya pada bapak? Bapakmu? Apa bapakmu tahu sesuatu? Apa bapakmu yang melakukannya?”

Sebenarnya Sutris tak ingin mengatakannya. Tapi akhirnya dia mengatakannya juga. Dikatakannya kepada ibunya, apa yang dilakukan ayahnya. Tapi ia tak menyebut nama Luki. Ia tak ingin urusan jadi panjang. Dan sesungguhnya, sebagai anak, dia tak ingin sang ayah terkena perkara.

“Keterlaluan bapakmu itu. Hanya karena itu, lalu ingin mempermalukan Arumi. Tapi kamu tidak melakukan apa-apa kan?” geram bu Carik.

“Ya tidak Bu, Sutris cinta pada Arumi, mana mungkin Sutris mau melakukan hal kotor seperti itu? Walaupun tidak bisa memiliki, Sutris bahagia kalau Arumi juga bahagia.”

“Ya Allah, bangganya ibu memiliki anak yang bisa berpikiran dewasa dan bijak seperti itu. Ibu sudah sedih ketika kamu tergila-gila sampai meninggalkan rumah, ingin mati segala. Ternyata sekarang kamu sudah menyadari, hal terbaik yang kamu lakukan adalah pemikiranmu yang sekarang ini. Semoga kamu mendapatkan jodoh yang baik ya Nak, walaupun tidak dengan Arumi,” kata bu Carik sambil mengelus kepala Sutris, membuat Sutris terharu.

“Doakan Sutris ya Bu. Tapi Sutris tidak ingin segera punya istri. Kalau bisa Sutris ingin kuliah di kota. Biar mbak Yuni dulu yang menikah.”

“Kamu ingin kuliah? Dulu ayahmu tidak mengijinkan.”

“Sekarang Sutris akan meminta lagi agar diijinkan.”

“Cita-cita yang baik pasti akan ibu dukung. Nanti ibu yang akan membantu kamu bicara. Tapi saat ini ibu sedang kesal pada bapakmu. Orang tua kelakuannya tidak benar. Bagaimana kalau Arumi melapor pada polisi?”

***

Pak Truno sedang bekerja di sawah ketika tiba-tiba mendengar langkah kaki, dan melihat pak Carik sudah berdiri di dekatnya.

“Pak Carik?”

“Iya. Rajin benar No.”

Pak Carik merasa lega. Sikap pak Truno biasa saja. Tidak kelihatan marah kepada dirinya. Berarti Arumi tidak tahu bahwa dia ada dibalik penculikan itu, dan Sutris tidak mengatakannya. Bagus. Sebenarnya pak Carik ingin memberinya uang agar pak Truno bungkam, tapi tak ada yang dikhawatirkannya. Jadi dia urung merogoh dompetnya.

“Tumben pak Carik datang kemari? Apa ada perlu?”

“Hanya sekedar jalan-jalan. Sebenarnya aku ingin agar kamu mau mengerjakan sawahku juga, tapi pekerjaanmu sudah berat, bukan?”

“Maaf pak Carik, saya sudah lama mengerjakan sawah pak Lurah, jadi mau bagaimana lagi. Tapi bukankah sudah kang Karyo yang mengerjakannya?”

“Ya sudah, tidak apa-apa. Aku berkeinginan membeli lahan baru. Tapi belum jadi. Barangkali kamu mau.”

“Maaf Pak.”

“Tidak apa-apa, ya sudah, aku pergi dulu.”

Dan pak Carikpun pergi. Rupanya enggan melepaskan walau sedikit uang, setelah tahu bahwa dirinya aman. Ia melenggang dengan rasa senang. Tapi di tepi jalan, kemudian dia menelpon Luki. Ia kecewa obat yang Luki berikan ternyata tidak sesuai dengan keinginan mereka.

“Apa? Tidak mempan? Tapi aku sudah memasukkan minuman itu dengan paksa ke mulutnya. Yakin pasti dia langsung kebingungan kalau saja anak Bapak tidak segera datang.”

“Buktinya tidak terjadi apa-apa. Sutris sendiri yang mengatakannya.”

”Jangan-jangan dia berbohong. Malu mengakuinya.”

“Tidak mungkin dia berbohong, dia justru bingung ketika saya menanyakannya.”

“Aneh. Lalu bagaimana?”

“Ya gagal. Belum kalau sampai nanti mereka melapor ke yang berwajib. Bisa kena pasal kita.”

“Kita lihat saja nanti, aku sudah mengancam mereka. Aku kira mereka tak akan berani melakukannya.”

“Semoga saja begitu.”

“Tapi aku kecewa sekali. Bagaimana bisa gagal?”

“Itu saya yang seharusnya bertanya pada Non,” kata pak Carik yang kemudian menutup pembicaraan itu.

***

Pagi hari itu Arumi pergi ke pasar. Ia ingin menemui Bachtiar di proyek, karena pasti telah terjadi ke salah pahaman diantara Bachtiar dan Sutris. Bachtiar salah sangka, dan Arumi ingin menjelaskannya. Entah mengapa, kepergian Bachtiar yang tiba-tiba membuat hatinya nyeri. Seperti ada yang hilang, seperti ada yang terlepas dari tangan.

Arumi terus melangkah, semua orang sudah tahu, di mana letak proyek yang sedang dikerjakan, dan kemudian ia berdiri di depan pintu masuk yang baru setengahnya berdiri. Beberapa pekerja menatapnya kagum. Arumi cantik selalu menarik perhatian. Kulitnya yang putih dan wajahnya yang berseri-seri membuat semua orang menyukainya.

“Arumi, apa yang kamu lakukan di situ?”

“Mau ngebantuin mengaduk semen?”

Arumi tersenyum mendengar godaan para pekerja.

“Ada pak Bachtiar?” tanyanya.

“Oh, pak Bachtiar sedang pergi. Yang ada mandor Yono. Tuh, di sana.”

Arumi menatap ke arah yang ditunjuk, dan Suyono memang sedang menatapnya. Melihat Arumi Suyono berdiri dan mendekat.

“Arumi? Syukurlah kamu sudah kembali. Siapa yang menculik kamu?”

“Tidak ada.”

“Tidak ada? Kok kamu bisa hilang? Ada hantu tampan menggondol kamukah?” goda Suyono.

“Tidak. Aku hanya khilaf, pergi tanpa pamit. Aku sekarang mau ketemu mas Tiar.”

“Mas Tiar? Oh, maksudnya pak Bachtiar?”

“Iya.”

“Pak Bachtiar pergi sejak pagi. Dia kan juga sedang mengerjakan proyek yang lain. Proyek air bersih itu. Nanti kamu tidak akan susah-susah mencari air di sumber.”

“Di mana itu?”

“Tidak tentu di mana, ada beberapa titik yang sedang dikerjakan. Kamu mau menunggu di sini? Biar aku temani. Tapi belum tentu pak Bachtiar akan kembali kemari, atau kalaupun kemari, aku tidak tahu jam berapanya.”

“Ya sudah, aku pulang saja. Kalau pak Bachtiar datang, bilang kalau aku mau ketemu dia, ya.”

“Tadi mas Tiar, sekarang pak Bachtiar,” goda Suyono lagi.

“Kebiasaan saja. Sudah ya mas Yono, aku pulang dulu.”

“Mau aku antar? Eh, nggak jadi, nanti aku dimarahi pak Bachtiar.”

Arumi hanya tersenyum menanggapi. Kemudian dia melangkah pergi.

Ketika ia melewati toko pak Carik, Wahyuni berteriak memanggilnya. Karenanya Arumi terpaksa berhenti.

Wahyuni keluar dari toko, mendekatinya.

“Ya ampun Rumi, senang melihat kamu kembali.”

“Aku tidak apa-apa. Mas Sutris yang menolongku.”

“Iya, Sutris sudah cerita, sampai dia berantem dengan penjahatnya.”

Arumi agak terkejut mendengarnya, karena sebenarnya kan Sutris dipukuli Bachtiar dan tidak mampu membalas. Tapi dirinya dan Sutris sudah tenggelam di dalam kebohongan, yang sebenarnya membuat Arumi sangat tertekan. Ia ingin segera terlepas dari belenggu kebohongan itu, karena setiap orang bertanya, selalu jawabnya adalah bohong. Benar kata orang, bahwa kebohongan tidak akan berdiri sendiri. Akan ada kebohongan dan kebohongan yang lain terus mengikutinya, dan semakin akan bertambah panjang.

“Aku pulang dulu ya Mbak.”

“Nggak mampir belanja dulu? Kamu dari mana sih?”

“Dari ... sana, ayuk, aku pulang dulu,” kata Arumi sambil kemudian berlalu, karena ia tak ingin lebih banyak pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Wahyuni menatapnya heran, mengapa "Arumi tampak tergesa-gesa? Padahal aku ingin bertanya, setelah diselamatkan Sutris, apakah kemudian mau menerima cinta Sutris." 

Wahyuni kembali masuk ke dalam toko, karena toko sudah mulai ramai pembeli.

Sementara itu Arumi bergegas pulang. Sebisanya ia menghindari bertemu orang-orang yang dikenalnya, karena tak ingin lagi mengarang cerita, dan terbebani dengan kebohongan demi kebohongan yang akan tercipta karenanya.

Namun ketika ia hendak menyeberang, sebuah mobil melintas. Arumi terkejut. Bukankah itu mobil Bachtiar? Mungkinkah dia tak melihatnya sehingga berlalu begitu saja? Rasanya tak mungkin, dia siap menyeberang, berarti berdiri agak ke tengah. Mustahil kalau tidak melihatnya. Arumi tertegun beberapa saat lamanya.

***

Besok lagi ya.

Wednesday, November 27, 2024

KUCARI MEGA BIRU


KUCARI MEGA BIRU

(Tien Kumalasari)


Mengurai mimpi

Menunggu datang mu pagi

Kusibakkan awan kelabu

Kucari mega biru

Haiii ...

Selamat malaaam


-----




KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 23

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  23

(Tien Kumalasari)

 

Bu Carik terbelalak mendengar apa yang dikatakan Sutris. Wahyuni bahkan sampai mendekat agar bisa mendengar ceritanya lebih jelas.

“Apa katamu? Jadi kamu luka-luka seperti itu dalam rangka membebaskan Arumi dari tangan penculik? Begitu?" kata Wahyuni yang memperjelas ucapan adiknya.

“Iya.”

“Bagaimana ceritanya? Wah, kamu jadi pahlawan dong,” kata Wahyuni lagi.

“Sebenarnya siapa yang menculik Arumi?” tanya bu Carik.

“Ya penculik, aku tidak nanya namanya, langsung membawa pulang Arumi.”

“Di mana, dan bagaimana kamu bisa menemukan Arumi bersama penculik itu?”

“Ada apa sebenarnya mereka menculik Arumi? Jadi Arumi keadaannya bagaimana? Baik-baik sajakah? Sudah di rumah ya sekarang?”

“Waduh, pertanyaannya panjang, ceritanya juga panjang. Aku mau ke kamar mandi dulu,” kata Sutris sambil berlalu.

Bu Carik membiarkannya. Ia memerintahkan kepada Wahyuni agar menyiapkan obat merah untuk luka-luka yang disandang Sutris.

“Itu bukan luka Bu, hanya lebam. Bibirnya yang luka, masa dikasih obat merah, nanti masuk ke mulut bagaimana?”

“Kalau begitu kompres air hangat saja. Siapkan serbet atau apa, rendam dengan air hangat,” titah bu Carik yang sebenarnya merasa bersyukur Arumi sudah kembali. Hanya saja harus mengorbankan anaknya walau hanya luka-lebam.

Tapi sebenarnya Sutris sedang memikirkan jawaban yang tepat tentang luka-luka itu, dan bagaimana dia bisa melihat Arumi dibawa penculik, lalu bagaimana dan seribu bagaimana terus memberati kepalanya. Sebenarnya Sutris lebih baik berterus terang saja tentang keadaan yang sebenarnya, tapi ada hal yang membuatnya menahan keinginan itu. Pertama, Arumi takut pada ancaman Luki yang akan mencelakakan keluarganya kalau sampai Arumi atau Sutris menyebut namanya. Kedua, ayahnya juga terlibat. Kalau sampai menjadi urusan, ayahnya bisa saja masuk penjara. Sutris bingung memikirkannya. Ia juga bingung mengapa sang ayah bekerja sama dengan Luki untuk menculik Arumi, dan melepaskannya setelah dirinya datang, walau dengan ancaman.

Sutris mengguyur tubuhnya berkali-kali, untuk mendinginkan otaknya yang panas karena memikirkan kejadian sehari itu.

Masih mengguyurnya dengan air berkali-kali, ketika pintu kamar mandi digedor dari luar.

“Tris, kamu mandi apa ketiduran? Lama banget sih?” itu teriak Wahyuni. Barangkali ia ingin segera mendengar cerita adiknya yang menjadi hero dalam penyelamatan Arumi. Wahyuni membayangkan pertarungan di televisi, antara seorang pahlawan dan penjahat yang baru saja melakukan kejahatannya. Pasti ceritanya akan seru. Ia menggedor pintu kamar mandi lagi, dan membuat Sutris berteriak marah.

“Ada apa sih Mbak?”

“Kamu tuh mandi atau tidur sih?”

“Kamu juga mau mandi?”

“Bukan, pokoknya cepat keluar.”

Mau tak mau Sutris harus menghentikan ritual mandi sambil berpikir itu. Sambil membalut tubuhnya dengan handuk, dia membuka pintu kamar mandi dan berlalu.

“Cepat berpakaian.”

“Aku nggak akan berpakaian.” kata Sutris sambil langsung masuk ke kamar dan menutup pintunya. Ia tahu, kakaknya buru-buru ingin segera mendengar ceritanya, padahal dia belum siap.

“Yang nggak berpakaian itu kan monyet,” teriaknya sambil terkikik dan menutup mulutnya.

“Eh, ngatain adiknya kok seperti monyet. Kalau adiknya monyet, kakaknya juga monyet kan?” kata bu Carik sambil tertawa.

“Lha ibunya…..?" lanjut Wahyuni cekikikan.

“Eh… aku juga dikatain monyet? Kualat kamu.”

“Maaf Bu, maaf, bercanda,” kata Wahyuni sambil menutup mulutnya.

“Lama sekali sih Sutris nih.”

“Biar dia makan dulu, wajahnya pucat, pasti dia belum makan juga.”

“Wajahnya pucat, habis bertarung seperti cerita sinetron.”

“Dia juga pasti kesakitan.”

Dan sebenarnya Sutris juga sedang berpikir, mengapa tiba-tiba Bachtiar menghajarnya? Karena dia datang bersama Arumi, lalu dia marah? Apa laki-laki tampan itu jatuh cinta pada Arumi?

“Coba saja dia memberi waktu untuk membalas, aku pasti juga bisa membuat luka lebam di wajahnya,” gumamnya kesal.

“Lagipula aku sungkan pada lik Truno, itu sebabnya aku memilih langsung pergi.”

“Tris,” ketukan dipintu kamar terdengar. Lebih keras dari ketukan di kamar mandi.

“Ada apa sih?”

“Makan dulu, tuh, sudah disiapin semua kesukaan kamu.”

Sutris baru sadar bahwa dia memang lapar. Ia segera keluar dari kamar setelah berganti pakaian.

“Nah, akhirnya ternyata kelihatan kalau bukan monyet,” canda Wahyuni.

“Enak aja.”

“Kamu kan tadi bilang enggan berpakaian. Monyet kan?”

“Sudah, dari tadi monyat-monyet terus. Makanlah,” kata sang ibu sambil mengambil lap yang dicelupkan di air hangat, lalu dikompreskan di wajah Sutris yang lebam.

“Sudah Bu, bagaimana bisa makan kalau wajahku ditutup begini.”

“Ini hanya di tempat yang lebam, sambil makan kan nggak apa-apa. Hanya biar lebamnya segera pulih.”

“Nggak usah, nanti saja Sutris melakukannya sendiri.”

“Ya sudah, makan saja dulu. Itu kesukaan kamu kan? Sambal pete, sayur nangka muda, bandeng presto goreng.”

“Bagaimana ceritanya kamu bisa membebaskan Arumi dari tangan penculik?” sela Wahyuni.

“Ya nggak ada ceritanya. Cuma begitu saja.”

“Ngomong yang jelas, ibu juga pengin tahu bagaimana ceritanya kamu bisa menjadi pahlawan untuk Arumi.”

Sutris mengunyah suapan pertamanya.

“Sutris makan dulu ya.”

Muter-muter, akhirnya Sutris hanya mengatakan pas jalan sendiri, mendengar Arumi berteriak di sebuah rumah, lalu Sutris datang dan menghajar seorang penculik. Begitu saja.

“Pasti penculiknya berbadan kecil, kurus, lemah pula, buktinya kamu bisa mengalahkannya, walaupun wajahmu lebam-lebam."

“Ya bisa, aku kan bersemangat sekali, sedangkan dia tidak siap. Ya sudah, dia aku tinggalkan, karena pingsan, lalu Arumi aku ajak pergi. Sekarang sudah pulang di rumahnya.”

“Di mana itu, mengapa semua orang mencari di sekitar sini tidak ada yang bisa menemukannya?” tanya Wahyuni.

“Agak jauh dari desa ini, aku kan sedang ingin jalan-jalan. Sudah pertanyaannya, aku bisa keseretan nih.”

“Kan ada kuahnya, bagaimana bisa keseretan.”

“Nanti dulu, bukankah kamu tadi pergi bersama ayahmu?” tanya bu Carik yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.

“Aku turun di jalan, memaksa. Nggak tahu di mana itu. Aku sedang mau mencari kendaraan untuk pulang, lagi jalan mendengar Arumi berteriak.”

”Apakah penculik itu sempat melukai Arumi, atau melakukan hal yang tidak senonoh?”

“Tidak, atau mungkin belum. Ia terselamatkan karena ada aku.”

“Allah Maha Besar. Arumi gadis yang baik. Allah menyelamatkannya,” gumam bu Carik tulus.

“Sudah, jangan bertanya lagi, aku mau makan dulu dan beristirahat."

Lalu Wahyuni maupun bu Carik kemudian tidak bertanya apapun lagi. Membiarkan Sutris menyelesaikan makannya.

“Setelah makan dikompres dengan lap hangat ya, aku tambahin lagi air hangatnya.”

“Nanti biar Sutris sendiri melakukannya.”

“Ya sudah, terserah kamu saja.”

***

Arumi bercerita mirip apa yang dikatakan Sutris kepada ibu dan kakaknya. Malam itu ia mendengar suara minta tolong, lalu keluar dan dibius, lalu dibawa pergi. Ia mengatakannya dengan terbata-bata. Pertama karena ia tak biasa berbohong, keduanya ia harus mengarang-ngarang cerita demi keselamatan keluarganya, semua itu sangat sulit baginya.

“Bagaimana tiba-tiba bisa ada Sutris di sana?”

“Siang hari itu entah bagaimana, mas Sutris lewat tempat itu. Kelihatannya sedang mengikuti ayahnya urusan pekerjaan atau apa,” lalu turun di dekat Rumi disekap.

“Bagaimana dia bisa tahu kalau ada kamu di tempat itu?”

“Itu … katanya … dia mendengar Rumi berteriak.”

“Dia bertarung dengan penculik? Ada berapa orang?”

“Du … dua, tapi … mas Sutris lewat pintu belakang, dan bisa kabur membawa Arumi.”

Arumi memijit-mijit kepalanya yang terasa pusing.

“Ya sudah Pak, sekarang sudah jelas, jangan marah-marah lagi pada Arumi, dia sepertinya letih, biar makan dulu dan beristirahat,” kata mbok Truno.

“Penculik itu mengganggumu? Melakukan hal buruk yang tidak senonoh, misalnya?” tanya pak Truno yang masih merasa khawatir.

“Tidak, Pak.”

“Lalu apakah dia mengatakan, mengapa menculik kamu?”

“Tidak. Arumi juga tidak mengerti.”

“Ya sudah, makan dan istirahatlah.”

Ketika Arumi makan di dapur, pak Truno memanggil istrinya.

“Mbokne, uang dari Sutris kembalikan saja besok, kita kan tidak menggunakannya sama sekali.”

“Ya, sekaligus aku akan minta maaf karena kita menuduhnya yang tidak-tidak. Bahkan nak Tiar sampai menghajarnya. Mungkin mengira Sutris adalah penculiknya. Tanpa bertanya langsung memukulinya. Kasihan Sutris."

“Lalu mengapa dia menculik anak kita. Pernah ada cerita, seorang penjahat menculik anak kecil. Tapi anak kecil itu anak orang kaya. Dia minta tebusan. Lhah kita, bukan orang kaya, mengapa dia melakukannya?”

“Aku juga bingung Pak. Mungkin dia menyukai Arumi, dan ingin memaksanya, tapi belum berhasil, Arumi bisa melarikan diri karena nak Sutris.”

“Ya sudahlah, semoga akan ada titik terang, mengapa hal ini bisa terjadi. Tapi setidaknya kita lega, karena Arumi sudah kembali, tidak kurang suatu apa.”

Keduanya hanya berbincang tentang ketidak tahuan mereka, dan mengapa Bachtiar tanpa bertanya lalu memukuli Sutris. Mereka tidak tahu, bahwa ada sebuah pesan di ponsel Bachtiar yang mengatakan sesuatu, dan itu membuatnya sangat marah.

***

Di pagi buta, dengan wajah yang masih lebam, Sutris sudah keluar rumah. Ibunya sedang ada di dapur, ayahnya belum bangun. Sutris harus menemui Arumi dan menanyakan keadaannya. Ia juga harus mencocogkan cerita karangan mereka terhadap siapapun yang bertanya. Ia membawa sepeda motor ayahnya, supaya cepat sampai dan bisa segera kembali sebelum ayahnya marah karena mencari sepeda motornya. Kecuali itu ada yang ingin ditanyakannya kepada sang ayah tentang keterlibatan ayahnya atas terjadinya penculikan Arumi.

Kebetulan sekali ketika Sutris datang, Arumi sedang menyapu halaman. Melihat Sutris datang, Arumi mendekatinya.

“Ya ampun Mas, wajahmu seperti itu,” kata Arumi.

“Tidak apa-apa, ini sudah lumayan, karena ibuku mengompresnya dengan air hangat.”

“Mengapa pagi-pagi sudah sampai di sini?”

“Kamu mengatakan apa pada orang tuamu tentang kejadian itu?”

Lalu Arumi juga mengatakan apa yang dikatakannya kepada orang tuanya. Sutris mengangguk puas, berarti mirip dengan ceritanya kepada ibunya kemarin sore.

“Aku minta maaf, karena mas Bachtiar tiba-tiba menghajar kamu. Dia pasti mengira kamu yang telah menculik aku.”

“Iya, aku bisa mengerti, karena ia melihat kamu datang bersama aku.”

“Entah bagaimana, mengapa dia tidak bertanya lebih dulu.”

“Kelihatannya pak Bachtiar suka sama kamu, jadi ia cemburu melihat kita datang bersama.”

Mendengar perkataan itu, wajah Arumi bersemu merah. Benarkah Bachtiar suka pada dirinya? Tapi Arumi tidak menjawab sepatah katapun, kecuali hanya sekali lagi meminta maaf atas nama Bachtiar.

Ada rasa sakit dihati Sutris mengetahui bahwa ada orang lain yang menyukai Arumi, dan tampaknya Arumi tidak menolaknya. Keinginannya yang menggebu untuk segera melamarnya supaya tidak kedahuluan orang lain, ternyata tak ada gunanya. Ia segera ingin pamit, ketika tiba-tiba pak Truno memanggilnya.

“Itu Sutris ya?”

Sutris terkejut. Apakah pak Truno akan memarahinya?

“Kemarilah sebentar, kebetulan kamu datang.”

Suara itu begitu ramah, mungkin karena Arumi sudah mengatakan tentang cerita yang mereka karang bersama.

Sutris meninggalkan sepeda motornya di tepi jalan, mendekati pak Truno yang masih berdiri di tengah pintu.

“Mbokne, bawa uang itu kemari, kebetulan ada Sutris nih,” titah pak Truno kepada istrinya.

Mbok Truno keluar sambil membawa uang, dengan tersenyum ia menyerahkan uang itu kepada Sutris.

“Terima kasih kamu telah menyelamatkan Arumi. Ini uang yang dibawa bu Carik, kami tidak menggunakannya."

Untunglah bu Carik semalam mengatakan tentang keinginan pak Truno dan istrinya yang ingin memenuhi permintaan dukun itu, sehingga Sutris bisa mengerti kalau uang yang diberikannya tidak digunakan oleh pak Truno. Tapi Sutris menolaknya.

“Tidak usah Lik, pakai saja uangnya, untuk keperluan yang lain."

“Jangan. Kami tidak mau berhutang. Terima kembali uangnya. Bukankah aku sudah bilang dulu itu, bahwa aku akan mencicilnya kalau jadi menggunakan uang ini? Tolong terimalah. Aku juga berterima kasih karena kamu sudah membawa Arumi kembali dengan selamat.”

Sutris terpaksa menerima kembali uangnya, kemudian berpamit untuk pulang.

***

Tapi sesampai di rumah, pak Carik marah-marah karena Sutris memakai sepeda motornya tanpa bilang kepadanya.

“Dari mana kamu? Dan mengapa wajahmu itu?”

“Ini, karena ulah Bapak.”

“Aku?” pak Carik berteriak.

“Sekarang jawab Sutris Pak, apa sebenarnya yang Bapak inginkan? Mengapa Bapak bekerja sama dengan perempuan jahat seperti Luki? Apa yang Bapak inginkan?”

“Dasar bodoh! Bukankah kamu menginginkan Arumi? Aku sudah membawanya untukmu.”

“Apa?”

“Bukankah kamu sudah menikmatinya? Tapi jangan harap aku mengijinkan kamu untuk memperistrikannya. Kalau dia hamil, suruh gugurkan saja, aku tidak sudi punya menantu dia.”

Sutris terpana. Ia tidak mengerti apa yang ayahnya katakan.

***

Besok lagi ya.

 

ADA MAKNA 28

ADA MAKNA  28 (Tien Kumalasari)   Wanda terus mengamati buku itu, dan kemarahan kemudian menyergap batinnya. Ia merasa dikhianati oleh sang ...