Saturday, August 31, 2024

AKU BENCI AYAHKU 45

 AKU BENCI AYAHKU  45

(Tien Kumalasari)

 

 

Kartika sangat terkejut. Ia mendorong tubuh Tomy sehingga kembali terjatuh di atas bantal. Tubuhnya masih menggigil. Kartika menutupinya lagi dengan selimut, lalu dia menghadapi Monik yang berdiri terpaku di tengah pintu.

Ketika ia hampir menyapanya, Monik membalikkan tubuhnya, dan melangkah pergi dengan cepat. Kartika memburunya, dan berhasil meraih tangannya serta menghentikannya.

“Mbak Monik, mas Tomy sakit, tubuhnya panas sekali.”

“Bukankah kamu sudah bisa merawatnya?” katanya sambil melepaskan diri dari cekalan Kartika, kemudian bergegas pergi.

“Mbak Monik, jangan salah paham. Mas Tomy mengira saya adalah mbak Monik.”

Tapi Monik tak mau mendengarnya. Ia langsung masuk ke dalam mobil, memutarnya dan keluar dari halaman.

Kartika merasa sedih, karena Monik salah paham pada dirinya. Tapi kemudian dia teringat keadaan Tomy yang butuh pertolongan segera. Kartika bergegas masuk kembali ke dalam kamar. Tomy kembali meringkuk dan tubuhnya menggigil.

“Mas, bangun sebentar, minumlah dulu, setelah mereda panasnya saya akan membawa Mas ke rumah sakit.”

Kartika kembali menarik tubuh Tomy. Ia tak peduli siapapun yang salah paham dengan kelakuannya. Tujuannya hanya menolong.

Ia berhasil menyendokkan beberapa sendok minuman hangat ke mulut Tomy. Tapi itu tidak menolong. Tomy harus dibawa ke rumah sakit, tapi bagaimana membawanya? Kartika yang mungil, mana kuwat memapah Tomy yang badannya kekar dan tinggi besar.

Kartika kebingungan. Harus ada yang menolongnya. Ia akan menelpon ayahnya. Tapi diurungkannya. Lalu ia menelpon Satria.

“Ada apa?” jawab Satria.

“Mas, ini mas Tomy ada di rumah, badannya panas sekali. Tolong membawanya ke rumah sakit."

“Waduh, ini aku tadi pulang setengah hari, ijin mau mengajak mertuaku jalan-jalan ke luar kota."

“Waduh, bagaimana ini? Mas Tomy sangat lemas, mana kuwat aku menggendongnya?"

“Coba aku menelpon kantor, supaya bisa membantu kamu.”

“Tolong suruh cepat ya Mas, badannya panas sekali. Mas Tomy sampai menggigil.”

Kartika menutup ponselnya, dan kembali mendekati Tomy.

“Monik …” bisiknya berkali-kali.

“Gara-gara kamu salah orang, mbak Monik marah sama aku.”

Kartika beranjak ke belakang.

Ia mencari plastik kosong, atau botol kosong. Ada plastik bekas bungkus yang dia tidak tahu bungkusan apa, tergeletak di meja. Kartika mengisinya dengan air dari termos, lalu ditutupnya rapat. Ia kembali ke kamar, dengan plastik itu ia menggosok tubuh Tomy, beralaskan selimut, jadi panasnya tidak begitu menyengat, hanya cukup menghangatkan. Ia bisa melakukannya, karena ketika dirinya demam, dan tubuhnya menggigil, ibunya melakukan hal seperti itu.

Gigil itu agak mereda. Hangat yang menyusuri tangan, kaki dan punggungnya, terasa sangat membantu.

Ketika itu tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Kamar itu memang tidak tertutup. Kartika tahu, dia Agus, satpam di kantor ayahnya. Rupanya Satria menghubungi satpam itu.

“Ada apa Non?”

“Pak, tolong bantu angkat mas Tomy ke mobil, aku harus membawanya ke rumah sakit.”

Dengan cekatan pak Agus membantu membangunkan Tomy, lalu memapahnya perlahan ke mobil. Tomy tak berdaya. Kepalanya terkulai di bahu Agus. Kartika membuka pintu mobil, dan pak Agus mendudukkannya di jok belakang.

“Pak Agus ikut saja. Nanti saya antar kemari lagi untuk mengambil sepeda motor itu. Yang penting mas Tomy bisa segera ditangani."

***

Monik memasuki rumah sakit sambil sesekali mengusap air matanya. Dia datang ke rumah Tomy karena prihatin dengan keadaannya ketika pulang dari rumah sakit. Cekalan tangannya yang panas dan wajahnya yang pucat membuatnya sangat prihatin. 

Saat itu tanpa di duga ayah mertuanya datang. Ia sangat menghawatirkan Boy dan baru hari itu bisa menjenguknya.

Ia merasa lega ketika melihat Boy sudah jauh lebih baik.

“Kamu sendirian?”

“Biasanya sama mas Tomy. Tapi tadi dia pamit pulang dengan membawa cucian kotor. Bukannya saya tidak mau mencuci, tapi mas Tomy menolaknya.”

Pak Drajat tersenyum. Berarti Tomy sudah benar-benar berubah. Mau mencuci pakaiannya sendiri?

“Tapi saya khawatir, ketika pulang, tangannya terasa panas sekali, dan wajahnya pucat. Saya menelponnya berkali-kali, tapi tidak diangkat.”

“Apa dia benar-benar sakit?”

“Entahlah.”

“Kamu kelihatan sangat khawatir.”

Monik tertunduk tersipu. Tapi pak Drajat merasa, anak dan menantunya telah siap untuk bersatu kembali.

“Kalau kamu menelpon berkali-kali dan tidak diangkat, berarti kamu harus melihatnya dengan mata kepala sendiri.”

“Maksud Bapak?”

“Pergi dan temui dia di rumahnya.”

“Bagaimana Boy?”

“Boy pasti senang kakeknya menemani di sini. Ya kan Boy?”

“Ibu mau ke mana?”

“Ibumu mau melihat keadaan ayahmu. Tampaknya dia sakit. Kamu bersama kakek dulu, biar ibumu menemuinya dan melihat keadaannya.”

Boy hanya mengangguk.

“Ibu jangan lama-lama.”

”Iya, ibu tak akan lama.”

“Pakai mobilku,” kata pak Drajat sambil memberikan kunci mobilnya kepada sang menantu.

“Boy, ibu pergi dulu sebentar ya?”

“Jangan lama-lama ….”

"Ya, tentu saja,” kata Monik yang langsung bergegas keluar dari ruangan. 

Pak Drajat tersenyum senang. Lalu ia mendekati Boy yang terus menatap punggung ibunya.

“Kamu tidak usah khawatir. Ayah dan ibumu akan selalu berbaikan dan saling menyayangi,” kata sang kakek sambil mengelus kepala cucunya.

***

Tapi kemudian pak Drajat terkejut melihat Monik memasuki kembali ruangan anaknya, tak lama setelah dia pergi. Monik juga tidak terus mendekati sang anak. Ia duduk di sofa, membelakangi tempat tidur anaknya. Monik tak ingin Boy melihat bekas air matanya. Ia kemudian mengambil air minum dingin di dalam kulkas, dan meneguknya pelan.

“Ada apa? Kamu tidak ketemu suami kamu?”

Monik menggeleng lemah.

“Tidak ketemu?”

“Monik melihat … Tomy bersama gadis itu … “

“Gadis yang mana?”

“Gadis yang selalu bersamanya.”

“Anak Ratman?”

“Tapi mereka cocok. Tidak apa-apa.”

Pak Drajat tersenyum menggoda.

“Kamu bilang tidak apa-apa, tapi air matamu berlinang. Kamu cemburu?”

“Mereka berpelukan.”

“Masa?”

“Saya tidak mungkin bohong.”

Senyuman pak Drajat tiba-tiba menghilang. Gadis mungil yang cantik itu anaknya Ratman. Tomy mengatakan bahwa mereka hanya berteman. Tapi Monik melihatnya berpelukan?

Monik mengusap setitik air matanya, lalu tersenyum. Boy tak boleh melihatnya berduka, walau sebenarnya hati Monik serasa dirajang-rajang. Ia membenci nasibnya. Ia membenci kejadian-kejadian yang seperti mempermainkannya. Pergi meninggalkan suami karena merasa tertindas, lalu ada pendekatan yang seperti mau merubah perasaannya. Perhatian Tomy, apalagi kepada anaknya, kelembutannya dan semua yang baik dari Tomy, sudah dilihatnya, dan tentu saja dirasakannya. Lalu perasaan cinta itu tumbuh begitu saja, seperti pohon layu yang kembali disiram kesejukan. Lalu Monik merasa bahwa segalanya akan berubah, dan kebahagiaan akan segera bisa direngkuhnya seperti yang pernah diimpikannya, meskipun sebelumnya mereka tak pernah saling mencintai.

Tapi apa sekarang? Pemandangan yang baru saja dilihatnya, gadis cantik mungil  yang selalu dilihatnya bersama Tomy, yang diingkari Tomy sebagai gadis yang punya hubungan khusus dengannya, ternyata diam-diam menusuknya dari belakang. Mata bening yang kelihatannya tulus itu, telah menaburkan racun yang pelan tapi pasti akan membunuhnya. Membunuh segala cinta yang sudah dipupuknya.

“Ibuu …. “ teriakan Boy menyadarkannya. Monik mengusap air matanya, lalu meneguk lagi minumannya, agar dia merasa lebih tenang dan Boy tidak merasa curiga. Dilihatnya ayah mertuanya sedang bertelpon, entah dengan siapa.

“Ada apa, sayang? Seperti kata ibu tadi, ibu pergi hanya sebentar, bukan?”

“Apa ibu menangis?”

“Apa? Oh, tidak. Mana mungkin ibu menangis? Boy mau apa? Makan buah ya? Kamu suka pisang kan? Ibu kupas untuk kamu?”

“Ibu seperti bekas menangis,” Boy tak terima dengan jawaban ibunya. Yang dia baca bukan yang lainnya, tapi wajah ibunya yang tampak kuyu dan lelah.

“Kamu mengada-ada. Mana mungkin ibu menangis? Tadi di depan sedang ada perbaikan jalan, debunya berhamburan. Mata ibu kena deh.”

“Di depan rumah sakit?”

“Bukan, di jalanan,”

“Bukankah Ibu naik mobil? Apa Ibu tidak menutup kaca jendela mobil?”

Tuh kan. Boy bukan anak kecil biasa. Kecerdasannya melebihi rata-rata anak seumurannya. Bagaimana  orang di dalam mobil, matanya bisa terkena debu?

Monik tertawa pelan, mentertawakan dirinya yang bodoh karena membuat alasan yang ditentang habis-habisan oleh anak sakecil Boy.

“Biar tertawa, ibu tetap kelihatan bekas menangis. Apa bapak menyakiti ibu?”

“Haa? Tidak. Ibu tidak ketemu bapak. Entah dia pergi ke mana. Ayuk sekarang mau makan apa? Pisang ini kan? Makan buah yang banyak supaya sehat.”

“Nggak mau.”

Tapi dalam hati Boy merasa bahwa sang ayah menyakiti ibunya. Kebencian yang belum sepenuhnya sirna, mendadak kembali membuat radang di luka yang lama.

***

Kartika memasuki rumah setelah memasukkan mobilnya ke garasi. Ia merasa lega, Tomy sudah tertangani. Ia tak perlu menunggui lagi, karena Satria sudah meminta karyawan kantor untuk mengurusnya. Lagi pula kedatangan Monik dan sikapnya yang tampak marah membuat Kartika takut dekat-dekat dengan Tomy. Ia ingin menerangkannya, tapi Monik tergesa pergi. Kartika sedih karena semuanya masih membuat ada ganjalan, baik dihati Monik, apalagi di hatinya sendiri.

Kartika ingin segera beristirahat, karena ia merasa sangat lelah. Tapi begitu ia memasuki rumah, sebuah tamparan mengenai pipinya. Bukan hanya sekali, tapi dua kali. Di pipi kiri dan kanannya. Kartika memekik kesakitan. Ayahnya yang biasanya lembut terhadap dirinya, kini berdiri di hadapannya, menatap dengan mata garang.

“Bapak, apa salahku?” RIntihnya sambil memegangi ke dua pipinya.

“Kamu masih bertanya apa salahmu?” tangan pak Ratman sudah terayun, siap kembali memukulnya, tapi sang istri menariknya menjauh dari Kartika.

“Pak, jangan kasar begitu.”

“Apa kamu ini? Terlalu memanjakan anak, sehingga dia bisa bertindak melampaui batas, memalukan. Seperti gadis tidak berpendidikan, tidak punya moral!”

“Bapak bilang apa? Kartika tidak punya moral?”

“Apa kamu merasa bahwa tindakan kamu itu benar? Kamu membuat malu bapakmu ini. Karena kelakuan kamu, bapakmu ini dicela habis-habisan oleh sahabat bapak yang sangat bapak hormati. Bagaimana kamu bisa melakukannya? Dan apa nanti jawabku ketika dia datang lagi untuk memaki-maki?”

“Kartika tidak tahu apa yang Bapak katakan!”

“Apa?” tangan pak Ratman hampir kembali terayun, tapi lagi-lagi sang istri menahannya.

“Bicara baik-baik Pak, tidak usah main kasar. Dia pasti bisa mengerti apa yang Bapak katakan. Kalau tiba-tiba menyakiti, mana dia paham?”

“Tidak mungkin dia tidak tahu. Orang itu kalau melakukan kesalahan, kemarahan yang ditujukan kepadanya pasti sudah membuat dirinya merasa bahwa kesalahannya sudah diketahui orang lain.”

“Sebenarnya apa salah Kartika?” tangis Kartika menjadi-jadi. Sekarang dia bersimpuh dilantai. Pipinya tampak lebam kemerahan.

“Kamu tetap tidak merasa telah melakukan apa? Kamu tadi dari mana? Katakan dari manaaa!”

“Kartika dari kampus, lalu mampir ke rumah mas Tomy.”

“Naaah, lalu kalian melakukan apa?”

“Maksud Bapak apa? Disana Kartika melihat mas Tomy sakit.”

“Oh ya? Lalu apa? Apa yang kalian lakukan di kamar? Apaaaa?” pak Ratman berteriak-teriak saking marahnya.

“Jangan salah paham. Saya tadi mau memberinya teh hangat, lalu akan mengajaknya ke rumah sakit setelah panasnya mereda.”

“Tadi mas Tomy mengira saya mbak Monik." lanjutnya.

“Benarkah?”

“Pak, mas Tomy panas sekali. Mungkin dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Dia mengira yang merawatnya adalah mbak Monik,” kata Kartika sambil terus saja menangis.

“Dia memeluk saya, dengan menyebut nama mbak Monik berkali-kali. Jadi Bapak mengira kami melakukan apa? Tanya pak Agus, sekarang mas Tomy ada di mana?”

“Di mana Tomy?”

“Di rumah sakit, pak Agus yang menolong saya membawa mas Tomy ke rumah sakit.”

“Kamu memanggil  Agus ke rumah Tomy?” suara pak Ratman sedikit melunak.

“Tadinya saya minta tolong mas Satria agar datang menolong membawanya, tapi mas Satria ada di luar kota bersama keluarganya. Rupanya mas Satria yang menghubungi pak Agus.”

“Tuh, kan. Belum-belum sudah main pukul saja. Nggak kasihan sama anak sendiri. Harusnya Bapak bertanya dulu sebelum memukulnya.”

“Aku kesal mendengar mas Drajat memarahi aku. Mengira Kartika menggoda Tomy, lalu Monik melihat mereka sedang berpelukan.”

“Mas Tomy badannya panas. Rupanya dia tidak sadar, dan mengira saya mbak Monik.”

Bu Ratman menarik Kartika, memintanya agar berdiri. Kasihan melihat pipi anaknya kemerahan dan sedikit bengkak.

“Ayo ke kamarmu, biar ibu kompres pipimu dengan air dingin.”

Pak Ratman segera mengambil kunci mobil Kartika, bersiap menemui sahabatnya di rumah sakit. Rupanya ketika melihat Monik menangis, pak Drajat segera menelpon pak Ratman dengan marah. Perih rasa hati pak Ratman mendengar anaknya dikira gadis murahan.

***

Besok lagi ya.

KEJORAKU

KEJORAKU

(Tien Kumalasari)


Kulihat dikejahuan

Gemerlap kejora menjelang rahina

Kutatap langit bersinar keemasan

Aku tahu kau akan menyapaku dengan manis

Diantara elusan angin dingin menyejukkan

Kulemparkan senyum suka cita

Haiiii

Selamat pagii


-----




Friday, August 30, 2024

AKU BENCI AYAHKU 44

 AKU BENCI AYAHKU  44

(Tien Kumalasari)

 

 

Tomi terbelalak. Dengan santai sang ibu melenggang mendekati ranjang di mana Boy sudah hampir tertidur. Dan karena mendengar suara keras itu, Boy kemudian membuka matanya. Menatap wanita dengan dandanan menyolok, yang sore tadi disebutnya nenek sihir.

“Nah, begini aku merasa lebih nyaman, tanpa kehadiran orang-orang yang tak tahu diri, dan merasa berjasa dengan pura-pura perhatian kepada cucuku.”

“Sayang, kita belum sempat berbincang. Aku ini nenekmu. Jadi panggil aku nenek.”

Boy menatap kaku.

“Bu, Boy harus banyak istirahat, biarkan dia tidur. Ada perlu apa ibu malam-malam datang kemari?” kata Tomy yang kemudian menarik lengan ibunya ke arah sofa.

“Kamu ini bagaimana, aku ingin sekali melihat cucuku, tadi banyak lalat berterbangan di tempat ini.”

“Ibu jangan berkata begitu. Sikap ibu sungguh tidak baik. Itu menimbulkan kesan, bahwa ibu juga bukan orang baik.”

“Apa katamu? Rupanya kamu sudah ketularan Satria, mengata-ngatai ibu dengan ucapan-ucapan pedas dan menyakitkan.”

“Ibu sendiri yang ucapannya menyakitkan orang lain.”

“Aku kesal sama kamu. Semenjak kamu dekat dengan Satria, sikap kamu pada ibu berubah. Dulu kamu bersikap sangat manis dan penurut, sekarang apa, kamu jadi pembangkang. Melakukan pekerjaan rendah, bersikap sok pintar,” omel Rohana yang semakin membuat Tomy bertambah kesal.

“Ibu jangan begitu. Tomy melakukan mana yang Tomy anggap baik. Memang sih, lebih banyak Satria yang mengajari Tomy, kecuali pengalaman hidup yang menjadikan Tomy merasa punya arti.”

" Punya arti apa? Kamu tidak akan pulih menjadi orang kaya. Kamu miskin, gembel, tidak berkelas. Aku tahu, itu pengaruh dari Satria, dan tentu saja dari istrinya yang kampungan itu.”

“Bu, Minar orang baik. Dia merelakan tabungannya untuk membayar hutang Ibu kepada bu Lisa, ketika Ibu ditahan polisi.”

“Ini sama saja. Kamu tadi sudah mengatakannya, dan aku tahu bahwa kamu bohong. Kamu hanya ingin agar aku memandang Minar sebagai orang baik. Memangnya ibu tidak tau siapa Minar? Dari mana dia memiliki uang sebanyak itu?”

“Jangan suka merendahkan orang lain. Minar … walaupun dia sangat sederhana, tapi dia juga punya tabungan. Menurut Satria, itu juga kemauan Minar sendiri, yang merasa kasihan pada Ibu yang ditahan di kantor polisi.”

“Ah, bohong … bohong … bohong, aku tidak percaya.”

Tomy yang merasa kesal karena ibunya tidak bisa diajak bicara, kemudian tidak melanjutkan perkataannya. Ia malah minta agar ibunya segera pulang, yang membuat Rohana marah bukan alang kepalang.

“Kamu mengusir ibu?” hardiknya keras, membuat Monik kemudian menepuk-nepuk paha Boy agar bisa benar-benar tidur tanpa merasa terganggu.

“Jadi sebenarnya apa maksud ibu datang malam-malam ke rumah sakit?”

“Tadi sudah aku katakan bahwa aku ingin melihat cucuku tanpa gangguan. Kecuali itu aku akan minta agar kamu membantu ibu.”

“Membantu apa? Kalau uang, Tomy tidak punya. Aku kira Satria juga pasti uangnya sudah menipis, apalagi dia harus mempersiapkan banyak hal untuk kelahiran anaknya.”

“Mengapa kamu mengira ibu butuh uang? Memang ibu sudah habis-habisan, tidak punya harta yang berharga. Tapi ibu masih punya rumah. Ibu akan menjual rumah itu saja.”

“Menjual rumah? Bukankah rumah itu diberikan bapak agar bisa ditempati, dan sudah dibangun begitu bagus?”

“Apa boleh buat, hanya itu yang bisa ibu lakukan.”

“Lalu ibu akan tinggal di mana?”

“Aku bisa beli rumah kecil saja, sisanya bisa untuk hidup.”

“Lalu setelah uang sisa itu habis?”

“Kamu itu bocah, tidak bisa mengerti apa yang dipikirkan orang tua, jadi tidak usah mencela apa yang ingin ibu lakukan.”

“Baiklah, terserah ibu saja,” kata Tomy jengkel.

“Jadi, tolong ibu, buat iklan di koran-koran atau apalah, pokoknya isinya menawarkan rumah ibu. Aku sudah memotret situasi rumah dari depan, samping belakang dan dalam. Aku kirimkan sama kamu untuk bahan iklan nanti.”

Rohana tampak mengutak atik ponselnya, lalu mengirimkan gambar-gambar rumahnya kepada Tomy.

“Baiklah, nanti akan Tomy buatkan. Yang berminat hubungi Tomy?”

“Tidak, cantumkan nomor kontak ibu, biar mereka bicara sama ibu sendiri. Kalau lewat kamu nanti kelamaan, harus menghubungi ibu, tanya harga, menawarkan harga, repot.”

“Baik. Sekarang ibu pulang dulu, Tomy capek, lagi pula ini sudah malam.”

“Kamu senang sekali mengusir ibu. Pesankan ibu taksi, ibu menunggu di lobi,” kata Rohana kasar sambil berdiri. Ketika ia melangkah dan mendekati pintu, barulah dia menoleh ke arah Monik untuk pamitan.

Monik hanya mengangguk, karena suara Rohana yang cukup keras membuat Boy membuka matanya. Tapi kemudian Monik kembali menepuk-nepuk pahanya, yang membuat Boy kemudian tertidur kembali.

***

Ketika mengantarkan Kirani ke sebuah kantor perusahaan di mana Kirani mengadakan pertemuan dengan rekan kerjanya, Satria meminta maaf tentang kelakuan ibunya. Kirani yang tidak begitu memperhatikan, kemudian menepuk pundak Satria sambil tersenyum.

“Lupakan saja, aku tidak begitu memperhatikan. Jadi tidak usah minta maaf.”

“Ibu saya terkadang tidak bisa mengendalikan diri. Saya harus malu pada ibu.”

“Satria, ada banyak manusia dan mereka memiliki tabiat yang berbeda-beda. Terkadang ada hal yang membuat kita tidak suka, tapi itulah warna-warna dalam kehidupan kita. Jangan sampai kita terbawa arus kekesalan dan kemarahan. Anggap saja kita sedang menikmati warna yang lain.”

Satria terdiam. Ia merasa sungkan karena kalau dibandingkan dengan ibunya, wanita istri muda mertuanya ini sangatlah santun dan bijaksana.

“Ayolah Satria, hadapi hidup ini dengan santai. Kamu masih muda. Jalani hidupmu seperti apa yang kamu inginkan.”

Satria menoleh ke arah Kirani. Ia sangat bahagia memiliki istri yang baik hati, ibu mertua yang penuh pengertian, dan ibu mertua sambung yang bijaksana.

***

Tapi di rumah, Birah tampak murung. Ia tak habis mengerti, mengapa Rohana masih belum berubah, sementara ia bisa menerima kehidupan apapun yang dia terima dengan ikhlas. Karena itulah dia bisa menjalani hidupnya dengan rasa suka cita.

“Ibu, mengapa ibu melamun?” Minar yang tadinya sedang berbelanja di tukang sayur yang lewat, kemudian muncul mendekati ibunya.

“Tidak apa-apa. Aku heran pada Rohana.”

“Apa yang ibu herankan?”

“Dia tetap membenci aku. Sejak ibumu ini masih muda, sampai sudah setua ini.”

“Ibu tidak usah memikirkannya. Manusia memiliki sifatnya masing-masing. Yang buruk bisa berubah baik, yang baik juga bisa berubah buruk. Tapi ada juga yang masih tetap begitu sampai entah kapan ia bisa merubahnya. Ayuk, kita masak, tidak usah ibu memikirkannya.”

Birah tersenyum tipis, mengikuti Minar sambil membawa sayur belanjaan ke arah dapur.

“Ibu tinggal sehari besok di Jakarta, tidak boleh sedih. Harus bergembira. Nanti mas Satria akan mengajak ibu jalan-jalan, dan besok mas Satria akan pulang setengah hari untuk mengajak kita ke Puncak. Di sana udaranya sejuk, tidak seperti di sini, panas, gerah.

Birah membuka bungkusan sayur dan memilah-milahnya. Gembira hatinya ketika  mendengar ia akan melihat-lihat kota Jakarta dengan lebih luas, dan pergi ke tempat wisata yang belum pernah dilihatnya.

Birah adalah wanita sederhana, yang sejak masih muda dan menikah, belum pernah merasakan kehidupan mewah.  Impian untuk meninggalkan kemiskinan dengan mengejar cinta seorang duda yang menjadi cinta pertamanya, kandas karena banyak penghalang yang membuatnya gagal meraih cita dan cintanya. Tapi rasa ikhlas yang diawali oleh kesadarannya, kemudian membuatnya hidup lebih tenang. Walau bukan dikatakan mewah, tapi apa yang diinginkannya bisa kesampaian. Makan enak, berpakaian bagus, tidur nyenyak, apa yang kurang dari hidup yang didapatkannya? Bukan kemewahan yang membuatnya bahagia, tapi ketenangan dan kenyamanan. Itulah yang kemudian disadarinya.

“Kita akan masak urap, menggoreng ikan, dan sayur asem. Sayur asem di sini beda lhoh, dengan sayur asem di daerah kita,” kata Minar.

“Baiklah, ayo kita coba sayur asem yang lain,” kata Birah yang mulai ringan perasaannya.

***

Ini hari ke lima Boy ada di rumah sakit. Keadaannya mulai membaik, tapi dokter belum mengijinkannya pulang. Tomy yang setia menunggui, dan hampir tidak tidur berhari-hari, juga makan yang tidak teratur, mulai merasa badannya menjadi tidak enak.

Siang hari itu ia pamit pulang. Ia kehabisan baju ganti. Kecuali itu  banyak baju kotor yang tidak sempat dicuci, karena dia menolak ketika Minar ingin mencucikannya.

“Aku kan sudah bilang, taruh saja di keranjang kotoran, nanti aku mencucikannya. Dasar bandel.” Monik mulai berani mengomelinya.

“Tidak apa-apa. Kamu sudah capek lahir batin, masa aku masih harus menyuruhmu mencuci baju-bajuku. Biar aku pulang dulu saja,” kata Tomy sambil mendekati Boy, setelah Boy selesai makan.

“Bapak mau pulang dulu, Boy sama ibu ya.”

Boy hanya mengangguk. Belum tampak ada tanda-tanda bahwa dia menerima sang ayah dengan sepenuh hati. Tapi Tomy cukup puas, karena Boy tidak menolak atau mengusirnya.

Ketika Tomy mau pulang, sambil menjinjing tas berisi baju-baju kotor, ia memegangi lengan Monik sambil berpamit.

“Titip anakku,” katanya sambil tersenyum.

“Istirahat saja dulu, tidak usah buru-buru kembali ke rumah sakit.”

Tomy melambaikan tangannya, tapi Monik merasakan sesuatu yang lain. Tangan Tomy ketika menyentuhnya, terasa panas. Wajahnya juga tampak pucat. Monik mengejar ke pintu dan melongok keluar, karena ia merasa, Tomy sedang sakit. Tapi sampai di luar pintu, bayangan Tomy tak lagi tampak.

Ketika Monik akan mengejarnya, Boy memanggilnya.

“Ibuuuu.”

Monik membalikkan tubuhnya, urung mengejar Tomy. Tapi sambil mendekati sang anak, Monik diliputi perasaan khawatir.

“Ada apa?”

“Mau minum.”

Monik mengambilkan minum. Setelahnya ia lalu mengambil ponselnya. Tapi berkali-kali dihubungi, Tomy tidak menjawabnya.

Barangkali masih di jalan, atau ia tak mendengarnya. Monik akan menunggu beberapa saat lagi.

***

Tapi sampai dirumah Tomy segera disibukkan dengan mencuci pakaiannya. Memang sih, di rumah itu ada mesin cuci, tapi tetap saja dia sibuk, karena setelah selesai, dia masih harus menjemur, kemudian dia pergi mandi dan berganti pakaian bersih yang masih tersisa. Tapi setelah mandi itu, tubuh Tomy terasa mengigil. Ia merebahkan tubuhnya, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut.

Ia meringkuk, dan menutupi lagi tubuhnya dengan bantal. Dingin itu terus menusuk-nusuk tulangnya. Tomy merasa lemas, dan tak berdaya. Ia bahkan lupa menutup pintu rumahnya.

Kartika sepulang dari kampus, melewati rumah Tomy. Ia melihat pintunya terbuka. Dengan perasaan riang dia berhenti, mundur sedikit, dan memasuki halaman rumah itu.

Berjingkat dia memasuki rumah, sambil memanggil-manggil namanya.

“Mas Tomy… mas Tomy …!

Tak ada jawaban, pasti di belakang. Kartika melangkah ke belakang, pintu dapur ke arah belakang terbuka. Kartika mencium wangi sabun.

“Mas Tomy habis mencuci, berarti dia di belakang, menjemur pakaian.”

Dengan riang pula Kartika melangkah ke belakang.

“Mas Tomy …. Maaas.”

Kartika kembali memasuki dapur, tapi tak melihat Tomy. Ia melihat ke arah kamar yang tertutup Ia mengetuknya perlahan, tapi tak ada jawaban. Kartika mendorongnya. Ternyata tidak dikunci.

“Maaas,” ia berteriak, tapi pelan. Tak ada jawaban. Kamar itu remang-remang, karena jendela tertutup rapat. Kartika melihat ke arah ranjang, dan sangat terkejut melihat Tomy meringkuk di sana.

“Mas Tomy!! Kamu sakit?”

Kecuali meringkuk, Tomy juga menututpi tubuhnya dengan bantal.

“Maaas.”

Tomy tak menjawab. Kartika merasa cemas, tubuh Tomy menggigil.

“Ya ampun Mas, kamu sakit.”

Kartika panik. Ia bingung harus mengubungi siapa. Tapi ia memilih berlari ke arah dapur. Ia menuang air dalam termos. Cuma hangat, tentu saja. Berhari-hari tidak diganti.

 Kartika dengan cekatan memanaskan air, hanya sedikit, cukup segelas, ia ingin membuat minum yang sedikit hangat. Ada the celup disiapkan dengan sangat cekatan, sedikit gula, lalu air yang dipanaskan sudah cukup panas, karena memang diambil dari termos. Kartika menuangkannya ke dalam gelas, lalu membawanya ke kamar. Diletakkannya gelas itu di nakas, lalu ia menarik tubuh Tomy, agar tidak meringkuk miring, ia merangkulnya, membuatnya duduk, lalu meraih sendok dan berusaha memasukkan sesendok the hangat itu ke mulut Tomy.

“Bisa minumnya? Cobalah, agar tidak kedinginan lagi.”

Setengah sadar Tomy membuka matanya, dan tiba-tiba meraih tubuh Kartika sambil menyebut sebuah nama.

“Moniik.”

Tapi pada saat itu pintu terbuka lebar, dan seseorang masuk.

***

Besok lagi ya.

 

BUNGA CINTAKU

 BUNGA CINTAKU

(Tien Kumalasari)


Jangan kau bosan menerima bungaku

Ada cinta di setiap kelopaknya

Ada doa di setiap aroma wanginya

Walau mendung bergayut

Walau deru angin membuat hati menciut

Mega biru masih terhampar bagai permadani

Dengan selendang jiwaku

Ayo bersama kita menari

Haiiiii

Selamat pagiiiiii


-----






Thursday, August 29, 2024

AKU BENCI AYAHKU 43

 AKU BENCI AYAHKU  43

(Tien Kumalasari)

 

Tomy termenung sesaat. Ia kurang suka pada ibunya, yang selalu bertindak diluar dugaan dan semau-maunya. Tomy tahu, bahwa sang ibu menyukai Monik sejak lama. Tapi pertimbangannya waktu itu kan Monik dari keluarga yang kaya raya. Apa ketika melihat keadaan Monik sekarang, ibunya masih akan bersimpati?

“Telpon dari siapa, kok Mas jadi ngelamun,” tanya Monik, yang khawatir telpon itu tentang kesehatan Boy.

“Dari ibuku. Katanya mau datang kemari.”

“Ibu Rohana? Dari mana dia tahu kalau kita ada di rumah sakit?”

“Aku tidak sengaja mengatakannya. Tadi ibu meminta aku datang kerumahnya, tapi aku mengatakan bahwa aku sedang di rumah sakit.”

“Boy belum mengenal neneknya. Ia menunggui aku ketika Boy lahir. Setelah itu tidak pernah bertemu lagi.”

“Ibuu…” Boy berteriak ketika sang ibu tidak ada di dekatnya.

Tomy dan Monik segera mendekatinya.

“Mengapa om Satria tidak datang kemari?”

“Mungkin sedang sibuk, nanti kalau sudah ada waktunya, pasti datang kemari.”

“Apa om Satria tidak sayang lagi sama Boy?”

“Boy anak baik. Semua pasti sayang sama Boy.”

Boy melirik Tomy sekilas, dan Tomy mengerti bahwa Boy sedang mempertanyakan dirinya, juga perasaannya terhadap Boy.

“Boy, bapak juga sangat sayang pada Boy. Bapak menunggui di sini siang malam, juga karena Boy adalah kesayangan bapak. Kamu tahu, bapak sangat sedih melihat Boy sakit. Bapak ingin Boy segera sembuh, jadi bisa segera main-main lagi.”

Boy menatap ibunya, tampaknya minta pertimbangan, apakah benar apa yang dikatakan laki-laki yang adalah ayahnya ini.

Monik membalas tatapan anaknya, dan mengangguk sambil tersenyum.

“Apa dia akan mengajak kita pulang?”

“Coba deh, Boy tanya sendiri pada bapak.”

“Aku tidak mau pulang. Aku sama ibu di rumah kita.”

“Boy, kamu boleh tinggal di mana kamu suka, bapak tidak akan memaksa mengajak kamu pulang,” kata Tomy lembut.

“Benarkah?”

Tomy mengangguk sambil mengacungkan kedua jempolnya. Monik menatapnya tersenyum. Rupanya jawaban Tomy membuat Boy merasa tenang.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, Monik menoleh, dan melihat Satria bersama Minar, dan ada dua orang wanita yang dia tidak mengenalnya.

“Om Satria, ibu Minaaar.” Boy berteriak riang ketika melihat Satria dan Minar datang. Minar segera mendekat dan mencium kening Boy. Sedangkan Tomy berdiri untuk menyambut kedatangan tamu-tamunya.

“Kamu sakit apa, sayang?”

“Sakit panas, perutku sakit, ibu Minar.”

“Ya ampuun, apakah sekarang masih sakit?”

“Hanya kadang-kadang.”

“Nanti pasti segera sembuh, karena pak dokter sudah memberikan obatnya. Ya kan?”

“Apakah adik yang di dalam perut sudah keluar?” tanya Boy, yang membuat Minar terkekeh geli.

“Belum, dia harus cukup besar dulu, baru bisa keluar.”

“Perut ibu Minar sudah gendut,” kata Boy yang seenaknya mengelus perut Minar.

“Iya, nanti akan semakin gendut.”

“Karena ibu Minar makannya banyak?”

“Karena adik yang di dalam perut juga semakin besar.”

“Cepat dikeluarkan ya, nanti Boy ajak main bersama-sama.”

“Iya, sayang, nanti kalau sudah waktunya pasti akan keluar.”

Kirani dan Birah sudah berbincang sekilas, dengan Tomy dan Monik, setelah Satria memperkenalkannya pada mereka.

Dalam hati, Tomy dan Monik heran. Yang satu, ibu sambung Minar, yang satu ibu kandung. Mereka bisa datang bersama dengan rukun.

Ketika mendekat, Kirani dan Birah segera memegangi tangan Boy, karena begitu melihat orang datang, Boy langsung mengulurkan tangannya.

“Anak ganteng sakit apa?” tanya Kirani lembut.

“Panas,” Boy menjawab dengan heran, tidak tahu siapa mereka, karena belum pernah melihatnya.

“Boy, dua-duanya ini, ibuku.”

“Ibunya bu Minar? Mengapa ada dua?”

“Bukankah Boy juga punya ibu dua? Ibu Monik, dan ibu Minar, ya kan?”

Boy mengangguk mengerti. Ia senang karena sama-sama punya ibu dua. Satria tersenyum mendengar jawaban diplomasi istrinya. Masa ia harus menerangkan antara ibu sambung dan ibu kandung. Bisa panjang dong ceritanya.

“Om Satria, mengapa baru datang?”

“Iya Boy, karena di rumah ada tamu.”

“O, tamu itu,” kata Boy sambil menunjuk ke arah Birah dan Kirani.

“Benar. Boy cepat sembuh ya?”

“Boy senang, bapak tidak akan mengajak Boy pulang.”

Satria tersenyum, lalu menatap Tomy yang mengacungkan salah satu jempol tangannya, dan Satria percaya bahwa Tomy pasti sudah memberikan jawaban kepada Boy yang membuatnya senang. Bukankah bersatu kembali bukan berarti mengajaknya pulang? Pulang yang dimaksud Boy adalah pulang ke rumah Tomy yang ada di dekat kakeknya, dimana dia melihat kekejaman sang ayah terhadap ibunya. Tapi bukankah sekarang ayah Tomy sudah bersikap lembut dan penuh perhatian?

Tiba-tiba terdengar sebuah ketukan keras di pintu, dan teriakan yang juga tak kalah kerasnya.

“Permisiiiii.”

Tomy terkesiap. Ia mengenal suara ibunya. Dan sebelum ada yang membukakan pintu, Rohana langsung masuk dan mengedarkan pandangan di seluruh ruangan.

Pandangannya berhenti, dan matanya menyala begitu melihat Birah ada di situ.

“Kamu? Mau apa kamu datang kemari?” katanya keras, dengan nada tak suka.

Satria mendekati ibunya.

“Bu, saya harap jangan membuat gaduh di sini, Boy sedang sakit, jangan sampai terganggu.”

“Aku tidak akan membuat gaduh. Aku hanya bertanya, mengapa dia ada di sini?”

Bukannya menanyakan keadaan si sakit, Rohana malah melampiaskan kekesalannya pada Birah.

Birah tak menjawab. Ia sadar diri, sedang berada di mana. Ia sibuk mengelus tangan kecil Boy agar tak perlu mengikuti arus kemarahan yang ditebarkan saudara tirinya.

“Bu, itu anaknya Tomy, sedang sakit.”

Monik menyalami ibu mertuanya, yang menatapnya heran.

“Kamu kelihatan lusuh. Tidak tampak seperti orang kaya,” katanya setelah mengamati penampilan Monik dengan seksama.

“Saya bukan orang kaya Bu, saya sekarang hidup sederhana,” jawab Monik tak suka. Dulu dia sangat memuja Rohana karena mendukungnya untuk bisa menjadi istri Satria, tapi mendengar perkataannya, Monik merasa kurang suka.

“Sederhana? Mana kekayaan kamu yang dulu? Kamu salah meninggalkan Tomy dulu itu. Di sana kamu bisa hidup bermewah-mewah.”

Boy menatap Rohana yang baru datang dan merasa heran. Mengapa begitu datang dia marah-marah begitu.

“Bu, ibu mau melihat cucu ibu? Itu dia sedang sakit,” kata Tomy yang kemudian menarik ibunya ke dekat Boy.

“Ini anakmu?”

“Boy, ini nenek Rohana.”

“Kamu harusnya menjadi pewaris kerajaan bisnis kakek kamu. Mengapa kamu pergi?” kata Rohana yang justru membicarakan hal yang berbeda. Rohana melihat Birah memegangi tangan Boy, ia melepaskannya dengan kasar, dan mengibaskannya agar pergi menjauh.

Tersulut kemarahan di hati Birah melihat perlakuan Rohana. Tapi Minar dengan lembut kemudian menarik lengan ibunya, diajaknya menjauh.

“Itu kan nenek aku. Ibunya ibu Minar,” Boy memprotes kelakuan Rohana.

“Yang nenek kamu itu aku. Bukan dia,” katanya kasar. Boy merengut, sama sekali tidak suka pada sikap Rohana yang seperti nenek sihir dalam dongeng, kasar dan jahat.

“Ibu, apa kabar?”

Minar mendekat ke arah ibu mertuanya, bermaksud mencium tangannya, tapi Rohana mengibaskannya.

“Jangan pegang-pegang tanganku,” katanya sengit.

“Ibu jangan kasar pada Minar. Dia pernah membantu ibu ketika ibu ditahan polisi, dengan membayar uang ibu Lisa sebanyak limabelas juta. Dia juga_”

Tomy menghentikan kata-katanya karena Minar menariknya, lalu meletakkan jari telunjuknya ke bibir, memberi isyarat agar Tomy tidak melanjutkan kata-katanya.

“Kamu sama saja dengan Satria. Mengagung-agungkan perempuan miskin itu,” katanya sambil melotot ke arah Tomy.

Melihat ibunya semakin menjadi, Satria menarik tangan ibunya, diajaknya keluar.

Rohana meronta, tapi Satria lebih kuat. Ia terus menariknya sampai ke lobi depan.

“Apa maksudmu? Kamu mengusir aku?”

“Ibu membuat keributan. Tidak ada yang benar di mata ibu. Ibu mengatai Minar perempuan miskin, tapi ibu sendiri sekarang juga miskin. Miskin harta, dan miskin jiwa,” kata Satria tandas. Rasa hormat kepada ibunya hilang seketika begitu melihat sikap ibunya yang kasar dan tidak punya sopan santun.

“Kamu berani mengatakan ibu miskin?”

“Ibu pergi dan tidak punya uang untuk pulang. Ibu sudah tidak punya mobil dan perhiasan yang ibu miliki juga imitasi. Kekayaan apa yang ibu punya?”

“Kamu benar-benar kurangajar Satria. Kamu sama sekali tidak menghormati ibumu ini. Kamu terang-terangan mengusir ibu, membuat ibu malu. Anak macam apa kamu itu Sat?”

“Maaf Bu, ibu mendapat malu karena sikap ibu sendiri, bukan karena saya atau siapapun juga. Dan karena tampaknya hati ibu sedang gelap, maka lebih baik ibu pulang dulu, untuk menenangkan diri. Saya akan memanggilkan taksi.”

“Tidak usah! Aku mau memanggil sendiri !!”

“Bu, Satria dan Tomy serta Minar minta maaf ya.”

“Tidak usah minta maaf. Kalian semua bersekongkol untuk memusuhi ibu. Ya kan? Tidak apa-apa. Tanpa kalian aku tetap bisa melakukan apa yang aku inginkan kok.”

“Bu ….”

“Diaaam!!

“Maafkan kami ya Bu.”

Rohana tidak menjawab. Dia turun ke halaman dan mengambil ponselnya untuk memanggil taksi.

Satria mengusap setitik air matanya. Rasa kesal, sesal dan sedih memenuhi hatinya.

“Mengapa hati ibu seburuk itu?”

Dengan langkah gontai Satria masuk kembali ke dalam.

***

Di dalam mobil ketika menuju pulang, mereka tak banyak bicara. Kirani yang bingung dengan kejadian itu, juga diam, tak banyak bertanya, karena tampaknya diantara mereka terdapat ikatan keluarga yang cukup rumit, yang mungkin saja tak ingin kerumitan itu diketahui orang lain. Dari semua yang ada, hanya Kirani yang tak punya ikatan apa-apa diantara mereka, kecuali hanya ibu sambung Minar.

Birah yang biasanya meledak-ledak, dengan perasaan kesal berusaha mengendapkan kekesalannya. Rasa malu itu ada, dan Birah bersyukur bisa mengendalikan emosinya.

“Kita makan-makan, lalu putar-putar kota ya,” kata Satria pada akhirnya. Suasana sepi itu terasa tidak nyaman dirasakan.

“Iya, tadi kan sudah berjanji mau mengajak ibu untuk melihat-lihat kan?”

“Tapi makan dulu ya. Bagaimana Bu, ingin makan apa?” tanya Satria lagi.

“Aku terserah kalian saja,” kata Kirani.

“Iya, mana yang enak saja. Aku sih sembarang makanan bisa masuk,” kata Birah sambil melihat kekiri dan kanan jalan, yang begitu ramai oleh lalu lintas dan gedung-gedung indah menjulang di sepanjang perjalanan.

“Bukan main,” gumamnya.

“Ibu belum pernah ke Jakarta kan?”

“Baru kali ini. Terima kasih kepada ibu Kirani,” kata Birah.

“Saya yang harus berterima kasih Mbak, karena ada Mbak Birah, saya jadi tidak sendiri.”

“Ibu harus lama di Jakarta, ya?”

“Aku mana bisa meninggalkan tugas. Meskipun hanya menunggu toko, tapi pak Murtono menyerahkan semua tanggung jawab kepada aku.”

“Demikian juga aku. Setelah tugas selesai, sehari istirahat, lalu harus kembali pulang. Kasihan mas Sutar bekerja sendiri,” sambung Kirani.

“Sayang sekali. Jadi ibu Kirani besok masih ada pekerjaan?”

“Tadi belum selesai, besok semoga semuanya beres, karena tinggal memeriksa dan tanda tangan.”

“Besok biar Satria antarkan dulu ya Bu,” kata Satria.

“Merepotkan dong.”

“Tidak, kan sekalian ke kantor.”

“Baiklah, terserah kamu saja.”

“Saya dan ibu tinggal di rumah. Kita masak-masak ya Bu, ada yang harus Minar pelajari tentang masakan-masakan, dan ibu adalah ahlinya.”

“Biasa saja. Nanti kita belajar bersama.”

Pembicaraan yang kemudian menjadi hangat itu berhenti ketika Satria memarkir mobilnya di halaman sebuah rumah makan.

***

Tomy juga sangat kesal dan sedih menyaksikan ulah ibunya, sementara tadi sedang ada tamu, dan diantaranya adalah ibu sambung Minar, yang adalah benar-benar orang luar yang tidak ada hubungannya dengan mereka.

“Ibu itu stress …” gumam Tomy.

“Stress itu apa?”

Tomy terkejut ketika ternyata Boy mendengarnya.

“Stress itu … mmm pusing …” Tomy menjawab sekenanya.

“Mengapa tidak ke dokter? Mengapa tadi dia marah-marah? Nenek Boy mengapa seperti nenek sihir?”

“Sssst,” Monik menutup mulut Boy.

“Nggak boleh bilang begitu. Sudah, sekarang tidur. Nanti ketahuan pak dokter, Boy belum tidur, dimarahi lho.”

Boy memejamkan matanya, sedangkan Tomy yang tampak sangat lelah kemudian meletakkan kepalanya di pinggiran kasur.

“Mas, tidur di sana lhoh, kan enak.”

“Biar kamu saja tidur di sana, aku menemani Boy di sini, barangkali dia minta minum saat bangun tengah malam.”

Monik tak bisa mencegahnya. Setelah membetulkan letak selimut Boy, ia beranjak untuk tidur juga. Tapi tiba-tiba pintu terbuka, dan Monik melihat Rohana masuk ke kamar lagi.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

JANGAN PERGI

 JANGAN PERGI

(Tien Kumalasari)


Aku tahu

Setangkai bungaku tak punya arti

Yang aku tak tahu

Mengapa pergi

Menorehkan sakit dan luka

Membuat aku bertanya

Apakah salah dan dosa

Haii..

Selamat pagiiii


------





Wednesday, August 28, 2024

AKU BENCI AYAHKU 42

 AKU BENCI AYAHKU  42

(Tien Kumalasari)

 

Satria terpaku ditempatnya. Ada apa lagi dengan ibunya? Mengapa bisa tidak punya uang tapi berada di bandara? Bandarao mana?

“Satriaaaa ….” terdengar Rohana meraung.

“Bu, tenang Bu, jangan berteriak. Ini Ibu di mana?”

“Aku sudah bilang di bandara, aku nggak bisa pulang, tolong aku, Satriaaaaa,” suara Rohana tetap terdengar berteriak meraung.

“Buu, jangan berteriak, pasti banyak orang disekeliling Ibu, katakan dengan pelan dan tenang. Maksudku di bandara mana?”

“Aku ada di Solo, tahu.”

“Di Solo? Apa yang ibu lakukan di sana?”

“Jangan banyak bertanya, segera belikan aku ticket pulang sekarang, aku tidak mau terlantar di sini.”

“Satria transfer saja uangnya ke rekening Ibu ya, tolong kirimkan, atau foto KTP Ibu untuk pesan tiketnya.”

“Tidak … tidak … transfer saja, dan jangan sampai nggak ada sisanya, aku juga butuh makan. Kenapa? Apa kamu takut istrimu tidak mengijinkan? Mana mau dia kalau tahu kamu membantu ibumu.”

“Ibu jangan begitu. Minar begitu baik dan perhatian pada Ibu, walau Ibu membencinya.”

“Bohong. Tak mungkin dia menyukai apalagi perhatian sama ibumu. Aku benci sejak awal melihatnya.”

“Tapi Minar tidak membenci Ibu, aku harap ibu jangan membencinya.”

“Aku tetap benci. Jangan banyak bicara, apa kamu ada didekat istri kamu sehingga kamu terlalu banyak bicara yang intinya memuji-muji dia?”

“Satria masih di kantor. Dan perlu ibu tahu, bahwa Minar tidak membenci ibu, dia pula yang membayar hutang ibu pada bu Lisa ketika ibu ditahan di kantor polisi.”

“Apa? Bohong kan? Supaya dia kelihatan baik di mata ibumu ini?”

“Satria tidak pernah bohong. Ibu yang suka bohong.”

“Sudah, ini … ibu kirimkan nomor rekening ibu. Kelamaan, aku sudah berdiri di depan loket.”

Satria enggan menjawab kata-kata ibunya. Dia lalu menstransfer sejumlah uang agar ibunya bisa membeli tiket. Lalu dia beranjak pulang karena istrinya sedang menunggu.

Ketika berulang kali sang ibu menelpon lagi, Satria mengacuhkannya. Agak kesal dengan perilaku ibunya, yang melakukan sesuatu tanpa perhitungan, sehingga pergi dan tak bisa pulang. Kecuali itu sang ibu juga tetap saja merendahkan istrinya yang sebenarnya sangat perhatian padanya.

***

Sebelum sampai di rumah, Satria mendapat telpon dari ayahnya.

“Satria, apa kamu sibuk?”

“Sedang pulang mau makan siang di rumah.”

“Tadi pagi ibumu datang ke rumah.”

“Oh, rupanya menemui Bapak di rumah?”

“Ya, ngomong nggak karuan. Katanya mau menjual rumahnya juga., karena sudah nggak punya apa-apa.”

“Mau dibeli Bapak?”

“Ya enggak. Rumah sebagus itu pasti harganya mahal. Bapak belum bisa membelinya. Kelihatannya dia marah. Dia mampir ke toko sembako yang aku serahkan pengelolaannya pada Birah. Dia  mengamuk karena tidak ketemu Birah. Lalu dia pergi, entah di mana sekarang dia. Aku pikir dia sudah sakit jiwa.”

“Tadi menelpon Satria, di bandara, nggak bisa pulang karena nggak punya uang. Lalu Satria transfer beberapa rupiah untuk beli tiket.”

“Aku agak kesal, bicaranya tidak karuan. Yang aku heran, dia bisa kehabisan uang dan katanya mobil serta perhiasan sudah dijual semua. Katanya ada yang pinjam uangnya dan tidak dikembalikan. Sepertinya tidak hanya seorang.”

“Ibu itu bohong,” sergah Satria. Lalu dia menceritakan bahwa ibunya punya hutang seratus juta, lalu dirinya terpaksa menjual mobilnya, kemudian punya hutang lagi limabelas juta yang kemudian dibayar oleh Minar.

“Ya Tuhan, untuk apa saja ia menghabiskan uang begitu banyak? Belum ada setahun aku mengembalikan uang yang aku pinjam. Begitu cepat hartanya habis?”

“Ibu hanya suka berfoya-foya. Tentu saja hartanya habis.”

“Ah, entahlah, sebenarnya sudah bukan urusanku apa yang terjadi pada ibumu, karena tidak ada lagi ikatan apapun diantara kami.”

“Yang menjengkelkan ialah dia selalu membenci Minar, sementara Minar dengan ikhlas merelakan uangnya untuk membayar hutang ibu.”

“Semoga nanti akan ada yang menyadarkannya.”

“Aamiin.”

“Satria, kalau kamu mau, bawa saja mobil bapak, nanti gampang, bapak bisa beli mobil bekas yang agak murah. Lagian di sini ke-mana-mana gampang.”

“Tidak usah Pak, sudah ada yang memberi mobil baru untuk Satria.”

“Oh ya? Atasan kamu?”

“Ayah Tomy.”

“Ayah Tomy itu bekas suami ibumu?”

“Iya. Dia sangat baik. Begitu tahu Satria menjual mobil untuk membayar hutang ibu, tiba-tiba saja dia mengirimkan mobil baru untuk Satria.”

“Syukurlah, aku senang kamu bisa dekat dengan orang-orang baik. Ya sudah, nanti kamu keburu lapar, ngomong terus sama bapak. Nanti bapak menelpon lagi.”

Satria sudah sampai di rumah, tapi dia tidak menceritakan apapun perihal ibunya. Sang mertua menyambut kepulangannya dengan linangan air mata, dan Satria bersyukur karena ternyata Birah yang dulu pernah dibencinya, bisa bersikap begitu baik.

***

Boy masih terbaring di atas ranjang. Panas tubuhnya belum stabil. Terkadang turun, lalu kembali naik. Dokter berpesan agar Boy tidak banyak bergerak. Boy juga mendapat pengawasan seksama dari dokter yang bertanggung jawab merawatnya. Sementara itu Tomy dengan penuh perhatian terus menungguinya. Pak Ratman sudah menelponnya, bahwa dia harus libur dulu sementara anaknya masih sakit.

Saat itu Boy terjaga, tapi tak sedikitpun ia menoleh ke arah samping, di mana Tomy selalu menungguinya.

“Ibuu ….” panggilnya pelan.

“Ibu sedang keluar sebentar. Boy mau minta apa? Minum? Bapak ambilkan ya.”

Boy menggeleng. Belum ada tatapan bersahabat menyorot dari matanya. Tomy memang harus bersabar. Yang pasti dia hanya ingin bersama anaknya saat sang anak menderita sakit.

“Boy ingin apa? Oh ya, kemarin mbak Kartika membawa mobil-mobilan kecil untuk Boy. Biar bapak ambilkan ya,” kata Tomy yang kemudian membuka bungkusan yang kemarin dibawa Kartika dan belum boleh diberikan, karena takut Boy terganggu dengan keinginannya untuk bermain. Tapi ketika Tomy memberikan mobil-mobilan yang kecil untuk Boy, Boy menerimanya dengan mata bersinar.

“Ini mobil baru. Bukan mobil Boy.”

“Mobil ini diberikan mbak Kartika untuk Boy. Jadi sekarang sudah menjadi milik Boy.”

“Aku mau turun.” 

Tuh kan, harusnya Tomy tidak memberikannya terlebih dulu.

“Boy, kata dokter, Boy belum boleh banyak bergerak. Nanti Boy panas lagi. Tapi besok kalau sudah tidak sakit, Boy boleh main sepuasnya,” bujuk Tomy dengan lembut.

Berkali-kali Boy dibuat heran dengan sikap ayahnya yang tidak seperti ketika ia dan ibunya berkumpul dalam satu rumah. Sang ayah begitu lembut dan penuh perhatian. Ia juga bersikap lembut kepada ibunya. Sebenarnya hal itu membuatnya nyaman, tapi ada perasaan lain yang mengganggunya. Jangan-jangan kebaikannya itu hanya untuk membujuknya agar mau diajak pulang. Lalu dirumahnya, ayahnya berlaku kejam lagi seperti dulu. Karena itulah Boy belum sepenuhnya mau bersikap ramah pada ayahnya.

Mendengar sang ayah melarangnya turun, Boy hanya diam. Ia memegang erat mobil yang tadi diberikan ayahnya. Mobil yang bisa berjalan sendiri dengan remote kontrol.

“Sabar ya, sebentar lagi Boy bisa bermain mobil-mobilan.”

“Ibuu…”

“Ibu sedang membeli makanan, tunggu sebentar ya.”

“Kenapa om Satria tidak kemari?”

Om Satria lagi … Tomy mengeluh dalam hati. Tapi ia tak ingin membuat Boy kecewa. Ia harus menunjukkan bahwa dia bisa bersikap sebaik Satria.

“Om Satria masih bekerja. Nanti pasti akan datang kemari. Sekarang Boy makan ya, disuapin bapak?”

“Boy nggak suka bubur,” katanya ketus.

Tomy ingat, sejak kemarin Boy tidak mau makan karena tidak suka makan bubur, sementara dari rumah sakit Boy mendapat makan bubur. Itupun bubur halus yang disaring lembut.

“Boy, bubur ini sangat enak dan sehat. Ada vitaminnya, ada zat-zat yang bisa membuat Boy cepat sembuh. Cobain yuk? Boy kalau ingin sembuh karus mau mencoba bubur ini. Bubur ini bisa membuat orang sakit cepat sembuh lhoh.”

Mendengar iming-iming cepat sembuh, Boy menoleh ke arah Tomy. Benarkah makan bubur bisa membuat dirinya cepat sembuh?

“Dicobain ya?”

Tomy meraih nampan berisi makanan. Mengambil mangkuk bubur, diberinya sedikit kuah sayur.

“Ayuk, cobain dulu. Mau sembuh tidak?”

Boy menatap sendok yang sudah berisi sedikit bubur dan kuah sup yang dibawa Tomy, lalu didekatkannya ke bibirnya.

Sup adalah sayur kesukaan Boy. Aroma sup yang menusuk hidungnya, membuatnya kemudian membuka mulutnya. Tomy menyuapkan bubur itu, Boy mengecap-ngecapnya.

“Enak kan?”

Entah karena bubur dengan kuah sup itu memang enak, atau tangan penuh kasih sayang itu yang mengalirkan rasa nyaman di hati Boy, sehingga Boy membuka mulutnya beberapa kali, dan bubur itu habis separonya. Bahagia hati Tomy melihatnya.

Saat itulah tiba-tiba Monik muncul. Ia membelikan makanan untuk Tomy dan juga untuk dirinya.

“Haaa, Boy mau makan?” Monik bersorak sambil mendekat.

Tomy masih menyuapkan beberapa sendok lagi. Hampir habis ketika Boy menolaknya karena sudah kenyang.

“Anak pintar,” seru Monik sambil mencium dahi anaknya.

Monik juga senang, Boy mau menerima makanan yang disuapkan Tomy.

“Ibu, benarkah kalau Boy makan bubur sehat, lalu bisa cepat sembuh?”

“Tentu saja Boy. Kalau makan banyak, lalu menurut kata dokter, maka Boy akan cepat sembuh. Tuh, sudah pegang mobil-mobilan bagus?”

“Dia yang berikan, katanya diberi mbak Kartika.”

Monik tertawa, mendengar Boy menyebut ayahnya dengan kata ‘dia’.

“Boy, panggil dia bapak, jangan dia.”

Boy menatap Tomy yang kembali duduk, tapi tidak mengucapkan apa-apa.

“Biarlah, sesuka dia mau memanggil apa, aku sudah senang dia mau makan.”

“Baiklah, sekarang Mas makan saja dulu, itu aku beli untuk kita”

“Kamu dulu saja yang makan, aku belakangan.”

Monik mengambilkan minum untuk Boy.

“Boy di sini sendirian nggak apa-apa? Bapak sama ibu mau makan.”

Boy mengangguk. Tangan kecilnya mengutak atik mobil yang sedari tadi digenggamnya.

“Terima kasih atas semuanya,” kata Tomy yang kemudian makan dengan lahap, makanan yang diambilkan Monik.

“Semuanya itu apa. Aku yang berterima kasih, karena kamu mau menjaga Boy siang dan malam.”

“Mengapa begitu? Bukankah Boy itu anakku? Aku punya kewajiban untuk menjaga dan merawatnya,” katanya mantap.

Dalam hati Monik berkata, mengapa baru sekarang dia mengatakan dan menyadarinya?

Tak banyak yang mereka bicarakan. Rasa canggung karena baru berbaikan selama beberapa hari, menjadi penghalang untuk bicara banyak. Mungkin sungkan, mungkin malu, atau entahlah. Semoga mata yang saling menatap bersedia bicara tentang apa yang ada di dalam hati mereka.

***

Sore hari itu Minar menunggu Satria pulang, karena ia ingin menjenguk Boy. Birah juga bersedia untuk ikut, karena Satria berjanji akan mengajak ibu mertuanya untuk berkeliling kota Jakarta. Selamanya Birah belum pernah menginjakkan kakinya di kota itu. Ketika Satria pulang, bersamaan dengan Kirani yang baru pulang juga dari pertemuan bisnis yang didatanginya sejak siang.

“Aku juga mau ikut dong,” katanya melihat mereka mau pergi.

“Ibu tidak capek? Beristirahat saja dulu,” kata Minar.

“Nggak, aku nggak capek. Aku mau ikut putar-putar kota, setelah membezouk … siapa namanya anak itu?”

“Boy,” jawab Satria.

“Ayah Boy itu saudara seibu dengan saya.”

“Oh, pantesan kalian sangat dekat. Nggak apa-apa, aku mandi sebentar, lalu ikut. Takut terlambat, lalu kehabisan waktu bezoek.”

“Mas Satria juga harus mandi dulu ah, bau accceeemm.”

“Dulu saja, hanya karena suka mencium-cium bau keringatku, kamu melarangku mandi,” Satria meledek, lalu lari ke dalam kamar karena Minar siap mencubitnya.

Birah dan Kirani tertawa senang melihat kemesraan itu.

“Baiklah, sambil menunggu mereka, menikmati pisang goreng ini saja, ayo Bu. Sekarang Minar sudah doyan segala macam makanan, tidak seperti waktu ngidam dulu itu.”

“Ngidam biasanya begitu, tapi setiap orang berbeda-beda. Ada yang sedikit-sedikit muntah, ada yang biasa saja. Itu tidak masalah, yang penting sehat,” kata Birah.

***

Tomy sudah mandi, dan berganti pakaian, karena Kartika membawakan baju ganti Tomy yang diambilnya di rumah, kemarin sore. Entah ada yang kurang atau tidak, tapi Tomy senang bisa berganti pakaian bersih.

Ketika dia mau duduk di sofa karena Monik meletakkan minuman botol di meja, tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Rohana.

“Tomy, bisakah menolong ibu?”

“Menolong apa?”

“Buatkan iklan di koran-koran, ibu mau menjual rumah ibu.”

“Menjual rumah?”

“Cepat ke rumah, jangan banyak bicara.”

“Tapi Tomy sedang ada di rumah sakit, anak Tomy sakit.”

“Anakmu? Anak Desy, perempuan tak tahu diuntung itu?”

“Anaknya Monik.”

“Apa? Anaknya Monik? Aku mau melihatnya, di mana rumah sakitnya?”

***

Besok lagi ya.

 

 

MASIH ADAKAH MAKNA 08

  MASIH ADAKAH MAKNA  08 (Tien Kumalasari)   Tegar heran melihat Boy mendahului masuk. Setelah mengunci mobil ia bergegas mengikuti. Tomy ya...