MASIH ADAKAH MAKNA 04
(Tien Kumalasari)
Wanita itu menatap rumah bagus dan asri dengan mata tak berkedip. Ada perasaan yang entah bagaimana, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Rumah itu milik anaknya. Seharusnya dia bisa merasakan nyaman hidup bersamanya, tidak berjalan tanpa arah dengan hidup serba kekurangan, dan terkadang tidak tahu malu. Tapi rasa tinggi hati masih dimilikinya. Orang-orang yang dekat dengannya, tak boleh tahu keadaannya yang sekarang. Dulu kehidupan mewah selalu dibanggakannya. Mobil bagus, pakaian indah perhiasan gemerlap. Ia merasa dirinya seorang putri yang sangat mengagumkan siapapun yang melihatnya. Tapi sekarang, hidupnya terlunta-lunta. Minta tolong kepada kawan, sahabat, kerabat, bahkan anak-anaknya? Tidak. Dia, Rohana lebih memilih terlunta dan tak tahu malu terhadap orang-orang yang belum pernah dikenalnya. Memalukan kalau sampai sahabat dan kerabatnya mengetahui kehidupannya sekarang.
Ia masih menatap rumah itu, ketika sebuah sepeda motor memasuki halaman, dan menaruh curiga kepada perempuan yang berdiri di depan pagar rumahnya.
Ia menghentikan sepeda motornya di halaman, lalu turun dan mendekati wanita yang ketika melihatnya segera beranjak pergi.
“Hei! Berhenti!” anak muda itu berteriak.
Mendengar suara keras itu, Rohana menghentikan langkahnya, daripada nanti dikejar seperti maling.
“Apa yang kamu kerjakan di sini?”
Entah mengapa, anak muda itu merasa ada getaran aneh ketika menatapnya. Rohana memang tidak tampak seperti gelandangan. Walau lusuh tapi pakaian yang dipakainya tidak terlihat kumal. Kulitnya juga bersih. Ia memakai topi kain, yang menutupi sebagian wajahnya.
Rohana menatap anak muda itu tak berkedip. Wajah itu adalah wajah cucunya. Hampir tidak berbeda seperti ayahnya, ganteng dan menawan. Satria, anak kandungnya. Tapi mana mungkin Rohana mengatakannya? Perasaan tinggi hati masih dibawanya.
“Apa yang Ibu kerjakan?” tanya anak muda itu lagi.
“Siapa namamu?” Rohana malah balik bertanya.
“Ibu mencari seseorang? Nama saya Tegar.”
“Ooh ….” hanya itu yang diucapkannya, kemudian dia berlalu.
“Bu ….”
Tapi perempuan itu terus berlalu.
Tegar yang merasa bahwa perempuan itu butuh sesuatu, atau kasarnya seorang peminta-minta, ingin memberinya uang. Tapi kemudian dia sadar bahwa dompetnya telah terjatuh, entah dimana. Padahal isinya lumayan banyak, karena ayahnya baru saja memberinya untuk membayar uang semester yang akan dibayarkannya besok pagi. Tegar merogoh sakunya, hanya ada selembar lima ribuan dan selembar puluhan ribu. Itu adalah kembalian uang bensin yang belum sempat dimasukkan ke dalam dompetnya.
“Bu!” Tegar berteriak sambil mengejar. Rohana berhenti.
“Saya punya sedikit uang. Hanya sedikit, karena dompet saya hilang,” katanya sambil mengulurkan uangnya, kemudian membalikkan tubuhnya untuk kembali ke rumahnya.
Rohana menatap uang yang ada ditelapak tangannya. Senja mulai datang, tapi ia masih dengan jelas bisa menatap uang itu.
“Hanya sedikit,” gumamnya.
Rohana kembali melangkah. Seharusnya dia bisa mendapatkan lebih banyak uang, atau bahkan tempat tinggal, seandainya dia bisa bertemu Satria dan mengeluhkan keadaannya. Mengeluh? Tidak mungkin. Rohana adalah tetap Rohana yang tinggi hati. Ia terus saja melangkah, lalu berhenti di sebuah warung kecil, untuk membeli sebungkus nasi.
***
Tegar memasukkan sepeda motornya ke garasi. Ia merasa gelisah, memikirkan dompetnya yang hilang. Harusnya ia menyusul ayah ibunya yang pergi ke perhelatan teman ayahnya di sebuah gedung sore tadi, tapi gara-gara kehilangan dompet dan dia sudah muter-muter mencarinya tapi tidak ketemu, maka ia segan pergi ke mana-mana. Belum lagi ia memikirkan uang yang hilang itu, padahal harus segera dibayarkan. Pasti ia akan mendapat marah dari ayah ibunya.
Tegar membuka pintu rumahnya, lalu ponselnya berdering. Dari ibunya.
“Ya Bu.”
”Kamu jadi menyusul kan? Ibu dan bapak sudah mau pulang nih. Gimana kamu ini?”
“Tegar sudah sampai di rumah, Bu.”
“Katanya kamu hanya mau mengisi bensin lalu menyusul?”
“Sedang bingung nih Bu,”
“Bingung kenapa?”
“Dompet Tegar hilang.”
“Apa? Dompet hilang? Hilang di mana?”
“Sejak siang Tegar muter mencarinya. Nggak tahu jatuh di mana,” Tegar menjawab sambil masuk ke dalam rumah, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa.
Minar, sang ibu, sudah menutup ponselnya. Tegar bersandar di sofa lalu menutup matanya. Bayangan tentang kemarahan ayahnya membuat hatinya menjadi ciut. Ayahnya bisa bersikap lembut, tapi dia juga sangat keras dalam mendidik anaknya. Kehilangan dompet adalah sebuah kecerobohan, bukan kecelakaan. Ia kurang rapi menyimpan dompetnya sehingga dompetnya jatuh, dan tidak tahu sang dompet jatuh di mana. Itulah kesalahannya.
Ia masuk ke dalam, mandi, lalu langsung masuk ke kamarnya, tidur.
***
Hari masih pagi ketika sang ibu membangunkannya.
“Tegar, katanya ada kuliah pagi?”
Tegar menggeliat. Sudah pagi, dan ayah serta ibunya tidak membangunkannya ketika pulang pada malam harinya.
Tegar melompat dari atas ranjangnya, langsung masuk ke dalam kamar mandi, sebelum mendengar omelan sang ibu. Tapi Minar hanya tersenyum. Ia keluar dari kamar anaknya, duduk menunggu di ruang makan bersama sang suami. Di atas meja di dekat Satria duduk, ada selembar kertas, yang dibaliknya berisi catatan belanjaan, tapi dibaliknya lagi adalah sebuah surat. Itu adalah surat yang ditinggalkan pak Trimo di atas meja teras, dan baru ditemukan Minar ketika bersih-bersih rumah di pagi itu.
Mereka merasa lega, walau tidak tahu, apakah uang yang ada di dalam dompet masih utuh atau sudah berkurang, atau bahkan sudah dikuras penemunya. Yang penting di situ pasti ada surat atau kartu berharga yang tersimpan, dan pastilah si penemu tidak membutuhkannya.
Tegar muncul ketika Satria dan Minar masih berbincang
“Sudah mandi?” tanya sang ibu.
“Belum. Baru selesai sholat.”
Tegar duduk dengan hati berdebar. Siap menerima kemarahan ayahnya. Tapi sang ayah tidak tampak marah. Ia menerima kertas yang diulurkannya, dan heran ada catatan belanjaan di situ.
“Ibu menyuruh Tegar belanja?” katanya sambil memelototi tulisan itu.
"Jelek amat tulisan ibu?" lanjutnya.
Minar tertawa.
“Baliklah kertasnya. Itu sebuah surat,” kata Satria.
Tegar membaliknya. Ada tulisan yang sama buruknya dengan catatan belanjaan itu. Tapi matanya bersinar ketika selesai membacanya.
“Dompetku ditemukan orang ini.”
“Dasar ceroboh.”
Tuh kan, sang ayah baru akan mulai mengomelinya.
“Tegar tergesa-gesa setelah membayar bensin. Karena harus segera pulang, lalu mandi dan ganti baju untuk menyusul Bapak sama Ibu.”
“Tapi nggak jadi menyusul karena kamu mencari dompet itu?”
“Iya.”
“Ya sudah, sekarang sarapan dulu, nanti ambillah dompetmu, ada alamatnya di situ kan?”
“Tapi dia minta sore kalau ingin mengambilnya.”
“Coba datang lebih pagi. Siapa tahu mereka belum berangkat bekerja. Tampaknya dia seorang penjual makanan. Belanjaannya banyak. Tapi entahlah,” kata Minar.
“Benar, datanglah lebih pagi. Kalau perlu tidak usah mandi,” sambung sang ayah.
Tegar mengangguk. Ia segera beranjak ke kamarnya.
“Tegar sarapan nanti saja, ke kampus agak siang,” katanya sambil menjauh. Ada perasaan lega, sang ayah tidak memarahinya, hanya menegurnya sedikit.
***
Pagi sekali pak Trimo sudah berangkat ke pasar dengan membawa dagangan. Binari mengantarkannya sampai ke depan.
“Jangan lupa mengunci pintunya kalau mau berangkat sekolah,” selalu itu pesan pak Trimo kepada anaknya sebelum berangkat berjualan.
“Ya, bapak juga hati-hati ya.”
Pak Trimo menstarter sepeda motornya dan berlalu, lalu Binari masuk ke rumah untuk bersiap masuk sekolah.
Ia merapikan dapur, mengumpulkan alat masak yang kotor, lalu mencucinya.
“Tinggal sedikit, aku mandi saja dulu, lainnya dicuci nanti. Kalau tidak, aku bisa terlambat ke sekolah,” gumam Binari sambil menata perkakas yang sudah dicuci, lalu bergegas ke kamar mandi.
Binari sudah selesai sarapan, sudah memakai seragam sekolah, dan siap untuk berangkat. Rambutnya yang sebahu dikucir satu, dan ada sedikit poni di dahinya. Ia hampir mengunci pintu rumahnya ketika mendengar sebuah sepeda motor datang, lalu diparkir di depan pagar.
Seorang anak muda turun, mencopot helmnya dan melangkah masuk.
Binari terpesona. Alangkah ganteng pria ini, kata batinnya. Tapi kemudian dia teringat foto yang ada di dalam dompet yang kemarin siang ditemukannya.
Dia? Binari berdiri diam, menunggu.
“Ini rumah pak Trimo?”
“Benar.”
“Saya menemukan pesan ini di rumah saya,” laki-laki itu Tegar, yang untunglah datang sebelum Binari berangkat ke sekolah.
“Iya, itu tulisan ayah saya.”
“Pak Trimo menemukan dompet saya?”
“Saya yang menemukannya,” kata Binari yang yakin bahwa si ganteng itu adalah pemilik dompet yang dipungutnya di dekat POM bensin.
“Oh, di mana pak Trimo?”
“Ayah saya berjualan di pasar.”
“Jualan sayur?”
“Tidak, berjualan nasi liwet.”
“Bersama ibu?”
“Ibu saya sudah meninggal. Bapak meneruskan berjualan nasi liwet.”
Lalu Binari masuk ke dalam rumah.
Tegar menatap punggungnya, dan rambut ekor kudanya yang bergerak-gerak ketika gadis itu berjalan. Masih menjadi pertanyaan ketika gadis itu mengatakan bahwa ayahnya berjualan nasi liwet. Bukankah penjual nasi liwet biasanya perempuan?
Tegar masih berdiri di depan teras ketika Binari keluar.
“Silakan masuk dulu dan lihat isinya. Saya hanya membukanya untuk melihat apakah ada alamat yang bisa saya hubungi.”
Tegar masuk dan duduk di teras. Ia membuka dompetnya, dan melihat bahwa tak ada isinya yang berubah. Bahkan uangnya masih utuh tidak berkurang serupiahpun.
“Terima kasih. Oh ya, kenalkan, nama saya Tegar.”
Binari menerima uluran tangan si ganteng dan memperkenalkan juga namanya dengan sedikit gemetar.
“Saya Binari.”
Tegar tersenyum, ia mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu, diberikannya kepada Binari.
“Ini apa?”
“Untuk kamu, sebagai ungkapan terima kasih saja, tidak seberapa kok.”
“Tidak, saya tidak menerima imbalan,” kata Binari sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
“Tapi, ini hanya sekedar _”
“Tidak, simpan saja lagi uangnya, dan maaf, saya sedang terburu-buru. Takut terlambat.”
“Sudah SMA ya, naik apa ke sekolah? Di mana sekolahnya?”
“Tidak jauh, saya naik ojol.”
“Mari saya antarkan.”
“Jangan … eh… tidak usah. Merepotkan saja.”
“Sekalian saya pulang. Tidak repot kok.”
Binari menahan debar jantungnya. Ia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini. Ia berdiri untuk mengunci rumahnya, dan melihat Tegar menunggu di atas sepeda motornya.
Ketika mendekat, Binari masih bersikeras untuk berangkat sendiri, tapi Tegar memaksanya naik ke boncengan sepeda motornya.
Binari melihat jam tangan kecilnya, dan memang waktunya sudah mendesak. Kalau ia menunggu ojol, pasti akan terlambat.
“Ayolah, nanti terlambat lhoh.”
“Baiklah, kalau tidak merepotkan.”
“Pegangan ya, awas jatuh,” kata Tegar sambil menjalankan sepeda motornya.
Apa? Pegangan? Enak saja. Tapi karena benar-benar takut jatuh, Binari berpegangan pada sadel yang didudukinya dan masih bisa untuk berpegangan.
***
Ketika Tegar kembali ke rumah, sang ayah sudah berangkat ke kantor. Ibunya menunggu di teras.
“Bagaimana? Ketemu?” sambutnya ketika Tegar sudah masuk dan duduk di depannya.
Tegar mengeluarkan dompetnya.
“Ini, masih utuh. Uangnya juga tidak berkurang.”
“Untunglah si penemu adalah orang jujur.”
“Tegar memberi dia imbalan tiga ratus ribu rupiah, tapi dia menolak.”
“Pak Trimo itu orang berkecukupan?”
“Pak Trimo tidak ada, yang ada adalah anaknya. Seorang gadis, manis sekali.”
“Hmm, apakah anak ibu tertarik pada gadis itu?”
“Dia masih SMA. Dari keluarga sederhana. Ayahnya berjualan nasi liwet, di dekat pasar.”
“Maksudnya … ayah dan ibunya?”
“Ayahnya yang jualan. Ibunya sudah meninggal. Ayahnya meneruskan usaha almarhumah istrinya.”
“Agak aneh.”
“Tegar jadi ingin melihatnya, dan mencoba makan dagangan nasi liwetnya. Enakkah sebuah masakan yang dimasak oleh laki-laki?”
“Banyak laki-laki yang pintar memasak. Ayahmu dulu sebelum menikah dengan ibu, juga sendirian di rumah ini. Kalau perlu ya masak sendiri juga.”
“Lain kali Tegar akan minta agar bapak mengajari Tegar memasak.”
“Kamu mana ada waktu untuk itu? Oh ya, lalu bagaimana setelah gadis itu menolak kamu beri imbalan?”
“Entahlah, Tegar baru mau memikirkan bagaimana cara memberinya,” kata Tegar yang diam-diam masih teringat pada rambut yang dikucir satu itu, dan bergoyang-goyang ketika dia berjalan.
“Hei, senyummu aneh. Jangan-jangan kamu suka pada gadis itu.”
“Apa ibu akan melarangnya kalau Tegar suka pada anak seorang penjual nasi liwet?”
“Apa? Pikirkan dulu kuliah kamu, baru memikirkan pacar.”
Tegar terkekeh, lalu beranjak ke belakang untuk mandi.
***
Besok lagi ya.
Hore
ReplyDeleteTrmksh mb Tien, smg sht sll
DeleteNueun Yangtie
Delete💐☘️💐☘️💐☘️💐☘️
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
eMAaeM_04 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai😍🤩
💐☘️💐☘️💐☘️💐☘️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang
ReplyDeleteMatur nuwun pak Latiefj
DeleteMatur suwun
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete
ReplyDeleteAlhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~04 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga panjenengan sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Trimakasih Bu Tien.... sehat selalu nggih
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteMatur sembah nuwun, Mbak Tien..🙏🙏🙏😍
Sami2 jeng Ning
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Sami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah MAM 04 sdh terbit. Matur nuwun Bu Tien, sugeng ndalu 🙏
ReplyDeleteSami2 pak Sis
DeleteSugeng dalu
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulilah MAM sudah tayang, maturnuwun bu
ReplyDeleteTien, salam sehat dan aduhai aduhai bun
Sami2 ibu Sri
DeleteSalam sehat dan aduhai2
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Atiek
DeleteTernyata Tegar anak Satria yang dompetnya jatuh. Kalau Tegar yg jatuh tentunya jatuh cinta kepada yang menemukan dompetnya.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arief
Maaf. Pak Latief. Matur nuwun
DeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien.
Sehat sehat sehat Aamiin.🌹🌹🌹🌹🌹
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Susi
Alhamdulillaah dah dibaca mungkinkah tegar berjodoh sama binari? Jawaban masih panjang ceritanya baru episode 4
ReplyDeleteMakasih bunda
Sami2 ibu Engkas
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *masih adakah makna 04* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien K, MAM 4
Semangat sehat ya bun
Salam hangat dan ADUHAI dari Bjm
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun anrikodk
Salam hangat dari Solo
Untung dompet gak ketahuan rohana, coba kalau sampai tahu pasti di embat jg tu dompet sama rohana, berabe deh jadinya
ReplyDeleteMks bun MAM 4 sdh tayang.....selamat malam smg sehat" selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Lama nggak muncul bu
Alhamdulillah, salam sehat selalu bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat juga ibu Umi
DeleteMatur suwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat² selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Matur nuwun bunda Tien....🙏🙏
ReplyDeleteSami2 ibu Padmasari
DeleteSelamat malam bu tien tetap sehat dan tetap semangat
ReplyDeleteMalam pak Anton. Apa kabar ?
DeleteHooh....pada mojok.
ReplyDeleteTegar jatuh hati ya sama BINARI
Keluarga Satria tdk akan bedakan derajat, dimata Allah semua sama.
Terima kasih bu Tien, salam sehat selalu dan tetap ADUHAI 🥰🤩🥰
Terima kasih.
ReplyDeleteSami2 ibu Yati
DeleteAlhamdulillah MAM tgl merah tidak libur.
ReplyDeleteMatur nwn bu Tien..
Salam sehat dari mBantul
Samo2 pak Bam's
DeleteSalam hangat dari Solo
Makin lama seri novel ini makin pendek saja rasanya...
ReplyDeleteMbak Tien sih, pengalaman batinnya luar biasa...
Terimakasih Mbak Tien...
Hehee..masa sih?
DeletePetasaan sama deh
Terima kasoh MasMERa
Alhamdulillah cerbung M A M ? 👍🌷🌹💐
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAlhamdulillaah,matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteHaha terkecoh dg Boy, ternyata Tegar , suka ya dg Binari,,, besok lg ya 🙄
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Ika
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Ting
Matur nuwun Bu Tien atas cerita-ceritanya yg selalu aduhai. Tetap sehat njih Ibu.....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Waah...senangnya...level cucu sudah pada dewasa, membayangkan gantengnya Tegar anak Satria...😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Semoga sehat selalu.🙏
Yang baik itu malah kudune dompete ditemukan oleh Rohana. Dadi biar tambah ruwet. Ya ta bu Tien...
ReplyDelete