Tuesday, September 17, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 05

 MASIH ADAKAH MAKNA  05

(Tien Kumalasari)

 

 

Menatap langkah Tegar yang bergegas kebelakang sambil tertawa, Minar geleng-geleng kepala. Dalam hati dia berpikir, mengapa Tegar sangat mirip ayahnya, baik wajah maupun perilakunya. Belum selesai kuliah sudah tertarik pada seorang gadis. Tapi kan waktu itu Satria sudah hampir wisuda, sedangkan Tegar mungkin masih harus selesai dalam setahun dua tahun ini.

“Biarkan saja, asalkan tidak mengganggu kuliahnya,” gumam Minar sambil bangkit dan beranjak ke belakang. Ia harus menemani Tegar sarapan sebelum berangkat ke kampus. Ponsel yang kemudian berdering ternyata dari suaminya. Pasti hanya ingin menanyakan tentang dompet itu.

“Tegar sudah pulang?”

“Sudah Mas, baru saja.”

“Apakah uangnya masih ada?”

“Masih utuh tidak ada yang berkurang.”

“Syukurlah. Kalau ada yang kurang, aku mau transfer lagi saja karena Tegar kan butuh bayar semesteran hari ini.”

“Tidak Mas, tidak ada yang hilang.”

“Lalu Tegar juga memberi imbalan kepada penemu dompetnya itu?”

“Katanya sudah dikasih, tapi dia menolak.”

“Sayang sekali, sebenarnya kan hanya untuk ungkapan terima kasih saja.”

“Tegar sudah memaksanya, dia tetap tidak mau. Dia seorang gadis dari keluarga sederhana, dan masih sekolah SMA.”

“Kenapa tidak diberikan kepada orang tuanya saja?”

“Orang tuanya tinggal ayahnya. Tegar tidak ketemu. Ayahnya itu jualan nasi liwet di pasar.”

“Maksudnya … ibunya jualan nasi liwet?”

“Bukan Mas, ayahnya. Ibunya sudah meninggal, lalu ayahnya menggantikan jualan nasi liwet seperti dulu ibunya melakukannya.”

“Aneh ya, seorang laki-laki jualan nasi liwet?”

“Memang jarang, bahkan kita belum pernah melihatnya ya Mas, tapi nyatanya ada. Tidak apa-apa kan, itu sebuah perjuangan. Mungkin untuk membiayai sekolah anaknya juga.”

“Lain kali kita harus ketemu dia, dengan pura-pura beli nasi liwetnya.”

“Jangan pura-pura beli dong Mas, beli beneran. Aku juga kangen makan nasi liwet. Dulu waktu di Solo sih sering.”

“Maksudku, memberinya uang imbalan, dengan pura-pura beli.”

“Iya, aku tahu maksud Mas, tapi belinya tidak pura-pura kan?”

Satria tertawa.

“Kamu itu ada-ada saja. Ya beli beneran dong. Hanya sebagai jalan untuk memberi sesuatu pada keluarga itu.”

“Iya … iya … aku tahu maksud Mas. Hanya pengin bercanda saja.”

“Ya sudah, aku lanjutkan bekerja ya. Beri tahu Tegar, lain kali hati-hati. Kebetulan dompetnya ditemukan oleh orang baik. Kalau enggak, bisa-bisa uangnya diambil, dan surat-surat berikut dompetnya dibuang ke tempat sampah.”

“Iya Mas, nanti aku beri tahu dia.”

Satria menutup ponselnya, MInar ke belakang untuk menemani Tegar sarapan. Ketika makan itu, sang ibu menatap wajah anaknya yang tampak bersinar, dan terkadang senyum-senyum sendiri.

“Tegar.”

Tegar mengangkat wajahnya, menghentikan memasukkan sendok berisi makanan ke mulutnya.

“Kok dari tadi ibu lihat kamu senyum-senyum terus sih?”

“Ibu ngarang deh. Siapa yang senyum-senyum? Biasa saja kok.”

”Memangnya ibu itu anak kecil, nggak bisa melihat apa yang kamu rasakan dan lakukan? Memikirkan gadis ekor kuda itu ya?”

Tegar tersedak-sedak. Sang ibu memberinya minum segera.

“Ya ampun, pelan, Tegar. Ibu hanya bercanda. Sampai tersedak-sedak begitu sih,” kata Minar penuh sesal. Ia menepuk-nepuk punggung anaknya, sampai Tegar merasa tenang kembali.

“Ibu sih, ada-ada saja.”

“Tegar, kamu itu sudah dewasa, kalau pada suatu hari kamu merasa tertarik kepada seorang gadis, kemudian jatuh cinta, itu wajar kok. Kamu tidak usah menyembunyikannya dari bapak atau ibu.

“Orang baru ketemu tadi pagi, masa langsung jatuh cinta.”

“Cinta pada pandangan pertama itu ada lhoh.”

“Itu pengalaman pribadi kan?” Tegar ganti meledek sang ibu.

“Ngawur kamu. Lama sekali ibu baru bisa mencintai ayahmu. Tanya saja pada bapak.”

“Bapak pernah cerita kok.”

“Berarti bapakmu itu yang jatuh cinta pada pandangan pertama.”

“Bapak itu punya kisah cinta yang indah. Beliau pernah kok cerita sama Tegar.”

“Cerita tentang apa?”

“Ya tentang kisah cintanya itu. Pokoknya indah sekali. Begitu kata bapak.”

Minarpun tersenyum. Bagaimanapun kalau mengingat kisah cintanya bersama sang suami, ia selalu senyum-senyum sendiri.

“Bapakmu itu anak keluarga berada, sedangkan ibu anak orang sederhana. Melanjutkan kuliahpun ibu harus bekerja sendiri.”

“Iya, Tegar sudah tahu kok.”

“Tapi mencintai seseorang itu jangan asal dia cantik menarik. Yang penting dia baik. Lahir batinnya baik.”

“Bagaimana bisa melihat kebaikan batin seseorang?”

“Dari perilakunya kan kelihatan. Nanti kamu akan tahu. Tapi menurut ibu, jangan dulu memikirkan cinta. Fokus pada kuliah kamu, itu lebih penting.”

“Baiklah, ibu.”

Minar tersenyum. Tegar adalah satu-satunya anak Minar dan Satria, yang dididik secara keras dan baik. Ia rendah hati dan penuh kasih sayang, seperti kedua orang tuanya.

“Nanti kuliah sampai jam berapa?”

“Belum tahu Bu. Mungkin agak sore.”

“Baiklah, selalu berhati-hati ya. Tadi ayahmu berpesan agar hati-hati tentang dompet. Jangan sampai sembrono sehingga bisa terjatuh tanpa terasa.”

“Menurut Tegar, itu hanyalah jalan untuk mempertemukan aku dengan Binari,” kata Tegar yang langsung berdiri dan lari masuk ke kamarnya untuk bersiap berangkat kuliah, sebelum sang ibu mengomelinya.

Minar membersihkan meja makan sambil cemberut.

“Aku pikir-pikir dia itu mirip ayahnya tentang rasa dan jatuh cinta. Jangan-jangan dia akan nekat juga seperti dia,” gumamnya sambil kemudian mengubah tampang cemberutnya menjadi senyuman.

***

Pak Trimo sedang makan siang ditemani Binari yang pulang lebih awal hari itu. Binari segera menceritakan tentang dompet yang sudah diambil oleh pemiliknya pagi tadi.

“Oh ya? Begitu cepat. Bapak kan minta kalau mengambil sore hari saja, soalnya kalau siang, di rumah kan tidak ada orang.”

“Dia datang pagi-pagi, sebelum Binar berangkat sekolah. Malah Binar diboncengin sampai ke sekolah.”

“Eh, jangan sembarangan membonceng orang yang belum kamu kenal lhoh.”

“Soalnya Binar takut terlambat, habis harus menunggui dia meneliti dompetnya, menghitung uangnya, segala.”

“Tapi kamu tidak salah kan, bukan memberikan dompetnya kepada orang yang salah?”

“Ya tidak Pak, dia membawa surat yang Bapak tinggalkan itu, diberikannya pada Binar. Ya ampun Pak, Binar malu, tahu.”

“Kenapa malu?”

“Surat itu. Surat yang Bapak buat itu kan dibaliknya berisi catatan belanjaan? Ada ayam, kelapa, cabe, minyak dan sebagainya.”

Pak Trimo tertawa pelan.

“Habis bagaimana lagi, tidak ada kertas untuk menulis. Adanya itu, ya sudah. Untung orangnya bisa membaca tulisan bapak. Kan kamu tahu, tulisan bapak buruk sekali. Gara-gara keburu pulang, langsung bapak tulis saja. Lupa menyuruh kamu supaya menulisnya.”

“Tidak apa-apa Pak. Kalau tulisan buruk malah seperti tulisan dokter.”

“Apa? Tulisan dokter? Masa tulisan bapak seperti tulisan dokter?”

“Tulisan dokter itu kebanyakan jelek Pak. Susah atau justru nggak bisa dibaca. Binar masih ingat ketika almarhumah mendapat resep, Binar mencoba membacanya tapi nggak bisa. Jelek bener, pokoknya.”

“Kamu tidak bisa membaca karena tidak mengenal obatnya. Nyatanya ketika kita belikan di apotik, mbak-mbak yang jaga apotik bisa membaca kok.”

“O, gitu ya Pak?”

“Apa kamu ingin menjadi dokter?”

“Wah, ingin sih Pak, tapi sekolah dokter biayanya mahal, keduanya, tulisan Binar bagus kok. Nggak cocok jadi dokter.”

Keduanya makan sambil bercanda. Selalu begitu. Walau hanya berdua tapi mereka bahagia dengan apa yang mereka miliki.

“Memangnya berapa sih biaya sekolah dokter?”

“Eh, apa Bapak ingin Binar jadi dokter?”

“Cuma nanya saja. Siapa tahu kita punya rejeki.”

“Jangan terlalu dipaksakan Pak. Binar nggak mau Bapak terlalu bersusah payah untuk Binar.”

“Tidak, bapak tahu, semua upaya adalah tergantung kemampuan kita. Berserah saja kepada Allah Yang Maha Kuasa, dan selalu mohon yang terbaik untuk hidup kita.”

“Oh ya, Pak. Tadi tuh, mas Tegar mau memberi uang Binar Lhoh.

“Mas Tegar itu siapa?”

“Orang yang punya dompet itu lhoh Pak.”

“Oh, memberi uang untuk apa?”

“Maksudnya sebagai ungkapan terima kasih, dia memberi Binar uang. Nggak tahu berapa, pokoknya ratusan ribu, ada berapa lembar, gitu. Tapi Binar menolaknya.”

“Bagus. Kita kan tidak menjual jasa, jadi tidak pantas menerima pemberian orang sebagai ungkapan terima kasih.”

“Iya, Binar sudah tahu kok.”

“Ya sudah, lanjutkan makanmu, bapak mau berangkat bekerja nih.”

“Binar sudah selesai kok. Setelah ini mau mencuci perkakas dapur yang tadi belum sempat Binar cuci.”

“Kalau capek istirahat saja dulu. Nanti malam biar bapak saja.”

“Jangan Pak, Bapak sudah lebih dari capek.”

“Ya sudah, bapak mau siap-siap dulu.”

***

Hari itu jalanan ramai. Boy sedang memarkir mobilnya di sebuah toko sepatu hanya untuk membeli sandal dimana miliknya sudah usang.

Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di dekatnya.

“Mas Boy?”

Boy sangat terkejut. Penunggang sepeda motor itu adalah Tegar, yang ketika masih kecil suka diajak main bersama.

“Tegar?”

“Mas mau beli sepatu?”

“Bukan, hanya sandal. Kamu mau beli sepatu?”

“Tidak, baru pulang dari kampus, lalu melihat mas Boy. Jadi aku berhenti sebentar.”

“Lama sekali kita tidak ketemu ya?” kata Boy sambil menepuk pundak Tegar. Kedua remaja ganteng itu sama-sama cucu Rohana. Mereka saling mengasihi sejak masih kanak-kanak. Tapi belum sekalipun mereka pernah mengenal sang nenek.

Bahkan Tegar yang beberapa hari lalu memberi uang untuk wanita tua yang membuatnya kasihan, sama sekali tidak tahu bahwa dia adalah wanita yang melahirkan ayahnya.

“Iya, kangen sih. Ayo kita makan es krim,” ajak Boy, membuat Tegar tertawa. Sejak kecil Boy suka makan es krim, bahkan setelah dewasa pun sang ibu selalu sedia es krim di kulkas karena kalau tidak, si Boy pasti menanyakannya.

“Kamu masih seperti dulu Mas, suka es krim?”

“Es krim itu kan enak. Ayo, di situ kecuali es krim juga ada bakso, ada makanan yang lain. Aku traktir kamu pokoknya, jangan khawatir,” kata Boy yang membantu Tegar memarkir motornya, kemudian menariknya masuk ke sebuah warung yang tidak jauh dari sana.”

“Apa kabar ibu Minar?”

“Baik.”

“Aku kangen sekali sama ibu Minar dan om Satria. Dulu mereka adalah orang tua idola aku,” kata Boy setelah mereka duduk dan memesan makanan masing-masing.

“Iya, ibuku juga sering membicarakan tentang mas Boy waktu kecil. Ayo, mainlah ke rumah, bapak sama ibu pasti senang. Ajak Indi juga, ya.”

“Ya, akan aku cari waktu yang baik untuk itu. Saat ini aku sedang belajar bekerja di kantor Bapak. Tiap hari, dan itu melelahkan. Ini aku juga baru balik dari kantor.”

“Senang ya, kalau sudah selesai. Siap melamar Mia dong.” canda Tegar.

“Hei, dapat dari mana berita bohong itu?”

“Berita bohong? Aku sering ketemu Mia, dia kan menjadi asisten dosen di kampus aku.”

“Masa? Tapi dia memang pintar. Tuh, kok bisa-bisanya kamu menuduh aku mau melamar Mia. Tentangnya saja aku nggak paham.”

“Mia sering ngomongin Mas. Tampaknya dia suka sama Mas.”

Boy tertawa. Ia memang lama tidak ketemu Mia. Dia gadis yang menyenangkan. Dia memang lulus lebih dulu daripada Boy. Boy sering mengingatnya, kalau tidak boleh dibilang kangen. Ahaa, benarkah Boy kangen sama Mia? Bukankah dia selalu menolak dituduh begitu setiap kali Indi memarahinya?

Entah mengapa, Indi memang tak suka pada Mia, yang kelihatan sekali selalu mengejar Boy. Tapi sudah setahun lebih Boy tidak bertemu. Indi saja yang terlalu cemburu dan menuduh kakaknya selalu memikirkan Mia.

“Mia itu cantik, masa Mas nggak suka?”

Boy tertawa.

“Entahlah, kami lama tidak ketemu. Kapan-kapan aku mau dolan ke rumahnya. Bagaimana kuliah kamu?”

“Lancar, alhamdulillah.”

“Sudah punya pacar?”

“Wah, ibu marah-marah dong kalau aku punya pacar sekarang. Kata ibu aku harus selesaikan kuliah, baru memikirkan pacar.”

Tiba-tiba Tegar melihat seseorang berdiri di tangga rumah makan, menatap ke arah dalam. Dia seorang wanita tua, dan Tegar ingat, seperti pernah melihatnya.

“Haaa, bukankah dia?” teriaknya, tapi pelan.

“Siapa?” Boy menoleh ke arah Tegar memandang ke luar.

“Wanita itu, sebentar,” kata Tegar sambil berdiri.

Karena ingin tahu, Boy mengikutinya.

***

Besok lagi ya.

 

41 comments:

  1. Alhamdulillah......
    Kakek Habi *Malit,* kata jeng Rose Winardi Suroboyo. 😅🤣😂

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah
    EmAaMa 05...telah tayang
    Matur sembah nuwun Mbak Tien
    Tetap sehat..Tetap semangaat .💪😍

    Salam ADUHAI..dari Antapani

    🙏😍💐🌹

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah..... terimakasih Bunda

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah MAM 05 sdh terbit. Matur nuwun Bu Tien 🙏
    Sugeng ndalu, mugi Ibu & kelg.tansah pinaringan sehat🙏

    ReplyDelete
  6. Terima kasih mbak Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete

  7. Alhamdullilah
    Cerbung *masih adakah makna 05* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah bisa masuk dan komen, terima kasih Bunda Tien Kumalasari, atas cerbungnya yg selalu di tunggu ² kelanjutannya

    ReplyDelete
  9. 🌻🌼🌻🌼🌻🌼🌻🌼
    Alhamdulillah 🙏🦋
    eMAaeM_05 sdh tayang.
    Matur nuwun nggih,
    doaku smoga Bu Tien &
    kelg slalu sehat & bahagia
    lahir bathin. Aamiin.
    Salam seroja...😍🤩
    🌻🌼🌻🌼🌻🌼🌻🌼

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun salam sehat , tetap semangat

    ReplyDelete
  11. Alhamdulilah MAM 05 sdh tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🪸🌷🌷

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Mungkin Boy msh ingat dg Rohana

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien..
    Selalu sehat dan bahagia bersama keluarga. Aamiin ..

    ReplyDelete

  14. Alhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~05 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga panjenengan sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  15. Walaah...si Boy masih doyan banget es krim, hati2 bisa diabetes lho...😀😀😀

    Terima kasih, ibu Tien...salam sehat selalu.🙏😘😘

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah cerbung M A M mantul 👍🌷🌹💐
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap sehat njih...

    ReplyDelete
  18. Apa Rohana jadi gelandangan, peminta minta... Kalau melihat nasibnya ya kasihan, tapi kalau melihat tingkah lakunya pengin njewer saja.
    Saya juga ingin beli nasi liwetnya pak Trimo, tapi dimana ya mangkalnya..
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  19. Aduh gimana ya stlh mereka ketemu rohana nenek mereka,.....

    Mks bun MAM 05 sdh tayang...selamat malam bun,, sehat" selalu ya, salam hangat salam sejahtera

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah
    Yang ditunggu dah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafia
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  21. Cerbungnya ibu Tien semakin menarik dan semarak. Selamat malam dan selamat beristirahat.

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah
    Matur nembah nuwun bunda Tien K
    MAM 5
    Semoga bunda selalu sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT
    Aamiin YRA

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien cer bung nya MAM 5 sdh tayang
    Semoga bu tien selalu sehat² n tetap semangat

    ReplyDelete
  24. Wah..... terima kaaih Bu Tien, semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 05, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah " Masih Adakah Makns-05" sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan nahagia selalu
    Aamiin Allahumma Aamiin

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  29. Boy mungkin tau Rohana adakah neneknya Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai selamanya

    ReplyDelete
  30. Kan pendek lagi...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 08

  MASIH ADAKAH MAKNA  08 (Tien Kumalasari)   Tegar heran melihat Boy mendahului masuk. Setelah mengunci mobil ia bergegas mengikuti. Tomy ya...