Thursday, November 28, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 24

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  24

(Tien Kumalasari)

 

Sutris menatap ayahnya yang tersenyum entah apa artinya. Ia benar-benar tidak mengerti. Menikmatinya? Tidak sudi mengambilnya menantu?  Hamil? Menggugurkannya? Apa semua itu?

“Kamu tidak usah kecewa. Bukankah dia telah menolak kamu, dan sekarang kamu berhasil menodai dia? Biar gadis sombong itu tahu rasa, biar dia mengerti kalau kesombongannya akan berbuah nestapa. Dia bukan lagi gadis suci yang menyombongkan diri karena kecantikannya. Apa artinya cantik kalau dia sudah ternoda?"

Lalu pak Carik terkekeh-kekeh.

“Apa sebenarnya maksud Bapak? Aku tidak mengerti.”

“Kamu itu bodoh atau apa?”

“Aku memang tidak mengerti.”

“Katakan siapa yang membuat wajahmu babak belur? Truno? Biar aku hajar dia.”

“Bapak belum menjawab pertanyaanku. Apa maksud Bapak dengan perkataan itu?”

“Bukankah kamu sudah tidur dengan gadis sombong itu? Bukankah dia merayu kamu seharian kemarin?”

“Merayu apa? Arumi bukan gadis semacam itu.”

“Apa maksudmu?”

“Apa juga maksud Bapak?” tanya Sutris yang semakin kesal dengan sikap ayahnya.

“Bukankah kamu telah tidur dengan dia?”

“Tidur apa? Mana sempat tidur? Seharian kesal karena pintu dikunci dari luar. Aku ingin bertanya pada Bapak, mengapa Bapak bersekongkol dengan Perempuan jahat itu?”

Pak Carik mengerutkan keningnya. Apakah anaknya bodoh, atau hanya malu mengakui kebersamaannya dengan Arumi? Bukankah Arumi sudah minum obat perangsang yang diberikan Luki, dan ketika Sutris datang, bukankah kemudian Arumi menyerangnya dan …

“Apa sebenarnya maksud Bapak? Mengapa menculik Arumi dan akhirnya toh kemudian dibebaskan?”

“Kamu ternyata benar-benar bodoh. Tris, kamu tidak perlu malu mengakui apa yang kalian lakukan. Seorang laki-laki dan perempuan yang saling melepaskan hasrat itu sudah biasa. Apalagi dalam keadaan seperti itu, mana mungkin Arumi bisa menahannya?”

“Aku tidak mengerti. Siapa yang malu? Malu karena apa? Bapak tidak menjawab pertanyaanku, malah bicara tidak karuan,” kata Sutris dengan nada meninggi, kehabisan rasa hormatnya kepada orang tuanya.

“Tris. Bukankah ketika kamu datang, lalu Arumi menyerangmu?”

“Menyerang apa? Dia dalam keadaan lemas ketika Sutris datang. Dua hari tidak makan, dia mengeluh lapar.”

“Apa?”

“Untunglah ada roti di kamar itu, lalu Sutris berikan rotinya, lalu kami berdua mencari akal agar bisa kabur dari tempat itu.”

“Jadi kalian tidak melakukan apa-apa?” tanya pak Carik dengan mata melotot.

“Kami hanya saling bertanya, mengapa Arumi ada di situ, mengapa tiba-tiba Sutris datang, lalu pintu dikunci dari luar. Lalu tak lama kemudian, saat menjelang sore, perempuan itu datang dan bicara semaunya, mengancam agar kalau terjadi sesuatu tidak usah menyebut namanya. Arumi, juga Sutris tidak mengerti, mengapa kalian melakukan semua itu?”

Pak Carik menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ini diluar perkiraannya. Jadi tidak terjadi apa-apa? Bagaimana Luki memberikan obatnya? Apakah keliru memberikan air tawar biasa?

“Mengapa Bapak tidak menjawab pertanyaanku? Ada apa Pak? Mengapa?”

“Bapakmu ini sakit hati karena Arumi menolak kamu. Bukan karena aku terlalu ingin menjadikannya menantu? Tidak. Tapi seorang miskin seperti Arumi, tidak menyukai anakku, tentu aku sakit hati.”

“Jadi Bapak melakukan itu karena sakit hati, dan ingin agar Sutris menodai Arumi hanya untuk membalaskan sakit hati karena ditolak?”

“Apa kamu tidak sakit hati kalau dia menolak kamu?”

“Kecewa, tentu saja.”

“Kamu tidak ingin membalas kesombongan dia?”

“Dengan menodainya? Bahkan Sutris merasa sayang untuk menyentuhnya.”

“Dasar gila! Bodoh!!”

“Kalau sampai Arumi melaporkan kejadian itu, dan Bapak terlibat, Bapak bisa masuk penjara,” ancam Sutris.

“Apa? Masuk penjara.”

“Perbuatan menculik orang adalah sebuah kejahatan. Tentu yang melakukan akan mendapatkan hukuman.”

“Apa maksudmu?”

“Masuk penjara, sudah pasti. Bapak dan perempuan jahat itu. Haa, mengapa perempuan jahat itu mau membantu Bapak?” tiba-tiba Sutris mengingat Luki, mengapa ikut membantu ayahnya?

“Dia juga punya dendam. Arumi menyebabkan pak Bachtiar menolaknya.”

“Jahat sekali.”

“Kamu akan melaporkan bapakmu atas kejadian ini?” suara pak Carik agak melunak.

Sutris tak menjawab, langsung masuk ke rumah.

“Bukankah kamu menginginkan Arumi? Aku hanya membantumu,” teriak pak Carik agak keras, karena Sutris sudah ada di dalam rumah.

“Tidak dengan cara ini,” kata Sutris lalu menghilang ke dalam kamarnya.

Pak Carik menstarter sepeda motornya lalu pergi meninggalkan rumah. Ada rasa khawatir kalau keluarga Arumi melapor ke yang berwajib.

***

Bu Carik yang ada di dapur mendengar suara rame di depan, ketika ia ingin melihatnya, Sutris sudah masuk ke dalam kamar. Bu Carik memburunya.

“Ada apa ayahmu, rame sekali.”

“Kesal sekali aku,” katanya sambil langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

“Sebenarnya kamu dari mana?”

“Dari rumah Arumi.”

“Sebenarnya aku juga ingin ke sana, melihat keadaannya.”

“Keadaannya baik-baik saja. Uang yang kemarin Ibu berikan dikembalikan.”

“Apa mereka tidak menggunakannya sama sekali?”

“Masih utuh. Sutris menolaknya, tapi lik Truno memaksa. Ya sudah. Mereka orang baik, tidak ingin menyusahkan orang lain, dan tidak ingin berhutang apapun.”

“Mengapa Arumi diculik? Apa keinginan penculik itu?”

“Ibu tanya saja pada bapak,”

“Tanya pada bapak? Bapakmu? Apa bapakmu tahu sesuatu? Apa bapakmu yang melakukannya?”

Sebenarnya Sutris tak ingin mengatakannya. Tapi akhirnya dia mengatakannya juga. Dikatakannya kepada ibunya, apa yang dilakukan ayahnya. Tapi ia tak menyebut nama Luki. Ia tak ingin urusan jadi panjang. Dan sesungguhnya, sebagai anak, dia tak ingin sang ayah terkena perkara.

“Keterlaluan bapakmu itu. Hanya karena itu, lalu ingin mempermalukan Arumi. Tapi kamu tidak melakukan apa-apa kan?” geram bu Carik.

“Ya tidak Bu, Sutris cinta pada Arumi, mana mungkin Sutris mau melakukan hal kotor seperti itu? Walaupun tidak bisa memiliki, Sutris bahagia kalau Arumi juga bahagia.”

“Ya Allah, bangganya ibu memiliki anak yang bisa berpikiran dewasa dan bijak seperti itu. Ibu sudah sedih ketika kamu tergila-gila sampai meninggalkan rumah, ingin mati segala. Ternyata sekarang kamu sudah menyadari, hal terbaik yang kamu lakukan adalah pemikiranmu yang sekarang ini. Semoga kamu mendapatkan jodoh yang baik ya Nak, walaupun tidak dengan Arumi,” kata bu Carik sambil mengelus kepala Sutris, membuat Sutris terharu.

“Doakan Sutris ya Bu. Tapi Sutris tidak ingin segera punya istri. Kalau bisa Sutris ingin kuliah di kota. Biar mbak Yuni dulu yang menikah.”

“Kamu ingin kuliah? Dulu ayahmu tidak mengijinkan.”

“Sekarang Sutris akan meminta lagi agar diijinkan.”

“Cita-cita yang baik pasti akan ibu dukung. Nanti ibu yang akan membantu kamu bicara. Tapi saat ini ibu sedang kesal pada bapakmu. Orang tua kelakuannya tidak benar. Bagaimana kalau Arumi melapor pada polisi?”

***

Pak Truno sedang bekerja di sawah ketika tiba-tiba mendengar langkah kaki, dan melihat pak Carik sudah berdiri di dekatnya.

“Pak Carik?”

“Iya. Rajin benar No.”

Pak Carik merasa lega. Sikap pak Truno biasa saja. Tidak kelihatan marah kepada dirinya. Berarti Arumi tidak tahu bahwa dia ada dibalik penculikan itu, dan Sutris tidak mengatakannya. Bagus. Sebenarnya pak Carik ingin memberinya uang agar pak Truno bungkam, tapi tak ada yang dikhawatirkannya. Jadi dia urung merogoh dompetnya.

“Tumben pak Carik datang kemari? Apa ada perlu?”

“Hanya sekedar jalan-jalan. Sebenarnya aku ingin agar kamu mau mengerjakan sawahku juga, tapi pekerjaanmu sudah berat, bukan?”

“Maaf pak Carik, saya sudah lama mengerjakan sawah pak Lurah, jadi mau bagaimana lagi. Tapi bukankah sudah kang Karyo yang mengerjakannya?”

“Ya sudah, tidak apa-apa. Aku berkeinginan membeli lahan baru. Tapi belum jadi. Barangkali kamu mau.”

“Maaf Pak.”

“Tidak apa-apa, ya sudah, aku pergi dulu.”

Dan pak Carikpun pergi. Rupanya enggan melepaskan walau sedikit uang, setelah tahu bahwa dirinya aman. Ia melenggang dengan rasa senang. Tapi di tepi jalan, kemudian dia menelpon Luki. Ia kecewa obat yang Luki berikan ternyata tidak sesuai dengan keinginan mereka.

“Apa? Tidak mempan? Tapi aku sudah memasukkan minuman itu dengan paksa ke mulutnya. Yakin pasti dia langsung kebingungan kalau saja anak Bapak tidak segera datang.”

“Buktinya tidak terjadi apa-apa. Sutris sendiri yang mengatakannya.”

”Jangan-jangan dia berbohong. Malu mengakuinya.”

“Tidak mungkin dia berbohong, dia justru bingung ketika saya menanyakannya.”

“Aneh. Lalu bagaimana?”

“Ya gagal. Belum kalau sampai nanti mereka melapor ke yang berwajib. Bisa kena pasal kita.”

“Kita lihat saja nanti, aku sudah mengancam mereka. Aku kira mereka tak akan berani melakukannya.”

“Semoga saja begitu.”

“Tapi aku kecewa sekali. Bagaimana bisa gagal?”

“Itu saya yang seharusnya bertanya pada Non,” kata pak Carik yang kemudian menutup pembicaraan itu.

***

Pagi hari itu Arumi pergi ke pasar. Ia ingin menemui Bachtiar di proyek, karena pasti telah terjadi ke salah pahaman diantara Bachtiar dan Sutris. Bachtiar salah sangka, dan Arumi ingin menjelaskannya. Entah mengapa, kepergian Bachtiar yang tiba-tiba membuat hatinya nyeri. Seperti ada yang hilang, seperti ada yang terlepas dari tangan.

Arumi terus melangkah, semua orang sudah tahu, di mana letak proyek yang sedang dikerjakan, dan kemudian ia berdiri di depan pintu masuk yang baru setengahnya berdiri. Beberapa pekerja menatapnya kagum. Arumi cantik selalu menarik perhatian. Kulitnya yang putih dan wajahnya yang berseri-seri membuat semua orang menyukainya.

“Arumi, apa yang kamu lakukan di situ?”

“Mau ngebantuin mengaduk semen?”

Arumi tersenyum mendengar godaan para pekerja.

“Ada pak Bachtiar?” tanyanya.

“Oh, pak Bachtiar sedang pergi. Yang ada mandor Yono. Tuh, di sana.”

Arumi menatap ke arah yang ditunjuk, dan Suyono memang sedang menatapnya. Melihat Arumi Suyono berdiri dan mendekat.

“Arumi? Syukurlah kamu sudah kembali. Siapa yang menculik kamu?”

“Tidak ada.”

“Tidak ada? Kok kamu bisa hilang? Ada hantu tampan menggondol kamukah?” goda Suyono.

“Tidak. Aku hanya khilaf, pergi tanpa pamit. Aku sekarang mau ketemu mas Tiar.”

“Mas Tiar? Oh, maksudnya pak Bachtiar?”

“Iya.”

“Pak Bachtiar pergi sejak pagi. Dia kan juga sedang mengerjakan proyek yang lain. Proyek air bersih itu. Nanti kamu tidak akan susah-susah mencari air di sumber.”

“Di mana itu?”

“Tidak tentu di mana, ada beberapa titik yang sedang dikerjakan. Kamu mau menunggu di sini? Biar aku temani. Tapi belum tentu pak Bachtiar akan kembali kemari, atau kalaupun kemari, aku tidak tahu jam berapanya.”

“Ya sudah, aku pulang saja. Kalau pak Bachtiar datang, bilang kalau aku mau ketemu dia, ya.”

“Tadi mas Tiar, sekarang pak Bachtiar,” goda Suyono lagi.

“Kebiasaan saja. Sudah ya mas Yono, aku pulang dulu.”

“Mau aku antar? Eh, nggak jadi, nanti aku dimarahi pak Bachtiar.”

Arumi hanya tersenyum menanggapi. Kemudian dia melangkah pergi.

Ketika ia melewati toko pak Carik, Wahyuni berteriak memanggilnya. Karenanya Arumi terpaksa berhenti.

Wahyuni keluar dari toko, mendekatinya.

“Ya ampun Rumi, senang melihat kamu kembali.”

“Aku tidak apa-apa. Mas Sutris yang menolongku.”

“Iya, Sutris sudah cerita, sampai dia berantem dengan penjahatnya.”

Arumi agak terkejut mendengarnya, karena sebenarnya kan Sutris dipukuli Bachtiar dan tidak mampu membalas. Tapi dirinya dan Sutris sudah tenggelam di dalam kebohongan, yang sebenarnya membuat Arumi sangat tertekan. Ia ingin segera terlepas dari belenggu kebohongan itu, karena setiap orang bertanya, selalu jawabnya adalah bohong. Benar kata orang, bahwa kebohongan tidak akan berdiri sendiri. Akan ada kebohongan dan kebohongan yang lain terus mengikutinya, dan semakin akan bertambah panjang.

“Aku pulang dulu ya Mbak.”

“Nggak mampir belanja dulu? Kamu dari mana sih?”

“Dari ... sana, ayuk, aku pulang dulu,” kata Arumi sambil kemudian berlalu, karena ia tak ingin lebih banyak pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Wahyuni menatapnya heran, mengapa "Arumi tampak tergesa-gesa? Padahal aku ingin bertanya, setelah diselamatkan Sutris, apakah kemudian mau menerima cinta Sutris." 

Wahyuni kembali masuk ke dalam toko, karena toko sudah mulai ramai pembeli.

Sementara itu Arumi bergegas pulang. Sebisanya ia menghindari bertemu orang-orang yang dikenalnya, karena tak ingin lagi mengarang cerita, dan terbebani dengan kebohongan demi kebohongan yang akan tercipta karenanya.

Namun ketika ia hendak menyeberang, sebuah mobil melintas. Arumi terkejut. Bukankah itu mobil Bachtiar? Mungkinkah dia tak melihatnya sehingga berlalu begitu saja? Rasanya tak mungkin, dia siap menyeberang, berarti berdiri agak ke tengah. Mustahil kalau tidak melihatnya. Arumi tertegun beberapa saat lamanya.

***

Besok lagi ya.

21 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat πŸ€²πŸ™πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  3. Trimakasih ... Alhamdulillah ... sdh tayang

    ReplyDelete
  4. Hehe...bingung kan Luki dan pak Carik? Pasti salah beli obatnya tuh...orang Arumi malah jadi ngantuk, bukannya panas badannya karena terangsang dan menerjang (seperti cerita yang dulu2).πŸ˜…

    Terima kasih, ibu Tien. Sehat selalu.πŸ™πŸ»

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda tien

    ReplyDelete
  6. Jane Bachtiar sok tahu. Tapii dia sdh anyel sama Arumi. Makanya pura2 tdk tahu.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah... Terimakasih Bunda, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  8. Salah faham biasanya berlangsung lama. Ditambah konflik yang berkepanjangan menjadikan makin menarik.
    Pak Carik yang merasa bersalah tentu tidak tenang juga. Bagaimana dengan Luki ya..
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dari Yk....

    ReplyDelete
  10. Terima kasih Mbu Tien....sehat slli bersama keluarga trcnta

    ReplyDelete
  11. πŸŒΈπŸ€πŸŒΈπŸ€πŸŒΈπŸ€πŸŒΈπŸ€
    Alhamdulillah πŸ™πŸ€©
    KaBeTeeS_24 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhaiπŸ˜πŸ¦‹
    πŸŒΈπŸ€πŸŒΈπŸ€πŸŒΈπŸ€πŸŒΈπŸ€

    ReplyDelete
  12. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 24 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Sutris mulai kehidupan yang baru dengan sikap nya yang jadi dewasa.

    Pa Carik kecewa, Luki juga, krn pokal gawe ne gagal. Ini yang bahaya, krn Luki dendam nya pada Arumi dapat tambah membara.

    ReplyDelete
  13. Maturnuwun bu Tien, semoga sll sehat dan bahagia, otw jgy ... sampsi jumpa besok ya bun

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 24

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  24 (Tien Kumalasari)   Sutris menatap ayahnya yang tersenyum entah apa artinya. Ia benar-benar tidak mengert...