Friday, September 13, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 02

 MASIH ADAKAH MAKNA  02

(Tien Kumalasari)

 

Boy membalas menjewer kuping Indi, membuatnya berteriak-teriak. Tapi ia tak bisa melarikan diri karena Boy memegangi lengannya.

“Sakiiiit. Mas Boy jahat!!”

“Kamu tadi juga menjewer kupingku, berarti kamu juga jahat.”

“Aku kan pelan. Nih sakit sekali, aku bilang sama ibu.”

“Dasar kolokan. Tapi aku tidak suka kamu mengatakan bahwa kamu tidak suka sama Mia.”

“Aku tidak suka, karena Mia mengalahkan aku.”

“Mengalahkan kamu itu mengalahkan apa? Memangnya ada lomba? Agustus sudah lewat, nggak ada lomba.”

“Nggak lucu!!”

“Biarin, memangnya aku bercanda? Dengar, aku nggak suka kamu bersikap begitu sama Mia. Mia itu baik sama kita.”

“Baik sama Mas, tapi tidak baik sama aku.”

“Kamu yang merasa begitu. Dengar, berteman itu jangan sampai ada rasa benci membenci. Kebencian kamu itu tidak beralasan.”

“Tapi aku kesal sama dia. Kalau dekat sama Mas, dia nempel-nempel terus, lalu Mas tidak perhatian sama aku.”

Boy tertawa. Indi memang manja. Sejak dulu dia tidak pernah suka pada Mia. Bahkan sejak mereka masih anak-anak. Permasalahannya hanya satu, yaitu Boy. Indi seperti tidak rela Mia dekat-dekat sama kakaknya. Alasannya juga nggak jelas. Boy mengira Indi hanya mengada-ada.

“Ada apa sih, sore-sore begini sudah rame?” tiba-tiba Monik, sang ibu, muncul sambil membawa sepiring pisang goreng.

“Ini Bu, mas Boy.”

“Boy, berhenti mengganggu adikmu,” tegur sang ibu.

“Mengapa Ibu selalu percaya pada omongan Indi? Dia itu kolokan, manja, mau menang sendiri,” omel Boy.

“Bohong, Bu!!”

“Ada apa sih, kalian itu terkadang rukun, terkadang tarung, seperti ayam berebut jagung.”

Boy dan Indi tertawa geli. Kenapa sih, perumpamaannya adalah ayam berebut jagung?

“Ini tidak berebut apapun Bu, dasar Indi tukang ngawur.”

“Bu, mas Boy pacaran sama Mia, jangan boleh Bu, Mia tuh galak.”

“Hei! Ngawur kan?!"

“Benar, kamu pacaran sama Mia?” Monik bertanya penuh selidik.

“Nggak. Indi tuh ngawur Bu. Boy hanya berteman. Bukankah sejak masih kecil kami sudah berteman?”

“Tapi Mia suka nempel-nempel mas Boy, dan mas Boy suka. Ya kan?”

“Kamu kalau ngomong selalu ngawur, nggak masuk akal. Hanya karena kamu nggak suka sama Mia, lalu kamu menuduhnya begitu. Padahal kami ngomong biasa saja.”

“Ya sudah, nggak usah ribut. Ini pisang goreng masih anget.”

“Ini kan kesukaan bapak?” kata Boy sambil mencomot pisang gorengnya. Indi mengikutinya.

“Bapak sudah ibu siapkan sendiri. Kan bapak belum pulang?”

“Kemarin bapak menyuruh Boy datang ke kantornya. Pasti karena pekerjaan yang akan diberikan pada Boy.”

“Iya, kamu sudah selesai kuliah, kalau mau lanjut ya silakan saja, tapi kamu juga harus membantu ayahmu.”

Boy menikmati pisang gorengnya, sambil mengangguk-angguk. Agak berdebar mengingat sang ayah akan menyuruhnya belajar tentang bisnis peninggalan kakeknya. Boy belum pernah melakukannya, tapi dia akan mencobanya.

Dulu Boy sangat membenci ayahnya, karena ia melihat bagaimana sang ayah tampak sangat kejam terhadap ibunya. Rasa benci itu berlanjut, sampai ketika sang ibu dipertemukan kembali dengan sang ayah, dan sang ayah tampak sangat menyesali perbuatannya. Kemudian Boy bisa menerimanya, ketika melihat bagaimana ayahnya menebus semua kesalahannya, bersikap manis kepada ibunya, apalagi terhadap dirinya. Hati Boy luluh dan membiarkan saja ketika sang ayah kemudian pindah ke rumah yang dihuni ibunya, atas pemberian kakeknya. Hari demi hari, berganti tahun, kemudian Boy menyadari bahwa ayah Tomy benar-benar mencintai mereka.

Boy juga senang ketika sang kakek memboyong Indi ke rumahnya, sehingga bisa menjadi teman bermain yang menyenangkan. Bersama Mia pula akhirnya mereka kuliah bersama bertiga, walaupun sebelumnya mereka bersekolah di sekolah yang berbeda, karena kemudian rumah mereka juga berbeda tempatnya, setelah Monik dan Boy diboyong pak Drajat ke rumah baru.

Kedekatan Boy dan Mia membuat Indi merasa tidak senang. Entah mengapa, ketidak senangan sejak mereka masih kanak-kanak, bisa terbawa sampai mereka dewasa.

Bagi Boy, Mia tetaplah teman yang sangat baik dan akrab. Namun berbeda dengan Mia, yang menyukainya, bahkan sejak mereka masih kanak-kanak. Entahlah itu perasaan cinta atau apa, Mia tidak menyadarinya. Apakah Boy menanggapi perasaannya, Mia juga tidak tahu. Entah sampai kapan tanda tanya itu ada diantara mereka. Padahal setelah lulus kuliah, mereka tak lagi bisa bertemu setiap hari. Boy akan bekerja di kantor ayahnya, dan Mia akan bekerja di tempat lain.

Ketika kemudian mobil masuk memasuki halaman, Indi dan Boy berebut menyambutnya, Mereka menyayangi ayah mereka, seperti sang ayah juga sangat menyayangi mereka. Indi yang terlahir dari ibu yang lain, bahkan menganggap Monik adalah ibu kandungnya, karena Monik juga menyayangi, tak berbeda dengan rasa sayangnya kepada Boy anak kandungnya.

“Bapak bawa oleh-oleh apa?” kata Indi sambil menarik tas kerja ayahnya untuk dibawakannya.

“Apa ya?” tanya Tomy sambil merangkul pundak keduanya, di kiri dan kanannya, sambil berjalan ke arah rumah.

Tomy yang merasa berdosa karena pernah menelantarkan anaknya, kemudian menebusnya dengan kasih sayang yang berlimpah ruah.

“Es krim!” teriak Boy. Kesukaannya sejak kecil tidak dilupakan ayahnya. Jadi sering kali sepulang kerja, Tomy selalu membawakannya es krim, untuk kedua putra-putrinya.

“Ada. Eit, ketinggalan di mobil,” kata Tomy.

Keduanya segera melepaskan rangkulan sang ayah, berebut ke arah mobil, mencari es krim yang dibawakan sang ayah.

“Biar aku bawaaaa,” teriak Indi.

“Aku sajaa, nanti tumpah,” kata Boy sambil berlari mendahului.

“Mas Boy !!!!”

Indi mengejar sambil berteriak-teriak, sementara Boy meledeknya sambil mendahului masuk ke dalam rumah.

Monik tersenyum geli menyaksikan ulah kedua anaknya. Ia menyambut suaminya di teras, Tomy merangkulnya lalu keduanya masuk ke dalam rumah. Dari arah ruang makan, terdengar teriakan dan canda mereka yang tak putus-putusnya. Tomy dan Monik hanya tertawa bahagia. Mereka selalu begitu, bertengkar, bercanda, dan tetap saling mengasihi.

***

Binari pulang ke rumah, ketika sang ayah sudah berangkat bekerja. Ketika ia akan memasuki rumah, dilihatnya perempuan yang pagi harinya ada di situ, masih duduk sambil meletakkan kepalanya di atas meja, mendengkur sekeras deruman traktor.

Binari mengernyitkan keningnya. Ia sungguh tak suka melihat Rohana. Ia kesal mengapa sang ayah menaruh belas kasihan padanya. Menurut Binari, Rohana hanya ingin mencari enaknya, berada di rumah orang, tapi membuat repot, terutama dirinya.

Ia perlahan membuka kunci rumah, tapi begitu terdengar derit pintu terbuka, Rohana terbangun.

“Haaah, aku tertidur di sini ….”

Ia menggeliat, lalu mengikuti Binari masuk ke dalam.

“Kamu pulang sekolah?”

“Ya. Ibu mau apa?”

“Aku mau mengambil cucianku. Dari tadi aku menunggu kamu.”

“O, silakan Bu.”

Binari berusaha ramah. Kedua orang tuanya selalu mengajarkan sopan santun yang harus dibawanya di manapun ia berada.

Binari masuk ke dalam kamar, mengganti pakaian sekolahnya, dengan pakaian rumahan, lalu ke kamar mandi untuk cuci tangan dan kaki.

Ketika ia memasuki ruang makan, dilihatnya Rohana duduk di kursi, sambil melihat ke sekeliling ruangan.

Binari mau mengambil makanan, tapi ragu-ragu. Dan dugaannya benar.

“Kamu mau makan?”

“Iya Bu.”

“Aku juga lapar,” katanya tak tahu malu.

Pembawaan Rohana sudah berbeda. Dilingkungan yang berbeda, tak ada rasa malu untuk meminta sesuatu. Gengsi dan merasa tinggi itu sudah terlewati. Kini hidupnya bukan seperti putri atau permaisuri yang penuh kemewahan dan gebyar yang menyilaukan. Cahaya itu sudah suram. Seperti matahari yang tertutup awan hitam. Kecongkakan itu juga sudah sirna, tak bersisa.

“Ibu mau makan?” tanya Binari, yang sungguh-sungguh merasa bahwa dia menanyakannya dengan terpaksa. Ia merasa Rohana perempuan yang aneh. Bagaimana kalau sebenarnya dia orang jahat yang berbaik-baik agar bisa menutupi niat buruknya?

“Ya, kalau boleh sih. Aku baru makan sekali, pagi tadi,” katanya lagi sambil celingukan, mencari tempat minum dan gelas. Ia juga sangat haus.

Binari mengambilkan nasi di piring, diberinya oseng kacang panjang yang tadi pagi dimasaknya, lalu sepotong tahu dan tempe. Ia juga meletakkan segelas air putih di dekatnya.

“Silakan Bu.”

“Oh ya, terima kasih. Tidak ada kepala ayam seperti pagi tadi?”

“Kami makan sederhana Bu. Makan kepala ayam hanya kalau ada dagangan yang tersisa,” kata Binari dengan wajah tak suka.

“Oh, baiklah. Ini juga bagus.”

Akhirnya Rohana makan dengan lahap. Binari urung mengambil makanan untuknya sendiri. Ia pergi ke dapur, menyiapkan peralatan masak yang akan dipakai esok hari. Biasanya sang ayah belanja saat pulang bekerja.

“Ayahmu bekerja di mana?”

“Parkiran.”

“Maksudnya, tukang parkir?”

“Ya.” jawab Binari sambil mengangkat dandang dan meletakkannya di deretan peralatan lain, supaya esok hari sang ayah lebih mudah melakukan tugasnya.

“Tidak capek?”

Binari kesal. Ia pura-pura tak mendengar. Mana ada orang bekerja tanpa capek? Rohana saja yang tak mau bercapek-capek.

Rohana menghabiskan makanannya dengan cepat. Ia menenggak minumnya sampai habis. Lalu terdengar dia bersendawa keras sekali. Binari geleng-geleng kepala.

“Kamu sedang apa?”

“Menyiapkan peralatan masak untuk besok. Bapak bekerja dari pagi buta, untuk mencari sesuap nasi,” kata Binari yang ingin mengatakan bahwa sesuatu didapatkan harus dengan bekerja.

Tapi mana Rohana memperhatikannya? Ia malah langsung ngeloyor ke arah depan, sambil membawa baju yang baru saja diambilnya dari jemuran.

“Masih untung tidak menyuruh aku mencucikan bajunya,” kata batin Binari yang kemudian mengambil piring kemudian makan untuk dirinya sendiri, di dapur.

Selesai makan, ia melongok ke arah depan, ingin melihat apa yang dilakukan tamu tak diundang itu, tapi perempuan itu tak ada lagi bayangannya.

Binari bernapas lega. Ia mencuci piring-piring kotor, dan peralatan lain yang belum sempat dicuci pagi tadi. Ia tahu sang ayah bekerja sangat keras untuk dirinya, dan dia tak mungkin hanya enak-enak saja.

***

Ketika pak Trimo pulang dari bekerja, Binari menyiapkan kopi panas untuk sang ayah. Sambil mengusap peluh, sang ayah menyeruput kopi buatan Binari.

“Bagaimana sekolahmu?”

“Baik Pak.”

“Besok kamu bayar sekolah. Dua bulan sekaligus.”

“Dua bulan Pak? Kenapa tidak sebulan dulu saja.”

“Mumpung ada uangnya. Tidak apa-apa, supaya bulan depan tidak usah membayar lagi. Bapak sedang mengumpulkan uang untuk biaya kuliahmu nanti.”

“Pak, kalau memang berat, bapak tidak usah memaksa Binar untuk kuliah. Binar akan mencari pekerjaan saja.”

“Jangan begitu Binar. Bapak bekerja keras karena ingin menjadikanmu ‘orang’. Jangan seperti bapakmu ini. Hidup susah, serba kekurangan.”

“Bukankah yang penting bisa menerima apa adanya, lalu kita akan bahagia?”

“Ini masalah sebuah keinginan, cita-cita. Memang benar, sekarangpun kita bahagia walau hidup seadanya. Tapi manusia boleh punya keinginan bukan? Boleh punya cita-cita, bukan?”

“Tapi Binar tidak ingin Bapak menguras tenaga untuk itu,” kata Binari sambil menyandarkan kepalanya di bahu sang ayah.

“Keinginan tidak akan bisa tercapai kalau kita tidak berusaha. Jangan pikirkan bapakmu lelah, pikirkan bagaimana kamu bisa kuliah dan menyandang gelar yang membanggakan ayahmu, dan juga almarhumah ibumu. “

Binari mengusap air matanya, ketika ingatan tentang ibunya melintas. Dulu sang ibu juga bekerja keras. Keinginannya hanya satu, yaitu agar dirinya bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

“Belajar yang rajin, jangan memikirkan yang lain,” kata ayahnya dengan suara bergetar. Ingatan tentang istrinya juga membuatnya sedih.

“Oh ya Pak, tadi ibu-ibu itu ternyata masih ada di sini sejak pagi.”

“Yang namanya Rohana?”

“Iya. Ketika Binari pulang, dia sedang tidur di kursi teras.”

“Kamu mengunci pintu rumah?”

”Iya lah Pak, masa Binari membiarkan orang yang entah siapa, berada di rumah kita sementara kita tidak ada di rumah?”

“Lalu kamu membangunkannya?”

“Tidak. Dia bangun sendiri ketika Binari membuka pintu. Bapak tahu? Dia minta makan.”

“Kamu beri kan?”

“Binari beri dong, tiba-tiba dia sudah masuk ke rumah dan duduk di ruang makan.”

“Masa?”

“Bapak harus hati-hati. Kita belum mengenal siapa dia. Tiba-tiba datang tanpa diundang, masuk ke rumah seenaknya, minta makan juga seenaknya,” omel Binari.

“Jangan berprasangka buruk pada orang. Sepertinya dia pantas dikasihani.”

“Menurut Binari, dia hanya orang malas.”

“Kalian sedang ngomongin aku?”

Astaga, Rohana muncul lagi sore menjelang malam itu.

***

Besok lagi ya.

65 comments:

  1. Alhamdulillah...
    EmAaEm_02 sudah hadir.

    Pesanan Buah hatiku :

    1. Ibu Atien
    2. Ibu Arsi
    3. Ibu Kasri Wahyuni
    4. Ibu Sri Widayati
    5. Bp. Sri Martono
    6. Bp. Sarwono
    7. dr. Andi
    8. Ibu Tugirah
    9. Djaenab Purwaningsih
    10. Nuk Hm
    11. Ibu Fatimah Ahmad
    12. Nining Khairuddin 🌼
    13. Erna Dukut 🌼
    14. Dr. Damayanti 4 (Nazir)
    15. Husnaeni
    16. Ninik Isnaeni 🌼
    17. Bp. Andaka 3 🌼
    18. Yeti Mustakim 🌼
    19. Ibu Mudjiati
    20. ......
    21. ......

    *Jumlah = 24 eksemplar*

    _*Lanjutkan.......*_

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 02, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  5. Maturnueun bu Tien , MKM 02 sdh tayang.... sehat sehat ya bu ..salam aduhai ❤️❤️🙏🏼🙏🏼

    ReplyDelete

  6. Alhamdullilah
    Cerbung *masih adakah makna 02* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  7. 💚🌽💚🌽💚🌽💚🌽
    Alhamdulillah 🙏🦋
    MAM_02 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai😍🤩
    💚🌽💚🌽💚🌽💚🌽

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari
      Aduhai deh

      Delete
  8. Alhamdulillah, MAM 02 sudah tayang
    Matur nuwun bunda Tien 🙏🏼🌹
    Semoga selalu sehat wal’afiat dan bahagia bersama keluarga. Aamiin 🤗 🤲🏽❤️

    ReplyDelete
  9. Iyaa Bu Rohana... mereka ngomongin kamu, maunya hidup enak tanpa bekerja.
    Boy sudah selesai kuliah dan akan bekerja ya, terus bagaimana dengan Mia.
    Indri mau kerja juga apa cari suami... tapi awas jangan naksir kakakmu.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah... Mtnw mbakyu, sehat selalu 🙏

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah cerbung M A M ? 👍🌷🌹💐
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏

    ReplyDelete
  12. Maturnuwun B Tien .... semoga bu Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  13. Terimakasih bunda Tien cerbung baru MAM 02 tayang. Salam sehat, bahagia selalu dan aduhai

    ReplyDelete
  14. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  15. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  16. Waah...saya kok jadi salfok dengan pak Trimo yg di cerbung "Selamat Pagi Bidadari" ya? Apa memang disilangkan dalam cerita ini ya? Hmmm...mengkhayal ah...🤭😅

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat selalu.🙏😘😘😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 ibu Nana
      Bukan main nih. Masih ingat ya. Saya malah lupa. Hadeeew

      Delete
  17. Alhamdulillah ~MASIH ADAKAH MAKNA 2~ sdh datang. Matursuwun Bu Tien, salam sehat2 selalu

    ReplyDelete

  18. Alhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~02 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga panjenengan sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  19. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Enny

    ReplyDelete
  20. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Ting

    ReplyDelete
  21. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun pak Munthoni

    ReplyDelete
  22. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun jeng In
    ADUHAI 3X

    ReplyDelete
  23. Terimakasih sudah tayang, sehat selalu dan bahagia

    ReplyDelete
  24. Terimakasih mb Tien 😘😘😘😘

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 09

  MASIH ADAKAH MAKNA  09 (Tien Kumalasari)   Binari melotot dengan kaki gemetar. Di depannya, sang ayah memegang kotak yang telah kosong, de...