Friday, September 20, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 08

 MASIH ADAKAH MAKNA  08

(Tien Kumalasari)

 

Tegar heran melihat Boy mendahului masuk. Setelah mengunci mobil ia bergegas mengikuti.

Tomy yang sedang menunggu pesanan kamar disiapkan, duduk di lobi, heran melihat Boy datang tergesa-gesa.

“Pak. Ini dompet Bapak.”

“Tuh, Mas, bagaimana sih? Untunglah Boy yang menemukannya," tegur sang istri.

“Mengapa kamu buka-buka dompet Bapak?”

“Ini Pak, foto ini. Tadi terjatuh dari dompet Bapak. Bukan Boy membuka-buka dompet Bapak. Ini Boy pernah melihatnya, sudah  lama sekali. Tapi lupa-lupa ingat.”

“Ini foto nenek kamu.”

"Nah, iya. Boy ingat wajahnya. Ini nenek Boy, yang galak itu kan? Boy melihatnya sekali waktu Boy sakit. Benar tidak Pak?”

“Kamu masih kecil waktu itu. Kok kamu ingat?”

“Lupa-lupa ingat. Tapi bukan itu masalahnya. Wanita tua itu, seperti nenek.”

Tomy dan Monik terkejut, demikian juga Indi, Satria dan Minar. Tegar yang baru datang menepuk bahu Boy.

“Ada apa sih?”

“Ini, Tegar. Lihat. Ini nenek kita.”

“Ini? Sepertinya mirip wanita tua itu ya?”

“Apa? Kalian melihat di mana?”

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dan hampir bersamaan.

“Dia wanita peminta-minta itu kan Mas?” kata Tegar.

“Apa?” teriakan itu juga terlontar dari mulut dua pasang suami istri itu.

“Peminta-minta yang pernah kamu ceritakan itu?” tanya Satria.

“Tegar sudah dua kali melihatnya. Pertama di depan rumah, kedua ketika makan bersama mas Boy. Ya kan Mas?” katanya kemudian kepada Boy.

“Ya Tuhan. Ibuku jadi peminta-minta?” kata Satria dengan suara bergetar. Tomy terlihat mengusap air matanya.

“Kamu tahu di mana rumah dia?” tanya Minar tak kalah sedih.

“Tidak. Wanita itu selalu pergi tergesa-gesa. Bahkan kami tidak tahu siapa namanya. Tapi ketika itu, dia menanyakan nama kami. Jadi dia tahu nama saya Tegar, ini mas Boy. Begitu. Apa dia mengenal bahwa kami cucunya ya?”

“Wajah kalian itu mirip ayah kalian,” kata Monik.

“Jadi mas Boy dan Tegar ketemu nenek, tapi tidak mengenalinya?” Indi yang sedari tadi melongo juga menanyakannya.

Mereka terdiam dalam sendu yang menyesak. Menyesal sekali sang ibu tidak pernah menghubungi anak-anaknya, dan menghilang selama bertahun-tahun.

“Apa ibu malu menceritakan keadaannya yang sekarang seperti orang susah?”

“Dulu waktu masih punya semuanya, ibu juga tidak mau mengabari kita. Barangkali waktu itu ibu tidak suka anak-anak mencela kelakuannya yang selalu menghambur-hamburkan uang untuk berfoya-foya. Jadi lebih baik tidak berhubungan dengan kita,” kata Tomy sambil mengusap air matanya.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Satria.

“Buat iklan orang hilang, disertai foto nenek,” kata Boy.

“Tapi ini foto ketika nenek masih cantik,” sambung Tegar.

Satria menyandarkan kepalanya dengan wajah bingung.

“Menyesal kita tidak memotret dia waktu bertemu,” kata Tegar.

“Tak ada yang tahu bahwa dia nenek kita. Coba tahu, pasti aku paksa dia ikut bersama kita.”

“Mungkin tetap saja kita menyebarkan foto ini, kan ada miripnya.” kata Minar.

“Jauh Bu. Kecuali kalau dilihat dari dekat dan mengawasinya benar-benar. Tapi bagi orang lewat, mana ada yang bisa menyamakan wajah nenek ketika masih cantik dan ketika sudah nenek-nenek?” kata Tegar.

Mereka belum memutuskan apa yang harus mereka lakukan, sampai kemudian masuk ke dalam kamar masing-masing untuk beristirahat.

Baru malam harinya mereka bertemu ketika makan malam. Lalu membicarakannya lagi. Tapi keputusan tentang apa yang akan mereka lakukan belum final. Masalah foto itu  yang menjadi kendala.

“Barangkali biar saja foto ini dipasang di mana-mana. Kalau kebetulan ibu melihatnya, kan ada nomor yang bisa dihubungi yang akan kita cantumkan. Siapa tahu ibu mau menghubungi kita,” kata Satria.

Tomy mengeluh sedih. Ia tahu kalau ibunya yang melihat foto itu, justru akan menjauh. Kalau benar sang ibu mau menghubungi anak-anaknya, pasti tidak sulit karena ia tahu di mana Satria tinggal, atau mungkin juga tahu bahwa Tomy tinggal di rumah bekas rumah yang ditinggalinya.

Semua berpikir sama. Sang ibu memang tak mau bertemu anak-anaknya, bahkan dalam keadaan menjadi peminta-minta. Sesuatu yang membuat anak cucu dan menantunya sedih bukan alang kepalang.

Acara liburan yang diharapkan bisa membuat mereka terhibur, tiba-tiba menjadi suram ketika mengetahui keadaan Rohana, ibu dan nenek mereka.

“Besok Tegar akan mencari di sekitar tempat, di mana Tegar dan mas Boy melihatnya. Pasti ia berkeliaran di sekitar tempat itu.”

“Segala upaya akan kita lakukan. Aku juga akan lapor polisi,” kata Satria.

“Aku juga akan ikut mencarinya,” kata Boy.

“Kita semua akan berusaha menemukannya, selalu mengawasi setiap wanita tua yang kita temui,” kata Monik yang diamini Minar.

***

Liburan mereka memang menjadi liburan yang penuh sendu, tapi kebersamaan diantara mereka terasa saling menguatkan.

Hari itu hari terakhir di mana semuanya bermaksud pulang ke Jakarta.

Mereka ingin makan di sebuah warung. Tegar yang turun terlebih dulu, tiba-tiba melihat wanita tua yang dikenalnya, keluar dari warung itu.

“Itu nenek!” teriaknya.

Teriakan itu membuat semuanya terkejut.

Tapi wanita yang memang Rohana itu terkejut begitu melihat orang-orang yang dikenalnya. Ia berlari secepatnya. Waktu itu jalanan ramai. Tegar kehilangan buruannya. Satria, Tomy dan Boy ikut mengejar. Tapi bayangan Rohana tak kelihatan. Tomy menemukan selembar baju yang teronggok di trotoar.

Ia tahu itu baju yang tadi dipakai sang ibu. Dengan melepas baju luarnya, Rohana bermaksud menghilangkan sosok dirinya yang sedang berlari. Dengan baju yang berbeda, sangat sulit mengenalinya.

“Dia melepas bajunya untuk menghilangkan jejak.”

“Ya Tuhan, mengapa ibu bersikap begitu?” sedih Minar sampai meneteskan air mata.

Boy dan Tegar masih mencari-cari, tapi Rohana lenyap seperti ditelan bumi.

Terengah-engah mereka kembali menemui orang tua mereka.

“Kok bisa ada di mana-mana,” keluh Tegar.

“Kamu tidak salah orang kan?”

“Tidak. Lagi pula kalau salah, mengapa begitu melihat kita lalu dia kabur?”

“Kok tiba-tiba ada di sini?”

“Aku tidak pulang saja hari ini. Aku akan mencari ibu,” kata Tomy.

“Aku ikut bersama Bapak,” kata Boy.

“Tidak. Kamu harus ke kantor. Kalau bapak tidak ada, harus ada kamu. Sewaktu-waktu kakek akan menelpon ke kantor, jangan sampai kita dua-duanya tak ada.”

“Apa kita harus tinggal semuanya?”

“Tidak, kalian harus bekerja. Aku saja yang tinggal.”

“Sama saya Om, saya kan tidak kuliah?” kata Tegar.

“Benar, biar Tegar menemani kamu.”

“Aku juga akan tinggal,” kata Indi.

“Kamu?”

“Iya, aku bisa ikut mencari. Kita akan mencari ke semua arah,” kata Indi.

Keputusan Tomy disetujui semua orang.

***

Tapi benarkah Rohana masih ada di kota itu? Rohana sedang lari dari rasa takut atas pencurian yang dilakukannya. Ia merasa aman di tempat yang sangat ramai dan banyak pelancongnya saat liburan. Tapi tiba-tiba ia melihat anak-anaknya, beserta keluarganya. Hal yang sangat dijauhinya. Ia bisa menyelinap diantara kerumunan orang, kemudian melepaskan baju luarnya, karena dia memang memakai baju rangkap dua. Karena itu dia bisa lolos dari kejaran. Bukankah yang diingat orang yang sedang mencari seseorang adalah bajunya? Dan tak lama kemudian ia sudah segera menumpang kendaraan untuk pergi ke kota lain.

***

Tomy dan Indi serta Tegar kembali pulang. Dengan tangan hampa, pastinya, karena Rohana licin bagai belut. Sangat pandai menyembunyikan dirinya.

Sungguh ia tak mau anak-anaknya mengetahui keadaannya. Paling-paling yang dilakukannya adalah mengatakan, syukurin, suka menghambur-hamburkan uang sampai hartanya habis. Rohana tak mau. Hidupnya adalah urusannya. Kegemarannya bersenang-senang tak ada yang boleh menghalanginya. Hidup terlunta-lunta bukan menjadikannya menyesali semua perbuatannya. Ia justru ingin, seandainya bisa seperti dulu, jalan-jalan, berpesta bersama teman-temannya, makan enak. Dan makan enak itulah yang sekarang sedang dinikmatinya.

Pagi tadi dia sedang makan enak di sebuah restoran. Tak peduli pelayan mencurigainya. Ia meletakkan uang ratusan ribu sebanyak dua lembar, agar pelayan yang menerima pesanannya tahu bahwa dia punya uang.

Ia juga sudah beli pakaian yang lebih bagus walau tidak mahal. Dan memang penampilannya yang bagus membuat orang menjadi hormat, walau tidak  menunjukkan bahwa dia orang kaya. Tapi sial sekali, begitu keluar dari rumah makan itu ia melihat anak-anak dan keluarganya. Rohana kabur secepatnya, menyelinap diantara orang-orang lalu melepaskan baju luarnya.

Dia lolos, dan sekarang sudah berada di sebuah kota kecil yang lain.

Sedikit kesal, mengapa harus bertemu mereka. Dia ingin menjalani hidupnya, dan jangan ada yang mencela atau menghalanginya. Tapi tanpa dia sadari, sikap itu membuat hidupnya kemudian sebatang kara. Sebatang kara yang masih membawa kesombongan dan tinggi hatinya.

Tapi sekarang ini dia merasa agak tenang. Ia membawa uang puluhan juta, yang disimpannya rapat-rapat, hanya dipergunakan untuk memenuhi keinginannya yang sudah lama dipendamnya, makan enak. Dan itu sudah kesampaian. Ia tak sudi beli makanan di pinggir jalan. Bukankah uangnya banyak? Entah nanti kalau sudah habis lagi.

***

Tegar menemui temannya, seorang pelukis. Ia membawa foto neneknya, lalu meminta kepada temannya agar melukisnya dengan gambaran yang dikatakannya. Foto neneknya masih belum begitu tua, tapi belasan tahun kemudian pasti ada yang berubah. Tegar menunjukkan ciri-ciri dari sang nenek yang dikenalnya. Hampir seharian dia menungguinya, dan jadilah gambar nenek Rohana seperti yang dilihatnya. Tegar sangat berterima kasih kepada temannya. Ia membawa foto itu ke rumah, membuat ayah ibunya sangat senang. Ia bisa membawa foto itu untuk disebarkan di mana-mana.

“Mengapa baru sekarang kamu mempunyai ide cemerlang ini?” puji ayahnya. Ia yakin dengan foto itu ia akan segera menemukan sang ibu, karena wajahnya yang sudah sesuai seperti keadaannya sekarang.

Keluarga Tomy juga merasa senang, karena menemukan jalan untuk bertemu kembali dengan sang ibu.

***

Sore hari itu ketika pulang sekolah, Binari tertegun melihat sebuah foto yang ditempel di dekat sekolah. Tentu saja ia mengenal orang yang ada di dalam foto itu. “Jadi sebenarnya bu Rohana punya keluarga?” gumamnya sambil mengamati foto itu tanpa berkedip.

Mengapa dia tak mau mencari keluarganya dan memilih berkeliaran di jalan-jalan? Kata batinnya sambil menunggu ojol yang akan membawanya pulang.

Ketika sampai di rumah, dilihatnya sang ayah juga sudah pulang, dan segera menyambutnya.

“Kok pulang sore, Binar?”

“Ada tambahan di sekolah Pak. Seringkali begitu, soalnya sebentar lagi ujian.”

“Capek dong?”

“Ya tidak Pak, sudah biasa kalau capek. Bukankah lebih capek Bapak?”

“Bapak juga sudah biasa.”

“Bapak sudah lama pulangnya?”

“Baru saja bapak berganti pakaian, tapi belum mandi, masih gerah. Kalau tubuh masih basah keringat, dilarang langsung mandi, biar kering dulu.”

“Betul Pak, kalau begitu saya buatkan kopi dulu ya?”

“Kamu baru pulang, nanti saja. Bapak mau menghitung uang yang sudah seminggu lebih ini menumpuk di dompet, mau bapak jadikan satu dengan yang lainnya.”

“Ya sudah, sambil Bapak menghitung, Binari buatkan kopi,” kata Binari yang langsung pergi ke belakang untuk membuatkan minum untuk ayahnya.

Pak Trimo duduk di kursi, mengambil dompetnya, dan menghitung penghasilannya selama seminggu lebih .

Senyumnya mengembang, karena penghasilan dari menjual nasi liwet dan menjadi tukang parkir, selama seminggu ini, lebih banyak dari hari-hari sebelumnya.

Ia mulai menghitung, ketika Binari membawa segelas kopi panas dan diletakkan di meja sang ayah.

“Ganti bajumu dulu. Kamu baru saja datang.”

“Iya.”

Binari bergegas ke kamar mandi, lalu berganti baju rumahan. Sama dengan sang ayah, ia akan mandi ketika rasa gerah sudah berkurang.

“Dapat banyak Pak?”

“Lumayan, ini ada satu juta tigaratus empat puluh ribu.”

“Syukurlah.”

“Ambilkan kotak uang bapak, biar bapak simpan sekalian di sana.”

Binari masuk ke kamar ayahnya, mengambil kotak uang di bawah kolong. Ada perasaan aneh karena kotaknya terasa agak ringan, tapi Binari tak mengatakan apapun. Ia meletakkannya di atas meja di depan sang ayah.

Pak Trimo menghirup kopinya, kemudian membuka kotak uangnya.

Tapi tak lama kemudian terdengar pak Trimo meraung. Uangnya raib?

***

Besok lagi ya.

BUKAN APA-APA

 BUKAN APA-APA

(Tien Kumalasari)


Tak apa, bukan apa-apa

Walau kau sakiti aku

Tanpa kau tahu

Bahwa awan kelabu bukanlah noda

Bahwa mega putih bukan penghalang birunya langit

Lihatlah ... ada tarian yang meliuk indah

Saat angin menghembusnya lembut

Tak apa

Bukan apa-apa

Hidup langkah dan jalanku adalah karunia

Semesta menaungiku dari panas yang membakar jiwa

Melelehkan keringat berbau anyir

Tapi jiwaku adalah wangi mawar-mawar yang bermekaran

Aduhai...

Selamat pagi....

-----




Thursday, September 19, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 07

 MASIH ADAKAH MAKNA  07

(Tien Kumalasari)

 

Rohana longak-longok dengan mata melotot, melihat pak Trimo menghitung uang. Lama sekali Rohana tidak melihat uang banyak kecuali hanya selembar selembar uang kecil, dan gemerincing uang receh yang tak seberapa.

Rasa ayam goreng yang tadi disantapnya bersama sambal dan lalapan, masih terasa di lidah. Ternyata sangat enak dan itu membuatnya ketagihan. Tapi ia harus mengeluarkan uang cukup banyak untuk itu. Tadi ketika makan di warung itu, ia hampir menghabiskan selembar lima puluhan ribu yang didapatnya dari ‘cucu-cucu’ nya. Tinggal selembar lagi, untuk besok masih cukup kalau mau berganti makan ikan sepotong, atau rendang daging di rumah makan Padang. Lalu habis deh. Besok apa lagi? Uang receh lagi? Nasi sebungkus dengan secuil ikan asin? Atau nemuin anak-anak muda tadi supaya diberi uang lagi? Mana mungkin? Mereka hanya menganggapnya peminta-minta yang harus dikasihani. Kalau ketemu lagi, belum tentu ia memberinya lagi sebanyak itu. Memangnya apa, setiap hari memberi uang peminta-minta dengan uang yang kelewat banyak?

Tapi di depan matanya ada uang setumpuk. Tak berkedip dia menatapnya. Lalu dilihatnya anak gadis laki-laki itu keluar sambil membawa segelas kopi. Rohana meneguk air liurnya. Tadi ia hanya minum segelas teh tawar. Kalau sekarang ada kopi … baguslah. Apakah dia harus mengetuk pintu agar dihidangkan juga untuknya segelas kopi? Terbayang wajah Binari yang selalu muram kalau menghadapinya, yang selalu diacuhkannya karena dia sedang butuh makan dan minum di rumah itu. Tapi sekarang ada rasa ingin menahan keinginannya bertamu. Ia lebih tertarik pada uang yang di gelar di meja.

Dilihatnya gadis itu duduk di depan ayahnya.

"Bapak mengumpulkan uang begitu banyak, mengapa tidak disimpan di bank saja? Biar aman."

“Apakah disimpan di rumah tidak aman? Mana ada maling mengincar harta orang yang rumahnya buruk seperti kita. Mereka pasti yakin tak akan mendapatkan apapun dari rumah orang miskin seperti kita.”

“Hanya untuk berjaga-jaga saja kok. Binar kira di bank lebih aman.”

“Nggak usah. Selamanya orang tuamu ini tidak pernah menyimpan uang di bank. Ribet. Ada aturannya, harus ini … harus itu … Biar saja begini, bapak simpan di bawah kolong, aman dah.”

“Bapak bekerja terlalu keras.”

“Demi menginginkan sesuatu, memang harus ada perjuangan. Pagi jualan, lalu siang istirahat sebentar, kerja lagi sampai sore atau malam. Bukan masalah. Bapak masih kuat bekerja. Yang penting kamu bisa melanjutkan sekolah. Kalau bisa jadi dokter,” kata pak Trimo sambil memasukkan lagi uangnya ke dalam kothak.

Binari tersenyum.

“Kok keterusan sih Pak, dari candaan kita kemarin dulu.”

“Keterusan bagaimana?” pak Trimo meneguk kopinya.

“Tadinya kan bicara tentang tulisan bapak yang jelek, lalu Binari mengumpamakan tulisan bapak itu seperti tulisan dokter. Lah kok jadi Bapak pengin Binari jadi dokter,” kata Binari sambil tertawa.

“Lha kamu penginnya jadi apa?”

“Pengin jadi apa ya ….”

“Nggak suka ya jadi dokter? Kamu tahu kan, dokter itu pekerjaan mulia. Mengobati orang sakit, tuh … mulia bukan?”

“Semua pekerjaan itu mulia kan Pak? Yang penting dijalani dengan tulus dan ikhlas. Juga yang sesuai dengan kemampuan kita. Ya kan?”

“Iya juga sih. Orang mengerjakan sesuatu pasti ada nilai positipnya. Kecuali pekerjaan maling.”

“Nah, itu juga pekerjaan. Tapi bukan pekerjaan mulia. Kalau Bapak ini, jelas melakukan pekerjaan mulia. Sangat-sangat mulia. Dibela-belain mengerjakan sesuatu yang tidak lazim demi membuat anaknya menjadi ‘orang’. Bukan main Bapak ini.”

“Hei, mengapa kamu mengatakan yang bapak kerjakan ini tidak lazim?”

“Yang biasanya menjual nasi itu kan perempuan? Ini Bapak yang melakukannya.”

“Omong kosong apa itu. Kalau ada perempuan menjadi sopir angkutan umum, apa kamu juga akan menganggapnya sebagai tidak lazim? Bapak melakukan pekerjaan perempuan, tapi ada perempuan yang melakukan pekerjaan laki-laki. Mau bilang apa lagi kamu?”

Binari terkekeh geli. Memang benar sih apa yang dikatakan ayahnya. Perempuan bisa mengerjakan pekerjaan laki-laki. Mengapa laki-laki tidak boleh mengerjakan pekerjaan perempuan?

“Bapakku memang luar biasa.”

Pak Trimo hanya tersenyum. Lalu ia berdiri, mengelus kepala anaknya, lalu membawa kotak uangnya masuk ke dalam kamar.

“Tidurlah, sudah malam,” katanya sebelum sampai di pintu kamar.

Binari meraih gelas kopi yang sudah kosong, lalu membawanya ke belakang.

Sementara itu Rohana yang bukan saja mengintip tapi juga menguping pembicaraan ayah dan anak itu, kemudian mengulaskan senyuman licik.

Ia meletakkan bungkusan bajunya di lantai teras, kemudian membaringkan tubuhnya di sana, dan tak lama kemudian terdengar dengkuran halus dari mulutnya. Tak lama kemudian dia bermimpi mengunyah rendang daging yang empuk di sebuah restoran, sambil berkipas karena kegerahan.

***

Di pagi buta pak Trimo sudah berkutat di dapur. Ia sedang memasukkan dagangannya ke tempatnya sebelum siap membawanya ke pasar. Binari membersihkan dapur, ketika sang ayah pergi mandi.

Ketika itu Rohana sudah tak berada di tempatnya berbaring. Ia pergi entah ke mana, sehingga ketika Binari menyapu rumah sampai ke teras, ia tidak menemukan siapa-siapa. Ia juga tak tahu kalau semalam ada yang tidur di teras.

Pak Trimo sudah meletakkan dagangannya di bocengan yang memang sudah diatur supaya bisa dipakai untuk meletakkan dagangannya.

Pagi masih remang, tapi pak Trimo sudah siap berangkat. Binari mengantarkannya sampai kedepan.

“Hati-hati, Pak.”

Pak Trimo melambaikan tangannya, kemudian menghilang dibalik pagar. Binari masuk ke dalam. Ia sudah mencuci sebagian perangkat kotor, lalu tergesa mandi.

Ia bangun agak kesiangan tadi, karena tidur terlalu malam, gara-gara menemani sang ayah menghitung uangnya. Binari terharu, tabungan sang ayah sudah mencapai sepuluh juta lebih, hampir dua puluhan juta malah. Jerih payah yang diharapkan bisa mewujudkan cita-cita luhur sang ayah, demi menjadikan anak gadisnya menjadi ‘orang’.

Binari tak bisa mencegah sang ayah melakukannya, walau sedih ketika melihat ayahnya kecapekan.

“Semoga aku bisa mewujudkan keinginan Bapak,” gumamnya sambil masuk ke kamar mandi.

“Menjadi dokter?” gumamnya lagi sambil tersenyum.

“Aku harus belajar lebih giat, kalau aku punya nilai bagus, bisa mendapat bea siswa, alangkah senangnya. Bapak tak akan terlalu banyak mengeluarkan uang."

Ketika ia mandi itu, tiba-tiba didengarnya suara aneh, seperti benda jatuh. Binari terkejut. Ia segera menyelesaikan mandinya, berpakaian lalu bergegas keluar.

Tak ada siapa-siapa. Suara apa tadi? Ia melongok ke arah depan. Pintu memang lupa tidak ditutup tadi. Binari keluar, dan tak meliat siapapun.

“Mungkin hanya perasaanku saja,” katanya sambil mengenakan seragam sekolah nya, bersiap untuk berangkat.

***

Ketika menunggu ojol itu, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti tepat di depannya. Binari terkejut ketika si pengendara membuka helmnya.

Tentu saja dia tidak lupa wajah ganteng itu.

“Mas Tegar?”

“Mau berangkat? Ayuk sekalian.”

“Nggak usah, aku naik ojol saja.”

“Jangan, sekalian aku pergi ke kampus.”

“Bukankah rumah mas Tegar jauh dari sini? Kok pagi-pagi sudah sampai di sini?”

“Kalau mau ke kampus, aku memang lewat sini. Ayo naik,” katanya seperti bertitah.

Dan Binari berdebar tak karuan. Mengapa si ganteng ini begitu ingin memboncengkan dirinya.

“Ayo cepat, nanti terlambat lhoh.”

Binari ‘terpaksa’ menurut, naik ke boncengan sepeda motor Tegar.

“Pegangan,” katanya sebelum menjalankan motornya.

Binari pegangan sadel. Mana mungkin pegangan pada pinggang si ganteng ini. Nanti dikira gadis murahan, bagaimana?

Sepeda motor itu melaju dan tak lama kemudian sudah sampai di depan sekolah Binari.

“Pulang jam berapa?”

“Belum tahu, sering ada tambahan. Terima kasih ya Mas,” kata Binari, kemudian membalikkan tubuhnya masuk ke halaman sekolah. Tegar memandangi ekor kuda yang bergoyang goyang itu lalu tersenyum sambil menjalankan motornya kembali, ketika si ekor kuda sudah berbaur dengan teman-temannya dan tak lagi tampak.

Tegar memacu motornya lagi. Tapi ketika itu tiba-tiba seorang wanita tua melintas. Beruntung Tegar bisa mengeremnya sambil mengomel panjang-pendek.

Tapi ketika memandangi siapa wanita itu, Tegar heran. Mengapa dimana-mana bertemu dia? Wanita itu menatap Tegar sekilas, kemudian berlalu dengan cepat.

Rohana agak berdebar ketika nyaris tertabrak motor, dan itu adalah ‘cucunya’ lagi. Tapi ia bergegas menghindar. Tak jauh dari tempat itu,  ia memasuki sebuah rumah makan padang, dan memesan rendang daging seperti mimpinya semalam. Ia juga memesan kopi manis, dan meminta agar dibungkuskan dua bungkus sekaligus nasi rendang untuk dibawa setelah makan. Wajahnya sumringah. Tadi dia mandi di kamar mandi dekat POM bensin. Tubuhnya terasa segar, lalu rasa lapar menggerayangi perutnya. Di seberang jalan ada warung rumah makan padang, lalu ia bergegas menyeberang. Itu sebabnya tadi dia nyaris tertabrak sepeda motor. Coba sampai tertabrak, pasti ia tak bisa menyantap nasi rendang daging seperti diinginkannya.

Ia mengunyahnya perlahan, sambil sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri, barangkali ada orang yang dikenalnya. Untunglah tidak ada. Rohana melanjutkan makan, dan minta tambah seporsi lagi. Entah apa sebabnya, hari ini Rohana berpesta makan. Hatinya sedang gembira. Ia tak pernah merasa segembira ini.

Dunia sedang memandikannya dengan uang. Tak peduli pada yang didengarnya semalam, bahwa pekerjaan yang tidak mulia adalah mencuri. Huh, peduli apa dengan kata-kata laki-laki itu. Dasar bodoh. Mencari uang sih tidak usah membanting tulang sepertimu. Gumamnya dalam hati, sambil terus mengunyah makanannya.

Keluar dari warung makan itu, Rohana menjinjing bungkusan makanan yang dipesannya. Dia tidak perlu keluar masuk warung untuk makan sehari ini. Tapi karena kekenyangan, rasa kantuk menyerangnya. Ia mencari emperan toko yang masih tutup dan berbaring di sana. Tapi kemudian dia terbangun dengan kaget, karena pesuruh toko yang sudah saatnya buka, segera mengusirnya dengan kasar. Bahkan dia memukul-mukul kakinya dengan sapu.

“Hei, bangun! Ini toko, bukan rumahmu.”

Rohana melangkah pergi sambil mengumpat kesal.

Tapi kemudian dia sadar, bahwa tak bisa berlama-lama berada di kota itu. Ada yang ditakutkannya.

“Aku harus pergi ke kota lain,” katanya kemudian melangkah menjauh dengan cepat.

***

Satria sedang menerima telpon dari Tomy, yang mengatakan bahwa besok liburan, mereka akan berjalan-jalan ke luar kota.  Liburan tinggal tiga hari lagi, ada tanggal merah setelah Minggu, jadi ada liburan tiga hari.

Minar merasa senang.

“Nanti aku akan membuat arem-arem untuk bekal,” katanya.

“Mengapa sudah sore Tegar belum juga pulang?”

“Biasa dia mampir-mampir. Dia itu suka sama seseorang,” kata Minar bersungut-sungut.

“Siapa? Teman kuliah?”

“Bukan, yang menemukan dompetnya itu. Dia seorang gadis, masih SMA, tapi Tegar kelihatannya suka.”

“Ah, masih SMA, masih jauh. Tegar juga masih kuliah. Tapi kalau seumur Tegar itu jatuh cinta, sudah lumrah. Kuliahnya hampir selesai.”

“Tegar itu sama dengan Mas. Gampang sekali jatuh cinta.”

“Eh, kata siapa? Aku jatuh cinta juga setelah hampir selesai kuliah. Sebelum-sebelumnya belum pernah lho. Kamu yang pertama, dan terakhir.”

“Kayak lagu saja,” kata Minar sambil tersenyum, tersipu. Kalau Satria bercerita pada Tegar bahwa kisah cintanya sangat indah, itu benar adanya. Liku-liku cintanya pada Satria sangat unik. Nyaris tidak kesampaian, karena perbedaan status dan kasta.

Tiba-tiba terdengar sepeda motor berhenti.

“Tuh, anaknya datang. Apa Mas mau menegurnya tentang perasaannya pada gadis itu?”

“Tidak, biarkan saja. Cinta itu kan bisa datang kapan saja. Yang penting bisa menjaga agar tidak melewati batas-batas yang ada.”

“Selamat sore, Bapak sudah pulang,” katanya sambil mencium tangan ayah dan ibunya.

“Tegar mendapat kabar baik.”

“Kabar apa?”

“Minggu depan adalah libur tiga hari, om Tomy ngajakin kita jalan-jalan bersama,” katanya riang.

“Kamu sudah tahu rupanya? Om Tomy menelpon kamu?”

“Bukan om Tomy, tapi mas Boy.”

“Ya sudah, mandi sana dulu, nanti kita bicara lagi.”

***

Di hari liburan itu mereka pergi berlibur, dan sudah ada di sebuah hotel, sebelum jalan-jalan.

Ketika itu Boy dan Tegar masih berada diluar untuk memarkirkan mobil, sementara ayah mereka memesan kamar.

Ketika mau mengunci mobil, tiba-tiba Boy melihat sesuatu. Dompet. Boy dan Tegar melihat dompet itu.

“Tunggu dulu, ini dompet Bapak,” kata Boy, sambil mengambil dompet dari tangan Tegar. Tiba-tiba beberapa foto terjatuh. Keduanya sibuk memungut.

“Bapak ini, menyimpan foto-foto lama di dompet,” kata Boy.

Tiba-tiba sebuah foto yang baru saja dipungut, membuat Boy terkejut.

“Ini … ini kan … ini kan … “

“Siapa?”

“Aku ingat dia sekarang,” pekik Boy yang kemudian bergegas masuk ke dalam hotel untuk mencari ayahnya.

***

Besok lagi ya.

 

 

APAKAH SIA-SIA

 APAKAH SIA-SIA

(Tien Kumalasari)


Apakah sia-sia..

Peluh yang menetes tak punya harga

Apakah sia-sia

Menunggu kejora 

Ternyata meredup tanpa cahaya

Apa kau membenciku

Apa kau ingin meninggalkanku

Jangan pergi

Lihat lambai tanganku

Jangan menunggu tangisku menjadi raungan membelah langit biru

Aduhai..

Hari telah menjadi pagi... 


-----




Wednesday, September 18, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 06

 MASIH ADAKAH MAKNA  06

(Tien Kumalasari)

 

Wanita itu hendak berlalu ketika melihat ada yang mendekatinya, tapi Tegar segera menghentikannya.

“Bu, tunggu Bu.”

Memang terasa aneh. Tegar merasa, ia harus mengasihani wanita yang baru dua kali dilihatnya itu. Tegar sendiri tidak tahu, mengapa begitu.

Boy yang juga sudah berdiri di dekat Tegar, menatap wanita yang menurutnya seperti tidak asing, entah kapan dan di mana ia bertemu.

“Maaf,” itu yang diucapkan wanita itu.

“Ibu pengin makan?” tanya Tegar.

Wanita itu adalah Rohana. Sekilas ketika berjalan, ia melihat ke dalam dan melihat Tegar, anak muda yang ditemuinya sore hari beberapa hari yang lalu. Yang dia tahu bahwa dia adalah cucunya, tapi yang dia malu dilihatnya sebagai peminta minta. Lalu ia juga malu ketika anak muda itu mendekatinya, tapi kemudian dia berhenti ketika dia memanggilnya. Ada harapan yang ia juga malu mengakuinya, siapa tahu anak muda itu memberinya uang yang lebih banyak, tidak limabelas ribu seperti sore hari itu.

Pengin makan? Tentu saja iya.

“Masuklah, biar saya yang bayarin,” tawar Tegar.

Rohana terkejut. Anak muda yang adalah darah dagingnya itu mengapa sangat perhatian padanya? Mengajaknya masuk ke dalam rumah makan itu? Tidak. Bagaimana kalau ada bekas teman-temannya melihat  dirinya tampak terlunta-lunta? Alangkah malunya.

“Mau Bu?” Boy tiba-tiba ikut trenyuh melihatnya. Apakah aliran darah yang sama mempengaruhi rasa? Kenapa tiba-tiba Boy juga menaruh perhatian padanya?

Tapi Rohana menggeleng lemah. Miskin tapi tinggi hati kepada orang-orang yang pernah dekat dengannya. Ia menatap anak muda satunya. Bukankah itu wajah Tomy? Mengapa rasa sombong bisa mengalahkan keinginan untuk memeluk darah daging sendiri? Hanya rasa teriris yang ada, tapi jangan sampai mereka mengetahui siapa dirinya.

“Tidak mau?”

“Tidak usah. Namamu siapa?” Rohana justru bertanya kepada Boy.

“Ini Tegar adik saya, saya Boy.”

Rohana mengerjapkan matanya. Ia pernah melihat si kecil Boy, dan sekarang adalah anak muda yang tampan. Mereka mirip ayah-ayah mereka. Rohana hanya menanyakan Boy, karena dia sudah tahu anak muda satunya yang bernama Tegar.

“Ya  sudah,” Rohana berusaha pergi, tapi dalam hati berharap ada sesuatu yang didapatkannya. Uang. Hanya itu yang dibutuhkannya. Bukankah orang tua mereka adalah orang-orang berada?

“Tunggu Bu, kalau begitu ibu beli saja sendiri makanan mana yang ibu suka,” kata Tegar sambil memberikan uang lima puluh ribu, disusul Boy juga memberikan uang yang sama.

Rohana gemetar ketika menerima uang itu. Gemetar oleh banyak rasa yang mengaduk aduk jiwanya. Rasa haru, rasa menyesal, rasa sedih.

Ia melangkah pergi sambil mengusap air matanya. Lalu memasukkan uang yang diterimanya ke dalam dompet kumal yang selalu disimpan dalam saku bajunya. Dulu ia punya tas-tas bagus dan mahal, tapi semuanya sudah habis dijual. Tinggal sebuah dompet kumal yang jarang berisi uang.

Tegar dan Boy masuk ke dalam, kembali ke mejanya, di mana semua pesanannya sudah terhidang di meja.

“Siapa sebenarnya wanita itu?” tanya Boy sambil menyendok es krim pesanannya.

“Aku tidak tahu siapa dia, tapi dia pernah lewat di depan rumah dan berhenti, ketika aku baru masuk setelah bepergian. Waktu itu aku baru saja kehilangan dompet, di saku hanya ada uang lima belas ribu rupiah, aku berikan padanya.”

“Aku merasa aneh ketika melihat wanita itu,” kata Boy.

“Demikian juga aku. Ketika aku memberikan uang, perasaanku waktu itu hanya merasa kasihan. Banyak peminta-minta di kota ini, tapi perasaanku ketika melihatnya terasa berbeda.”

“Nah, aku juga merasakan hal yang sama. Aku bahkan merasa pernah melihat wanita itu. Seperti tidak asing. Mungkin sudah lama sekali, entahlah.”

Tiba-tiba Boy mengingat sesuatu, tapi kemudian ia bingung tentang ingatan itu.

“Sudahlah, jangan memikirkannya lagi. Ayo kita makan,” kata Tegar.

Keduanya kemudian makan, dan melupakan wanita yang membuat perasaan mereka menjadi aneh.

“Kamu tadi mengatakan tentang kehilangan dompet?” tanya Boy.

“Oh, iya. Kehilangan dompet, tapi diketemukan oleh seseorang,” kata Tegar sambil tersenyum-senyum.

“Kok pakai senyum-senyum sih? Pasti seorang gadis, cantik, yang ternyata teman kuliah kamu, atau satu kampus denganmu, atau tetangga dekatmu.”

“Ngarangnya kejauhan.”

“Lalu apa?”

“Dia gadis, rambutnya dikuncir satu, tapi masih SMA,”

“O… itu yang membuat kamu senyum-senyum dari tadi?”

“Sudah, nanti Mas Boy menuduh yang bukan-bukan. Aku sudah bilang kan, ibu tidak mengijinkan aku jatuh cinta sebelum selesai kuliah."

“Jatuh cinta itu tidak perlu ijin, tahu.”

“Benar, tapi bisa disimpan dulu dalam hati. Sudahlah, ayo kita makan.” kata Tegar yang tidak mau berlanjut menceritakan tentang gadis ekor kuda itu. Kan dia baru bertemu sekali. Mana bisa bercerita panjang kecuali hanya mendengar ledekan mas Boy nya?

***

Ketika sampai di rumah, Boy melihat ayahnya sudah ada di teras, sudah rapi dengan pakaian harian, yang berarti pasti sudah mandi pula. Monik, sang ibu dan Indi, adiknya, menemaninya sambil ngopi sore hari. Ucapan pertama yang didengarnya ialah teguran mengapa baru sampai rumah sementara sang ayah sudah hampir dua jam lalu sampainya.

“Ketemu Tegar waktu mau beli sandal," kata Boy.

“Ketemu Tegar? Indi sudah lama tidak ketemu dia. Lain kali kita main ke rumah om Satria yuk,” sela Indi.

“Bagaimana kabarnya Tegar?” tanya Tomy.

“Dia baik, masih rajin kuliah. Lama sekali kita tidak bertemu mereka ya Pak. Om Satria, ibu Minar. Sebenarnya Boy kangen sama mereka.”

“Besok Minggu kita akan main ke sana.”

“Horeee, Indi seneng deh. Kangen sama mereka.”

“Kata Tegar, Mia sekarang menjadi asisten dosen di kampusnya," tiba2 Boy berkisah tentang Mia.

“Oh ya? Tidak melanjutkan kuliah lagi? Dulu katanya mau mengambil S2, gitu,” sambung Monik.

“Kalau ngomongin Mia pasti asyik deh,” kata Indi sambil cemberut.

Monik tersenyum, sambil merangkul pundak Indi.

“Memangnya kenapa kalau mas Boy suka? Mia itu cantik dan baik lhoh," kata Monik.

“Nggak mau. Nggak suka.”

“Kenapa, Indi?” sambung sang ayah.

“Bapak tahu nggak, ketika masih kuliah, mas Boy kan pulang duluan tuh. Katanya dia nungguin Indi yang sudah siap pulang. Eee, Indi belum sampai di dekat mas Boy, langsung Mia datang tanpa membawa kendaraan, dan mas Boy lupa sama Indi. Dia langsung mboncengin Mia pulang. Nggak ingat kalau harus mboncengin Indi. Indi nangis waktu itu.”

“Alaaa, sudah lama masih diingat-ingat terus.”

“Sakit aku, tahu.”

Tomy dan Monik tertawa. Indi manja sejak kecil, dan dia selalu bergantung pada Boy di setiap waktu. Kedekatan Boy dengan Mia waktu itu membuat Indi seperti kehilangan kakaknya. Dan itu terbawa sampai bertahun-tahun kemudian, bahkan ketika Boy sudah jarang bertemu Mia karena kesibukan masing-masing.

Monik merangkul Indi erat.

“Indi, kamu tidak boleh begitu. Mas Boy kamu tidak akan pernah melupakan kamu. Dia akan selalu menyayangi kamu.”

“Waktu itu aku hanya mengantarnya sebentar, karena dia hanya mau belanja. Begitu dia turun di sebuah toko, aku kembali ke kampus, ee .. kamu sudah nggak ada. Menunggu saja nggak mau.”

“Ya sudah, sudah bertahun-tahun lalu, kenapa masih diingat-ingat terus,” kata sang ayah.

“Dasar manja,” ledek Boy.

“Biarin.”

Tomy dan Monik hanya tertawa. Sudah biasa mereka saling ledek. Tapi kemudian mereka bisa rukun kembali, dan kalau sudah bercanda, seisi rumah pasti serasa ada gempa. Habis Indi kalau berteriak bisa seluruh kampung mendengarnya.

“Ya sudah, Boy kan belum mandi juga. Ayo mandi. Eh, itu bawa apaan?” tanya Monik yang melihat Boy menyembunyikan sesuatu di belakang pinggangnya. Hal itu dilakukannya walau Boy sudah duduk sambil berbincang.

“Oh, ya ampuun, lupa nih. Ini buat si manja,” katanya sambil memberikan sebuah bungkusan kepada Indi.

“Haa, ini apa? Horeee, es krim … uuh.. hampir mencair nih,“ Indi berteriak, tapi  kemudian langsung memeluk kakaknya.

***

Sambil makan malam itu, Tegar bercerita tentang pertemuannya dengan Boy. Sudah lama mereka tidak saling jumpa, walau tinggal sekota. Tapi namanya kota Jakarta, yang sekota itu bisa berpuluh-puluh kilometer. Kesibukan merekalah yang membuat belum ada waktu untuk itu. Mendengar Tegar mengatakan bahwa baru bertemu Boy, rasa kangen itu segera terasa.

“Semoga kalau libur kita bisa liburan bersama," kata Satria.

“Tadi tuh Tegar melihat seorang wanita tua. Kasihan banget Tegar melihatnya. Entah mengapa.”

“Wanita tua siapa?”

“Nggak tahu namanya. Dia seperti peminta-minta.”

“Ya, kalau ada peminta-minta, kamu kan bisa memberinya beberapa rupiah, gitu.”

“Tegar melihatnya sudah dua kali. Yang pertama, ketika Tegar baru pulang setelah kehilangan dompet itu. Dia berdiri di pagar, seperti melihat-lihat atau entah apa ada yang dicarinya, gitu. Lalu Tegar beri dia uang. Tadi ketika Tegar sama mas Boy lagi makan, ada dia lagi, berdiri di depan rumah makan. Entah mengapa Tegar merasa kasihan sekali melihatnya.”

“Kamu ajak dia makan?” tanya Satria.

“Tegar ajak, mas Boy juga ngajakin, tapi dia tidak mau. Lalu kami memberinya uang.”

“Ya sudah, itu perbuatan baik. Ibu senang mendengarnya.”

“Yang aneh, mas Boy juga merasakan hal yang sama. Dia kasihan melihatnya. Malah mas Boy bilang, seperti pernah melihat wanita itu.”

Satria dan Minar saling pandang. Yang terlintas dipikirannya adalah sama. Jangan-jangan ….

“Lama sekali kita tidak melihat ibu."

 Satria pernah bilang, bahwa rumah ibunya sudah bertahun-tahun dihuni orang lain.

Satria tiba-tiba merasa sedih. Bagaimanapun kesalnya dia pada ibunya pada waktu itu, tapi dia adalah darah dagingnya.

“Mengapa ibu tidak pernah menghubungi kita ya mas?” tanya Minar.

“Lalu di manakah sebenarnya nenek? Mengapa kakek juga tidak tahu tentang nenek?” tanya Tegar yang ikut terlihat prihatin melihat wajah ayah ibunya yang terlihat sedih.

“Nenek kamu tidak mungkin ketemu kakek. Mereka sudah bercerai dan tidak mungkin kabar mengabari lagi,” kata Satria.

“Mengapa nenek tidak mau menghubungi bapak sama ibu di sini?”

“Entahlah. Dengan ommu Tomy juga tidak.”

“Mudah-mudahan ibu baik-baik saja.”

“Apakah bapak sama ibu berpikir, bahwa wanita tua yang Tegar temui itu nenek?”

“Tegar! Jangan begitu, masa nenek menjadi peminta-minta,” kata Minar.

“Mengapa setelah Tegar bercerita tentang wanita itu, lalu Bapak sama Ibu teringat pada nenek?”

“Kamu bicara tentang wanita tua. Jadinya bapak ingat pada nenek.”

Tapi walau berkata begitu, sebenarnya sampai menjelang tidur, Satria dan Minar  masih berpikir tentang wanita tua itu. Dan pikiran tentang jangan-jangan itu terus menghantuinya, dan membuat mereka takut.

***

Rohana senang, belum pernah ada yang memberi uang sebanyak itu. 2 lembar lima puluhan ribu? Dulu uang sebanyak itu adalah sampah yang tidak ada artinya. Tapi sekarang, sementara setiap orang memberi hanya beberapa rupiah, ketemu anak-anak muda yang memberinya sangat banyak, tentu Rohana bahagia, disamping sedih tak bisa menyapa kedua anak muda yang ternyata masih darah dagingnya itu, apalagi memeluknya. Tapi keinginan yang meluap itu selalu terkalahkan oleh harga dirinya. Barangkali dia juga malu karena dulu tidak pernah mendengar perkataan anak-anaknya, atau tidak pernah peduli dengan mereka. Tomy yang mengecewakan karena bersedia hidup menjadi sopir, dan Satria yang menikahi wanita yang menurutnya kampungan dan tidak punya derajat. Sekarang apa? Mereka menjadi orang yang bermartabat, punya anak-anak yang baik dan mulia hatinya. Tangan Rohana ingin meraihnya, tapi hati melarangnya. Malu dan malu. Hanya itu, dan dia lebih memilih menjalani hidup di jalanan dan terlunta-lunta.

“Biar saja hidupku seperti ini. Mana mungkin aku mendekati anak-anakku, cucu-cucuku, dengan keadaanku seperti ini? Malu aku, dari hidup berlimpah kekayaan, lalu menjadi seperti ini.”

Dan kesukaannya makan enak, ketika mendapat uang seratus ribu itu kembali membuatnya ingin membeli sesuatu yang berbeda. Bukan hanya oseng daun pepaya, tahu tempe kering, atau bahkan nasi dengan sepotong kecil ikan asin.

Ada penjual ayam goreng yang baunya menyengat. Biar saja mahal, mumpung uangnya ada.

***

Rohana yang kekenyangan kemudian kembali nyasar di kampung pak Trimo. Hari sudah malam, walau belum larut benar. Ia sangat mengantuk, dan teras rumah pak Trimo tempat yang nyaman untuk berbaring tidur.

Ia mendekati rumah itu, dan melihat lampu rumah pak Trimo masih menyala. Berendap dia mendekat, dan melalui tirai yang tersingkap, ia melihat pak Trimo sedang menghitung uang. Itu banyak sekali, pikirnya. Bibirnya tersenyum jahat. Setan sedang mengipasinya.

***

Besok lagi ya.

 


Tuesday, September 17, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 05

 MASIH ADAKAH MAKNA  05

(Tien Kumalasari)

 

 

Menatap langkah Tegar yang bergegas kebelakang sambil tertawa, Minar geleng-geleng kepala. Dalam hati dia berpikir, mengapa Tegar sangat mirip ayahnya, baik wajah maupun perilakunya. Belum selesai kuliah sudah tertarik pada seorang gadis. Tapi kan waktu itu Satria sudah hampir wisuda, sedangkan Tegar mungkin masih harus selesai dalam setahun dua tahun ini.

“Biarkan saja, asalkan tidak mengganggu kuliahnya,” gumam Minar sambil bangkit dan beranjak ke belakang. Ia harus menemani Tegar sarapan sebelum berangkat ke kampus. Ponsel yang kemudian berdering ternyata dari suaminya. Pasti hanya ingin menanyakan tentang dompet itu.

“Tegar sudah pulang?”

“Sudah Mas, baru saja.”

“Apakah uangnya masih ada?”

“Masih utuh tidak ada yang berkurang.”

“Syukurlah. Kalau ada yang kurang, aku mau transfer lagi saja karena Tegar kan butuh bayar semesteran hari ini.”

“Tidak Mas, tidak ada yang hilang.”

“Lalu Tegar juga memberi imbalan kepada penemu dompetnya itu?”

“Katanya sudah dikasih, tapi dia menolak.”

“Sayang sekali, sebenarnya kan hanya untuk ungkapan terima kasih saja.”

“Tegar sudah memaksanya, dia tetap tidak mau. Dia seorang gadis dari keluarga sederhana, dan masih sekolah SMA.”

“Kenapa tidak diberikan kepada orang tuanya saja?”

“Orang tuanya tinggal ayahnya. Tegar tidak ketemu. Ayahnya itu jualan nasi liwet di pasar.”

“Maksudnya … ibunya jualan nasi liwet?”

“Bukan Mas, ayahnya. Ibunya sudah meninggal, lalu ayahnya menggantikan jualan nasi liwet seperti dulu ibunya melakukannya.”

“Aneh ya, seorang laki-laki jualan nasi liwet?”

“Memang jarang, bahkan kita belum pernah melihatnya ya Mas, tapi nyatanya ada. Tidak apa-apa kan, itu sebuah perjuangan. Mungkin untuk membiayai sekolah anaknya juga.”

“Lain kali kita harus ketemu dia, dengan pura-pura beli nasi liwetnya.”

“Jangan pura-pura beli dong Mas, beli beneran. Aku juga kangen makan nasi liwet. Dulu waktu di Solo sih sering.”

“Maksudku, memberinya uang imbalan, dengan pura-pura beli.”

“Iya, aku tahu maksud Mas, tapi belinya tidak pura-pura kan?”

Satria tertawa.

“Kamu itu ada-ada saja. Ya beli beneran dong. Hanya sebagai jalan untuk memberi sesuatu pada keluarga itu.”

“Iya … iya … aku tahu maksud Mas. Hanya pengin bercanda saja.”

“Ya sudah, aku lanjutkan bekerja ya. Beri tahu Tegar, lain kali hati-hati. Kebetulan dompetnya ditemukan oleh orang baik. Kalau enggak, bisa-bisa uangnya diambil, dan surat-surat berikut dompetnya dibuang ke tempat sampah.”

“Iya Mas, nanti aku beri tahu dia.”

Satria menutup ponselnya, MInar ke belakang untuk menemani Tegar sarapan. Ketika makan itu, sang ibu menatap wajah anaknya yang tampak bersinar, dan terkadang senyum-senyum sendiri.

“Tegar.”

Tegar mengangkat wajahnya, menghentikan memasukkan sendok berisi makanan ke mulutnya.

“Kok dari tadi ibu lihat kamu senyum-senyum terus sih?”

“Ibu ngarang deh. Siapa yang senyum-senyum? Biasa saja kok.”

”Memangnya ibu itu anak kecil, nggak bisa melihat apa yang kamu rasakan dan lakukan? Memikirkan gadis ekor kuda itu ya?”

Tegar tersedak-sedak. Sang ibu memberinya minum segera.

“Ya ampun, pelan, Tegar. Ibu hanya bercanda. Sampai tersedak-sedak begitu sih,” kata Minar penuh sesal. Ia menepuk-nepuk punggung anaknya, sampai Tegar merasa tenang kembali.

“Ibu sih, ada-ada saja.”

“Tegar, kamu itu sudah dewasa, kalau pada suatu hari kamu merasa tertarik kepada seorang gadis, kemudian jatuh cinta, itu wajar kok. Kamu tidak usah menyembunyikannya dari bapak atau ibu.

“Orang baru ketemu tadi pagi, masa langsung jatuh cinta.”

“Cinta pada pandangan pertama itu ada lhoh.”

“Itu pengalaman pribadi kan?” Tegar ganti meledek sang ibu.

“Ngawur kamu. Lama sekali ibu baru bisa mencintai ayahmu. Tanya saja pada bapak.”

“Bapak pernah cerita kok.”

“Berarti bapakmu itu yang jatuh cinta pada pandangan pertama.”

“Bapak itu punya kisah cinta yang indah. Beliau pernah kok cerita sama Tegar.”

“Cerita tentang apa?”

“Ya tentang kisah cintanya itu. Pokoknya indah sekali. Begitu kata bapak.”

Minarpun tersenyum. Bagaimanapun kalau mengingat kisah cintanya bersama sang suami, ia selalu senyum-senyum sendiri.

“Bapakmu itu anak keluarga berada, sedangkan ibu anak orang sederhana. Melanjutkan kuliahpun ibu harus bekerja sendiri.”

“Iya, Tegar sudah tahu kok.”

“Tapi mencintai seseorang itu jangan asal dia cantik menarik. Yang penting dia baik. Lahir batinnya baik.”

“Bagaimana bisa melihat kebaikan batin seseorang?”

“Dari perilakunya kan kelihatan. Nanti kamu akan tahu. Tapi menurut ibu, jangan dulu memikirkan cinta. Fokus pada kuliah kamu, itu lebih penting.”

“Baiklah, ibu.”

Minar tersenyum. Tegar adalah satu-satunya anak Minar dan Satria, yang dididik secara keras dan baik. Ia rendah hati dan penuh kasih sayang, seperti kedua orang tuanya.

“Nanti kuliah sampai jam berapa?”

“Belum tahu Bu. Mungkin agak sore.”

“Baiklah, selalu berhati-hati ya. Tadi ayahmu berpesan agar hati-hati tentang dompet. Jangan sampai sembrono sehingga bisa terjatuh tanpa terasa.”

“Menurut Tegar, itu hanyalah jalan untuk mempertemukan aku dengan Binari,” kata Tegar yang langsung berdiri dan lari masuk ke kamarnya untuk bersiap berangkat kuliah, sebelum sang ibu mengomelinya.

Minar membersihkan meja makan sambil cemberut.

“Aku pikir-pikir dia itu mirip ayahnya tentang rasa dan jatuh cinta. Jangan-jangan dia akan nekat juga seperti dia,” gumamnya sambil kemudian mengubah tampang cemberutnya menjadi senyuman.

***

Pak Trimo sedang makan siang ditemani Binari yang pulang lebih awal hari itu. Binari segera menceritakan tentang dompet yang sudah diambil oleh pemiliknya pagi tadi.

“Oh ya? Begitu cepat. Bapak kan minta kalau mengambil sore hari saja, soalnya kalau siang, di rumah kan tidak ada orang.”

“Dia datang pagi-pagi, sebelum Binar berangkat sekolah. Malah Binar diboncengin sampai ke sekolah.”

“Eh, jangan sembarangan membonceng orang yang belum kamu kenal lhoh.”

“Soalnya Binar takut terlambat, habis harus menunggui dia meneliti dompetnya, menghitung uangnya, segala.”

“Tapi kamu tidak salah kan, bukan memberikan dompetnya kepada orang yang salah?”

“Ya tidak Pak, dia membawa surat yang Bapak tinggalkan itu, diberikannya pada Binar. Ya ampun Pak, Binar malu, tahu.”

“Kenapa malu?”

“Surat itu. Surat yang Bapak buat itu kan dibaliknya berisi catatan belanjaan? Ada ayam, kelapa, cabe, minyak dan sebagainya.”

Pak Trimo tertawa pelan.

“Habis bagaimana lagi, tidak ada kertas untuk menulis. Adanya itu, ya sudah. Untung orangnya bisa membaca tulisan bapak. Kan kamu tahu, tulisan bapak buruk sekali. Gara-gara keburu pulang, langsung bapak tulis saja. Lupa menyuruh kamu supaya menulisnya.”

“Tidak apa-apa Pak. Kalau tulisan buruk malah seperti tulisan dokter.”

“Apa? Tulisan dokter? Masa tulisan bapak seperti tulisan dokter?”

“Tulisan dokter itu kebanyakan jelek Pak. Susah atau justru nggak bisa dibaca. Binar masih ingat ketika almarhumah mendapat resep, Binar mencoba membacanya tapi nggak bisa. Jelek bener, pokoknya.”

“Kamu tidak bisa membaca karena tidak mengenal obatnya. Nyatanya ketika kita belikan di apotik, mbak-mbak yang jaga apotik bisa membaca kok.”

“O, gitu ya Pak?”

“Apa kamu ingin menjadi dokter?”

“Wah, ingin sih Pak, tapi sekolah dokter biayanya mahal, keduanya, tulisan Binar bagus kok. Nggak cocok jadi dokter.”

Keduanya makan sambil bercanda. Selalu begitu. Walau hanya berdua tapi mereka bahagia dengan apa yang mereka miliki.

“Memangnya berapa sih biaya sekolah dokter?”

“Eh, apa Bapak ingin Binar jadi dokter?”

“Cuma nanya saja. Siapa tahu kita punya rejeki.”

“Jangan terlalu dipaksakan Pak. Binar nggak mau Bapak terlalu bersusah payah untuk Binar.”

“Tidak, bapak tahu, semua upaya adalah tergantung kemampuan kita. Berserah saja kepada Allah Yang Maha Kuasa, dan selalu mohon yang terbaik untuk hidup kita.”

“Oh ya, Pak. Tadi tuh, mas Tegar mau memberi uang Binar Lhoh.

“Mas Tegar itu siapa?”

“Orang yang punya dompet itu lhoh Pak.”

“Oh, memberi uang untuk apa?”

“Maksudnya sebagai ungkapan terima kasih, dia memberi Binar uang. Nggak tahu berapa, pokoknya ratusan ribu, ada berapa lembar, gitu. Tapi Binar menolaknya.”

“Bagus. Kita kan tidak menjual jasa, jadi tidak pantas menerima pemberian orang sebagai ungkapan terima kasih.”

“Iya, Binar sudah tahu kok.”

“Ya sudah, lanjutkan makanmu, bapak mau berangkat bekerja nih.”

“Binar sudah selesai kok. Setelah ini mau mencuci perkakas dapur yang tadi belum sempat Binar cuci.”

“Kalau capek istirahat saja dulu. Nanti malam biar bapak saja.”

“Jangan Pak, Bapak sudah lebih dari capek.”

“Ya sudah, bapak mau siap-siap dulu.”

***

Hari itu jalanan ramai. Boy sedang memarkir mobilnya di sebuah toko sepatu hanya untuk membeli sandal dimana miliknya sudah usang.

Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di dekatnya.

“Mas Boy?”

Boy sangat terkejut. Penunggang sepeda motor itu adalah Tegar, yang ketika masih kecil suka diajak main bersama.

“Tegar?”

“Mas mau beli sepatu?”

“Bukan, hanya sandal. Kamu mau beli sepatu?”

“Tidak, baru pulang dari kampus, lalu melihat mas Boy. Jadi aku berhenti sebentar.”

“Lama sekali kita tidak ketemu ya?” kata Boy sambil menepuk pundak Tegar. Kedua remaja ganteng itu sama-sama cucu Rohana. Mereka saling mengasihi sejak masih kanak-kanak. Tapi belum sekalipun mereka pernah mengenal sang nenek.

Bahkan Tegar yang beberapa hari lalu memberi uang untuk wanita tua yang membuatnya kasihan, sama sekali tidak tahu bahwa dia adalah wanita yang melahirkan ayahnya.

“Iya, kangen sih. Ayo kita makan es krim,” ajak Boy, membuat Tegar tertawa. Sejak kecil Boy suka makan es krim, bahkan setelah dewasa pun sang ibu selalu sedia es krim di kulkas karena kalau tidak, si Boy pasti menanyakannya.

“Kamu masih seperti dulu Mas, suka es krim?”

“Es krim itu kan enak. Ayo, di situ kecuali es krim juga ada bakso, ada makanan yang lain. Aku traktir kamu pokoknya, jangan khawatir,” kata Boy yang membantu Tegar memarkir motornya, kemudian menariknya masuk ke sebuah warung yang tidak jauh dari sana.”

“Apa kabar ibu Minar?”

“Baik.”

“Aku kangen sekali sama ibu Minar dan om Satria. Dulu mereka adalah orang tua idola aku,” kata Boy setelah mereka duduk dan memesan makanan masing-masing.

“Iya, ibuku juga sering membicarakan tentang mas Boy waktu kecil. Ayo, mainlah ke rumah, bapak sama ibu pasti senang. Ajak Indi juga, ya.”

“Ya, akan aku cari waktu yang baik untuk itu. Saat ini aku sedang belajar bekerja di kantor Bapak. Tiap hari, dan itu melelahkan. Ini aku juga baru balik dari kantor.”

“Senang ya, kalau sudah selesai. Siap melamar Mia dong.” canda Tegar.

“Hei, dapat dari mana berita bohong itu?”

“Berita bohong? Aku sering ketemu Mia, dia kan menjadi asisten dosen di kampus aku.”

“Masa? Tapi dia memang pintar. Tuh, kok bisa-bisanya kamu menuduh aku mau melamar Mia. Tentangnya saja aku nggak paham.”

“Mia sering ngomongin Mas. Tampaknya dia suka sama Mas.”

Boy tertawa. Ia memang lama tidak ketemu Mia. Dia gadis yang menyenangkan. Dia memang lulus lebih dulu daripada Boy. Boy sering mengingatnya, kalau tidak boleh dibilang kangen. Ahaa, benarkah Boy kangen sama Mia? Bukankah dia selalu menolak dituduh begitu setiap kali Indi memarahinya?

Entah mengapa, Indi memang tak suka pada Mia, yang kelihatan sekali selalu mengejar Boy. Tapi sudah setahun lebih Boy tidak bertemu. Indi saja yang terlalu cemburu dan menuduh kakaknya selalu memikirkan Mia.

“Mia itu cantik, masa Mas nggak suka?”

Boy tertawa.

“Entahlah, kami lama tidak ketemu. Kapan-kapan aku mau dolan ke rumahnya. Bagaimana kuliah kamu?”

“Lancar, alhamdulillah.”

“Sudah punya pacar?”

“Wah, ibu marah-marah dong kalau aku punya pacar sekarang. Kata ibu aku harus selesaikan kuliah, baru memikirkan pacar.”

Tiba-tiba Tegar melihat seseorang berdiri di tangga rumah makan, menatap ke arah dalam. Dia seorang wanita tua, dan Tegar ingat, seperti pernah melihatnya.

“Haaa, bukankah dia?” teriaknya, tapi pelan.

“Siapa?” Boy menoleh ke arah Tegar memandang ke luar.

“Wanita itu, sebentar,” kata Tegar sambil berdiri.

Karena ingin tahu, Boy mengikutinya.

***

Besok lagi ya.

 

MASIH ADAKAH MAKNA 08

  MASIH ADAKAH MAKNA  08 (Tien Kumalasari)   Tegar heran melihat Boy mendahului masuk. Setelah mengunci mobil ia bergegas mengikuti. Tomy ya...