KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 25
(Tien Kumalasari)
Arumi masih tegak di pinggir jalan, menatap laju mobil Bachtiar yang sangat kencang, dan membuat debu jalanan berhamburan.
“Mas Tiar, masa kamu tidak melihat aku?” gumamnya seperti merintih, sakit.
Arumi melanjutkan menyeberang jalan, menuju pulang, dengan hati yang kusut.
Bermacam pemikiran berkecamuk dalam batin. Apakah Bachtiar benar-benar marah, atau memang tak melihatnya.
“Mengapa mas Tiar bersikap begitu? Apakah dia marah? Soal pulangnya aku bersama mas Sutris? Harusnya dia bicara, bertanya, bukan tiba-tiba memukul orang, lalu pergi begitu saja. Tanpa pamit pula. Hal yang tak biasa dia lakukan. Ya Tuhan, mengapa marah Mas?” gumamnya sedih. Tak tahu harus berbuat apa. Arah datangnya mobil Bachtiar berlawanan dengannya, apakah dia akan ke proyek di mana tadi dia ke sana? Ingin Arumi kembali, tapi diurungkannya.
“Aku sudah pesan mas Yono bahwa aku ingin bertemu. Kalau dia bisa menerima pesan itu, pasti dia akan datang ke rumah. Tapi kalaupun tidak, terserah saja. Untuk apa aku memikirkannya? Nanti aku malah bertambah pusing.”
Tapi untuk tidak memikirkannya, sangat sulit bagi Arumi, karena bayangan Bachtiar terus memenuhi benaknya.
“Arumi?”
Arumi berhenti melangkah. Sutris sedang mendekatinya dengan sepeda. Arumi tak melihatnya, walau Sutris datang dari arah depan. Tentu saja, karena Arumi berjalan sambil menundukkan wajahnya.
“Kamu dari mana?” tanya Sutris setelah ia menghentikan sepedanya.
“Dari sana.”
“Sana mana? Bukan dari belanja kan?”
“Ingin menemui pak Bachtiar, tapi tidak ketemu.”
“Aku melihat mobil melewati aku, sepertinya itu mobil pak Bachtiar, aku pernah melihatnya di proyek. Apa kamu tidak melihatnya?”
Arumi hanya menggeleng.
“Aneh, bukannya tadi lewat sini? Ini satu-satunya jalan ke arah proyek.”
“Mungkin aku tidak melihatnya.”
“Kamu jalan sambil menunduk sih. Ayo aku antar ke sana.”
“Tidak, aku mau pulang saja.”
“Baiklah, aku boncengkan ya.”
“Tidak usah, kamu mau ke toko kan?”
“Iya, ngantar pulang kamu dulu tidak apa-apa.”
“Wajahmu masih sedikit lebam, mau bekerja di toko?”
“Mau menemui bapakku. Ada yang ingin aku bicarakan.”
“Soal penculikan itu?”
“Tidak, aku ingin melanjutkan sekolah lagi.”
“Wah, bagus Mas. Mau kuliah ya?”
“Kalau bapak mengijinkan. Dulu pernah dilarang, disuruh bekerja saja. Tapi sekarang aku ingin sekali bisa melanjutkan kuliah.”
“Bagus Mas, aku ikut senang.”
“Ya sudah, ayo aku antarkan kamu pulang.”
“Katanya mau ke toko?”
“Tidak apa-apa, mengantarkan kamu dulu.”
“Tidak repot?”
“Tidak, mengapa repot? Ayuh, cepat naik.”
Arumi tersenyum, kemudian naik ke boncengan sepeda Sutris. Ia juga sudah lelah, berjalan pulang pergi tanpa hasil.
***
Begitu Bachtiar sampai di proyek, Suyono langsung menyambut kedatangannya.
“Wah, Bapak terlambat sedikit.”
“Terlambat apanya?”
“Barusan Arumi datang kemari, mencari Bapak.”
“Dia bilang apa?”
“Tidak bilang apa-apa, hanya mengatakan kalau ingin ketemu, begitu. Kasihan dia berjalan kaki. Saya ingin mengantarkan, tapi takut kena marah.”
“Siapa yang marah?”
“Bapak,” kata Suyono cengengesan. Tapi Bachtiar tak menggubrisnya.
“Aku hanya ingin mengambil map biru di laci meja. Tolong diambilkan,” titahnya.
“Baik,” kata Suyono yang bergegas mengambilkan.
“Aku tergesa-gesa. Tadi hanya akan mengambil map ini,” kata Bachtiar yang segera kembali masuk ke mobil.
“ Apa tadi Bapak tidak ketemu Arumi di jalan? Belum lama, harusnya Bapak berpapasan.”
Tapi Bachtiar langsung menutup pintu mobil, menghidupkan mesinnya dan berlalu.
“Orang sibuk, diberitahu tentang kekasihnya, tidak menggubris? Sebetulnya mereka pacaran tidak sih? Tapi Arumi kan masih sangat muda. Paling-paling umurnya enambelas atau tujuhbelas tahun. Kalau untuk anak desa sih, sudah cukup umur, tapi dengan pak Bachtiar sepertinya terpaut jauh. Kok aku bisa menduga kalau mereka pacaran sih? Hanya karena perhatiannya yang besar kepada Arumi? Memang sih, sejak awal pak Bachtiar sudah menanyakan tentang gadis bernama Arumi, lalu kabarnya pak Bachtiar sering ke rumah Arumi, membelikan air bergalon-galon agar Arumi tidak kelelahan mengambil air di sumber. Seperti apa ya hubungan mereka? Aduh, kok aku jadi kepikiran tentang mereka sih?”
Suyono terus saja berpikir sehingga lupa bahwa rokoknya habis.
***
Bachtiar melajukan mobilnya. Diam-diam, apa yang dikatakan Suyono mengusik hatinya. Untuk apa Arumi mencarinya? Ingin rasanya bertemu, tapi untuk apa? Bukankah Arumi sudah dekat dengan Sutris anak pak Carik? Bahkan Sutris berani menculiknya, lalu mereka kembali dengan sangat akrab, berbincang manis. Pasti pertemuan mereka di tempat yang entah dimana itu, sangat menyenangkan. Bachtiar yang menyadari bahwa hatinya benar-benar terpikat pada gadis yang senyumnya sehangat matahari itu, sekarang merasa patah hati. Itu sebabnya ketika tadi melihat Arumi di jalan, ia malah mempercepat laju mobilnya. Sakit membayangkan gadis idamannya sedang berdua dengan laki-laki lain.
“Ya sudahlah, pilihanmu adalah pasti yang menurutmu terbaik. Barangkali aku terlalu tua untukmu. Semoga kamu ….”
Belum selesai Bachtiar bergumam, ia melihat sosok yang sedang dipikirkannya.
“Bukankah itu Arumi? Aku tidak lupa dengan baju yang dipakainya. Tadi memang dia berjalan kaki, tapi sekarang dia sedang membonceng seseorang. Siapa dia?” gumam Bachtiar.
Ketika sudah di depan mereka, Bachtiar memperlambat laju mobilnya, untuk melihat laki-laki yang membawa Arumi di boncengannya. Lalu darahnya kembali mendidih.
“Bukankah itu laki-laki yang aku hajar kemarin sore?”
Bachtiar kembali mempercepat laju mobilnya, dan lagi-lagi tak peduli dengan debu yang mengepul tinggi di jalanan yang dilaluinya.
“Itu … itu … bukan mobil pak Bachtiar?” kata Sutris sambil terbatuk-batuk.
Arumi bukan tak melihatnya. Hatinya berdebar tak karuan. Debar yang sakit, karena dia sadar bahwa Bachtiar benar-benar tak peduli padanya. Apalagi sekarang dia sedang bersama Sutris. Orang yang kemarin sore dihajarnya tanpa sebab.
“Dia pasti melihat kita. Mengapa tak mau berhenti?”
“Biarkan saja, dia orang sibuk,” kata Arumi sambil menahan kesedihan di hatinya.
Apa yang bisa dia perbuat? Kalau Bachtiar memang tak lagi mau mempedulikannya, Arumi akan menerimanya. Dulu dia tidak mengenalnya, kalau sekarang tidak, itu bukan masalah. Kata batin Arumi. Tapi benarkah itu yang dirasakannya? Kalau benar mengapa harus ada nyeri di dalam dada? Lagipula siapa dirinya maka berharap mendapat perhatian dari orang pintar nan kaya raya seperti Bachtiar. Arumi mengelus dadanya sendiri. Berharap bisa mengendapkan perasaan yang belum pernah dirasakannya ini.
Sutris menghentikannya di depan pagar, atas permintaan Arumi.
“Sampai di sini saja, Mas. Terima kasih sudah mengantar.”
Sutris hanya tersenyum. Gadis itu seperti sedang berduka. Apa karena Bachtiar tidak menyapanya? Apa Bachtiar marah karena semalam Arumi pulang bersamanya, dan karena itu pula maka dia menghajarnya? Kalau benar begitu, Sutris merasa kasihan terhadap Arumi. Ia yakin, ada sesuatu diantara mereka.
Sutris pergi setelah melambaikan tangannya.
***
Mbok Truno sedang menyiapkan makan untuk suaminya, ketika Arumi mendekatinya.
“Biar nanti aku saja yang mengirim makan untuk bapakmu, Rum. Kamu pasti capek. Tadi ketemu nak Bachtiar?”
“Tidak Mbok, dia punya pekerjaan di tempat lain.”
“Ya sudah, nanti kalau dia pas datang kemari kamu kan bisa menjelaskannya. Kasihan Sutris sampai wajahnya bengkak begitu.”
“Biar Arumi saja yang mengantar makanan ke sawah Mbok.”
“Kamu sudah berjalan jauh, lebih baik istirahat saja di rumah. Tiduran sana. Ayahmu juga meminta begitu, agar kamu istirahat dulu.”
“Tidak apa-apa. Arumi sudah biasa berjalan jauh. Masa siang-siang tiduran?”
“Kamu kalau dikasih tahu kok ngeyel.”
“Sungguh tidak apa-apa. Tadi ditengah jalan ketemu mas Sutris, lalu Arumi dibonceng pulang sampai ke rumah."
Mbok Truno tak bisa mencegah, ketika Arumi nekat mengantarkan makanan untuk ayahnya di sawah.
***
Wahyuni yang berada di toko terkejut ketika kembali terdengar orang berteriak meminta rokok.
“Pasti mas Yono,” gerutunya kesal, karena Suyono masih saja sering membeli rokok.
“Iya, sudah sejak pagi tidak merokok.”
“Memangnya kenapa kalau tidak merokok?”
“Pait, mulutnya.”
“Hisap permen saja. Ada yang pahit, atau pedas, nih, ada.”
“Ya udah, sama permen pahit dan pedas tapi rokoknya tetep ya,” kata Suyono cengengesan, membuat Wahyuni cemberut.
“Ini sudah banyak berkurang, tidak seperti sebelumnya, sehari nggak sampai sebungkus. Tenang saja, lama-lama aku berhenti kok.”
“Benar?” kata Wahyuni yang melayani, tapi yang kemudian heran pada dirinya sendiri, mengapa harus peduli pada orang merokok, padahal bukan siapa-siapanya.
“Apa kamu selalu begitu kepada setiap orang yang membeli rokok?” tanya Suyono tiba-tiba, dan Wahyuni sangat terkejut mendengarnya. Ya, benar pertanyaannya, tapi yang dia bingung menjawabnya. Apakah dia selalu memarahi setiap orang yang membeli rokok? Wajah Wahyuni bersemu merah.
“Hei, aku bertanya padamu.”
“Apa?”
“Apa kamu selalu memarahi setiap pembeli rokok di toko ini?”
“Kenapa bertanya begitu sih? Ini kembaliannya,” kata Wahyuni yang ingin mengalihkan pembicaraan.
“Ditanya kok jawabnya malah ganti bertanya.”
Wahyuni hanya tersenyum. Suyono menatapnya, dan merasa heran. Berkali-kali ia merasa, ternyata Wahyuni manis juga kalau tersenyum.
“Apa kamu sudah tahu, kalau Arumi sudah kembali?” tanya Wahyuni yang benar-benar ingin mengalihkan pembicaraan.
“Sudah ketemu. Tadi pagi ke proyek.”
“Ke proyek? Pengin kerja di sana?”
“Bukan, mencari pak Bachtiar, tapi belum ketemu.”
“Oo,” hanya itu jawabnya, lalu keinginan agar Arumi menerima adiknya setelah diselamatkannya, menjadi pupus.
“Ya sudah, aku balik ya,” katanya sambil melempar senyum ke arah Wahyuni, yang ditanggapinya dengan wajah tersipu. Mengapa senyum-senyum segala sih. Kata batinnya. Tapi tanpa disadari, sejak detik itu ada perasaan aneh yang mengganggunya, tentang sosok laki-laki tinggi besar yang dulu pernah menolaknya. Bukan secara langsung, tapi ia mendengar ketika ayah dan ibunya berbincang.
***
Pak Truno heran ketika melihat Arumi datang mengirim makan. Padahal dia sudah melarangnya.
“Mengapa kamu? Tadi aku sudah berpesan sama mbokmu, sebaiknya kamu istirahat saja di rumah.”
“Tadi simbok juga melarang, tapi Arumi yang pengin,” katanya sambil meletakkan rantang makanannya di pematang.
“Dasar bandel.”
Arumi hanya tersenyum. Tapi pak Truno melihat senyuman itu seperti dipaksakan. Wajah Arumi tampak pucat dan kuyu, seperti sedang menahan sebuah perasaan yang tidak menyenangkannya.
“Apa kamu sakit?”
“Tidak, mengapa Bapak bertanya begitu?”
“Wajahmu pucat. Atau tidak tampak cerah seperti biasanya. Apa yang kamu pikirkan?”
“Bapak mengada-ada, Arumi baik-baik saja kok,” kata Arumi sambil mengusap wajahnya.
“Ya sudah kalau memang tidak apa-apa. Bapak makan ya,” katanya sambil mencuci tangannya dengan air yang dibawakan Arumi.
Arumi menunggui ayahnya makan, duduk begitu saja di pematang yang kering. Bayangan mobil yang melintas sambil meninggalkan debu mengepul, terus saja diingatnya, membuatnya nyeri. Mengapa nyeri? Kalau Bachtiar tak peduli, haruskah ditangisi? Dia bukan siapa-siapa baginya. Hanya orang baik yang selalu memperhatikannya. Mengingat hal itu, tak terasa matanya berkaca-kaca. Dan sialnya, sang ayah melihatnya.
“Kamu menangis?”
“Apa?” kata Arumi terkejut. Ia segera mengusap matanya yang sedikit basah.
“Kamu seperti menangis.”
“Bapak nih, Arumi sebenarnya mengantuk,” kata Arumi sekenanya.
“Makanya, kamu itu lelah. Nanti pulang langsung tidur saja.”
“Baiklah.”
***
Hari terus berlalu, dan bulan demi bulan sudah lewat. Proyek pasar yang dibuat Bachtiar sudah menjadi pasar yang bersih dan ramai.
Hari itu ketika pak Truno sedang mengerjakan sawah, tiba-tiba Bachtiar muncul dengan membawa bungkusan berisi makanan.
“Nak Tiar? Lama sekali tidak bertemu,” kata pak Truno.
“Iya Pak, maaf. Saya sangat sibuk, sehingga tidak sempat mampir ke rumah. Saya hanya ingin memberi tahu, bahwa proyek air bersih itu sudah selesai. Nanti akan ada pipa yang akan dipasang di setiap rumah, bagi yang membutuhkannya. Untuk rumah Bapak, hari ini juga sudah akan dikerjakan. Mohon maaf sekali lagi, saya tidak bisa menunggui, karena ada pekerjaan lain. Saya berharap, Bapak dan keluarga selalu sehat. Saya mohon diri, dan maaf juga karena tidak sempat pamit ke rumah.”
Panjang lebar yang dikatakan Bachtiar, membuat pak Truno terpana. Bachtiar sudah menyelesaikan pekerjaannya, dan tidak sempat mampir ke rumah. Ada sesuatu yang tersimpan di hati Bachtiar, yang tertangkap di mata tua pak Truno.
Sampai kemudian Bachtiar pergi, pak Truno masih merasa heran, kenapa Bachtiar sudah berbulan-bulan tidak lagi pernah ke rumah.
***
Siang hari itu, Arumi mengirim makan untuk ayahnya, seperti biasa. Tapi ia heran melihat sebuah bungkusan besar terletak di pematang, dan sang ayah duduk melamun di samping bungkusan itu.
“Pak. Itu bungkusan apa?”
Dan Arumi merasa sesuatu telah terbang dari hatinya, ketika mendengar penjelasan yang diberikan ayahnya tentang apa yang dikatakan Bachtiar.
***
Besok lagi ya.
Hore
ReplyDeleteSuwun mb Tien, smg sht sll
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteHamdallah
ReplyDeleteAlhamdullilah .
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteTrima kasih Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah... matur nuwun bu Tien sehat2 aelalu
ReplyDeleteAlhamdulillah.... terimakasih Bunda...semoga sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah...matur nuwun buTien sehat selalu...Selamat berkumpul...salam unt semua nya
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien..sehat selalu
ReplyDeleteMaturnueun Bu Tien ...semoga sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah... terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteNah, ini nih...mulai nampak kontrasnya...timbul konflik cinta segitiga Bachtiar-Arumi-Sutris dan pendekatan Suyono-Wahyuni. Seru pasti, mulai baper...😁
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat selalu.🙏🏻🌹😘😘
Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda selalu sehat
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 25 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Tiar nyalinya kecil, masak cemburu buta, berbulan2 tdk mau menemui Arumi, sampai kapan sakit hati nya di tahan terus..kapan mau menemui Arumi
Ini cerita paling asyik dari bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillaah, berjumpa & foto bersama dg Bu Tien serta pak Tom
ReplyDeletePada JF5 Joglosemar.
matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat ,🤗🥰
Bachtiar, jgn marah ya,,,sabaaar Arumi
Maturnuwun bun, senengnya bertemu bu Tien... selamat dan sukses ya bun
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih tayangan cerbungnya bu tien
Semoga bu tien sehat² n senantiasa dimudahkan segala urusannya
Alhamdulillah.. hiburan malamnya sdh tayang ...
ReplyDeleteMatur suwun Bunda ..😍
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien sem9ga sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun ibu 🙏🏻
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien ... K BTS ke 25 sdh tayang dan sdh dibaca ... tambah seru nih ceritanya ... kasihan Arumi ...
ReplyDeleteSmg bu Tien & kelrg happy dan sehat selalu ... Salam Aduhai .