KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 23
(Tien Kumalasari)
Bu Carik terbelalak mendengar apa yang dikatakan Sutris. Wahyuni bahkan sampai mendekat agar bisa mendengar ceritanya lebih jelas.
“Apa katamu? Jadi kamu luka-luka seperti itu dalam rangka membebaskan Arumi dari tangan penculik? Begitu?" kata Wahyuni yang memperjelas ucapan adiknya.
“Iya.”
“Bagaimana ceritanya? Wah, kamu jadi pahlawan dong,” kata Wahyuni lagi.
“Sebenarnya siapa yang menculik Arumi?” tanya bu Carik.
“Ya penculik, aku tidak nanya namanya, langsung membawa pulang Arumi.”
“Di mana, dan bagaimana kamu bisa menemukan Arumi bersama penculik itu?”
“Ada apa sebenarnya mereka menculik Arumi? Jadi Arumi keadaannya bagaimana? Baik-baik sajakah? Sudah di rumah ya sekarang?”
“Waduh, pertanyaannya panjang, ceritanya juga panjang. Aku mau ke kamar mandi dulu,” kata Sutris sambil berlalu.
Bu Carik membiarkannya. Ia memerintahkan kepada Wahyuni agar menyiapkan obat merah untuk luka-luka yang disandang Sutris.
“Itu bukan luka Bu, hanya lebam. Bibirnya yang luka, masa dikasih obat merah, nanti masuk ke mulut bagaimana?”
“Kalau begitu kompres air hangat saja. Siapkan serbet atau apa, rendam dengan air hangat,” titah bu Carik yang sebenarnya merasa bersyukur Arumi sudah kembali. Hanya saja harus mengorbankan anaknya walau hanya luka-lebam.
Tapi sebenarnya Sutris sedang memikirkan jawaban yang tepat tentang luka-luka itu, dan bagaimana dia bisa melihat Arumi dibawa penculik, lalu bagaimana dan seribu bagaimana terus memberati kepalanya. Sebenarnya Sutris lebih baik berterus terang saja tentang keadaan yang sebenarnya, tapi ada hal yang membuatnya menahan keinginan itu. Pertama, Arumi takut pada ancaman Luki yang akan mencelakakan keluarganya kalau sampai Arumi atau Sutris menyebut namanya. Kedua, ayahnya juga terlibat. Kalau sampai menjadi urusan, ayahnya bisa saja masuk penjara. Sutris bingung memikirkannya. Ia juga bingung mengapa sang ayah bekerja sama dengan Luki untuk menculik Arumi, dan melepaskannya setelah dirinya datang, walau dengan ancaman.
Sutris mengguyur tubuhnya berkali-kali, untuk mendinginkan otaknya yang panas karena memikirkan kejadian sehari itu.
Masih mengguyurnya dengan air berkali-kali, ketika pintu kamar mandi digedor dari luar.
“Tris, kamu mandi apa ketiduran? Lama banget sih?” itu teriak Wahyuni. Barangkali ia ingin segera mendengar cerita adiknya yang menjadi hero dalam penyelamatan Arumi. Wahyuni membayangkan pertarungan di televisi, antara seorang pahlawan dan penjahat yang baru saja melakukan kejahatannya. Pasti ceritanya akan seru. Ia menggedor pintu kamar mandi lagi, dan membuat Sutris berteriak marah.
“Ada apa sih Mbak?”
“Kamu tuh mandi atau tidur sih?”
“Kamu juga mau mandi?”
“Bukan, pokoknya cepat keluar.”
Mau tak mau Sutris harus menghentikan ritual mandi sambil berpikir itu. Sambil membalut tubuhnya dengan handuk, dia membuka pintu kamar mandi dan berlalu.
“Cepat berpakaian.”
“Aku nggak akan berpakaian.” kata Sutris sambil langsung masuk ke kamar dan menutup pintunya. Ia tahu, kakaknya buru-buru ingin segera mendengar ceritanya, padahal dia belum siap.
“Yang nggak berpakaian itu kan monyet,” teriaknya sambil terkikik dan menutup mulutnya.
“Eh, ngatain adiknya kok seperti monyet. Kalau adiknya monyet, kakaknya juga monyet kan?” kata bu Carik sambil tertawa.
“Lha ibunya…..?" lanjut Wahyuni cekikikan.
“Eh… aku juga dikatain monyet? Kualat kamu.”
“Maaf Bu, maaf, bercanda,” kata Wahyuni sambil menutup mulutnya.
“Lama sekali sih Sutris nih.”
“Biar dia makan dulu, wajahnya pucat, pasti dia belum makan juga.”
“Wajahnya pucat, habis bertarung seperti cerita sinetron.”
“Dia juga pasti kesakitan.”
Dan sebenarnya Sutris juga sedang berpikir, mengapa tiba-tiba Bachtiar menghajarnya? Karena dia datang bersama Arumi, lalu dia marah? Apa laki-laki tampan itu jatuh cinta pada Arumi?
“Coba saja dia memberi waktu untuk membalas, aku pasti juga bisa membuat luka lebam di wajahnya,” gumamnya kesal.
“Lagipula aku sungkan pada lik Truno, itu sebabnya aku memilih langsung pergi.”
“Tris,” ketukan dipintu kamar terdengar. Lebih keras dari ketukan di kamar mandi.
“Ada apa sih?”
“Makan dulu, tuh, sudah disiapin semua kesukaan kamu.”
Sutris baru sadar bahwa dia memang lapar. Ia segera keluar dari kamar setelah berganti pakaian.
“Nah, akhirnya ternyata kelihatan kalau bukan monyet,” canda Wahyuni.
“Enak aja.”
“Kamu kan tadi bilang enggan berpakaian. Monyet kan?”
“Sudah, dari tadi monyat-monyet terus. Makanlah,” kata sang ibu sambil mengambil lap yang dicelupkan di air hangat, lalu dikompreskan di wajah Sutris yang lebam.
“Sudah Bu, bagaimana bisa makan kalau wajahku ditutup begini.”
“Ini hanya di tempat yang lebam, sambil makan kan nggak apa-apa. Hanya biar lebamnya segera pulih.”
“Nggak usah, nanti saja Sutris melakukannya sendiri.”
“Ya sudah, makan saja dulu. Itu kesukaan kamu kan? Sambal pete, sayur nangka muda, bandeng presto goreng.”
“Bagaimana ceritanya kamu bisa membebaskan Arumi dari tangan penculik?” sela Wahyuni.
“Ya nggak ada ceritanya. Cuma begitu saja.”
“Ngomong yang jelas, ibu juga pengin tahu bagaimana ceritanya kamu bisa menjadi pahlawan untuk Arumi.”
Sutris mengunyah suapan pertamanya.
“Sutris makan dulu ya.”
Muter-muter, akhirnya Sutris hanya mengatakan pas jalan sendiri, mendengar Arumi berteriak di sebuah rumah, lalu Sutris datang dan menghajar seorang penculik. Begitu saja.
“Pasti penculiknya berbadan kecil, kurus, lemah pula, buktinya kamu bisa mengalahkannya, walaupun wajahmu lebam-lebam."
“Ya bisa, aku kan bersemangat sekali, sedangkan dia tidak siap. Ya sudah, dia aku tinggalkan, karena pingsan, lalu Arumi aku ajak pergi. Sekarang sudah pulang di rumahnya.”
“Di mana itu, mengapa semua orang mencari di sekitar sini tidak ada yang bisa menemukannya?” tanya Wahyuni.
“Agak jauh dari desa ini, aku kan sedang ingin jalan-jalan. Sudah pertanyaannya, aku bisa keseretan nih.”
“Kan ada kuahnya, bagaimana bisa keseretan.”
“Nanti dulu, bukankah kamu tadi pergi bersama ayahmu?” tanya bu Carik yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.
“Aku turun di jalan, memaksa. Nggak tahu di mana itu. Aku sedang mau mencari kendaraan untuk pulang, lagi jalan mendengar Arumi berteriak.”
”Apakah penculik itu sempat melukai Arumi, atau melakukan hal yang tidak senonoh?”
“Tidak, atau mungkin belum. Ia terselamatkan karena ada aku.”
“Allah Maha Besar. Arumi gadis yang baik. Allah menyelamatkannya,” gumam bu Carik tulus.
“Sudah, jangan bertanya lagi, aku mau makan dulu dan beristirahat."
Lalu Wahyuni maupun bu Carik kemudian tidak bertanya apapun lagi. Membiarkan Sutris menyelesaikan makannya.
“Setelah makan dikompres dengan lap hangat ya, aku tambahin lagi air hangatnya.”
“Nanti biar Sutris sendiri melakukannya.”
“Ya sudah, terserah kamu saja.”
***
Arumi bercerita mirip apa yang dikatakan Sutris kepada ibu dan kakaknya. Malam itu ia mendengar suara minta tolong, lalu keluar dan dibius, lalu dibawa pergi. Ia mengatakannya dengan terbata-bata. Pertama karena ia tak biasa berbohong, keduanya ia harus mengarang-ngarang cerita demi keselamatan keluarganya, semua itu sangat sulit baginya.
“Bagaimana tiba-tiba bisa ada Sutris di sana?”
“Siang hari itu entah bagaimana, mas Sutris lewat tempat itu. Kelihatannya sedang mengikuti ayahnya urusan pekerjaan atau apa,” lalu turun di dekat Rumi disekap.
“Bagaimana dia bisa tahu kalau ada kamu di tempat itu?”
“Itu … katanya … dia mendengar Rumi berteriak.”
“Dia bertarung dengan penculik? Ada berapa orang?”
“Du … dua, tapi … mas Sutris lewat pintu belakang, dan bisa kabur membawa Arumi.”
Arumi memijit-mijit kepalanya yang terasa pusing.
“Ya sudah Pak, sekarang sudah jelas, jangan marah-marah lagi pada Arumi, dia sepertinya letih, biar makan dulu dan beristirahat,” kata mbok Truno.
“Penculik itu mengganggumu? Melakukan hal buruk yang tidak senonoh, misalnya?” tanya pak Truno yang masih merasa khawatir.
“Tidak, Pak.”
“Lalu apakah dia mengatakan, mengapa menculik kamu?”
“Tidak. Arumi juga tidak mengerti.”
“Ya sudah, makan dan istirahatlah.”
Ketika Arumi makan di dapur, pak Truno memanggil istrinya.
“Mbokne, uang dari Sutris kembalikan saja besok, kita kan tidak menggunakannya sama sekali.”
“Ya, sekaligus aku akan minta maaf karena kita menuduhnya yang tidak-tidak. Bahkan nak Tiar sampai menghajarnya. Mungkin mengira Sutris adalah penculiknya. Tanpa bertanya langsung memukulinya. Kasihan Sutris."
“Lalu mengapa dia menculik anak kita. Pernah ada cerita, seorang penjahat menculik anak kecil. Tapi anak kecil itu anak orang kaya. Dia minta tebusan. Lhah kita, bukan orang kaya, mengapa dia melakukannya?”
“Aku juga bingung Pak. Mungkin dia menyukai Arumi, dan ingin memaksanya, tapi belum berhasil, Arumi bisa melarikan diri karena nak Sutris.”
“Ya sudahlah, semoga akan ada titik terang, mengapa hal ini bisa terjadi. Tapi setidaknya kita lega, karena Arumi sudah kembali, tidak kurang suatu apa.”
Keduanya hanya berbincang tentang ketidak tahuan mereka, dan mengapa Bachtiar tanpa bertanya lalu memukuli Sutris. Mereka tidak tahu, bahwa ada sebuah pesan di ponsel Bachtiar yang mengatakan sesuatu, dan itu membuatnya sangat marah.
***
Di pagi buta, dengan wajah yang masih lebam, Sutris sudah keluar rumah. Ibunya sedang ada di dapur, ayahnya belum bangun. Sutris harus menemui Arumi dan menanyakan keadaannya. Ia juga harus mencocogkan cerita karangan mereka terhadap siapapun yang bertanya. Ia membawa sepeda motor ayahnya, supaya cepat sampai dan bisa segera kembali sebelum ayahnya marah karena mencari sepeda motornya. Kecuali itu ada yang ingin ditanyakannya kepada sang ayah tentang keterlibatan ayahnya atas terjadinya penculikan Arumi.
Kebetulan sekali ketika Sutris datang, Arumi sedang menyapu halaman. Melihat Sutris datang, Arumi mendekatinya.
“Ya ampun Mas, wajahmu seperti itu,” kata Arumi.
“Tidak apa-apa, ini sudah lumayan, karena ibuku mengompresnya dengan air hangat.”
“Mengapa pagi-pagi sudah sampai di sini?”
“Kamu mengatakan apa pada orang tuamu tentang kejadian itu?”
Lalu Arumi juga mengatakan apa yang dikatakannya kepada orang tuanya. Sutris mengangguk puas, berarti mirip dengan ceritanya kepada ibunya kemarin sore.
“Aku minta maaf, karena mas Bachtiar tiba-tiba menghajar kamu. Dia pasti mengira kamu yang telah menculik aku.”
“Iya, aku bisa mengerti, karena ia melihat kamu datang bersama aku.”
“Entah bagaimana, mengapa dia tidak bertanya lebih dulu.”
“Kelihatannya pak Bachtiar suka sama kamu, jadi ia cemburu melihat kita datang bersama.”
Mendengar perkataan itu, wajah Arumi bersemu merah. Benarkah Bachtiar suka pada dirinya? Tapi Arumi tidak menjawab sepatah katapun, kecuali hanya sekali lagi meminta maaf atas nama Bachtiar.
Ada rasa sakit dihati Sutris mengetahui bahwa ada orang lain yang menyukai Arumi, dan tampaknya Arumi tidak menolaknya. Keinginannya yang menggebu untuk segera melamarnya supaya tidak kedahuluan orang lain, ternyata tak ada gunanya. Ia segera ingin pamit, ketika tiba-tiba pak Truno memanggilnya.
“Itu Sutris ya?”
Sutris terkejut. Apakah pak Truno akan memarahinya?
“Kemarilah sebentar, kebetulan kamu datang.”
Suara itu begitu ramah, mungkin karena Arumi sudah mengatakan tentang cerita yang mereka karang bersama.
Sutris meninggalkan sepeda motornya di tepi jalan, mendekati pak Truno yang masih berdiri di tengah pintu.
“Mbokne, bawa uang itu kemari, kebetulan ada Sutris nih,” titah pak Truno kepada istrinya.
Mbok Truno keluar sambil membawa uang, dengan tersenyum ia menyerahkan uang itu kepada Sutris.
“Terima kasih kamu telah menyelamatkan Arumi. Ini uang yang dibawa bu Carik, kami tidak menggunakannya."
Untunglah bu Carik semalam mengatakan tentang keinginan pak Truno dan istrinya yang ingin memenuhi permintaan dukun itu, sehingga Sutris bisa mengerti kalau uang yang diberikannya tidak digunakan oleh pak Truno. Tapi Sutris menolaknya.
“Tidak usah Lik, pakai saja uangnya, untuk keperluan yang lain."
“Jangan. Kami tidak mau berhutang. Terima kembali uangnya. Bukankah aku sudah bilang dulu itu, bahwa aku akan mencicilnya kalau jadi menggunakan uang ini? Tolong terimalah. Aku juga berterima kasih karena kamu sudah membawa Arumi kembali dengan selamat.”
Sutris terpaksa menerima kembali uangnya, kemudian berpamit untuk pulang.
***
Tapi sesampai di rumah, pak Carik marah-marah karena Sutris memakai sepeda motornya tanpa bilang kepadanya.
“Dari mana kamu? Dan mengapa wajahmu itu?”
“Ini, karena ulah Bapak.”
“Aku?” pak Carik berteriak.
“Sekarang jawab Sutris Pak, apa sebenarnya yang Bapak inginkan? Mengapa Bapak bekerja sama dengan perempuan jahat seperti Luki? Apa yang Bapak inginkan?”
“Dasar bodoh! Bukankah kamu menginginkan Arumi? Aku sudah membawanya untukmu.”
“Apa?”
“Bukankah kamu sudah menikmatinya? Tapi jangan harap aku mengijinkan kamu untuk memperistrikannya. Kalau dia hamil, suruh gugurkan saja, aku tidak sudi punya menantu dia.”
Sutris terpana. Ia tidak mengerti apa yang ayahnya katakan.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteHoreee
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteAlhamsulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak TienπΉπΉπΉπΉπΉ
Hamdallah
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteSuwun mb Tien, shtsll njih
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun Mbak Tien
Sehat selalu
Salam ADUHAI
Maturnuwun bu Tien, salam sehat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sehat walafiat nggeh bu Tien
Alhamdulillah KaBeTeeS_23 sudah hadir.
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien yang baik hati.
Sehat selalu ya Dhe.
Selamat .malam, selamat beristirahat.
Alhamdulillah...terimakasih ..semoga Bunda sehat selalu
ReplyDeleteTerjadilah konflik antara Bachtiar dan Sutris. Sutris merasa menolong Arumi. Sedang Bachtiar mencintai Arumi.
ReplyDeleteSutris tentu mengira kalau Arumi tentu merasa berhutang budi sehingga mau menerima cinta Sutris.
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Alhamdulillah KBTS 23 sdh tayang..... Selamat malam bun...smg selalu sehat selalu bahagia bersama kelrg tersayang
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteπ«ππ«ππ«ππ«π
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ€©
KaBeTeeS_23 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam serojaππ¦
π«ππ«ππ«ππ«π
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteSutris jadi pahlawan dan Bahtiar tersisih.
ReplyDeleteMenunggu nasib Luki dan pak Carik yang menjadi otak penculikan meski akhirnya dibebaskan.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah, terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteHamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 23 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Sutris dan Arumi bingung hrs mengatakan apa pada ortu
nya. Mereka adalah orang desa yng msh lugu dan tdk biasa berbohong.
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Ketika bulan tinggal separuh 23 sdh hadir
Semoga bu tien selalu sehat² n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteWkwk...ga bisa bayangin gimana marahnya pak Carik nanti kalau tahu Sutris ga menyentuh Arumi ya?π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.ππ»
Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat π€²πππ
ReplyDeleteDuh pak Carik edan,. Malah anak nya disuruh berbuat dosa, trs tdk mau bertanggung jawab, edan tenanan
ReplyDeleteMemang msh ada daerah yg Krn kedudukan trs berkuasa seenaknya , perdukunan juga ada, seruuu ceritanya
Aduhaiii π❤️π
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°, in syaa Allaah berjumpa di JF5 Joglosemar Yogyakarta π