AKU BENCI AYAHKU 45
(Tien Kumalasari)
Kartika sangat terkejut. Ia mendorong tubuh Tomy sehingga kembali terjatuh di atas bantal. Tubuhnya masih menggigil. Kartika menutupinya lagi dengan selimut, lalu dia menghadapi Monik yang berdiri terpaku di tengah pintu.
Ketika ia hampir menyapanya, Monik membalikkan tubuhnya, dan melangkah pergi dengan cepat. Kartika memburunya, dan berhasil meraih tangannya serta menghentikannya.
“Mbak Monik, mas Tomy sakit, tubuhnya panas sekali.”
“Bukankah kamu sudah bisa merawatnya?” katanya sambil melepaskan diri dari cekalan Kartika, kemudian bergegas pergi.
“Mbak Monik, jangan salah paham. Mas Tomy mengira saya adalah mbak Monik.”
Tapi Monik tak mau mendengarnya. Ia langsung masuk ke dalam mobil, memutarnya dan keluar dari halaman.
Kartika merasa sedih, karena Monik salah paham pada dirinya. Tapi kemudian dia teringat keadaan Tomy yang butuh pertolongan segera. Kartika bergegas masuk kembali ke dalam kamar. Tomy kembali meringkuk dan tubuhnya menggigil.
“Mas, bangun sebentar, minumlah dulu, setelah mereda panasnya saya akan membawa Mas ke rumah sakit.”
Kartika kembali menarik tubuh Tomy. Ia tak peduli siapapun yang salah paham dengan kelakuannya. Tujuannya hanya menolong.
Ia berhasil menyendokkan beberapa sendok minuman hangat ke mulut Tomy. Tapi itu tidak menolong. Tomy harus dibawa ke rumah sakit, tapi bagaimana membawanya? Kartika yang mungil, mana kuwat memapah Tomy yang badannya kekar dan tinggi besar.
Kartika kebingungan. Harus ada yang menolongnya. Ia akan menelpon ayahnya. Tapi diurungkannya. Lalu ia menelpon Satria.
“Ada apa?” jawab Satria.
“Mas, ini mas Tomy ada di rumah, badannya panas sekali. Tolong membawanya ke rumah sakit."
“Waduh, ini aku tadi pulang setengah hari, ijin mau mengajak mertuaku jalan-jalan ke luar kota."
“Waduh, bagaimana ini? Mas Tomy sangat lemas, mana kuwat aku menggendongnya?"
“Coba aku menelpon kantor, supaya bisa membantu kamu.”
“Tolong suruh cepat ya Mas, badannya panas sekali. Mas Tomy sampai menggigil.”
Kartika menutup ponselnya, dan kembali mendekati Tomy.
“Monik …” bisiknya berkali-kali.
“Gara-gara kamu salah orang, mbak Monik marah sama aku.”
Kartika beranjak ke belakang.
Ia mencari plastik kosong, atau botol kosong. Ada plastik bekas bungkus yang dia tidak tahu bungkusan apa, tergeletak di meja. Kartika mengisinya dengan air dari termos, lalu ditutupnya rapat. Ia kembali ke kamar, dengan plastik itu ia menggosok tubuh Tomy, beralaskan selimut, jadi panasnya tidak begitu menyengat, hanya cukup menghangatkan. Ia bisa melakukannya, karena ketika dirinya demam, dan tubuhnya menggigil, ibunya melakukan hal seperti itu.
Gigil itu agak mereda. Hangat yang menyusuri tangan, kaki dan punggungnya, terasa sangat membantu.
Ketika itu tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Kamar itu memang tidak tertutup. Kartika tahu, dia Agus, satpam di kantor ayahnya. Rupanya Satria menghubungi satpam itu.
“Ada apa Non?”
“Pak, tolong bantu angkat mas Tomy ke mobil, aku harus membawanya ke rumah sakit.”
Dengan cekatan pak Agus membantu membangunkan Tomy, lalu memapahnya perlahan ke mobil. Tomy tak berdaya. Kepalanya terkulai di bahu Agus. Kartika membuka pintu mobil, dan pak Agus mendudukkannya di jok belakang.
“Pak Agus ikut saja. Nanti saya antar kemari lagi untuk mengambil sepeda motor itu. Yang penting mas Tomy bisa segera ditangani."
***
Monik memasuki rumah sakit sambil sesekali mengusap air matanya. Dia datang ke rumah Tomy karena prihatin dengan keadaannya ketika pulang dari rumah sakit. Cekalan tangannya yang panas dan wajahnya yang pucat membuatnya sangat prihatin.
Saat itu tanpa di duga ayah mertuanya datang. Ia sangat menghawatirkan Boy dan baru hari itu bisa menjenguknya.
Ia merasa lega ketika melihat Boy sudah jauh lebih baik.
“Kamu sendirian?”
“Biasanya sama mas Tomy. Tapi tadi dia pamit pulang dengan membawa cucian kotor. Bukannya saya tidak mau mencuci, tapi mas Tomy menolaknya.”
Pak Drajat tersenyum. Berarti Tomy sudah benar-benar berubah. Mau mencuci pakaiannya sendiri?
“Tapi saya khawatir, ketika pulang, tangannya terasa panas sekali, dan wajahnya pucat. Saya menelponnya berkali-kali, tapi tidak diangkat.”
“Apa dia benar-benar sakit?”
“Entahlah.”
“Kamu kelihatan sangat khawatir.”
Monik tertunduk tersipu. Tapi pak Drajat merasa, anak dan menantunya telah siap untuk bersatu kembali.
“Kalau kamu menelpon berkali-kali dan tidak diangkat, berarti kamu harus melihatnya dengan mata kepala sendiri.”
“Maksud Bapak?”
“Pergi dan temui dia di rumahnya.”
“Bagaimana Boy?”
“Boy pasti senang kakeknya menemani di sini. Ya kan Boy?”
“Ibu mau ke mana?”
“Ibumu mau melihat keadaan ayahmu. Tampaknya dia sakit. Kamu bersama kakek dulu, biar ibumu menemuinya dan melihat keadaannya.”
Boy hanya mengangguk.
“Ibu jangan lama-lama.”
”Iya, ibu tak akan lama.”
“Pakai mobilku,” kata pak Drajat sambil memberikan kunci mobilnya kepada sang menantu.
“Boy, ibu pergi dulu sebentar ya?”
“Jangan lama-lama ….”
"Ya, tentu saja,” kata Monik yang langsung bergegas keluar dari ruangan.
Pak Drajat tersenyum senang. Lalu ia mendekati Boy yang terus menatap punggung ibunya.
“Kamu tidak usah khawatir. Ayah dan ibumu akan selalu berbaikan dan saling menyayangi,” kata sang kakek sambil mengelus kepala cucunya.
***
Tapi kemudian pak Drajat terkejut melihat Monik memasuki kembali ruangan anaknya, tak lama setelah dia pergi. Monik juga tidak terus mendekati sang anak. Ia duduk di sofa, membelakangi tempat tidur anaknya. Monik tak ingin Boy melihat bekas air matanya. Ia kemudian mengambil air minum dingin di dalam kulkas, dan meneguknya pelan.
“Ada apa? Kamu tidak ketemu suami kamu?”
Monik menggeleng lemah.
“Tidak ketemu?”
“Monik melihat … Tomy bersama gadis itu … “
“Gadis yang mana?”
“Gadis yang selalu bersamanya.”
“Anak Ratman?”
“Tapi mereka cocok. Tidak apa-apa.”
Pak Drajat tersenyum menggoda.
“Kamu bilang tidak apa-apa, tapi air matamu berlinang. Kamu cemburu?”
“Mereka berpelukan.”
“Masa?”
“Saya tidak mungkin bohong.”
Senyuman pak Drajat tiba-tiba menghilang. Gadis mungil yang cantik itu anaknya Ratman. Tomy mengatakan bahwa mereka hanya berteman. Tapi Monik melihatnya berpelukan?
Monik mengusap setitik air matanya, lalu tersenyum. Boy tak boleh melihatnya berduka, walau sebenarnya hati Monik serasa dirajang-rajang. Ia membenci nasibnya. Ia membenci kejadian-kejadian yang seperti mempermainkannya. Pergi meninggalkan suami karena merasa tertindas, lalu ada pendekatan yang seperti mau merubah perasaannya. Perhatian Tomy, apalagi kepada anaknya, kelembutannya dan semua yang baik dari Tomy, sudah dilihatnya, dan tentu saja dirasakannya. Lalu perasaan cinta itu tumbuh begitu saja, seperti pohon layu yang kembali disiram kesejukan. Lalu Monik merasa bahwa segalanya akan berubah, dan kebahagiaan akan segera bisa direngkuhnya seperti yang pernah diimpikannya, meskipun sebelumnya mereka tak pernah saling mencintai.
Tapi apa sekarang? Pemandangan yang baru saja dilihatnya, gadis cantik mungil yang selalu dilihatnya bersama Tomy, yang diingkari Tomy sebagai gadis yang punya hubungan khusus dengannya, ternyata diam-diam menusuknya dari belakang. Mata bening yang kelihatannya tulus itu, telah menaburkan racun yang pelan tapi pasti akan membunuhnya. Membunuh segala cinta yang sudah dipupuknya.
“Ibuu …. “ teriakan Boy menyadarkannya. Monik mengusap air matanya, lalu meneguk lagi minumannya, agar dia merasa lebih tenang dan Boy tidak merasa curiga. Dilihatnya ayah mertuanya sedang bertelpon, entah dengan siapa.
“Ada apa, sayang? Seperti kata ibu tadi, ibu pergi hanya sebentar, bukan?”
“Apa ibu menangis?”
“Apa? Oh, tidak. Mana mungkin ibu menangis? Boy mau apa? Makan buah ya? Kamu suka pisang kan? Ibu kupas untuk kamu?”
“Ibu seperti bekas menangis,” Boy tak terima dengan jawaban ibunya. Yang dia baca bukan yang lainnya, tapi wajah ibunya yang tampak kuyu dan lelah.
“Kamu mengada-ada. Mana mungkin ibu menangis? Tadi di depan sedang ada perbaikan jalan, debunya berhamburan. Mata ibu kena deh.”
“Di depan rumah sakit?”
“Bukan, di jalanan,”
“Bukankah Ibu naik mobil? Apa Ibu tidak menutup kaca jendela mobil?”
Tuh kan. Boy bukan anak kecil biasa. Kecerdasannya melebihi rata-rata anak seumurannya. Bagaimana orang di dalam mobil, matanya bisa terkena debu?
Monik tertawa pelan, mentertawakan dirinya yang bodoh karena membuat alasan yang ditentang habis-habisan oleh anak sakecil Boy.
“Biar tertawa, ibu tetap kelihatan bekas menangis. Apa bapak menyakiti ibu?”
“Haa? Tidak. Ibu tidak ketemu bapak. Entah dia pergi ke mana. Ayuk sekarang mau makan apa? Pisang ini kan? Makan buah yang banyak supaya sehat.”
“Nggak mau.”
Tapi dalam hati Boy merasa bahwa sang ayah menyakiti ibunya. Kebencian yang belum sepenuhnya sirna, mendadak kembali membuat radang di luka yang lama.
***
Kartika memasuki rumah setelah memasukkan mobilnya ke garasi. Ia merasa lega, Tomy sudah tertangani. Ia tak perlu menunggui lagi, karena Satria sudah meminta karyawan kantor untuk mengurusnya. Lagi pula kedatangan Monik dan sikapnya yang tampak marah membuat Kartika takut dekat-dekat dengan Tomy. Ia ingin menerangkannya, tapi Monik tergesa pergi. Kartika sedih karena semuanya masih membuat ada ganjalan, baik dihati Monik, apalagi di hatinya sendiri.
Kartika ingin segera beristirahat, karena ia merasa sangat lelah. Tapi begitu ia memasuki rumah, sebuah tamparan mengenai pipinya. Bukan hanya sekali, tapi dua kali. Di pipi kiri dan kanannya. Kartika memekik kesakitan. Ayahnya yang biasanya lembut terhadap dirinya, kini berdiri di hadapannya, menatap dengan mata garang.
“Bapak, apa salahku?” RIntihnya sambil memegangi ke dua pipinya.
“Kamu masih bertanya apa salahmu?” tangan pak Ratman sudah terayun, siap kembali memukulnya, tapi sang istri menariknya menjauh dari Kartika.
“Pak, jangan kasar begitu.”
“Apa kamu ini? Terlalu memanjakan anak, sehingga dia bisa bertindak melampaui batas, memalukan. Seperti gadis tidak berpendidikan, tidak punya moral!”
“Bapak bilang apa? Kartika tidak punya moral?”
“Apa kamu merasa bahwa tindakan kamu itu benar? Kamu membuat malu bapakmu ini. Karena kelakuan kamu, bapakmu ini dicela habis-habisan oleh sahabat bapak yang sangat bapak hormati. Bagaimana kamu bisa melakukannya? Dan apa nanti jawabku ketika dia datang lagi untuk memaki-maki?”
“Kartika tidak tahu apa yang Bapak katakan!”
“Apa?” tangan pak Ratman hampir kembali terayun, tapi lagi-lagi sang istri menahannya.
“Bicara baik-baik Pak, tidak usah main kasar. Dia pasti bisa mengerti apa yang Bapak katakan. Kalau tiba-tiba menyakiti, mana dia paham?”
“Tidak mungkin dia tidak tahu. Orang itu kalau melakukan kesalahan, kemarahan yang ditujukan kepadanya pasti sudah membuat dirinya merasa bahwa kesalahannya sudah diketahui orang lain.”
“Sebenarnya apa salah Kartika?” tangis Kartika menjadi-jadi. Sekarang dia bersimpuh dilantai. Pipinya tampak lebam kemerahan.
“Kamu tetap tidak merasa telah melakukan apa? Kamu tadi dari mana? Katakan dari manaaa!”
“Kartika dari kampus, lalu mampir ke rumah mas Tomy.”
“Naaah, lalu kalian melakukan apa?”
“Maksud Bapak apa? Disana Kartika melihat mas Tomy sakit.”
“Oh ya? Lalu apa? Apa yang kalian lakukan di kamar? Apaaaa?” pak Ratman berteriak-teriak saking marahnya.
“Jangan salah paham. Saya tadi mau memberinya teh hangat, lalu akan mengajaknya ke rumah sakit setelah panasnya mereda.”
“Tadi mas Tomy mengira saya mbak Monik." lanjutnya.
“Benarkah?”
“Pak, mas Tomy panas sekali. Mungkin dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Dia mengira yang merawatnya adalah mbak Monik,” kata Kartika sambil terus saja menangis.
“Dia memeluk saya, dengan menyebut nama mbak Monik berkali-kali. Jadi Bapak mengira kami melakukan apa? Tanya pak Agus, sekarang mas Tomy ada di mana?”
“Di mana Tomy?”
“Di rumah sakit, pak Agus yang menolong saya membawa mas Tomy ke rumah sakit.”
“Kamu memanggil Agus ke rumah Tomy?” suara pak Ratman sedikit melunak.
“Tadinya saya minta tolong mas Satria agar datang menolong membawanya, tapi mas Satria ada di luar kota bersama keluarganya. Rupanya mas Satria yang menghubungi pak Agus.”
“Tuh, kan. Belum-belum sudah main pukul saja. Nggak kasihan sama anak sendiri. Harusnya Bapak bertanya dulu sebelum memukulnya.”
“Aku kesal mendengar mas Drajat memarahi aku. Mengira Kartika menggoda Tomy, lalu Monik melihat mereka sedang berpelukan.”
“Mas Tomy badannya panas. Rupanya dia tidak sadar, dan mengira saya mbak Monik.”
Bu Ratman menarik Kartika, memintanya agar berdiri. Kasihan melihat pipi anaknya kemerahan dan sedikit bengkak.
“Ayo ke kamarmu, biar ibu kompres pipimu dengan air dingin.”
Pak Ratman segera mengambil kunci mobil Kartika, bersiap menemui sahabatnya di rumah sakit. Rupanya ketika melihat Monik menangis, pak Drajat segera menelpon pak Ratman dengan marah. Perih rasa hati pak Ratman mendengar anaknya dikira gadis murahan.
***
Besok lagi ya.