Monday, September 30, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 16

 MASIH ADAKAH MAKNA  16

(Tien Kumalasari)

 

Tegar bingung, antara mengejar nenek Rohana atau kembali memajukan mobilnya. Teriakan teriakan membuatnya kemudian kembali ke mobilnya, lalu memajukannya. Pak Trimo tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“Ada apa Nak?”

“Saya melihat nenek saya.”

“Maksudnya … bu Rohana?” tanya pak Trimo yang sudah tahu bahwa yang dimaksud neneknya adalah Rohana.

“Iya. Bingung saya. Dia tadi masih di situ, entah menghilang ke mana.”

“Apa mau mencari dulu, barangkali masih ada di sekitar tempat itu, Nak. Pastinya belum jauh,” kata pak Trimo.

“Waktunya juga sudah mendesak. Takutnya kita terlambat, karena jam sembilan semua sudah harus siap.”

“Iya juga sih.”

“Lain kali kita masih bisa mencarinya. Barangkali belum saatnya kami bisa menemukan nenek Rohana,” kata Tegar pelan, diliputi rasa kecewa. Sudah begitu dekat, kenapa masih juga belum bisa bertemu lagi.

“Sabar ya Nak,” kata pak Trimo yang tahu bahwa Tegar pasti sangat kecewa.

“Iya Pak. Agak melegakan sudah tahu ciri-cirinya, tapi Jakarta begini luas.”

“Tapi dia pasti berada di sekitar tempat itu. Tidak mungkin terlalu jauh.”

“Iya. Nanti saya akan mencoba mencarinya lagi.”

“Semoga segera ditemukan, agar hidup bu Rohana bisa lebih tertata.”

“Aamiin.”

***

Mereka sampai di kantor Satria tepat seperti yang dijanjikan. Minar sudah bersiap menunggu, lalu menunjukkan tempat di mana makanan harus ditata.

Ada dari perusahaan catering lain yang datang bersamaan. Tapi sudah ada yang mengaturnya. Minar hanya menunggu pak Trimo dan menunjukkan tempatnya, karena memang dia yang bertanggung jawab.

Pak Trimo segera sibuk menyiapkan segalanya, dibantu Binari. Tegar ingin membantunya, tapi pak Trimo melarangnya. Ia sudah pernah melayani pesanan semacam itu, tapi tidak sebanyak pesanan Minar.

Ketika sedang sibuk itu Tegar mendekati Binari dan memberikan sebuah bungkusan.

“Ini apa?” tanya Binari sambil mengamati bungkusan yang ketika diraba berupa sebuah kotak. Ia tampak bingung.

Tegar berbisik di telinganya.

“Dibuka nanti saja. Simpan dulu. Itu untuk kamu. Semoga bisa digunakan.”

Binari menatap Tegar, yang hanya tersenyum lucu melihat Binari kebingungan.

“Aku mau pergi dulu.”

“Pulang?”

“Tidak. Mencari nenek.”

“Ooh,” Binari mengangguk mengerti.

“Semoga berhasil,” kata Binari, pelan.

“Terima kasih.”

Tegar berpamit kepada ibunya, setelah mengatakan apa yang dilihatnya ketika dia mengisi BBM.

“Baiklah, Tegar. Semoga kamu berhasil.”

Tegar mengangguk dan berlalu. Minar menatapnya dengan harapan baik yang memenuhi hatinya.

Pak Trimo yang sedang sibuk sempat melihat Tegar yang memberikan bungkusan kepada Binari.

“Ada apa?”

“Entahlah, Binar belum membukanya. Nanti saja kalau sudah selesai,” kata Binar yang mulai menduga-duga apa yang ada di dalam kotak yang diterimanya.

Mereka baru sibuk. Binar meletakkan daun-daun pisang yang sudah dipotong bulat-bulat, ke atas piring yang sudah disiapkan.

***

Tegar memarkir mobilnya di dekat POM di mana tadi dia melihat bayangan sang nenek. Dia yakin akan bisa menemukannya. Akan banyak mobil yang bisa didekati sang nenek, untuk mencari uang dengan mengelap kaca-kacanya.  Matanya menatap tajam ke setiap mobil yang baru datang. Tapi dia belum melihat bayangan wanita tua pengelap kaca-kaca mobil.

“Aku harus bersabar. Semoga berhasil.”

Barangkali hari itu belum merupakan keberuntungan bagi Tegar. Sudah satu jam lebih dia menunggu, tapi tak menemukan apa yang dicarinya. Tegar menjalankan mobilnya pelan.

Di depan sebuah pertokoan, Tegar berdebar. Ia melihat seorang laki-laki sedang berbincang dengan perempuan tua bertopi.

“Apakah itu nenek?”

Tegar menghentikan mobilnya tak jauh dari pengendara mobil yang sedang berbincang itu. Ia turun, dan melihat mereka masih saja berbincang. Pasti bukan sekedar tentang pemberian uang setelah mengelap mobilnya. Tegar melangkah mendekat, dan mendengar wanita tua itu berkata dengan keras.

“Tidak, aku tidak mau. Apa pedulimu?”

“Tolong, turutilah kata-kataku, demi kebaikan ibu.”

“Memangnya tahu apa kamu sehingga berbicara tentang kebaikanku. Biarkan aku pergi,” sentaknya. Tapi laki-laki itu menahan lengannya.

“Hei, kamu mau memperkosa aku?”

Laki-laki muda itu berkumis tipis, tertawa geli.

“Masa aku yang masih muda akan memperkosa nenek-nenek seperti ibu?”

“Kalau begitu kamu mau merampok? Hari ini aku sedang beruntung. Sepagi ini sudah mendapat hampir seratus ribu.”

Laki-laki muda itu tertawa keras.

“Aku bisa memberi uang seratus ribu pada ibu, sekarang juga. Untuk apa aku merampok?”

“Kalau begitu lepaskan aku.”

“Tolong, turutilah kata-kataku, Bu. Ini demi seorang teman.”

“Lepaskan. Kamu polisi yang menyamar? Uang yang aku curi sudah habis. Ditangkappun aku tidak akan bisa mengembalikannya.”

“Ibu mencuri apa?”

Ketika itu Tegar sudah sampai di depan mereka, tadi dia mendengar perbincangan diantara keduanya. Sebenarnya ia bisa saja langsung mendekat dan mengajak sang nenek pulang, tapi ia ingin tahu, apa sebenarnya yang akan dilakukan laki-laki berkumis itu. Ternyata dia tidak ingin melepaskan sang nenek juga. Karenanya ia segera mendekat dan menyapa.

“Nenek Rohana,” katanya lembut.

Rohana terkejut. Laki-laki berkumis itu demikian juga.

“Kamu? Ya Tuhan, hari ini banyak rejeki tapi aku dilanda sial,” katanya sambil berusaha melepaskan cekalan laki-laki berkumis itu.

“Lepaskaaaan!!” ia berteriak. Beberapa orang menoleh ke arah mereka.

“Nenek, ayo pulang,” kata Tegar lagi.

“Anda siapa?” tanya Tegar.

“Aku cucu dari nenek yang keras kepala ini.”

“Jangan bohong, aku berjanji akan mengabari cucu nenek ini juga,” katanya sambil mencengkeram lebih kencang lengan Rohana.

“Kamu gila? Kamu menyakiti aku," teriak Rohana lagi.

“Mas, tolong pegangi dia, aku harus mengabari Indira.”

“Apa? Kamu kenal Indira? Dia adik sepupuku. Dia juga cucu nenek ini.”

“Ya Tuhan, kebetulan sekali, aku harus mengabari Indira tidak?”

“Kabari saja. Biar dia senang, biar nenek ini sama aku dulu.”

“Eeeh, kamu mau apa? Lepaskan. Aku akan berteriak bahwa aku mau diperkosa laki-laki muda ini.”

“Kalau nenek berteriak, polisi akan datang, dan nenek justru akan ditangkap polisi.”

“Apa? Tentang pencurian itu sudah lama. Tak ada bukti.”

Tegar heran dari tadi mendengar tentang pencurian, yang mungkin diucapkan Rohana dengan tidak sengaja.

“Nek, ayo ikut pulang.”

“Tidak mau. Lancang kamu. Aku tidak mau pulang.”

“Nek, kami sangat mengharapkan nenek mau pulang. Hidup di jalanan itu sangat menyengsarakan.”

“Tidak mau.”

“Kalau nenek tidak mau, nanti nenek akan ditangkap polisi. Lihat disekeliling nenek. Kita rame di sini pasti ada yang curiga, dan mereka sudah menelpon polisi. Bagaimana? Mau ikut polisi, mendekam di tahanan, atau ke rumah kami, dan nenek akan hidup lebih tenang?"

Rohana tampak menimbang-nimbang.

“Lepaskan dulu tanganku, sakit, tahu!!”

“Tapi nenek harus berjanji untuk tidak akan kabur ya? Ingat, jangan sampai nenek ditangkap polisi. Karena polisi sudah tahu ciri-ciri nenek sekarang seperti apa. Membawa tongkat, memakai topi lebar, berjalan terbungkuk-bungkuk.”

Rohana agak miris mendengarnya. Ditangkap polisi? Polisi sudah tahu penyamarannya?

“Saya sudah menelpon Indira, dia akan segera datang," kata Azka kemudian.

“Itu terlalu jauh, Nenek akan ikut bersama aku, suruh Indi langsung ke rumah saya, barangkali ia juga akan datang bersama ibunya.”

“Oh, begitu? Dia sudah tahu rumah Anda?”

“Ya sudah, gimana sih. Dia itu sepupu aku,” kata Tegar sedikit kesal.

“Baik, baik.”

“Hei, siapa bilang aku akan ikut bersama kamu? Aku tidak mau hidup serumah dengan perempuan kampung itu,” hardiknya walau sekarang dia tidak berani berkata lebih keras.

“Siapa perempuan kampung itu?”

“Ibumu perempuan kampung itu, kan?”

“Baiklah, ibu perempuan kampung, tapi dia bukan perempuan jalanan seperti nenek,” balas Tegar yang marah mendengar ibunya direndahkan.

“Lepaskan aku.”

“Saya lepaskan, lalu ditangkap polisi?”

Dan kebetulan saat itu sedang ada mobil polisi berpatroli. Rohana melihatnya dan pucat pasi.

“Ya sudah, aku ikut kamu.”

“Biar aku ikut bersama Anda,” kata pria berkumis yang memang adalah Azka.

“Ikut? Mobil Anda?”

“Biar di sini dulu, aku harus menjaga agar nenek ini tidak akan kabur lagi,” kata Azka.

“Kamu benar. Duduk di belakang saja bersama nenek.”

***

Di dalam mobil, Rohana terus mengomel panjang pendek. Tapi Tegar dan Azka membiarkannya.

“Mengapa Anda mau membantu kami membujuk nenek kami?” tanya Tegar.

“Indira temanku. Teman baru, dan aku sudah berjanji akan membantunya kalau sewaktu-waktu melihat nenek ini. Kebetulan tadi aku melihatnya sedang mengelap mobil, seperti dilakukannya semalam. Kebetulan sekali, ini kedua kalinya aku bertemu nenek ini.”

Lalu Azka menceritakan bagaimana asal mulanya dia mengerti tentang nenek Rohana, karena Indi mengatakan semuanya.

“O, aku tahu. Anda yang menemukan dompet Indira?”

“Nah, tepat sekali. Dari situlah kami berkenalan.”

Tegar merasa senang, ada teman membujuk sang nenek. Kalau sendiri, dia pasti akan kewalahan. Walau bisa mengajaknya masuk ke dalam mobil, bagaimana kalau dia nekat, menyerangnya atau memaksa melompat turun atau entahlah. Ia tahu sang nenek bekas orang kaya yang punya mobil mewah, pasti dia tahu bagaimana berusaha turun ketika dia berhasil menyerangnya di dalam mobil. Tapi hal itu tak akan terjadi karena ada Azka yang membantunya.

“Oh ya, kita belum berkenalan. Aku Tegar.”

“Aku Azka.”

“Kalian ini mengoceh tidak karuan. Berhenti ngomong. Aku lapar, tahu. Tadi baru mau beli makanan, kalian menangkap aku seperti menangkap penjahat,” omelnya.

“Nenek, di rumah nanti ada makanan enak. Ibuku jago memasak. Ibuku yang perempuan kampung itu,” ejek Tegar yang masih kesal mendengar neneknya mengata-ngatai ibunya sebagai perempuan kampung.

Rohana diam. Janji akan diberikan makan sudah membuatnya sedikit tenang, karena perutnya memang benar-benar lapar.

***

Minar yang sedang ikut menghadiri pertemuan di kantor suaminya, terkejut sekaligus gembira ketika Tegar menelpon bahwa dia sudah bisa membawa pulang neneknya. Dengan antusias, tapi berbisik-bisik, dia mendekati sang suami dan mengatakan berita dari anaknya tersebut.

Satria terlihat sangat gembira. Tampaknya dia sedang mencari waktu yang baik untuk segera pulang.

Minar mendekati pak Trimo dan menyelesaikan pembayaran pesanannya, yang diterima pak Trimo dengan suka cita, karena Minar memberinya lebih dan melarang untuk menolaknya.

Akhirnya karena banyaknya tugas yang harus dipikulnya, Satria mengatakan kepada sang istri bahwa dia baru bisa pulang setelah acara makan siang.

***

Sementara itu ketika mobil sudah diparkir di halaman rumah Satria, Rohana merasa ragu untuk turun. Ia bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tahu ini rumah anaknya, tapi sudah puluhan tahun dia menghilang dan enggan bertemu anak-anaknya dengan alasan yang menunjukkan keangkuhan hatinya. Sifat langka yang membuat gusar anak-anaknya.

“Nenek, ayo turun, kita sudah sampai,” kata Tegar.

“Mari saya bantu turun, Bu,” kata Azka.

Dengan kasar Rohana menepiskan tangan Azka yang terulur dan bermaksud membantunya turun.

“Aku belum jompo, biar aku turun sendiri,” ketusnya.

Tapi Azka menanggapinya dengan tersenyum. Tulus. Ia laki-laki baik yang bisa memaklumi sifat Rohana. Karena setelah Indira bercerita tentang neneknya, sedikit banyak ia mulai meraba-raba, seperti apa perilaku nenek yang satu ini sehingga enggan bertemu anak-anaknya. Ternyata ia memang sangat angkuh.

Tegar mengajak semuanya masuk ke rumah. Ada rasa nyeri di hati Rohana. Dulu ia punya rumah yang lebih bagus dari rumah Satria yang sebenarnya sudah bagus. Jalanan itu panas, tapi kalau musim hujan juga dia kedinginan. Rasa tak nyaman ditahankannya selama bertahun-tahun. Sekarang, dia duduk di sofa empuk, bersandar dan memejamkan mata, menikmati kenyamanan yang sangat lama tidak dirasakannya.

Azka duduk di depannya, diam dan menatap nenek angkuh itu dengan benak dipenuhi rasa aneh.

Tegar masuk ke dalam, dan keluar dengan membawa segelas coklat susu yang hangat.

“Nenek. Minumlah dulu.”

Rohana membuka matanya, melihat segelas minuman yang menggugah selera, dia segera meraihnya, meneguknya sampai habis setengahnya, lalu meletakkannya.

“Kamu kan tidak lupa, bahwa aku lapar?”

Tegar mengangguk. Tak ada ucapan ramah dari nenek yang dirindukan anak cucunya ini. Tapi Tegar seperti juga Azka, mulai memakluminya.

Ketika itu sebuah mobil masuk ke halaman.

“Itu Indira,” celetuk Tegar.

“Mengapa kamu mendatangkan banyak orang kemari? Biar lebih banyak yang mentertawaiku?”

“Mengapa Nenek mengira begitu? Kami semua merindukan Nenek.”

Tapi Rohana bergeming melihat cucunya lagi datang. Padahal dia tidak sendiri. Ada Tomy dan Monik bersamanya. Lalu sebuah mobil lagi datang, ia adalah Satria dan Minar.

Rohana bangkit dan melemparkan tas butut yang dibawanya ke lantai.

“Akan lebih banyak orang yang mentertawaiku?” kali ini Rohana berteriak.

***

Besok lagi ya.

TAK ADA JAWAB

 TAK ADA JAWAB

(Tien Kumalasari)


Ternyata janjimu kosong

Ternyata kau ingkar kau bohong

Kuletakkan harap diatas taman hati

Nanti kau akan datang merajut mimpi yang masih dalam bayang-bayang

Tapi harap itu terburai dalam keping-keping bak debu berhamburan

Sudah aku katakan 

Jangan kau pergi

Jangan kau hilang

Entahlah

Tak ada jawab walau selembar surat

Haii...

Selamat pagiiii

-----




Sunday, September 29, 2024

TERIK MULAI MENGHILANG

TERIK MULAI MENGHILANG

(Tien Kumalasari


Terik mulai menghilang

gerah tak lagi datang

bersenandung aku

menari diantara bunga-bungaku..

berdendang aku

berlarian diantara pohon rindangku

gemercik air menyiram bumi

mekarlah beragam puspa disekelilingku

hai senjaa... 

iringi gempita hati dengan warna indahmu

selamat soreeee...


-----






Saturday, September 28, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 15

 MASIH ADAKAH MAKNA  15

(Tien Kumalasari)

 

Indira merasa kesal, sudah diangkat panggilan telpon yang berdering, tapi tak ada suara apapun. Indi berteriak kesal.

“Halloooowwww … halloowwww ….!

Azka baru sadar kalau tadi melakukan panggilan. Ia segera menyapa sebelum Indi menutupnya dengan marah.

“Hallo, Indira … maaf, maaf … “

“Apa sih? Ini siapa?”

“Aku Azka, apa kamu tidak mencatat nomorku dan memberinya nama dengan namaku?”

“Ponselku baru, apa kamu lupa kalau ponselku barusan hilang? Lagipula kamu tidak pernah memberi nomor kontak kamu untuk aku. Hanya kamu yang minta nomor kontakku.”

“Oh, maaf, sebenarnya aku hanya ingin bertandang ke rumah kamu. Bolehkah?”

“Bukankah kita teman? Tentu saja boleh. Tapi aku pengin marah nih, kenapa tadi sudah menelpon tapi diam begitu lama? Sebenarnya aku tidak ingin menerima telpon dari nomor yang tidak aku kenal. Tapi mengingat bahwa ponselku baru, dan barangkali yang menelpon adalah salah seorang teman atau apa, yang nomornya terhapus, jadi aku mengangkatnya. Katakan kenapa tadi diam lama sekali?”

“Ya ampun, ternyata kamu lumayan galak ya?”

“Galak memang, kamu takut?”

“Tidak, siapa takut?”

“Hei, kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa sudah menelpon tapi diam begitu lama?”

“Oh, iya. Tadi tuh ada seorang wanita tua, tiba-tiba mengelap mobilku, lalu aku kasih dia uang. Tapi ketika memandangi dia, aku tiba-tiba teringat iklan pencarian orang hilang yang aku baca di koran tadi pagi. Wajahnya persis dia. Aku ingin berbicara sama dia bahwa apakah dia yang dicari keluarganya, tapi ketika aku membuka pintu mobil dan mencari-cari, orang itu sudah tak kelihatan batang hidungnya.”

Indira termenung, wanita tua? Mungkinkah dia nenek Rohana? Pikir Indira.

“Heii, kenapa diam? Kamu membalas aku ya?”

“Eh, apa? Bukan membalas. Mm… apakah wanita itu berjalan terbungkuk dan memakai tongkat?”

“Aku tidak melihat saat dia berjalan. Begitu aku keluar dari toko, dia sudah mengelap mobilku , lalu dia juga langsung pergi dan aku tidak memperhatikan. Aku kemudian mencari-carinya, barangkali aku bisa menelpon orang yang memasang iklan itu, aku mengingatkan dia bahwa keluarganya sedang mencarinya, tapi dia pergi entah ke mana. Dan aku tidak memperhatikannya. Sudahlah, mengapa tiba-tiba menanyakan orang itu?”

“Apa dia memakai topi?”

‘Ya, memakai topi lebar. Aku bisa melihat wajahnya ketika dia mengetuk-ngetuk jendela mobil, karena kain lapnya terjepit pintu mobilku.”

“Ya Tuhan. Ini kamu lagi di mana?”

“Masih di tempat tadi. Aku keluar dari toko buku, lalu pengin bertandang ke rumah kamu, ini masih ditempat aku semula. Boleh ya, nanti aku datang ke rumah kamu?”

“Sebentar. Berikan alamatnya, aku akan ke situ.”

“Apa maksudnya? Aku belum pulang, harus mandi dulu.”

“Pokoknya jangan pergi dulu dari situ.”

Indira menutup ponselnya tiba-tiba. Azka terdiam tidak mengerti. Walau begitu dia menuruti apa kata Indi, tidak akan pergi dari situ. Lalu ia menuliskan alamat di mana dia berada.

***

Azka menunggu dengan kebingungan. Tak mengerti mengapa tiba-tiba Indi akan datang ke tempatnya. Ia bahkan bertanya tentang wanita yang membersihkan kaca mobilnya. Apakah dia mengenal wanita itu? Wanita yang bersih sebenarnya, tapi pastilah kelihatan kumuh. Dia mencari uang dengan membersihkan kaca-kaca mobil. Azka bahkan tak peduli siapa dia, yang dia tahu, wanita itu mengelap kaca mobilnya karena butuh uang, dan dia sudah memberinya sepuluh ribu. Itu cukup bukan?

Azka masih berpikir-pikir, ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Ia tak tahu itu mobil siapa, sebelum penumpangnya turun, dan itu adalah Indira. Wajah Azka berseri. Ia turun dari mobil dan menyambutnya.

“Indira,” sapanya manis.

“Di mana wanita itu?”

“Apa? Kamu mencari wanita itu? Wanita yang bekerja mencari uang dengan mengelap kaca mobil-mobil?”

Indira tak menjawab. Matanya berkeliling ke sekitar area parkiran, ke setiap mobil yang ada, barangkali bisa menemukan wanita yang diceritakan Azka, laki-laki ganteng berkumis tipis itu.

Azka masih menatap kelakuannya, tak mengerti. Ia juga mengikuti kemana Indira berjalan seperti mencari seseorang.

Lalu kelihatan letih, Indi kembali mendekat ke mobilnya.

“Sebenarnya kamu mencari siapa?”

“Wanita itu, kenapa sudah tidak ada?”

“Kamu kenal? Ada kepentingan? Atau … dia pernah menipu kamu, atau apa?”

Indi menatap Azka sejenak, apakah dia harus mengatakannya? Lalu ia mengibaskan rasa malu untuk mengakuinya. Kalau memang dia neneknya, apa dia harus mengingkarinya? Tidak, Indira bukan cucu durhaka. Sejelek dan seburuk apapun, kalau dia memang neneknya, tak mungkin dia akan mengingkarinya. Lagi pula kalau seandainya Azka tahu, ia berharap si ganteng berkumis itu bisa membantunya. Siapa tahu pada suatu ketika Azka menemuinya lagi.

“Indira ….”

“Sebenarnya dia adalah nenekku.”

Azka membelalakkan matanya. Tak percaya dia mendengar apa yang dikatakan gadis cantik yang menarik hatinya itu. Masa sih, perempuan jalanan itu nenek Indira? Indira yang dari keluarga berkecukupan? Dan nenek itu adalah orang jalanan?

“Memangnya kenapa? Kamu tidak suka berteman dengan seseorang yang ternyata cucu seorang perempuan jalanan?”

“Bukan … bukan begitu, jangan salah paham. Aku hanya kaget saja. Bagaimana mungkin nenek kamu berada di jalanan sedangkan ….”

”Bukankah kamu bilang kamu telah membaca iklan di koran tentang nenek aku itu? Dia bernama nenek Rohana. Kami yang memasang iklan, karena memang sedang mencarinya, dan ingin agar dia kembali kepada kami.”

Azka mengangguk-angguk. Mencoba mencerna apa yang dikatakan Indira. Mengapa bisa terjadi hal yang seperti itu.

“Nenek memang selalu berusaha menjauhi anak-anaknya. Anak nenek ada dua, laki-laki semua. Dulu dia kaya raya, tapi hartanya habis karena dipakai untuk berfoya-foya. Barangkali nenek malu, atau enggan dikasihani, atau apa, dia tidak pernah menemui kami. Saya sedang ikut mencarinya, karena kabarnya setelah dia melihat fotonya terpampang di mana-mana, maka dia pura-pura menjadi perempuan bongkok, memakai tongkat, dan memakai topi lebar agar tak kelihatan wajahnya.”

“Seandainya aku tahu. Pasti aku akan mengejarnya dan menghentikannya.”

“Ya sudah, lain kali kalau ketemu lagi, aku harap kamu mengabari aku ya?”

“Baik. Tentu aku akan membantu kamu.”

“Sekarang aku mau pulang. Kamu pasti capek, baru pulang kerja.”

“Tapi aku boleh ke rumah kamu kan?”

“Boleh,” kata Indi sambil tersenyum.

“Besok kan hari MInggu, tapi pasti mengganggu karena saatnya liburan kan?”

“Tidak ada rencana liburan untuk besok, paling ke rumah sakit, karena kakakku sakit dan harus dirawat.”

“Sakit apa?”

Dan Indipun menceritakan apa yang terjadi pada Boy.

“Aku ikut prihatin. Semoga segera pulih.”

“Terima kasih, teman.”

Azka tertawa lirih.

“Bukankah kamu sendiri yang ingin agar kita berteman?”

“Siapa tahu bisa lebih dari itu.”

“Apa maksudmu? Kamu masih kecil.”

“Apa? Aku sudah duapuluh dua tahun, tahu.”

“Dan aku sudah duapuluh enam tahun.”

“Memangnya kenapa kalau aku lebih muda?”

Indi tertawa, melambaikan tangannya, kemudian masuk ke dalam mobilnya. Membuat Azka menjadi gemas karenanya.

“Memangnya kenapa kalau dia lebih tua?” gumamnya kemudian masuk ke dalam mobilnya sambil tersenyum-senyum. Sambil menstarter mobilnya, dia heran kepada dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa tertarik pada gadis yang baru ditemuinya?

***

Masuk ke dalam rumah, Indi disambut oleh ibunya, Monik, yang sesungguhnya adalah ibu tiri, tapi sangat menyayangi dan disayanginya seperti ibu kandung sendiri.

“Indi, kamu kemana sih, ibu mau mengajak kamu ke rumah sakit. Malah pergi dengan tiba-tiba.”

“Bapak belum pulang?”

“Mungkin bapak langsung ke rumah sakit. Biasa, bapakmu itu. Karena ingin bertemu dokternya dan menanyakan perkembangan kesehatan kakakmu, jadi tidak pulang dulu. Tapi tadi minta agar kita berangkat sendiri.”

“Hampir saja Indi ketemu nenek.”

“Apa maksudmu ketemu nenek? Mana dia?”

“Kan Indi bilang hampir. Jadi ya nggak ketemu beneran.”

“Kamu ngomongnya bikin ibu penasaran saja. Sebenarnya apa yang terjadi?”

Lalu Indi menceriterakan mulai dari Azka menelponnya, sampai kemudian dirinya tergesa datang ke tempat itu, tapi tidak menemukan apa yang dicarinya.

“Ya Tuhan ….” keluh Monik yang juga merasa sedih.

“Tapi Indi berharap, Azka juga bisa membantu. Tampaknya nenek Rohana menjadi tukang mengelap kaca-kaca mobil agar mendapat uang.”

Monik mengusap air matanya yang menitik. Tak terbayangkan, mertuanya menjalani hidup seperti itu, dan menjauhi anak-anaknya yang sudah mapan.

“Ya sudah Bu, ayuk kita berangkat. Nanti Indi mau tidur di rumah sakit saja. Biar bapak istirahat di rumah.”

“Terserah kamu saja, nanti bilang pada bapak, kalau bapak mengijinkan ya tidak apa-apa.”

***

Tapi ternyata Tomy tidak mengijinkan Indira tidur di rumah sakit.

“Kamu besok pagi saja, menggantikan bapak.”

“Besok pagi ada teman Indi yang mau datang, Pak,  masa Indi harus menemuinya di rumah sakit.”

“Teman siapa sih, memangnya nggak mau dia datang kemari?” sela Boy.

“Nggak enak. Itu teman baru, masa aku suruh datang kemari. Penginnya tuh main ke rumah.”

“O, teman baru? Yang menemukan dompet kamu itu, pasti.” ledek Boy.

“Siapa dia?” tanya Tomy.

“Itu Pak, pacar baru Indi.”

“Siapa?”

“Yang menemukan dompet Indi. Kelihatannya Indi kesengsem sama dia.”

“Hiih, ngawur. Baru kenal ketika dia mengembalikan dompet. Lalu dia bilang pengin main ke rumah. Masa nggak boleh?”

“Boleh, sudah … jangan dengarkan kakakmu.”

“Kalau memang Indi ada tamu, nggak usah ke rumah sakit juga nggak apa-apa. Boy sudah merasa sehat. Masa harus ditungguin terus. Malah sudah pengin pulang saja Pak, bilang dong sama dokternya.”

“Kemarin kamu masih bilang mual. Tunggu dong, sampai kamu benar-benar merasa sehat.”

“Boy, semua itu demi kebaikan kamu, jangan bandel,” sambung Monik sambil menyiapkan makan malam untuk mereka. Malam itu mereka makan malam di rumah sakit. Monik sudah masak untuk semuanya.

“Kamu kalau ke rumah sakitnya agak siang juga nggak apa-apa, Indi. Menunggu temanmu itu kalau sudah pulang," kata sang ibu.

“Siap-siap menerima lamaran dong Bu,” goda Boy lagi.

“Huh, reseh,” cemberut Indi.

Tapi Tomy terkejut ketika Indi bercerita tentang nenek Rohana yang menjadi tukang mengelap kaca mobil-mobil.

“Mengapa ibu melakukan itu, padahal bisa pulang ke rumah kita, atau ke rumah Satria. Semua siap menerima kan?”

“Nenek itu mungkin malu. Dulunya kaya, sekarang miskin. Takut diomelin, barangkali,” kata Indi.

“Hanya karena itu, mengapa hidup di jalanan menjadi pilihan?”

“Itulah nenek kamu. Sejak dulu tidak pernah mau diatur.”

“Tapi mudah-mudahan semuanya segera berakhir, ibu mau kembali ke rumah kita.”

“Aamiin.”

***

Malam itu pak Trimo sudah menyiapkan segalanya untuk besok pagi. Pesanan di kantor Satria membutuhkan persiapan yang matang. Jangan sampai apa yang disajikan membuat para langganan menjadi kecewa.

Binari berkali-kali meneliti apa yang diperlukan besok. Sayur dan ayam sudah dimasak malam harinya. Yang dimasak baru hanya nasi.

“Kita pesan mobil saja untuk membawa barang-barang ini ya Bin?” kata pak Trimo.

“Jangan pak. Katanya mas Tegar mau menjemput.”

“Kita tunggu saja besok, jangan sampai kesiangan. Jangan lupa daun pisang untuk alas piring ya.”

“Sudah siap semuanya Pak.”

“Syukurlah, semoga besok apa yang kita lakukan tidak mengecewakan.”

“Iya Pak, kita harus berusaha sebisa mungkin.”

“Untunglah pas hari MInggu sehingga kamu bisa membantu.”

“Untunglah tadi tetangga sebelah juga bisa membantu memasak. Kalau tidak, bapak akan kerepotan, karena harus siap jam delapan pagi.”

“Iya, benar. Ya sudah sekarang istirahat saja. Besok masih harus menyempurnakan sambal goreng jepannya, soalnya nggak bagus kalau dimasak sekarang kemudian besok dipanasi lagi.”

“Iya, sudah Binar siapkan, besok sambil memanasi sudah bisa langsung dimasukkan.”

Binar menatap ayahnya yang berjalan masuk ke kamar, tampak sangat lelah.

“Kasihan bapak. Semoga aku bisa mewujudkan semua cita-cita bapak, agar bapak merasa bahwa jerih payahnya tak sia-sia.”

***

Masih pagi ketika Tegar menjemput pak Trimo. Dan bersyukur karena pak Trimo sudah siap berangkat.

“Tapi nanti mampir ke POM sebentar ya Pak, kemarin disuruh bapak isi bensin, saya lupa.”

“Tidak apa-apa Nak, masih ada waktu.”

Mobil yang membawa makanan di bagasi itu akhirnya berhenti di POM bensih.

Ketika Tegar membuka kaca untuk membayar bahan bakarnya, tiba-tiba dia melihat seorang wanita mengelap kaca pintu mobil. Tegar tidak pernah lupa, itu neneknya. Ia segera turun. Tapi begitu dekat, wanita itu langsung kabur, dan pemilik mobil di belakangnya berteriak agar mobilnya segera dimajukan karena antrean beli bahan bakar ramai sekali.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

LANGIT BIRU

 LANGIT BIRU


Hujan berhenti mengguyur

Kutatap taman hati

Menyergap aroma wangi

Apa kamu tahu?

Titik- titik embun di dedaunan

Menyiratkan kesegaran

Aku suka menatap tawa

Aku melihat gemerlap cinta

Kutatap langit

Bagai permadani berwarna biru

Haiii...

Selamat pagiiii


-----




Friday, September 27, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 14

 MASIH ADAKAH MAKNA  14

(Tien Kumalasari)

 

Minar terpana. Beberapa saat lamanya tak mampu berkata-kata. Tampaknya pak Trimo mengetahui banyak hal tentang ibu mertuanya. Padahal bertahun-tahun tak pernah menyapa apalagi menemui anak-anaknya.

Ada rasa menyesal dan miris juga mengingat sang mertua ini. Harta yang bernilai milyard an, lenyap entah kemana, dan sang ibu mertua yang angkuh memilih menyusuri jalanan dan orang menyebutnya peminta-minta.

Ia bahkan menyamar menjadi perempuan bongkok, dan memakai topi untuk menutupi wajahnya? Pantas saja tak ada yang bisa mengenalinya.

Pak Trimo yang merasa tidak enak, lagi-lagi mengucapkan maaf.

Barangkali nyonya kaya yang duduk didepannya tersinggung, karena dirinya tahu bahwa mertuanya adalah ibu Rohana, perempuan jalanan yang tak punya tempat tinggal, dan dia pernah menyebutnya peminta-minta.

“Bu Minar … saya … sungguh saya minta maaf,” katanya pelan.

“Tidak apa-apa Pak, kenyataannya beliau memang ibu mertua saya. Baik dan buruknya biarlah saya juga ikut menyandangnya. Hanya saja begitu susahnya mengajak beliau pulang ke rumah.”

“Saya juga tidak mengerti, mengapa dia memilih jalan seperti itu.”

“Bagaimanapun saya berterima kasih, karena pak Trimo sudah mengatakan tentang penampilan ibu saya sekarang. Jadi dia pura-pura bongkok, dan selalu memakai topi lebar?”

“Iya Bu, dan memakai tongkat penyangga tubuhnya. Semoga keluarga ibu bisa segera menemukannya dan mengajaknya pulang.”

“Iya pak Trimo, dan kalau kebetulan Bapak atau Binari melihatnya, tolong beri tahu kami ya. Ah, tapi maaf, pak Trimo tidak punya ponsel ya?”

“Tidak punya Bu, untuk apa? Saya tidak pernah berhubungan dengan siapapun melalui yang namanya ponsel.”

“Tapi di jaman sekarang, ponsel itu penting lho Pak, kalau ada keperluan mendadak, bisa berhubungan langsung tanpa harus tatap muka.”

“Iya sih sebenarnya. Tapi ya nggak apa-apa Bu, besok-besok saja kalau sudah punya uang lebih. Sekarang ini kan saya baru fokus mau menyekolahkan Binari ke jenjang yang lebih tinggi.”

“Oh iya Pak, semoga berhasil. Seneng punya anak pintar.”

Minar hanya membayar makanan yang dimakan bersama Tegar, karena pak Trimo belum menghitung berapa persisnya harga pesanan itu. Tapi Minar sedikit merasa lega, mendapat keterangan tentang penampilan ibu mertuanya sekarang.

Ia berharap dengan ciri-ciri tersebut, akan lebih mudah bagi keluarganya untuk membawa pulang sang ibu mertua.

***

Berita tentang penampilan Rohana sekarang, sudah diterima oleh dua keluarga, yaitu anak-anak Rohana. Satria dan Tomy. Mereka melaporkan ke polisi sebagai laporan tambahan, kecuali itu kedua keluarga itu juga mulai memasang mata setiap pergi kemanapun, berharap bertemu wanita berjalan terbungkuk-bungkuk, memakai tongkat dan topi lebar.

Sementara itu, di rumah sakit, Boy masih harus berbaring. Kecuali kakinya belum bisa menapak, gegar otaknya juga memerlukan perawatan intensif. Mia yang selama tiga hari menungguinya hanya  sampai siang, karena dia harus bekerja, merasa lega, wajah Boy sudah tidak sepucat pada awalnya.

“Kamu selalu menunggui aku, apa tidak capek?” tanya Boy.

Tapi dengan tersenyum manis, Mia menggelengkan kepalanya. Siang itu dia sudah menyuapi Boy makan. Sebentar lagi dia pulang.

“Mengapa bersusah payah untuk aku?”

“Cari sendiri jawabnya,” kata Mia sambil tersenyum.

“Kamu tahu, mengapa aku menyeberang jalan dengan tergesa-gesa? Aku kangen sama kamu.”

Ucapan Boy membuat wajah Mia memerah.

“Benarkah?”

“Belah dong dadaku, kalau kamu nggak percaya?”

“Iih, masa membelah dada mas Boy. Kasihan dong.”

“Supaya kamu tahu isi hatiku, kan?”

“Aku sudah tahu kok.”

“Masa? Dari mana kamu tahu?”

“Dari ….. apa ya … mungkin perasaan aku yang bicara, tapi aku nggak mau mengatakannya.”

Boy tersenyum mendengar jawaban Mia yang seakan menyembunyikan perasaannya.

“Mia, lama sekali kita tidak bertemu, padahal kita tinggal di satu kota.”

“Satu kota tapi jauh. Lagian aku baru akan mengambil S2, tapi ada kendalanya, ketika ibuku harus mengajak aku pindah ke Bandung.”

“Kamu di Bandung?”

“Sudah setahun ini. Tapi kemudian aku menjadi asisten dosen di sebuah universitas. Oh ya, aku sering ketemu Tegar lhoh.”

“Iya, Tegar sudah mengatakannya.”

“Baiklah, kita sudah lama berbincang, sejak tadi, bahkan menunggui mas sejak pagi, Mas tertidurpun aku masih di sini, sekarang aku pamit. Sebentar lagi Indi akan datang, dia judes kalau sama aku.”

Boy tertawa.

“Jangan diambil hati, dia itu hanya mulutnya yang judes, tapi hatinya baik kok.”

“Iya, aku tahu. Kelewat dimanja sama kakaknya, soalnya.”

“Mungkin iya. Ya sudah, kamu boleh pulang, hati-hati di jalan ya.”

Ketika Mia belum sampai di pintu, Indi datang sambil membawakan kakaknya makanan. Hari itu Indi juga membawakan es krim seperti dipesan kakaknya, tapi diam-diam saja. Takut kena marah ayah dan ibunya kalau sampai ketahuan.

Melihat Mia sudah mau pulang, Indi tersenyum tipis.

“Indi, aku mau pulang dulu ya, mas Boy sudah makan tadi.”

“Syukurlah, aku jadi tidak punya pekerjaan,” katanya sambil melenggang mendekati kakaknya.

Mia tersenyum.

“Hayoo, itu bawa apa?” tegur Mia ketika melihat Indi membawa sesuatu, tapi dari keresek yang dibawanya, ia tahu bahwa itu es krim.

Indi meletakkan jari telunjuknya ke bibir.

“Sssst.”

“Eh, tanya dulu sama dokternya, boleh nggak mas Boy makan es krim?”

“Nggak apa-apa. Kan cuma es krim. Mas Boy yang pesan kok.”

“O, mas Boy tuh. Ketahuan dokternya kena marah lhoh.”

Tapi sambil meninggalkan senyuman Mia kemudian meninggalkan ruangan.

“Mana es krimnya?” tanya Boy serasa tak sabar.

“Tapi katanya nggak boleh tuh.”

“Siapa yang bilang?”

“Dia tuh,” katanya sambil mulutnya monyong ke arah pintu, sementara Mia sudah pergi dan tak kelihatan bayangannya lagi.

“Nggak apa-apa, sudah lama aku tidak makan es krim.”

“Sudah gede, sudah punya pacar juga, masih suka es krim.”

“Kamu juga kan?” ledek Boy.

Indi tersenyum. Ia mengambil kotak es krim yang dibawanya, menyendok untuk kakaknya di sebuah mangkuk kecil, kemudian menyuapkannya kepada kakaknya.

“Kok kamu juga makan es krimnya?” tegur Boy ketika melihat Indi menyendok untuk dirinya sendiri berkali-kali.

“Pengin.”

“Perasaan lebih banyak kamu yang menyendok, daripada aku.”

“Iih, pelit amat sih, masih banyak tuh. Nanti kamu bisa menghabiskannya sendirian.”

“Oh ya, kemarin om Satria dan ibu Minar bercerita tentang nenek Rohana.”

“Iya, tasku ketemu, nggak tahu bagaimana, yang membawa kok bisa nenek Rohana.”

“Ibu Minar juga bercerita tentang itu.”

“Tapi ada yang kamu belum tahu. Dompet aku juga sudah ketemu.”

“Benarkah?”

“Tadi pagi seseorang mengantarkannya ke rumah. Dia menemukannya dipinggir jalan. Aku sangat berterima kasih sekali.”

“Syukurlah, jadi aku tidak harus mendengar kamu uring-uringan kalau bicara tentang dompet. Tapi duitnya masih utuh?”

“Ya enggak, surat-suratnya yang masih utuh. Dia orang baik, pasti bukan dia yang mengambil uangnya. Tampaknya yang menemukan tas aku, mengambil uang dan ponsel, kemudian membuang dompetnya di sembarang tempat. Tapi tas itu kan ditemukan nenek Rohana. Apa mungkin nenek Rohana yang mengambil uang dan dompetku?”

“Ibu bilang, katanya nenek Rohana dikasih sama orang kaya.”

“Tapi mulai sekarang kita harus mengawasi kiri kanan kalau lagi jalan. Siapa tahu ketemu nenek bongkok, pakai tongkat dan pakai topi lebar.”

“Iya benar. Prihatin sekali mendengar cerita tentang nenek. Sungguh susah mengajaknya pulang kepada anak-anaknya. Semoga nenek tidak melakukan hal-hal buruk.”

“Aamiin. Eh, Mas tahu nggak, yang menemukan dompet aku itu ganteng lhoh.”

“Tuh, kan. Makanya sejak kamu datang senyum-senyum terus, rupanya ketemu cowok ganteng?”

“Cuma kenal sekilas. Kelihatannya juga dia lebih muda dari aku.”

“Darimana kamu tahu?”

“Kelihatan, seperti masih imut, begitu.”

“Nggak apa-apa, jatuh cinta kepada yang lebih muda itu juga bukan dosa.”

“Enak aja, siapa yang jatuh cinta. Ketemu juga baru tadi.”

“Tapi sinar matamu ketika bercerita itu kelihatan kalau kamu suka.”

“Suka sih, tapi bukan cinta. Suka karena dia kelihatannya lucu, dan baik.”

“Lucu? Dia melawak?”

“Bukan?” Indi terkekeh.

Lalu Indi menceritakan ketika dia lagi bersih-bersih rumah sambil bernyanyi, lalu Azka muncul. Dan memuji suaranya bagus.

“Lucu kan?”

“Kamu senang dipuji suara kamu bagus? Suara gembreng saja, bagus?”

“Iih, jahat kamu. Ya sudah, aku nggak mau nyuapin es krim lagi,” kata Indi sambil menjauh.

“Eittt! Nggak, maaf, aku kan suka bercanda.”

“Ya sudah, cepet habiskan ini, keburu bapak datang, kena marah, kapok.”

“Ada apa kalau bapak datang?” tiba-tiba Tomy muncul, membuat keduanya terkejut.

“Eeh, ada Bapak,” kata Indi sambil membawa kotak es krimnya, ke arah kulkas.

“Ada apa sih? O, bapak tahu, kamu makan es krim?”

“Pengin Pak, cuma sedikit kok,” kata Boy tersipu.

“Kamu itu lagi dalam perawatan. Jangan makan sembarangan.”

“Cuma sedikit. Lagian es krim bukan racun kan?”

“Kalau dikasih tahu ngeyel. Pokoknya nggak boleh, nanti tanya dulu sama dokternya, baru boleh dimakan,” tandas Tomy.

“Iya.”

“Kamu kenapa bawain kakakmu es krim?”

“Mas Boy yang minta. Kasihan kan?”

“Bilang saja kamu juga mau.” omel Tomy.

“Maaf Pak. Nggak tega mendengar mas Boy merengek-rengek.”

“Eh, siapa yang merengek?”

“Sudah, kamu itu lagi sakit, nggak di rumah, nggak di rumah sakit sama saja.”

“Nggak Pak, kami nggak berantem, cuma bercanda. Supaya mas Boy nggak merintih-rintih kesakitan terus.”

“Memangnya kamu masih merasakan sakit Boy?”

“Kadang-kadang pusing, dan bekas operasi kadang-kadang juga ngilu.”

“Kamu harus sabar. Dokter sudah menangani dengan baik. Paling sehari dua hari kamu sudah sembuh.”

“Aamiin,” kata Indi.

“Kok Bapak sendirian? Mana ibu?”

“Bapak dari kantor, langsung kemari, nanti sore bapak sama ibumu.”

“Bapak tidak usah tidur di sini, Boy nggak apa-apa sendiri.”

“Kita lihat saja nanti. Kalau kamu masih merasa sakit, Bapak masih akan tetap tidur di sini.”

***

Siang itu Tegar mau berangkat ke kampus. Ada kelas siang hari itu. Tiba-tiba sang ibu mendekat.

“Tegar, kamu kan punya ponsel yang kamu sudah bosan, dan kamu bilang rusak, ternyata kata bapak masih bagus?”

“Iya, kenapa? Kan bapak yang menyimpan?”

“Oh, disimpan bapak ya?”

“Disimpan atau nggak tahu di kemanakan, tapi ketika bapak beli yang baru untuk Tegar, Ponsel itu diminta bapak.”

“Iya, ibu ingat. Malah bapak bilang kalau masih baik kan? Dasar kamu, mau minta yang baru saja buat alasan ponsel rusak.”

“Memang agak nggak enak dipakainya Bu. Memangnya kenapa?”

“Ibu ingin memberikan ponsel itu untuk pak Trimo. Bagaimana?”

“Untuk Binar saja Bu, pak Trimo nanti nggak bisa mengoperasikannya.”

“Sembarangan kamu, memangnya orang tua tidak bisa mengoperasikan ponsel?”

“Kan lebih baik diberikan yang muda, kalau perlu pak Trimo bisa memakainya, tapi harus diajarkan dulu.”

“Ya sudah, nanti gampang.”

“Ibu tanyakan dulu pada bapak, masih ada nggak,” kata Tegar sambil berjalan ke arah motornya.

“Baiklah. Ibu tanyakan.”

“Nanti biar Tegar yang memberikannya.”

“Maksud ibu, mau ibu berikan besok kalau ada acara di kantor bapak.”

“Ya, kalau begitu nanti Tegar juga ingin membantu mengatur makanannya,” katanya sambil nyengir, kemudian berlalu, sebelum sang ibu mengomelinya.

“Dasar, anak itu. Apa benar, dia suka sama Binari?”

***

Hari itu Azka baru keluar dari kantor. Hari sudah agak sore, karena pekerjaan begitu menumpuk. Azka memang masih muda, tapi dia pekerja keras, dan juga pintar. Ia menempuh gelar sarjana ekonomi dalam empat tahun, dan sedang bersiap untuk menempuh S2 nya, hanya saja sang ayah membebaninya dengan pekerjaan di kantor. Maklumlah, dia anak tunggal dan kakeknya yang sudah meninggal mempercayakan perusahaan itu untuk dikelola ayahnya, yang kemudian meminta agar Azka bisa memahami cara mengemudikan sebuah bisnis begitu gelar sarjana didapatkannya.

Ia harus mampir di sebuah toko buku sepulang dari kantor, karena Azka juga seorang kutu buku. Ia membaca banyak pengetahuan tentang bisnis yang diharapkan bisa memajukan perusahaannya.

Ketika keluar dari toko buku, ia melihat seorang wanita tua, sedang mengelap kaca mobilnya. Azka membiarkannya, kemudian memberinya sejumlah uang. Begitu duduk, Azka teringat akan menelpon Indira. Maka diangkatnya ponselnya, dan diputarnya nomor kontak Indira. Besok kan hari Minggu, siapa tahu dia bisa berkunjung ke rumahnya. Tapi tiba-tiba wanita tua itu tak mau pergi, tangannya mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil. Azka membukanya dengan heran. Wanita itu menunjuk kain lapnya yang terjepit di pintu mobil.

“Oh, maaf ya Bu,” lalu Azka membiarkan wanita itu mengambil lapnya setelah membuka pintunya. Tiba-tiba ia seperti pernah melihat wajah seperti wanita itu, di sebuah koran yang dibacanya pagi tadi. Ia membuka lagi pintu mobilnya untuk mencari-cari, tapi wanita itu sudah tak kelihatan batang hidungnya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ADA MAKNA 28

ADA MAKNA  28 (Tien Kumalasari)   Wanda terus mengamati buku itu, dan kemarahan kemudian menyergap batinnya. Ia merasa dikhianati oleh sang ...