Thursday, September 12, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA? 01

 MASIH ADAKAH MAKNA?  01

(Tien Kumalasari)

 

Seorang laki-laki yang tidak lagi muda sedang memasukkan dagangannya ke dalam keranjang bambu yang di pasang diboncengan sepeda motornya. Wajahnya kuyup oleh keringat. Ia bangun sejak jam tiga pagi dan memasak sampai subuh, lalu mengemasnya dalam wadah-wadah besar yang kemudian ditatanya di keranjang. Ia seorang penjual nasi liwet. Apa? Penjual nasi liwet? Bukankah dia seorang laki-laki? Memang iya. Ia seorang laki-laki, penjual nasi liwet. Ada sedikit aneh. Tapi itu adalah kenyataannya.

Beberapa tahun yang lalu, dia seorang tukang parkir. Isterinyalah yang berjualan nasi liwet. Ia juga selalu membantu sang istri saat memasak dipagi buta itu, demi selembar rupiah yang dibutuhkannya. Seorang anak perempuannya sudah  SMA. Biaya sekolah tidak sedikit. Trimo dan istrinya berpacu mencari biaya demi anaknya agar bisa lulus dan masuk ke perguruan tinggi. Binari yang sederhana dan cantik harus menjadi orang, jangan seperti kedua orang tuanya yang miskin dan menderita.

Tapi apa hendak dikata, karena suatu penyakit yang dideritanya, bu Trimo meninggal dunia. Kesedihan memenuhi hati keluarga sederhana itu. Tapi mereka tak harus tenggelam dalam kesedihan. Binari harus melanjutkan sekolah, dan pak Trimo harus lebih tekun mengumpulkan uang. Karena banyak langganan yang menyesali meninggalnya bu Trimo, sementara mereka selalu memuji masakan bu Trimo yang enak, maka pak Trimo mencoba mengadu untung. Ia sudah sering membantu sang istri memasak, dan ia sanggup melakukannya. Maka mulailah ia berjualan nasi liwet di pagi hari, dan menjadi tukang parkir di siang sampai sore harinya. Sungguh luar biasa, para pelanggan seperti menemukan bu Trimo kembali.

“Ini seperti masakan bu Trimo, enak, gurih, bikin kangen,” kata para langganan yang sudah mencobanya.

Maka pak Trimo meneruskan usaha jualan nasi liwet itu, mangkal di dekat pasar, seperti dulu sang istri membuka dagangannya.

Pagi ini ia agak kesiangan. Binari sudah berangkat ke sekolah, dan pak Trimo baru menggelar dagangannya.

“Kok siang Pak?” kata salah seorang pelanggan.

“Iya, hampir saja aku pulang tanpa membawa oleh-oleh nasi liwet untuk suamiku,” kata yang lain.

“Maaf Bu, tadi bangun agak kesiangan,” kata Trimo sambil langsung sibuk melayani pelanggan.

Agak siang kemudian, dagangan Trimo sudah hampir ludes. Tinggal sedikit nasi dan sambel goreng jepan, dan sepotong kepaIa ayam kesukaan Binari yang memang disisakannya. Ia segera membenahi peralatan jualnya, dan memasukkannya ke dalam keranjang.

Tapi tiba-tiba seorang wanita datang lalu duduk kelelahan di depannya.

Trimo terkejut.

“Bu, ada apa? Sampeyan sakit?”

“Aku lapar. Sampeyan jualan nasi?”

“Iya, tapi nasinya tinggal sedikit, lauk lainnya habis. Eh, ada sambal goreng yang juga tinggal sedikit.”

“Apa harganya mahal?”

Wanita yang sebenarnya punya wajah bersih dan masih cantik itu tampak memelas.  Pak Trimo merasa kasihan.

“Tidak mahal bu, Ibu tidak usah bayar. Sebentar saya ambilkan.”

Pak Trimo membuka panci tempat nasi, menaruhnya di piring yang bersih, memberinya sambal goreng. Tapi sebelum diulurkannya kepada wanita itu, ia masih ingat ada kepala ayam yang masih tersisa. Ia menyisakannya karena kepala ayam adalah kesukaan Binari. Tapi kali ini ia membubuhkannya di piring yang akan diberikannya kepada perempuan itu.

“Ini Bu, makanlah.”

Wanita setengah tua itu menerimanya dengan senang hati. Ia segera melahapnya sampai habis.

“Masih adakah nasinya?”

“Sayang sekali sudah habis Bu. Ibu masih lapar? Saya beri uang, ibu beli di warung itu, bagaimana? Itu warung soto yang enak.”

Wanita itu mengangguk. Pak Trimo memberikan uang sepuluh ribu, wanita itu menerimanya sambil mengangguk-angguk.

Pak Trimo bersiap untuk pergi, tapi wanita itu menahannya.

“Rumah sampeyan di mana?”

“Dekat Bu, di belakang kampung ini. Nama saya Trimo. Orang-orang sudah pada mengenal nama saya.”

“O, dekat ya? Sampeyan seorang laki-laki, mengapa jualan nasi liwet?”

“Terpaksa karena butuh uang Bu. Dulu yang jualan istri saya. Tapi kemudian dia meninggal, jadi saya menggantikannya berjualan seperti dia.”

“Oo. Begitu?” katanya sambil mengulurkan piring kosong yang lupa dimasukkan Trimo ke dalam keranjang.

“Oh iya, terima kasih Bu, saya mau pulang nih.”

Wanita itu hanya mengangguk, lalu menatap kepergian  pak Trimo sampai menghilang di belokan jalan.

“Orangnya ganteng, tapi miskin,” gumam wanita yang bernama Rohana.

Dia memang Rohana. Nasib buruk menimpanya ketika dia tak lagi memiliki apapun, sehingga terpaksa harus menjual lagi rumahnya, sedangkan dia menjadi orang jalanan karena tak lagi punya tempat tinggal.

Ia punya dua orang anak laki-laki, tapi mana mungkin mereka tahu tentang keberadaan ibunya dan nasib yang menimpanya? Rohana punya rasa tinggi hati dan tak ingin orang lain melihatnya menderita, walaupun kepada anaknya sendiri. Ia lebih baik menghilang dari orang-orang yang pernah dikenalnya.

HIdup kekurangan membuatnya sedih, tapi ia tak menyadari pada kesalahannya sendiri.

***

Pagi masih buta, ketika Binari sudah membantu ayahnya di dapur, lalu membuka pintu rumahnya untuk bersih-bersih, sebelum ia berangkat ke sekolah.

Tapi ia terkejut melihat seseorang tidur di lantai teras, berbantalkan sebuah bungkusan dari keresek berwarna hitam.

Ia segera berlari ke belakang untuk memberi tahu ayahnya.

“Ada apa?”

“Pak, di teras ada orang tidur. Seorang perempuan.”

“Apa?”

Pak Trimo menghentikan kegiatannya menata masakan di wadah-wadah, lalu bergegas ke arah depan. Pak Trimo sangat terkejut. Ia mengenali perempuan itu, yang kemarin paginya minta makan ketika ia selesai berjualan di pasar.

“Bu … Bu … bangun Bu … bangun … mengapa tidur di sini?”

Perempuan itu Rohana. Ia menggeliat.

“Mana kopi … mana kopi … ,“ katanya seperti orang mengigau.

“Bangun Bu, kalau mau kopi nanti saya buatkan,” kata pak Trimo. Bagaimanapun ia merasa iba. Perempuan itu seperti gelandangan, tidur di sembarang tempat.

“Bu … Bu …”

“Bapak mengenalnya?” tanya Binari.

“Kemarin pagi di pasar dia minta makan. Bapak beri sisa nasi dan sayur.”

Rohana menggeliat, kemudian berusaha duduk. Matanya sedikit terbuka, kemudian menguap. Binari menutup mulutnya ketika mencium bau tak sedap dari mulut Rohana.

“Kopi ….”

“Binar, tolong buatkan kopi untuk ibu ini,” titahnya kepada anak gadisnya.

Binari segera ke belakang, memenuhi perintah ayahnya.

“Bangun dan duduklah di kursi Bu,” kata pak Trimo lagi.

Rohana mengerjap-ngerjapkan matanya.

“Aku di mana? Kok ketemu sampeyan lagi?” katanya sambil lagi-lagi menguap.

“Ini rumah saya.”

“O iya, aku tahu. Sampeyan orang baik, makanya saya cari rumah sampeyan, untuk numpang tidur di sini. Di jalan brisik.”

“Rumah Ibu di mana?”

Rohana tertawa.

“Rumah apa? Sudah diambil orang. Nggak punya rumah, nggak punya apa-apa.”

Binari keluar sambil membawa segelas kopi, meletakkannya di meja, karena Rohana sudah duduk di kursi sambil menyandarkan kepalanya, seperti di rumah sendiri.

“Ini kopi, minumlah Bu. Maaf, saya harus segera ke pasar, ini sedang beres-beres dagangan," kata pak Trimo.

“Aku boleh di sini? Di emperan sini juga tidak apa-apa.”

“Sebenarnya Ibu mau ke mana?”

“Entahlah, aku hanya berjalan. Setiap hari berjalan, tak tahu akan menuju ke mana.”

Rohana menyeruput kopinya dengan nikmat.

“Nama Ibu siapa?”

“Rohana,” jawabnya kemudian meminum kopinya sedikit demi sedikit, sampai habis.

Binari melanjutkan pekerjaannya bersih-bersih rumah, karena ia harus segera berangkat ke sekolah.

“Bolehkah saya numpang mandi?”

Binari merengut. Ia kurang suka pada perempuan yang seperti berbuat seenaknya, seakan di rumahnya sendiri. Tapi sang ayah mengijinkannya.

“Silakan Bu, kamar mandinya di belakang, dekat dapur.”

Rohana terbiasa hidup bersih. Meskipun seperti gelandangan, tapi ia selalu membersihkan diri dan memakai pakaian bersih walau sudah kelihatan lusuh. Biasanya ia mandi dan mencuci di kamar mandi umum yang ada di jalan-jalan.

Ia mengambil buntalannya, lalu mengikuti pak Trimo ke belakang, yang kemudian menunjukkan letak kamar mandinya.

Pak Trimo melanjutkan pekerjaannya.

Ketika ia selesai dan bersiap untuk berangkat ke pasar, Rohana juga sudah rapi dan sedikit wangi. Ia memakai sabun yang ada di kamar mandi. Tapi ia punya sikat gigi sendiri. JIjik memakai sikat gigi yang ada.

Binari juga sudah mandi. Biasanya ia ke sekolah setelah sang ayah berangkat ke pasar, karena para pelanggan butuh sarapan pagi-pagi sekali.

Wajah Binari tampak muram, ketika sang ayah memintanya agar memberikan sarapan pada Rohana, sebelum nanti berangkat ke sekolah. Tapi ia tak berani membantah apa yang dikatakan ayahnya. Ia mengangguk, mencium tangan sang ayah sebelum sang ayah pergi.

“Ini makan untuk aku?”

“Iya,” lalu Binari melangkah ke belakang, untuk sarapan, lalu bergegas keluar.

Ketika ia keluar, dilihatnya Rohana sedang makan dengan lahap.

“Bu, saya mau ke sekolah. Kalau Ibu mau di sini, silakan, tapi rumah harus saya kunci.”

“Ya, tidak apa-apa. Aku nitip pakaian yang habis aku cuci, di belakang rumah,” katanya enteng.

Binari malah tidak tahu bahwa Rohana mencuci bajunya di kamar mandi lalu menjemurnya di belakang.

“Nanti sore saja kalau Ibu mau mengambilnya. Bapak pulangnya sore, atau malam,” kata Binari.

Rohana melanjutkan makan, dan membiarkan Binari mengunci pintu rumahnya, lalu pergi. Ia tak peduli pada wajah Binari yang tampak tak suka. Yang penting dia bisa makan dan dia berjanji dalam hati, akan datang ke rumah ini setiap malam, karena ia tahu bahwa pak Trimo sangat baik hati.

***

Sebuah mobil berhenti di depan pagar pekarangan rumah. Ia mengamati rumah yang bertahun-tahun tidak pernah dikunjungi, dan sekarang tampak berbeda. Rumah yang biasanya sepi, sekarang ramai oleh pekik anak-anak kecil yang sedang bermain. Pengemudi mobil itu, Satria, yang sebenarnya adalah anak pemilik rumah yang terdahulu. Rohana, ibu kandungnya, tak lagi tampak di rumah itu.

Seorang laki-laki tua mendekati Satria yang masih berada di dalam mobil.

“Bapak mencari siapa?”

Satria terkejut. Ia sedang memikirkan ibunya yang puluhan tahun menghilang, dan rumahnya sudah ditempati orang.

“Pak, mau mencari siapa?”

“Oh … eh, ini … dulu rumah ini punya ibu Rohana bukan?”

“Waduh, pemilik rumah ini, pak Sasongko, sudah tinggal di sini selama lima tahun atau enam tahun lebih.”

“O, begitu ya. Ya sudah Pak, terima kasih banyak,” kata Satria yang kemudian melajukan mobilnya, lalu pak tua itu melanjutkan membersihkan kebun, yang memang menjadi pekerjaannya.

***

 Satria mengendarai mobil menuju rumah, dengan perasaan yang mendadak menjadi sedih. Sudah lama sekali dia tak memperhatikan ibunya, yang dulu selalu bertindak semaunya, hanya ingin bersenang-senang dan menghabiskan uang. Ia tak peduli karena sang ibu juga seperti menjauh darinya. Bahkan kepada Tomy, anak kandungnya yang lain, Rohana juga tak pernah saling sapa walau hanya sekedar menanyakan berita. Bukan karena anak-anak Rohana yang tak peduli pada orang tuanya, tapi Rohana sendiri yang menjauh dari mereka. Barangkali tak suka banyak kelakuannya dicela oleh anak-anaknya, atau memang ada yang harus disembunyikannya. Tapi ketika kemudian sang ibu benar-benar menghilang, Satria dan Tomy pastilah memikirkannya.

Mereka sudah bukan lagi anak-anak muda ganteng yang menawan. Anak-anak mereka sudah tumbuh dewasa. Boy sudah lulus dan siap untuk bekerja. Demikian juga Indi, yang sejak lama hidup bersama Tomy dan Monik.

***

Boy sedang melamun di teras, ketika Indi tiba-tiba muncul sambil membawa toples berisi kacang.

Wajahnya keruh begitu melihat sang kakak tidak peduli padanya.

“Heiii ... ada akuuu…” teriaknya.

Melihat Boy bergeming, Indi kesal sekali. Ia mendekat dan menjewer kupingnya.

“Indiiii ! “ teriaknya kesal.

“Habis, mas Boy nggak perhatian sama aku.”

“Kamu sukanya mengganggu.”

“Ini, aku bawakan kacang goreng, buatan ibu nih,” katanya sambil mengulurkan toples berisi kacang goreng.

“Nggak mau, nanti aku jerawatan.”

“Ihh, kata siapa kacang membuat orang jerawatan. Aku suka kacang, tapi lihat nih, wajahku bersih, cantik. Ya kan?”

“Sudah, sana.”

“Memangnya Mas lagi sibuk apa sih? Kan hanya duduk-duduk saja, eh … melamun ya? Ngelamunin siapa? Jangan bilang sedang mikirin Mia.”

“Memangnya kenapa kalau aku ngelamunin dia. Dia itu teman baik aku, tahu.”

“Mia itu suka sama Mas.”

“Biarin saja. Aku kan ganteng, nggak salah kan kalau aku disukai gadis-gadis cantik?”

“Yang salah itu kenapa Mia. Aku nggak suka dia.”

***

Besok lagi ya.

 

 

74 comments:

  1. 🌹🌻☘️🌹🌻☘️🌹🌻☘️

    Alhamdulillah cerbung MASIH ADAKAH MAKNA? Edisi perdana sudah tayang.....

    Matur nuwun bu Tien....
    Tetap sehat dan tetap ADUHAI.

    🌹🌻☘️🌹🌻☘️🌹🌻☘️

    ReplyDelete
  2. Alhamdulilah cerbung baru sudah tayang, terima kasih bu Tien, semoga bu Tieb sekeluarga sll sehat dalam lindungan Allah SWT, Salam hangat dan aduhai aduhai bun ❤️❤️🌹🌹🙋🏻‍♀️🙋🏻‍♀️

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Sami2 ibu Anik
      Jadii pesann buku?
      Keburu habis lhoh

      Delete
  4. Alhamdulillah yg ditunggu2 muncul... matur nuwun bunda Tien, sehat2 selalu

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies

    1. Boy sdh lulus kuliah demikian juga Indri.....
      Nasib Rohana terlunta-lunta....

      ReplyDelete

      Delete
    2. Trimakasih Bu Tien... semoga sehat selalu

      Delete
    3. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endang

      Delete
  6. Alhamdulillah.cerbung baru tayang perdana.Maturnuwun semoga Bunda selalu sehat wal afiat
    Aamiin yaa Robb

    ReplyDelete
  7. 💐🌿💐🌿💐🌿💐🌿
    Alhamdulillah 🙏🦋
    Cerbung baru, "Masih
    Adakah Makna" sdh tayang.
    Matur nuwun nggih,
    doaku smoga Bu Tien &
    kelg slalu sehat & bahagia
    lahir bathin. Aamiin.
    Salam seroja...😍🤩
    💐🌿💐🌿💐🌿💐🌿

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Masih Adakah Makna..episode 1 telah tayang
    Baca ..menemani perjalanan
    Sehat2 njih Mbak Tien
    🙏😍🌹

    ReplyDelete
    Replies
    1. Matur nuwun
      Semoga perjalanan laancar.
      Yang mau jemput sudah siap2

      Delete

  9. Alhamdullilah
    Cerbung *masih adakah makna 01* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete

  10. Alhamdulillah cerbung baru MASIH ADAKAH MAKNA?~01 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga panjenengan sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  11. Terima kasih bu Tien...selalu menghibur...

    ReplyDelete
  12. Alhwmdulillah "Masih Adakah Makna-01" sdh hadir.
    Terima kadih Bunda Tien, semoga sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah.
    Yg di namti2 dah njedul ..tp sy telat ...
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  14. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien sdh tayang cerbung baru "MASIH ADAKAH MAKNA"
    semoga lancar n sukses
    Untuk bu tien semoga sehat² selalu

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah..
    Matur nuwun bunda Tien 🙏🙏
    MASIH ADAKAH MAKNA part 1 sdh tayang.

    Sehat selalu kagem bunda Tien njih...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Padmasari

      Delete
  17. Hamdallah...Salam Sehat, salam penuh berkah Bunda Tien, Tayangan Perdana Masih Adakah Makna, sampun tayang. 🙏👍🙏

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang perdana.

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, Masih Adakah Makna edisi perdana telah tayang.
    Matur nuwun bunda Tien🙏
    Semoga selalu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga.
    Aamiin 🤲 ❤️🌹

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah telah tayang perdana MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 01, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  21. Ealah Rohana, dasar parasit. Tidak malu menjadi beban orang lain.
    Ternyata ketidak senangan Indi berlanjut sampai dewasa. Mungkin berangkat dari hal ini akan menjadi cerita yang menarik.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  22. Wah asyiikk....trilogi nih, sudah muncul edisi perdananya. Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏😀

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah cerbung baru sdh mulsi tayang
    Matursuwun Bu Tien, salam hangat, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  24. Terima kasih, ibu. Cerita barunya sudah tayang.

    ReplyDelete
  25. trim Bu AM tayang pertama, smg sehat terus

    ReplyDelete
  26. Stok Buah Hatiku tinggal 19 eksemplar lagi.

    Bagi Anda yang berminat, buruan order sebelum kehabisan kuota cetakan pertama edisi September 2024.

    Langsung hubungi bu Tien Kumalasari Japri HP/WA 0822- 2632-2364.
    DITUNGGU.

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Alhamdulillaah sdh tayang eps 1 ,, nenek lampir sdh bikin heboh di rmh org ,,,😁😁, seru nih
    Aduhaiii deh,👍

    ReplyDelete
  28. DAFTAR PEMESAN NOVEL BUAH HATIKU karya Ibu Tien Kumalasari, HP 082226322364 yang akan segera terbit.

    Harga per eksemplar, sbb :

    1. Jawa Rp. 150.000/ekspl sudah termasuk ongkos kirim.

    2. Luar Jawa Rp. 160.000/ekspl sudah termasuk ongkos kirim.

    Yang sdh pesan, sbb :

    1. Ibu Atien
    2. Ibu Sri Widayati
    3. Bp. Sri Martono
    4. Ibu Kasri Wahyuni
    5. Ibu Arsi
    6. Bp. Sarwono
    7. Ibu Nuk Hm
    8. Ibu Fatimah Ahmad
    9. Bp. dr. Andi
    10. Ibu Tugirah
    11. Ibu Djaenab Purwaningsih
    12. Ibu Nining Khairuddin 🌼
    13. Ibu Erna Dukut 🌼
    14. Ibu dr. Damayanti (4) ekspl
    15. Ibu Husaeni
    16. Ibu Ninik Isnaeni 🌼
    17. Bp. Andaka (3) ekspl 🌼
    18. Ibu Yeti Mustakim 🌼
    19. Ibu Mudjiati Ciputat
    20. ....
    21. ....
    22. ....
    23. ....
    24. ....
    25. ....

    Lanjutkan.....

    AYO BURUAN KUOTA TERBAS, cetakan pertama 100 eksemplar.
    Sdh laku 81 eksemplar sisa 19 eksemplar lagi.

    ReplyDelete
  29. Alhamdulillah... Maaf saya telat, badan gak bs kompromi, sehat terus mbakyu... Terimakasih telah membersamai kita semua...

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 08

  MASIH ADAKAH MAKNA  08 (Tien Kumalasari)   Tegar heran melihat Boy mendahului masuk. Setelah mengunci mobil ia bergegas mengikuti. Tomy ya...