Saturday, September 21, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 09

 MASIH ADAKAH MAKNA  09

(Tien Kumalasari)

 

Binari melotot dengan kaki gemetar. Di depannya, sang ayah memegang kotak yang telah kosong, dengan wajah pucat pasi.

“Bapak? Uangnya mana?” tersekat ucapan Binari, karena dia kemudian menyadari bahwa uang dalam kotak telah hilang tak bersisa.

“Itu yang harus aku tanyakan, uangnya mana?” kata pak Trimo masih dengan suara gemetar.”

Binari bergegas ke kamar, barangkali uangnya jatuh di kolong, sekitar kotak diletakkan. Tapi tak ada selembarpun uang di sana.

“Tidak ada … di sana juga tidak ada. Apa Bapak meletakkannya di tempat lain?” tanya Binari masih dengan ucapan bergetar.

“Mana mungkin … kamu juga tahu, bapak meletakkannya di kotak ini. Habis aku, hancur aku, hancuuurrr,” akhirnya pak Trimo menangis pilu.

Binari kembali masuk ke kamar. Masih ada harapan, barangkali sang ayah lupa menaruh uangnya. Ia membuka almari sang ayah, menarik laci, membuka lembaran-lembaran baju dan alasnya. Tapi memang uang itu tidak disimpan di tempat itu. Hanya di dalam kotak. Kemudian ia kembali mendekati sang ayah.

Siapa yang mengambil uang itu? Apakah ada pencuri memasuki rumah sesederhana ini? Bagaimana dia tahu kalau di dalam rumah kusam ini ada uang didalam kotak? Di bawah kolong pula?

Binari menatap sang ayah dengan air mata bercucuran. Kalau ayahnya mengatakan hancur, Binari lebih hancur lagi. Ia melihat sang ayah jatuh bangun dari matahari belum terbit, sampai matahari lama terbenam. Sekarang ia melihat ayahnya menutup wajahnya dengan kedua belah tangan sambil menangis. Benar-benar menangis. Hal yang tidak pernah dilihat dari sang ayah, kecuali saat mengantar almarhumah ibunya ke pemakaman.

“Bapak … sudahlah Bapak … sudah ya, tidak usah ditangisi. Sudah ya Pak,” kata Binari sambil merangkul sang ayah yang masih saja tersedu-sedu.

“Bagaimana aku tidak nangis Binar, tetes keringatku adalah harapan untuk membuat kamu menjadi ‘orang’. Bukan orang bodoh seperti bapakmu ini, tapi orang yang berpendidikan tinggi. Memiliki ilmu yang kelak akan bermanfaat bagi sesama. Tapi apa Binar … apa sekarang yang aku dapat? Semuanya sirna, semuanya lenyap.”

“Iya, tapi sudahlah Pak, barang yang sudah hilang tidak usah ditangisi ya Pak, Binar akan menjadi orang seperti keinginan Bapak, pasti ada jalan.”

“Tapi uang itu banyak Binar. Serupiah demi serupiah bapak mengumpulkannya. Dengan tetesan keringat, bahkan darah. Semua itu untuk kamu, hanya untuk kamu, Nak. Sekarang apa? Sekarang apa? Sekarang apa? Apa yang harus aku lakukan? Lapor polisi? Bisakah kalau lapor lalu uangnya langsung kembali? Pasti maling itu sudah menghabiskannya.”

“Binar tidak pernah mendapati rumah kita dalam keadaan terbuka. Tidak ada kunci rusak karena dibuka paksa. Bagaimana bisa hilang? Bagaimana cara dia mencurinya?” gumam Binari.

Tubuh pak Trimo berguncang-guncang oleh tangis yang menyesak dada. Binari luluh dalam tangis yang sama. Rasa kehilangan dan rasa sedih melihat tangis ayahnya.

“Bapak, hentikan ya Pak, sudah, jangan menangis lagi. Nanti BInari akan membantu mengumpulkan uang. Tidak apa-apa, barangkali ada orang yang membutuhkan uang itu, biarlah, ikhlaskan saja Pak, percayalah bahwa kita akan mendapatkan gantinya. Binari akan bekerja sepulang sekolah.”

Mendengar kata-kata anaknya yang terakhir, pak Trimo menghentikan tangisnya. Ia menatap anak gadisnya dengan mata tua dan pipi keriput yang basah.

“Apa? Kamu akan bekerja?” katanya dengan suara serak.

Binari mengangguk.

“Tidak. Tidak boleh. Kamu harus mengutamakan sekolah kamu,” katanya  tandas, walau disertai suara yang bergetar.

“Kalau begitu Bapak jangan menangis lagi. Jangan sedih lagi. Jangan menangisi uang yang hilang.”

“Itu banyak sekali.”

“Benar, tapi ternyata uang itu tidak diperkenankan menjadi milik kita, ikhlaskan saja, ya Pak?” kata Binari mencoba bijak.

Benarkah Binari bisa mengikhlaskannya, kemudian meminta sang ayah juga melakukannya?

Mereka masih manusia biasa. Yang terdiri dari darah, daging dan rasa. Tak mudah mengikhlaskan sesuatu yang dianggapnya berharga. Seperti ketika dulu kehilangan ibunya, ia bisa menghibur ayahnya, demikian juga sang ayah yang selalu menghiburnya. Tapi lama sekali rasa ikhlas itu baru bisa dilakukannya.

Sekarangpun demikian juga. Ikhlaskan … ikhlaskan … Tapi sampai hampir menjelang pagi mereka tak bisa memejamkan mata. Bagi keluarga sederhana itu, uang sepuluh juta lebih adalah kehilangan yang menyakitkan.

Untuk mencari gantinya, memerlukan waktu yang sangat lama.

***

Pagi hari itu, walau hampir tidak tidur semalaman, pak Trimo tetap menjalani pekerjaannya, dengan dibantu Binari, dengan kondisi yang sama. Lemas tanpa tidur, dengan wajah-wajah sembab.

“Pak, apa tidak sebaiknya bapak tidak jualan dulu hari ini? Bapak tampak lelah,” kata Binari.

“Tidak, bapak harus lebih banyak bisa menghasilkan uang. Bapak tak akan berhenti.”

Binari membantu memasukkan masakan yang sudah siap, ke dalam wadah-wadah. Bapaknya benar-benar tak mau berhenti.

“Binar, uang yang ada di atas meja itu, simpan saja oleh kamu.”

“Uang yang semalam?”

“Masih ada di atas meja, simpan oleh kamu, aku lupa berapa, tapi sejuta lebih kalau tidak salah. Mulai sekarang, kamu saja yang menyimpan uang itu dan setiap kali bapak mendapat uang, akan bapak serahkan pada kamu.”

Binari mengangguk mengiyakan. Ia tak ingin membuat ayahnya kecewa.

 Ketika sang ayah berangkat ke pasar, Binari membersihkan dapur seperti biasanya. Tapi kali ini benar-benar ia merasakan sedih. Sedih kehilangan, dan sedih melihat kesedihan ayahnya.

Tampak sekali pak Trimo sangat terpukul.

***

"Pak.. masakannya kok nggak seperti kemarin sih?” tanya salah seorang pelanggan

“Masa bu?”

“Iya. Pak Trimo sakit?”

“Tidak kok Bu,” kata pak Trimo sambil melayani pembeli lain, sementara dua orang ibu makan di tempat.

“Tapi wajah pak Trimo sangat pucat.”

“Iya Pak, kalau sakit ya jangan dipaksakan Pak. Istirahat saja dulu. Kalau dipaksa nanti bisa keterusan sakit lebih parah lhoh.”

“Nggak apa-apa Bu, saya masih bisa melakukannya kok.”

“Padahal pak Trimo ini kalau sore menjadi tukang parkir di dekat pertokoan sana lhoh.”

“Iya Bu, lagi ngumpulin uang buat anak sekolah.”

“Anaknya sekolah apa Pak?”

“Masih SMA bu, harusnya sebentar lagi sudah lulus. Saya pengin dia bisa kuliah.”

“Kuliah biayanya mahal lhoh.”

“Iya Bu, itu sebabnya saya ngumpulin uang.”

“Pasti sudah banyak terkumpul ya Pak, kan sudah lama jualan di sini?”

“Sudah terkumpul lumayan, tapi hilang digondol maling, Bu.”

“Digondol maling?” kata beberapa ibu hampir bersamaan.

“Saya simpan bertahun-tahun, tiba-tiba lenyap begitu saja.”

“Ya ampuun. Kasihan sekali pak Trimo ini.”

“Disimpan di mana uangnya?”

“Di bawah kolong. Tiba-tiba lenyap.”

“Berarti ada yang tahu, di mana pak Trimo menyimpan uang.”

“Itulah Bu, padahal rumah saya buruk, kusam. Kan kelihatan kalau saya ini orang tak punya? Tega-teganya dia mengambil uang saya."

“Pasti ada yang tahu bahwa pak Trimo menyimpan uang banyak.”

“Siapa ya Bu, saya tidak pernah bilang siapa-siapa kalau saya menyimpan uang banyak, dan di mana saya meletakkannya.”

“Pernah ada orang luar masuk ke rumah?”

“Tamu, misalnya?”

“Tidak pernah Bu, tidak pernah ada tamu.”

“Tapi pasti ada yang tahu, atau barangkali pernah melihat pak Trimo menyimpan uang. Kalau tidak, mana mungkin ada yang tahu, lalu mencuri uang.”

“Betul.”

Tiba-tiba pak Trimo teringat wanita bernama Rohana yang tiba-tiba tidur di emperan rumahnya.

“Mungkinkah dia?” gumamnya.

“Nah, pak Trimo mencurigai seseorang?”

“Entahlah, apa benar dia.”

“Tukang jualan masuk ke rumah? Atau siapa … gitu?”

“Seorang wanita yang seperti gelandangan, bilang lapar, saya kasih dia makan. Tapi mana mungkin dia?”

“Tuh, ada yang masuk ke rumah? Tamu yang entah mau apa, lalu masuk ke dalam rumah?”

“Tadinya dia tidur di teras rumah saya, lalu minta ijin mandi dan bahkan sempat mencuci baju di sana.”

“Pasti dia,” teriak salah seorang ibu.

“Benar. Dia kan pernah masuk ke rumah pak Trimo?”

“Tapi waktu itu uang saya masih ada di tempatnya. Tidak mungkin dia.”

“Mungkin dia mengambilnya bukan pada waktu itu.”

“Benar, menunggu ketika pak Trimo lengah.”

Tapi tetap saja timbul pertanyaan di dalam hati pak Trimo, kapan hilangnya, karena dia tidak selalu membuka kotaknya setiap hari. Dan bagaimana dia mengambilnya. Kalau mencurigai wanita bernama Rohana itu, sepertinya sudah lama dia tidak datang ke rumah.

Sampai dagangannya habis, dan pertanyaan demi pertanyaan sudah dijawabnya, tapi jawaban tentang kapan hilangnya uang dan bagaimana cara hilangnya, ia belum menemukannya.

***

Hari-hari terus berjalan, tapi Rohana belum juga ditemukan. Rohana pergi dan berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain. Tapi ia juga menghamburkan uang curiannya dengan makan-makan yang enak-enak, lagi mahal.  Uang itu hampir habis. Rohana mulai melakukan perbuatan lamanya sebelum mendapatkan uang pak Trimo, yaitu meminta belas kasihan orang untuk mengisi perut. Tak ada ayam goreng dengan lalapan yang menggugah selera, atau rendang daging pedas kesukaannya.

Makan nasi dengan oseng saja sudah cukup baginya, walau dimakan dengan penuh rasa nelangsa.

Siang hari itu ia merasa sangat lelah. Ia ingin tidur. Lalu ada sebuah gardu jaga yang kosong. Rohana menuju ke arah gardu itu, lalu menemukan selembar koran bekas. Ia membuka lembarannya, dengan maksud mempergunakannya sebagai alas tidur. Ia sudah menguap berkali-kali. Tapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika di lembaran koran itu ia melihat sesuatu. Foto dirinya? Rohana terbelalak. Bagaimana ada orang membuat gambar dirinya?

Tapi Rohana berdebar, ia mengira polisi sedang mencarinya karena pencurian uang. Ia melotot membaca tulisan di bawah gambar itu.

“Dicari, ibu saya, bernama Rohana. Kalau ibu melihat tulisan ini, pulanglah kerumah anak-anak ibu. Anak cucu sangat kangen dan membutuhkan Ibu."

Kalau ada yang melihatnya, mohon mengabarinya kepada nomor telpon yang ada dibawah ini. 

Ada deretan dua nomor telpon.

Jadi bukan karena polisi mencarinya atas uang yang dicurinya? Ini anak-anaknya yang mengharapkan dirinya kembali? Ia sangat kesal kepada anak-anaknya. Mengapa memasang gambarnya di koran? Bagaimana kalau ada teman-teman lamanya yang membacanya? Tapi tidak, di gambar itu tidak dikatakan bahwa dirinya telah menjadi gembel. Lalu Rohana tak peduli.

Ada keinginan untuk menemui anaknya, agar hidup aman dan nyaman. Tapi Rohana malu kalau sampai anak-anaknya mengetahui keadaannya. Ibu mereka jatuh miskin dan menjadi gembel di jalanan? Tidak. Rohana ingin kembali ke Jakarta, tapi bukan untuk memenuhi keinginan anaknya. Ia sudah lama tinggal di sana dan Jakarta tetaplah kota yang membuatnya nyaman. Yang membuatnya lega, dia tidak punya urusan dengan polisi.

Lalu dengan sisa uangnya, Rohana kembali ke Jakarta.

***

Boy sedang berjalan-jalan di sore hari itu, bersama Indi, adiknya. Sang adik ingin membeli sesuatu, dan memaksa sang kakak agar mengantarkannya.

Ketika berjalan itu, Boy mendengar seseorang memanggil namanya dari seberang jalan.

“Mas Boy!!”

Indi memegangi lengan kakaknya, melarangnya menyeberangi jalan, ketika suara nyaring memanggilnya.

“Mas Boy !!” panggilan itu terdengar lagi.

“Jangan. Mas Boy tidak boleh ke sana,” kata Indi sambil terus memegangi tangannya. Ia tahu, Mia lah yang memanggilnya.

Tapi si ganteng bernama Boy itu berhasil melepaskan pegangannya, lalu melangkah menyeberangi jalan.

“Maaas!!” Indi berlari mengikuti.

Lalu sebuah derit keras dari rem mobil yang di rem tiba-tiba, terdengar memekakkan telinga, bersamaan dengan jeritan orang-orang sekitar.

Seorang wanita setengah tua dengan tongkat kecil penyangga tubuhnya, memungut sebuah tas tangan yang terlempar. Ia membuang tongkatnya, kemudian pergi menghilang diantara kerumunan. 

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

31 comments:

  1. πŸͺ΄πŸŽ‹πŸͺ΄πŸŽ‹πŸͺ΄πŸŽ‹πŸͺ΄πŸŽ‹
    Alhamdulillah πŸ™πŸ¦‹
    eMAaeM_09 sdh tayang.
    Matur nuwun nggih,
    doaku smoga Bu Tien &
    kelg slalu sehat & bahagia.
    Aamiin. Salam seroja. 😍
    πŸͺ΄πŸŽ‹πŸͺ΄πŸŽ‹πŸͺ΄πŸŽ‹πŸͺ΄πŸŽ‹

    ReplyDelete
    Replies
    1. Horeee jeng Sari malit....
      Mana Yangtie, jeng Iin, kung Latief, jeng Susi Herawati ?????
      Salam ADUHAI Bu Tien
      Tetap semangat

      Delete
  2. Alhamdulillah
    eMAaMa 09...telah tayang
    Matur sembah nuwun Mbak Tien
    Tetap sehat..Tetap semangaat .πŸ’ͺ😍

    Salam ADUHAI..dari Antapani

    πŸ™πŸ˜πŸ’πŸŒΉ

    ReplyDelete
  3. πŸŒΉπŸŒΉπŸŒΉπŸ’°πŸ’°πŸŒΉπŸŒΉπŸŒΉ

    Alhamdulillah ....
    eMaAeM_09 sudah hadir .....
    Matur nuwun, terima kasih, kamsia Bu Tien .....

    Lha sapa kuwi sing ketabrak mobil????
    Dan siapa wanita tua yang ngambil tas itu?

    Selamat mengikuti dengan harap² cemas ... 😭😭

    πŸŒΉπŸŒΉπŸŒΉπŸ’°πŸ’°πŸŒΉπŸŒΉπŸŒΉ

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang

    ReplyDelete
  5. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  7. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah cerbung M A M makin bikin pinisirin πŸ‘πŸŒ·πŸŒΉπŸ’
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat πŸ’šπŸ’›πŸ’™

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah "Masih Adakah Maknanya 09 " sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ™πŸ™πŸŒ·πŸŒ·πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  10. Matur suwun ibu, semoga selalu sehat ibu Tien πŸ™πŸ»

    ReplyDelete
  11. Terima kasih Bunda Tien Kumalasari, mungkin kah wanita tua itu Rohana ?

    ReplyDelete

  12. Alhamdullilah
    Cerbung *masih adakah makna 09* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah " Masih Adakah Makna-09 sdh hadir.
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  15. Hadeeh Rohana sptnya tmbh keren profesinya
    Jadi copet kalee
    Brgkli yg bawa lari tas tangan yah si Rohana
    Tp mas Boy bisa jadi tau kl itu neneknya
    Wow penisirin bingitz nih
    Bsk libur dulu yah
    Ttp Rumah Makan SABAR MENANTI

    Bunda Tien sehat selalu doaku
    ADUHAI

    ReplyDelete
  16. Sudah ada dugaan yang mengambil uang itu Rohana, tapi bagaimana membuktikannya..
    Apa Boy, apa Indi, yang tertabrak mobil? Terus Rohana yang mengambil tas yang jatuh??
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah... Suwun mbakyu... Wah.. Rohana muncul dg kejahatannya lagi rupanya... Kok ada ya seorang ibu yg demikian... Semoga memberikan pelajaran wallahu... Semangat sehat allπŸ™‹πŸ»‍♀️πŸ™‹πŸ»‍♀️πŸ™‹πŸ»‍♀️

    ReplyDelete
  18. Lumayan dapat bungkusan. Hallo Rohana

    ReplyDelete
  19. Terima kasih..... semoga Bu Tien sehat selalu. Aamiin .... insyaa alloh.

    ReplyDelete

  20. Alhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~09 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga panjenengan sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🀲

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  23. Wah bu Sari laju lagi.
    Dasar Rohana keras kepala. Dicari anak cucunya malah lari lagi lari lagi

    ReplyDelete
  24. Uuh dasar nenek gak tahu diri, bukan nya nolongin cucunya mlh nyuri tas cucunya, ko gak sadar-sadar si kamu rohana

    Mks bun MAM 9 nya....selamat malam smg sehat" selalu bun

    ReplyDelete
  25. Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 09 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Selamat berakhir pekan Bunda.

    Kasihan pa Trimo, ibarat, sudah jatuh ketimpa tangga. Siapa tahu nnt Dewa Penolong pasti ada, mungkin dari anak n cucu nya Rohana, tetapi tentu nya bersamaan dengan di tangkap nya Rohana.

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga sehat² selalu khususnya buat bu tien n juga buat semua pembaca cerbung Masih Adakah Makna

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah matursuwun Bu Tien, salam hangat semoga sehat dan bahagia selalu bersama keluarga dan penggemar. Aamiin 🀲

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 09

  MASIH ADAKAH MAKNA  09 (Tien Kumalasari)   Binari melotot dengan kaki gemetar. Di depannya, sang ayah memegang kotak yang telah kosong, de...