MASIH ADAKAH MAKNA 06
(Tien Kumalasari)
Wanita itu hendak berlalu ketika melihat ada yang mendekatinya, tapi Tegar segera menghentikannya.
“Bu, tunggu Bu.”
Memang terasa aneh. Tegar merasa, ia harus mengasihani wanita yang baru dua kali dilihatnya itu. Tegar sendiri tidak tahu, mengapa begitu.
Boy yang juga sudah berdiri di dekat Tegar, menatap wanita yang menurutnya seperti tidak asing, entah kapan dan di mana ia bertemu.
“Maaf,” itu yang diucapkan wanita itu.
“Ibu pengin makan?” tanya Tegar.
Wanita itu adalah Rohana. Sekilas ketika berjalan, ia melihat ke dalam dan melihat Tegar, anak muda yang ditemuinya sore hari beberapa hari yang lalu. Yang dia tahu bahwa dia adalah cucunya, tapi yang dia malu dilihatnya sebagai peminta minta. Lalu ia juga malu ketika anak muda itu mendekatinya, tapi kemudian dia berhenti ketika dia memanggilnya. Ada harapan yang ia juga malu mengakuinya, siapa tahu anak muda itu memberinya uang yang lebih banyak, tidak limabelas ribu seperti sore hari itu.
Pengin makan? Tentu saja iya.
“Masuklah, biar saya yang bayarin,” tawar Tegar.
Rohana terkejut. Anak muda yang adalah darah dagingnya itu mengapa sangat perhatian padanya? Mengajaknya masuk ke dalam rumah makan itu? Tidak. Bagaimana kalau ada bekas teman-temannya melihat dirinya tampak terlunta-lunta? Alangkah malunya.
“Mau Bu?” Boy tiba-tiba ikut trenyuh melihatnya. Apakah aliran darah yang sama mempengaruhi rasa? Kenapa tiba-tiba Boy juga menaruh perhatian padanya?
Tapi Rohana menggeleng lemah. Miskin tapi tinggi hati kepada orang-orang yang pernah dekat dengannya. Ia menatap anak muda satunya. Bukankah itu wajah Tomy? Mengapa rasa sombong bisa mengalahkan keinginan untuk memeluk darah daging sendiri? Hanya rasa teriris yang ada, tapi jangan sampai mereka mengetahui siapa dirinya.
“Tidak mau?”
“Tidak usah. Namamu siapa?” Rohana justru bertanya kepada Boy.
“Ini Tegar adik saya, saya Boy.”
Rohana mengerjapkan matanya. Ia pernah melihat si kecil Boy, dan sekarang adalah anak muda yang tampan. Mereka mirip ayah-ayah mereka. Rohana hanya menanyakan Boy, karena dia sudah tahu anak muda satunya yang bernama Tegar.
“Ya sudah,” Rohana berusaha pergi, tapi dalam hati berharap ada sesuatu yang didapatkannya. Uang. Hanya itu yang dibutuhkannya. Bukankah orang tua mereka adalah orang-orang berada?
“Tunggu Bu, kalau begitu ibu beli saja sendiri makanan mana yang ibu suka,” kata Tegar sambil memberikan uang lima puluh ribu, disusul Boy juga memberikan uang yang sama.
Rohana gemetar ketika menerima uang itu. Gemetar oleh banyak rasa yang mengaduk aduk jiwanya. Rasa haru, rasa menyesal, rasa sedih.
Ia melangkah pergi sambil mengusap air matanya. Lalu memasukkan uang yang diterimanya ke dalam dompet kumal yang selalu disimpan dalam saku bajunya. Dulu ia punya tas-tas bagus dan mahal, tapi semuanya sudah habis dijual. Tinggal sebuah dompet kumal yang jarang berisi uang.
Tegar dan Boy masuk ke dalam, kembali ke mejanya, di mana semua pesanannya sudah terhidang di meja.
“Siapa sebenarnya wanita itu?” tanya Boy sambil menyendok es krim pesanannya.
“Aku tidak tahu siapa dia, tapi dia pernah lewat di depan rumah dan berhenti, ketika aku baru masuk setelah bepergian. Waktu itu aku baru saja kehilangan dompet, di saku hanya ada uang lima belas ribu rupiah, aku berikan padanya.”
“Aku merasa aneh ketika melihat wanita itu,” kata Boy.
“Demikian juga aku. Ketika aku memberikan uang, perasaanku waktu itu hanya merasa kasihan. Banyak peminta-minta di kota ini, tapi perasaanku ketika melihatnya terasa berbeda.”
“Nah, aku juga merasakan hal yang sama. Aku bahkan merasa pernah melihat wanita itu. Seperti tidak asing. Mungkin sudah lama sekali, entahlah.”
Tiba-tiba Boy mengingat sesuatu, tapi kemudian ia bingung tentang ingatan itu.
“Sudahlah, jangan memikirkannya lagi. Ayo kita makan,” kata Tegar.
Keduanya kemudian makan, dan melupakan wanita yang membuat perasaan mereka menjadi aneh.
“Kamu tadi mengatakan tentang kehilangan dompet?” tanya Boy.
“Oh, iya. Kehilangan dompet, tapi diketemukan oleh seseorang,” kata Tegar sambil tersenyum-senyum.
“Kok pakai senyum-senyum sih? Pasti seorang gadis, cantik, yang ternyata teman kuliah kamu, atau satu kampus denganmu, atau tetangga dekatmu.”
“Ngarangnya kejauhan.”
“Lalu apa?”
“Dia gadis, rambutnya dikuncir satu, tapi masih SMA,”
“O… itu yang membuat kamu senyum-senyum dari tadi?”
“Sudah, nanti Mas Boy menuduh yang bukan-bukan. Aku sudah bilang kan, ibu tidak mengijinkan aku jatuh cinta sebelum selesai kuliah."
“Jatuh cinta itu tidak perlu ijin, tahu.”
“Benar, tapi bisa disimpan dulu dalam hati. Sudahlah, ayo kita makan.” kata Tegar yang tidak mau berlanjut menceritakan tentang gadis ekor kuda itu. Kan dia baru bertemu sekali. Mana bisa bercerita panjang kecuali hanya mendengar ledekan mas Boy nya?
***
Ketika sampai di rumah, Boy melihat ayahnya sudah ada di teras, sudah rapi dengan pakaian harian, yang berarti pasti sudah mandi pula. Monik, sang ibu dan Indi, adiknya, menemaninya sambil ngopi sore hari. Ucapan pertama yang didengarnya ialah teguran mengapa baru sampai rumah sementara sang ayah sudah hampir dua jam lalu sampainya.
“Ketemu Tegar waktu mau beli sandal," kata Boy.
“Ketemu Tegar? Indi sudah lama tidak ketemu dia. Lain kali kita main ke rumah om Satria yuk,” sela Indi.
“Bagaimana kabarnya Tegar?” tanya Tomy.
“Dia baik, masih rajin kuliah. Lama sekali kita tidak bertemu mereka ya Pak. Om Satria, ibu Minar. Sebenarnya Boy kangen sama mereka.”
“Besok Minggu kita akan main ke sana.”
“Horeee, Indi seneng deh. Kangen sama mereka.”
“Kata Tegar, Mia sekarang menjadi asisten dosen di kampusnya," tiba2 Boy berkisah tentang Mia.
“Oh ya? Tidak melanjutkan kuliah lagi? Dulu katanya mau mengambil S2, gitu,” sambung Monik.
“Kalau ngomongin Mia pasti asyik deh,” kata Indi sambil cemberut.
Monik tersenyum, sambil merangkul pundak Indi.
“Memangnya kenapa kalau mas Boy suka? Mia itu cantik dan baik lhoh," kata Monik.
“Nggak mau. Nggak suka.”
“Kenapa, Indi?” sambung sang ayah.
“Bapak tahu nggak, ketika masih kuliah, mas Boy kan pulang duluan tuh. Katanya dia nungguin Indi yang sudah siap pulang. Eee, Indi belum sampai di dekat mas Boy, langsung Mia datang tanpa membawa kendaraan, dan mas Boy lupa sama Indi. Dia langsung mboncengin Mia pulang. Nggak ingat kalau harus mboncengin Indi. Indi nangis waktu itu.”
“Alaaa, sudah lama masih diingat-ingat terus.”
“Sakit aku, tahu.”
Tomy dan Monik tertawa. Indi manja sejak kecil, dan dia selalu bergantung pada Boy di setiap waktu. Kedekatan Boy dengan Mia waktu itu membuat Indi seperti kehilangan kakaknya. Dan itu terbawa sampai bertahun-tahun kemudian, bahkan ketika Boy sudah jarang bertemu Mia karena kesibukan masing-masing.
Monik merangkul Indi erat.
“Indi, kamu tidak boleh begitu. Mas Boy kamu tidak akan pernah melupakan kamu. Dia akan selalu menyayangi kamu.”
“Waktu itu aku hanya mengantarnya sebentar, karena dia hanya mau belanja. Begitu dia turun di sebuah toko, aku kembali ke kampus, ee .. kamu sudah nggak ada. Menunggu saja nggak mau.”
“Ya sudah, sudah bertahun-tahun lalu, kenapa masih diingat-ingat terus,” kata sang ayah.
“Dasar manja,” ledek Boy.
“Biarin.”
Tomy dan Monik hanya tertawa. Sudah biasa mereka saling ledek. Tapi kemudian mereka bisa rukun kembali, dan kalau sudah bercanda, seisi rumah pasti serasa ada gempa. Habis Indi kalau berteriak bisa seluruh kampung mendengarnya.
“Ya sudah, Boy kan belum mandi juga. Ayo mandi. Eh, itu bawa apaan?” tanya Monik yang melihat Boy menyembunyikan sesuatu di belakang pinggangnya. Hal itu dilakukannya walau Boy sudah duduk sambil berbincang.
“Oh, ya ampuun, lupa nih. Ini buat si manja,” katanya sambil memberikan sebuah bungkusan kepada Indi.
“Haa, ini apa? Horeee, es krim … uuh.. hampir mencair nih,“ Indi berteriak, tapi kemudian langsung memeluk kakaknya.
***
Sambil makan malam itu, Tegar bercerita tentang pertemuannya dengan Boy. Sudah lama mereka tidak saling jumpa, walau tinggal sekota. Tapi namanya kota Jakarta, yang sekota itu bisa berpuluh-puluh kilometer. Kesibukan merekalah yang membuat belum ada waktu untuk itu. Mendengar Tegar mengatakan bahwa baru bertemu Boy, rasa kangen itu segera terasa.
“Semoga kalau libur kita bisa liburan bersama," kata Satria.
“Tadi tuh Tegar melihat seorang wanita tua. Kasihan banget Tegar melihatnya. Entah mengapa.”
“Wanita tua siapa?”
“Nggak tahu namanya. Dia seperti peminta-minta.”
“Ya, kalau ada peminta-minta, kamu kan bisa memberinya beberapa rupiah, gitu.”
“Tegar melihatnya sudah dua kali. Yang pertama, ketika Tegar baru pulang setelah kehilangan dompet itu. Dia berdiri di pagar, seperti melihat-lihat atau entah apa ada yang dicarinya, gitu. Lalu Tegar beri dia uang. Tadi ketika Tegar sama mas Boy lagi makan, ada dia lagi, berdiri di depan rumah makan. Entah mengapa Tegar merasa kasihan sekali melihatnya.”
“Kamu ajak dia makan?” tanya Satria.
“Tegar ajak, mas Boy juga ngajakin, tapi dia tidak mau. Lalu kami memberinya uang.”
“Ya sudah, itu perbuatan baik. Ibu senang mendengarnya.”
“Yang aneh, mas Boy juga merasakan hal yang sama. Dia kasihan melihatnya. Malah mas Boy bilang, seperti pernah melihat wanita itu.”
Satria dan Minar saling pandang. Yang terlintas dipikirannya adalah sama. Jangan-jangan ….
“Lama sekali kita tidak melihat ibu."
Satria pernah bilang, bahwa rumah ibunya sudah bertahun-tahun dihuni orang lain.
Satria tiba-tiba merasa sedih. Bagaimanapun kesalnya dia pada ibunya pada waktu itu, tapi dia adalah darah dagingnya.
“Mengapa ibu tidak pernah menghubungi kita ya mas?” tanya Minar.
“Lalu di manakah sebenarnya nenek? Mengapa kakek juga tidak tahu tentang nenek?” tanya Tegar yang ikut terlihat prihatin melihat wajah ayah ibunya yang terlihat sedih.
“Nenek kamu tidak mungkin ketemu kakek. Mereka sudah bercerai dan tidak mungkin kabar mengabari lagi,” kata Satria.
“Mengapa nenek tidak mau menghubungi bapak sama ibu di sini?”
“Entahlah. Dengan ommu Tomy juga tidak.”
“Mudah-mudahan ibu baik-baik saja.”
“Apakah bapak sama ibu berpikir, bahwa wanita tua yang Tegar temui itu nenek?”
“Tegar! Jangan begitu, masa nenek menjadi peminta-minta,” kata Minar.
“Mengapa setelah Tegar bercerita tentang wanita itu, lalu Bapak sama Ibu teringat pada nenek?”
“Kamu bicara tentang wanita tua. Jadinya bapak ingat pada nenek.”
Tapi walau berkata begitu, sebenarnya sampai menjelang tidur, Satria dan Minar masih berpikir tentang wanita tua itu. Dan pikiran tentang jangan-jangan itu terus menghantuinya, dan membuat mereka takut.
***
Rohana senang, belum pernah ada yang memberi uang sebanyak itu. 2 lembar lima puluhan ribu? Dulu uang sebanyak itu adalah sampah yang tidak ada artinya. Tapi sekarang, sementara setiap orang memberi hanya beberapa rupiah, ketemu anak-anak muda yang memberinya sangat banyak, tentu Rohana bahagia, disamping sedih tak bisa menyapa kedua anak muda yang ternyata masih darah dagingnya itu, apalagi memeluknya. Tapi keinginan yang meluap itu selalu terkalahkan oleh harga dirinya. Barangkali dia juga malu karena dulu tidak pernah mendengar perkataan anak-anaknya, atau tidak pernah peduli dengan mereka. Tomy yang mengecewakan karena bersedia hidup menjadi sopir, dan Satria yang menikahi wanita yang menurutnya kampungan dan tidak punya derajat. Sekarang apa? Mereka menjadi orang yang bermartabat, punya anak-anak yang baik dan mulia hatinya. Tangan Rohana ingin meraihnya, tapi hati melarangnya. Malu dan malu. Hanya itu, dan dia lebih memilih menjalani hidup di jalanan dan terlunta-lunta.
“Biar saja hidupku seperti ini. Mana mungkin aku mendekati anak-anakku, cucu-cucuku, dengan keadaanku seperti ini? Malu aku, dari hidup berlimpah kekayaan, lalu menjadi seperti ini.”
Dan kesukaannya makan enak, ketika mendapat uang seratus ribu itu kembali membuatnya ingin membeli sesuatu yang berbeda. Bukan hanya oseng daun pepaya, tahu tempe kering, atau bahkan nasi dengan sepotong kecil ikan asin.
Ada penjual ayam goreng yang baunya menyengat. Biar saja mahal, mumpung uangnya ada.
***
Rohana yang kekenyangan kemudian kembali nyasar di kampung pak Trimo. Hari sudah malam, walau belum larut benar. Ia sangat mengantuk, dan teras rumah pak Trimo tempat yang nyaman untuk berbaring tidur.
Ia mendekati rumah itu, dan melihat lampu rumah pak Trimo masih menyala. Berendap dia mendekat, dan melalui tirai yang tersingkap, ia melihat pak Trimo sedang menghitung uang. Itu banyak sekali, pikirnya. Bibirnya tersenyum jahat. Setan sedang mengipasinya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteEmAaMa 06...telah tayang
Matur sembah nuwun Mbak Tien
Tetap sehat..Tetap semangaat .💪😍
Salam ADUHAI..dari Antapani
🙏😍💐🌹
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Ning
Salam ADUHAI dari Solo
Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteSuwun mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
Delete🐙🪼🐙🪼🐙🪼🐙🪼
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
eMAaeM_06 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai😍🤩
🐙🪼🐙🪼🐙🪼🐙🪼
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Matur suwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Yati
DeleteAlhsmdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endang
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Sami2 ibu Endah
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah.... terimakasih
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteMatur nuwun Bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Istì
Delete
ReplyDeleteAlhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~06 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga panjenengan sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMatur suwun
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulilah MAM 06 sdh tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🪸🌷🌷
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai2 deh
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Atiek
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah MAM 06 sdh terbit. Matur nuwun Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSugeng ndalu, mugi Ibu & kelg.tansah pinaringan sehat🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Sis
Sugeng siang
Aamiin paringipun pandonga
Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 06, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Sami2 ibu Uchu
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun jeng Tien
ReplyDeleteTetap semangat dalam karya.
Sami2 mbak Yaniiiik
DeleteAamiin
Horee..... Bu Nuning malit.
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu dan selalu sehat nggih.
Tetap semangat menghibur penyemangatnya.....
Tak tinggal sholat 'isya disik, lha ra muncul².
Salam ADUHAI dari mBandung - JABAR
Matur nuwun mas Kakek
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *masih adakah makna 06* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Matur nuwun , bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteKemana larinya kalau tidak berbuat melawan hukum. Suka foya foya, tidak punya penghasilan, melihat uang banyak.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah cerbung M A M mantul 👍🌷🌹💐
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah 06 nya sdh tayang
ReplyDeleteMatur nuwun Eyang Titi
DeleteRohana mungkin ingin mencuri uang p trimo hehehe
ReplyDeleteTerima kasih ibu Engkas
DeleteTerima kasih Bunda Tien Kumalasari, salam hangat dari Pasuruan
ReplyDeleteSami2 ibu Mundjiati
DeleteSalam hangat dari Solo
Alhamdulillah.. Trm ksh buTien. Salam sehat selalu.
ReplyDeleteSami2 ibu Handayaningsih
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSemoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 06 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Rohana msh sombong, sdh miskin tapi sombong..apa yang di banggakan..jal
Malah skrng mau beralih profesi jadi Ratu Copet..😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien untuk tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat² selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Selamat malam bun....mks MAM 6 sdh tayang....
ReplyDeleteWaduh rohana nglihat uang pak trimo banyak.....jangan....jangan....ah sdh lah tunggu besok saja
Selamat pagi ibu Supriyati
DeleteBaru sempat buka2 nih
Wealaah...Rohana belum bertobat ya...walaupun sudah jatuh miskin, masih aja berpikir negatif.
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏❤️
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteAstaghfirullaah, kl hati sdh tertutup dg rasa gengsi susah untuk menerima kenyataan, krn lama TDK mengenal Sang Pencipta bisa membuat jd sesat, Rohana , semoga ada hidayah untuk nya
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap sehat njih....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
Matur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap sehat dan semangat. ❤️💪
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi