KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 22
(Tien Kumalasari)
Bu Carik mengikuti suaminya masuk ke dalam. Kesal sekali melihat sikap sang suami yang tak acuh pada istri dan anaknya, yang menungguinya sejak sore dengan rasa penuh tanda tanya.
“Pak, mana Sutris? Kok tidak ikut pulang bersama Bapak?” tanya bu Carik yang ikut memasuki kamar.
“Sutris bukan anak kecil, mengapa kamu begitu mengkhawatirkannya?”
“Tadi perginya kan bersama Bapak?”
“Iya. Memangnya kenapa?”
“Bapak bagaimana sih, kalau perginya bersama Bapak, lalu ketika pulang ternyata Bapak sendirian, apa tidak boleh aku menanyakannya?”
“Boleh saja, terserah kamu.”
“Bapak kok gitu. Apa Bapak menyembunyikan sesuatu?”
Mendengar pertanyaan istrinya, pak Carik yang sedang melepas pakaiannya dan bersiap mandi, menatap istrinya dengan marah.”
“Kamu mencurigai aku? Kamu kira aku melakukan apa?”
“Itu bukan jawaban. Beberapa hari ini Bapak kelihatan aneh.”
“Kalau aku kelihatan sibuk dan enggan menjawab pertanyaan kamu, itu karena memang aku sedang sibuk.”
“Sibuk tentang apa?”
“Kamu kan tahu kalau aku itu punya usaha? Kalau aku sibuk, tentu saja memikirkan usaha itu. Menurutmu aku menyembunyikan apa?”
“Baiklah, aku hanya bertanya, di mana Sutris?”
“Sutris bukan anak kecil. Ia tidak harus selalu mengikuti aku. Biarkan saja dia main ke mana, atau melakukan apa.”
Bu Carik kehilangan kesabaran karena tidak menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada suaminya. Wajah suaminya yang gelap, menunjukkan bahwa dia enggan diajak bicara.
Kemudian ia memilih keluar kamar, menuju ke belakang, dan melihat Wahyuni sudah menata meja makan.
“Di mana Sutris?”
“Entahlah, bapakmu tidak mau menjawabnya. Katanya, mungkin dia main atau entahlah.”
“Bukankah perginya bersama Bapak?”
“Itulah, kenapa ibu kesal. Perginya sama Bapak, ketika pulang tanpa dia, ditanya seperti marah. Aneh kan?”
“Mungkin ketika bersama Bapak, Sutris minta berhenti dan memilih tidak mengikuti Bapak. Tapi ketika tadi naik mobil, Sutris masih ikut kok. Mungkin pulangnya, atau apa.”
“Naik mobil? Bapakmu naik motor tuh.”
“Motornya dititip di toko. Tadi ketika Yuni pulang, motor bapak Yuni titipkan di toko sebelah.”
“Mobil siapa?”
“Entah. Tadi kata orang-orang, ketika bapak sama Sutris datang, sudah ditungguin mobil. Entah mobil siapa?”
“Urusan apa, seperti rumit begitu.”
“Ibu tidak usah ikut campur, kalau memang itu urusan pekerjaan. Sepertinya bapak minta agar ibu tidak usah ikut mengurusinya. Kan bapak pernah bilang begitu?”
Ketika keduanya menunggu pak Carik yang sudah selesai mandi, pak Carik lewat di ruang makan dan mengatakan bahwa tidak lapar, ingin istirahat saja.
Wahyuni dan bu Carik saling pandang dengan heran.
***
Pak Truno dan mbok Truno duduk tertunduk, menatap lantai tanah di rumahnya. Air matanya bagai telah mengering karena menangis sepanjang hari dan malam. Hilangnya satu-satunya permata hati yang pastinya sangat disayangi, membuat semuanya menjadi luruh. Hatinya, jiwanya, semangatnya, bahkan kekuatan raganya.
Di depannya, Bachtiar duduk dengan rasa prihatin. Ia sudah melaporkannya kepada yang berwajib. Polisi sudah bertanya kepada pak Truno berdua, bagaimana Arumi bisa hilang.
Pencarian sudah dilakukan, sampai sore menjelang senja, belum ada titik terang yang memberikan harapan.
Tiba-tiba ada pesan masuk di ponsel Bachtiar. Nomor tak dikenal. Ada sebuah pesan mengejutkan yang membuat darahnya mendidih karena amarah.
(“saudara mencari Arumi? Apa saudara tidak tahu bahwa Arumi sedang berduaan dengan kekasihnya, menginap di suatu tempat dan entah apa saja yang dilakukannya. Mereka bukan anak kecil, ketika sepasang laki-laki dan perempuan berduaan di sebuah kamar, pasti saudara sudah bisa membayangkan. Jangan marah, Arumi sudah menjadi milik orang lain”)
Mata Bachtiar menyala. Akal warasnya hilang tiba-tiba. Arumi pergi bersama kekasihnya? Siapa kekasih Arumi? Gadis polos dan sederhana itu punya kekasih?
Bachtiar mengendapkan perasaan yang tidak menentu, lalu menatap kedua orang tua Arumi yang masih saja menundukkan kepalanya.
“Apakah Arumi punya pacar?” tanya Bachtiar tiba-tiba, membuat pak Truno dan istrinya mengangkat wajahnya.
“Pacar itu apa?” tanya pak Truno seperti linglung.
“Barangkali ada yang suka pada Arumi, lalu mengajaknya pergi.”
“Apa?” mbok Truno ikutan linglung.
“Arumi tidak atau belum pernah menyukai seseorang," kata pak Truno.
“Kalau yang suka pada Arumi?”
“Kalau yang suka banyak.”
“Salah satunya, barangkali yang pernah datang dan melamar, lalu Bapak menolaknya?”
“Sutris?” pak Truno dan istrinya bareng menjawabnya.
“Sutris?”
“Sutris itu siapa?”
“Sutris itu anak pak Carik, yang punya toko besar di dekat pasar. Kami sering kesal karena cara pendekatannya kepada Arumi membuat kami gusar. Dia seperti tidak punya tata krama,” kata pak Truno.
“Jadi Sutris pernah melamar Arumi dan Bapak menolaknya?”
“Semacam itulah, tapi melamar secara resmi belum.”
“Barangkali Arumi dibawa pergi oleh Sutris,” kata Bachtiar dengan dada gemuruh.
“Apa? Arumi dibawa Sutris?” teriak mbok Truno.
“Bukankah Sutris datang kemari dan mengatakan bahwa ingin membantu mencari Arumi?” kata pak Truno.
Lalu pak Truno menceritakan bagaimana saat kebingungan dia tersesat menemui orang pintar yang minta persyaratan yang mahal menurut keluarga Truno, lalu Sutris datang dan keesokan harinya menyuruh ibunya untuk memberikan uang sebanyak lima ratus ribu. Tapi hal itu diurungkan karena peringatan bu Carik bahwa meminta pertolongan ke orang pintar itu adalah dosa besar. Tapi bu Carik tetap memberikan uangnya untuk biaya mencari Arumi.
“Kalau begitu Sutris berpura-pura membantu, padahal dia yang menyembunyikan Arumi,” gumam Bachtiar, tapi yang jelas di dengar oleh pak Truno dan istrinya, yang kemudian saling pandang dengan heran.
“Mungkinkah?” tanya mbok Truno.
“Nak Bachtiar benar, Sutris yang membawa lari Arumi. Itu kemungkinan yang paling pas. Hanya Sutris yang bisa melakukannya,” geram pak Truno.
“Jadi dia berpura-pura membantu, padahal dia pelakunya?”
***
Sutris dan Arumi berjalan kelelahan. Mobil yang mengantarkannya pulang menurunkan mereka tak jauh dari rumah Arumi.
Mereka melangkah ragu-ragu, memikirkan hal terbaik untuk jawaban apabila mereka sampai di rumah, terutama Arumi, yang begitu datang pasti harus ada jawaban kemana Arumi pergi.
“Aku ingin berterus terang, tapi takut, ancaman mereka bisa saja dilakukan. Luki perempuan jahat, yang punya anak buah kuat dan berwajah garang seperti setan,” geram Arumi.
“Itu benar. Tapi jawaban yang tepat sangat sulit. Bagaimana kalau berterus terang saja?”
“Jangan, aku tidak mau orang tuaku celaka. Ayolah, buatkan cerita yang masuk akal,” rengek Arumi.
“Aku masih heran, apa sebenarnya maksud wanita itu menculik kamu, kemudian akhirnya melepaskan setelah bertemu aku. Dan mengapa ayahku juga terlibat.”
“Itulah. Aku juga bingung.”
“Bagaimana kalau kamu bilang apa yang sebenarnya terjadi, diculik orang, tapi setelah tahu kalau kamu bukan orang kaya, lalu melepaskannya?”
“Bukankah ketika menculik mereka sudah tahu bahwa kami keluarga miskin? Dari rumahku, apa tidak kelihatan kalau kami miskin?”
“Katakan yang melakukan hanya orang suruhan, jadi penculik aslinya tidak tahu.”
Mereka melanjutkan langkahnya.
“Lalu kamu yang kebetulan lewat, menolongku?”
“Yaa, begitu saja.”
Rumah Arumi sudah dekat, beberapa langkah lagi mereka sudah memasuki halaman. Tak ada jalan lain, mereka sudah menemukan jawaban yang mereka anggap masuk akal.
Arumi heran, ada mobil di depan pagar.
“Mobil siapa itu?” tanya Sutris.
“Sepertinya mobil mas Tiar.”
“Oh, dia. Kenapa ana di sini?”
Arumi belum sempat menjawabnya, ketika seseorang dari sebelah mobil yang terparkir muncul, kemudian melayangkan bogem ke wajah Sutris, membuat Sutris tersungkur.
Arumi menjerit karena terkejut.
Pak Truno dan istrinya muncul ketika mendengar jeritan Arumi. Dan lagi-lagi Arumi menjerit ketika Bachtiar memukulnya bertubi-tubi.
“Maaas, jangan Maas, hentikan!! Mengapa memukul dia? Hentikan Mas Tiaaaar, jangan,” kata Arumi yang kemudian berdiri diantara Bachtiar dan Sutris yang terkapar. Kemarahan Bachtiar memuncak, melihat Arumi menghalangi dirinya menghajar Sutris. Kesadaran bahwa keduanya memang memiliki hubungan, membuatnya segera menghentikan pukulannya terhadap Sutris yang tidak kuasa melawan. Tapi ia membawa bara dihatinya.
Bachtiar menuju mobilnya, kemudian membawanya berlalu, tanpa mengucap sepatahpun kata. Darahnya yang mendidih membuatnya tak bisa berpikir jernih. Bertanya dulu, atau apa, tidak bisa dipikirkannya. Ia menuju pulang setelah melaporkan kepada polisi bahwa Arumi sudah kembali. Ia ingin melapor bahwa kemungkinan penculiknya adalah Sutris, tapi diurungkannya. Kalau Arumi suka, ia akan mengikhlaskannya. Lalu Bachtiar menyadari bahwa dia memang mencintai Arumi.
***
Arumi membantu Sutris bangkit. Pak Truno dan istrinya mendekat, menatap Sutris yang tampak lemah. Ia berdiri dengan terhuyung-huyung.
“Lik, Arumi sudah kembali, aku mau pulang,” kata Sutris dengan bibir gemetar. Ia tak tahu mengapa Bachtiar memukulinya. Kemudian ia melangkah pergi, sebelum pak Truno atau istrinya menjawabnya. Arumilah yang berteriak memanggil.
“Mas, lukamu dibersihkan dulu,” tapi Sutris terus saja melangkah.
Arumi segera memeluk simboknya sambil menangis tersedu-sedu. Mbok Truno membawa Arumi masuk ke rumah, dengan tangisan yang sama. Tapi wajah pak Truno sangat gelap. Dugaan bahwa Sutrislah yang menculik Arumi menjadi semakin kuat, ketika melihat Arumi kembali bersama Sutris.
Ketika kemudian Arumi berganti akan memeluk ayahnya, sang ayah mendorongnya, membuat Arumi terkejut.
“Pak … “ tangisnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Bapak malu punya anak sepertimu.”
Arumi terkejut setengah mati. Mengapa ketika dia pulang, justru ayahnya marah sekali pada dirinya.
“Mengapa Bapak marah? Apakah Bapak merasa bahwa lebih baik Arumi tidak pulang saja?” kata Arumi sambil menangis terisak.
Mbok Truno pergi kebelakang, lalu mengulurkan segelas wedang jahe yang memang sudah sejak tadi dibuatnya, dan sebagian disuguhkannya kepada Bachtiar.
“Minumlah dulu, lalu ceritakan semua yang terjadi,” kata mbok Truno lembut, yang lebih sabar menghadapi situasi yang masih menjadikannya prihatin itu.
“Apa yang telah dilakukan bedebah itu kepadamu?” teriaknya, membuat kemudian Arumi mendekat dan memeluk simboknya.
“Bedebah siapa?”
“Laki-laki yang membawamu pulang, aku sudah mengira dia yang melakukannya. Pura-pura menolong, ternyata dia pelakunya.”
“Maksud Bapak, mas Sutris?”
“Siapa lagi laki-laki kurangajar yang berani menginjak injak kepala ayahmu ini? Dia sakit hati karena aku menolak, lalu dia melakukannya dengan cara yang licik dan busuk! Dia menodai kamu, dia membuat malu orang tuamu.”
“Tidaaaak.” Arumi menjerit. Mbok Truno merangkulnya erat.
“Pak, jangan begitu. Biarkan Arumi mengatakan semuanya. Dia sudah pulang, harusnya kita bersyukur. Mengapa Bapak justru membuat Arumi bersedih?” kata mbok Truno memelas.
“Arumi bersedih? Bukankah aku yang seharusnya bersedih? Anakku pulang dengan noda dan noktah yang tak akan terhapus selama hidup.”
“Bapak bicara apa?”
“Tanya kepada anakmu itu. Lihat bagaimana sikapnya ketika nak Tiar menghajar jahanam itu. Dia melindunginya, dia melarang nak Tiar menghajarnya, padahal jahanam itu yang membuat dirinya gadis tak berharga.”
“Pak, jangan belum-belum berkata kasar. Biarkan Arumi bercerita.”
Arumi terus menangis dalam dekapan ibunya.
“Aku bukan orang yang gila harta, tapi dari gelagatnya, nak Tiar suka pada Arumi. Entah akhirnya kejadian atau tidak, tapi aku menghargai bagaimana dia selalu membantu Arumi, menjaganya, bahkan ikut bersedih ketika Arumi hilang. Aku tidak berharap banyak pada nak Tiar, tapi aku tidak suka melihat nak Tiar kecewa. Lihat, bagaimana marahnya dia ketika melihat jahanam itu datang.”
“Pak, sejak kapan Bapak bisa berkata kasar seperti itu? Hentikan, biar Arumi bercerita.”
“Yang jelas, dugaan Bapak itu salah. Terserah Bapak percaya atau tidak, tapi mas Sutrislah yang telah menolong Arumi sehingga penculik itu membebaskan Arumi, dan karena itu pula Arumi bisa pulang dengan selamat,” kata Arumi sambil menangis.
“Dia menolongmu?”
“Benar. Bukan dia menculik Arumi, dia yang melepaskan Arumi dari tangan penculik.” Masih menangis Arumi ketika simboknya mendekap semakin erat.
“Sungguh mengherankan ada yang menculik kamu. Apa yang diinginkannya?”
“Arumi juga tidak tahu.”
“Sekilas Arumi sudah mengatakan, bahwa bukan Sutris yang menculiknya. Bapak sabar dulu, ayo Rumi, minumlah dulu, lalu bersihkan badanmu, simbok akan menjerang air, agar kamu bisa mandi dengan air hangat, dan berganti pakaian yang bersih.”
Arumi meneguk minuman yang diberikan simboknya, lalu mengikutinya masuk ke dalam.
Sekilas yang dikatakan Arumi sedikit meredakan amarahnya. Pak Truno berharap, apa yang dikatakan Arumi adalah benar. Dia masih duduk sambil menunggu Arumi selesai membersihkan badannya, lalu mengatakan kebenaran yang akan membuat dirinya percaya.
***
Sutris masuk ke dalam rumah. Tidak ditemuinya sang ayah yang sudah sejak tadi ada di kamarnya dengan alasan beristirahat. Tapi sang ibu yang melihat wajah Sutris matang biru, sangat terkejut.
“Tris, apa yang terjadi? Mengapa kamu luka-luka seperti itu?”
“Bertarung dengan penculik, untuk membebaskan Arumi.”
***
Besok lagi ya.
Hore
ReplyDeleteSuwun mb Tirn, smgsht sll
DeleteYes
ReplyDeleteAlhamdulillah
DeleteMatur sembah nuwun Mbak Tien
Sehat selalu
πΈππΈππΈππΈπ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ€©
KaBeTeeS_22 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhaiππ¦
πΈππΈππΈππΈπ
Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien, salam sehat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Hamdallah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat π€²πππ
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...ππ
ReplyDeleteSehat selalu kagem bunda njih...π€²π€²
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 22* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Terima ksih bunda cerbungnya..slm sht sll unk bunda sekel ππ₯°❤️πΉ
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteNah terjadi saling menuduh. Tentunya Sutris menuduh Bahtiar yang menculik Rumi, kerja sama dengan Luki.
ReplyDeletePerkara ini akan tuntas kalau ada campur tangan polisi. Tentu Luki akan disebut terlibat.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah Arumi selamat...
ReplyDeleteAwas ya kau Luki ..
Syukron nggih Mb Tien .
Dah bikin BaPerπΉπΉπΉπΉπΉ
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, semakin sehat wal'afiat ya π€π₯°
ReplyDeleteWah penasaran tp bikin deg-degan.
Marah kah Sutrisno ke pak Carik
Kasihan Arumi. Dikirain main sama Sutris
ReplyDeleteHamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 22 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Tindakan Tiar tdk di benarkan, krn main hakim sendiri nggebuki Sutris, yng blm tentu dia salah. Nnt klu pa Carik tahu jadi panjang lg urusan nya. Hrs nya di cek n ricek dulu info Wa tsb datang nya dari mana, ujung2 nya pasti dari Luki kan. Tapi begitulah orang klu jatuh cinta. Cinta itu buta dan dapat membabi buta..ππ
Alhamdulillah... terima kasih Mbu Tien... sehat sllu...
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat² selalu n dimudahkan segala urusannya
Mks bun KBTS 22 sdh tayang....selamat malam smg sehat selalu...salam hangat dari purwokerto
ReplyDelete22
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, ceritanya tambah seru....saling menduga dan menuduh......
ReplyDeleteWaah...Luki benar2 tokoh antagonisnya nih...bikin kesel aja...ga sabar pingin lihat nanti bertobatnya gimana? π
ReplyDeleteTetima kasih, ibu Tien. Sehat selalu.ππ»