Friday, August 30, 2024

AKU BENCI AYAHKU 44

 AKU BENCI AYAHKU  44

(Tien Kumalasari)

 

 

Tomi terbelalak. Dengan santai sang ibu melenggang mendekati ranjang di mana Boy sudah hampir tertidur. Dan karena mendengar suara keras itu, Boy kemudian membuka matanya. Menatap wanita dengan dandanan menyolok, yang sore tadi disebutnya nenek sihir.

“Nah, begini aku merasa lebih nyaman, tanpa kehadiran orang-orang yang tak tahu diri, dan merasa berjasa dengan pura-pura perhatian kepada cucuku.”

“Sayang, kita belum sempat berbincang. Aku ini nenekmu. Jadi panggil aku nenek.”

Boy menatap kaku.

“Bu, Boy harus banyak istirahat, biarkan dia tidur. Ada perlu apa ibu malam-malam datang kemari?” kata Tomy yang kemudian menarik lengan ibunya ke arah sofa.

“Kamu ini bagaimana, aku ingin sekali melihat cucuku, tadi banyak lalat berterbangan di tempat ini.”

“Ibu jangan berkata begitu. Sikap ibu sungguh tidak baik. Itu menimbulkan kesan, bahwa ibu juga bukan orang baik.”

“Apa katamu? Rupanya kamu sudah ketularan Satria, mengata-ngatai ibu dengan ucapan-ucapan pedas dan menyakitkan.”

“Ibu sendiri yang ucapannya menyakitkan orang lain.”

“Aku kesal sama kamu. Semenjak kamu dekat dengan Satria, sikap kamu pada ibu berubah. Dulu kamu bersikap sangat manis dan penurut, sekarang apa, kamu jadi pembangkang. Melakukan pekerjaan rendah, bersikap sok pintar,” omel Rohana yang semakin membuat Tomy bertambah kesal.

“Ibu jangan begitu. Tomy melakukan mana yang Tomy anggap baik. Memang sih, lebih banyak Satria yang mengajari Tomy, kecuali pengalaman hidup yang menjadikan Tomy merasa punya arti.”

" Punya arti apa? Kamu tidak akan pulih menjadi orang kaya. Kamu miskin, gembel, tidak berkelas. Aku tahu, itu pengaruh dari Satria, dan tentu saja dari istrinya yang kampungan itu.”

“Bu, Minar orang baik. Dia merelakan tabungannya untuk membayar hutang Ibu kepada bu Lisa, ketika Ibu ditahan polisi.”

“Ini sama saja. Kamu tadi sudah mengatakannya, dan aku tahu bahwa kamu bohong. Kamu hanya ingin agar aku memandang Minar sebagai orang baik. Memangnya ibu tidak tau siapa Minar? Dari mana dia memiliki uang sebanyak itu?”

“Jangan suka merendahkan orang lain. Minar … walaupun dia sangat sederhana, tapi dia juga punya tabungan. Menurut Satria, itu juga kemauan Minar sendiri, yang merasa kasihan pada Ibu yang ditahan di kantor polisi.”

“Ah, bohong … bohong … bohong, aku tidak percaya.”

Tomy yang merasa kesal karena ibunya tidak bisa diajak bicara, kemudian tidak melanjutkan perkataannya. Ia malah minta agar ibunya segera pulang, yang membuat Rohana marah bukan alang kepalang.

“Kamu mengusir ibu?” hardiknya keras, membuat Monik kemudian menepuk-nepuk paha Boy agar bisa benar-benar tidur tanpa merasa terganggu.

“Jadi sebenarnya apa maksud ibu datang malam-malam ke rumah sakit?”

“Tadi sudah aku katakan bahwa aku ingin melihat cucuku tanpa gangguan. Kecuali itu aku akan minta agar kamu membantu ibu.”

“Membantu apa? Kalau uang, Tomy tidak punya. Aku kira Satria juga pasti uangnya sudah menipis, apalagi dia harus mempersiapkan banyak hal untuk kelahiran anaknya.”

“Mengapa kamu mengira ibu butuh uang? Memang ibu sudah habis-habisan, tidak punya harta yang berharga. Tapi ibu masih punya rumah. Ibu akan menjual rumah itu saja.”

“Menjual rumah? Bukankah rumah itu diberikan bapak agar bisa ditempati, dan sudah dibangun begitu bagus?”

“Apa boleh buat, hanya itu yang bisa ibu lakukan.”

“Lalu ibu akan tinggal di mana?”

“Aku bisa beli rumah kecil saja, sisanya bisa untuk hidup.”

“Lalu setelah uang sisa itu habis?”

“Kamu itu bocah, tidak bisa mengerti apa yang dipikirkan orang tua, jadi tidak usah mencela apa yang ingin ibu lakukan.”

“Baiklah, terserah ibu saja,” kata Tomy jengkel.

“Jadi, tolong ibu, buat iklan di koran-koran atau apalah, pokoknya isinya menawarkan rumah ibu. Aku sudah memotret situasi rumah dari depan, samping belakang dan dalam. Aku kirimkan sama kamu untuk bahan iklan nanti.”

Rohana tampak mengutak atik ponselnya, lalu mengirimkan gambar-gambar rumahnya kepada Tomy.

“Baiklah, nanti akan Tomy buatkan. Yang berminat hubungi Tomy?”

“Tidak, cantumkan nomor kontak ibu, biar mereka bicara sama ibu sendiri. Kalau lewat kamu nanti kelamaan, harus menghubungi ibu, tanya harga, menawarkan harga, repot.”

“Baik. Sekarang ibu pulang dulu, Tomy capek, lagi pula ini sudah malam.”

“Kamu senang sekali mengusir ibu. Pesankan ibu taksi, ibu menunggu di lobi,” kata Rohana kasar sambil berdiri. Ketika ia melangkah dan mendekati pintu, barulah dia menoleh ke arah Monik untuk pamitan.

Monik hanya mengangguk, karena suara Rohana yang cukup keras membuat Boy membuka matanya. Tapi kemudian Monik kembali menepuk-nepuk pahanya, yang membuat Boy kemudian tertidur kembali.

***

Ketika mengantarkan Kirani ke sebuah kantor perusahaan di mana Kirani mengadakan pertemuan dengan rekan kerjanya, Satria meminta maaf tentang kelakuan ibunya. Kirani yang tidak begitu memperhatikan, kemudian menepuk pundak Satria sambil tersenyum.

“Lupakan saja, aku tidak begitu memperhatikan. Jadi tidak usah minta maaf.”

“Ibu saya terkadang tidak bisa mengendalikan diri. Saya harus malu pada ibu.”

“Satria, ada banyak manusia dan mereka memiliki tabiat yang berbeda-beda. Terkadang ada hal yang membuat kita tidak suka, tapi itulah warna-warna dalam kehidupan kita. Jangan sampai kita terbawa arus kekesalan dan kemarahan. Anggap saja kita sedang menikmati warna yang lain.”

Satria terdiam. Ia merasa sungkan karena kalau dibandingkan dengan ibunya, wanita istri muda mertuanya ini sangatlah santun dan bijaksana.

“Ayolah Satria, hadapi hidup ini dengan santai. Kamu masih muda. Jalani hidupmu seperti apa yang kamu inginkan.”

Satria menoleh ke arah Kirani. Ia sangat bahagia memiliki istri yang baik hati, ibu mertua yang penuh pengertian, dan ibu mertua sambung yang bijaksana.

***

Tapi di rumah, Birah tampak murung. Ia tak habis mengerti, mengapa Rohana masih belum berubah, sementara ia bisa menerima kehidupan apapun yang dia terima dengan ikhlas. Karena itulah dia bisa menjalani hidupnya dengan rasa suka cita.

“Ibu, mengapa ibu melamun?” Minar yang tadinya sedang berbelanja di tukang sayur yang lewat, kemudian muncul mendekati ibunya.

“Tidak apa-apa. Aku heran pada Rohana.”

“Apa yang ibu herankan?”

“Dia tetap membenci aku. Sejak ibumu ini masih muda, sampai sudah setua ini.”

“Ibu tidak usah memikirkannya. Manusia memiliki sifatnya masing-masing. Yang buruk bisa berubah baik, yang baik juga bisa berubah buruk. Tapi ada juga yang masih tetap begitu sampai entah kapan ia bisa merubahnya. Ayuk, kita masak, tidak usah ibu memikirkannya.”

Birah tersenyum tipis, mengikuti Minar sambil membawa sayur belanjaan ke arah dapur.

“Ibu tinggal sehari besok di Jakarta, tidak boleh sedih. Harus bergembira. Nanti mas Satria akan mengajak ibu jalan-jalan, dan besok mas Satria akan pulang setengah hari untuk mengajak kita ke Puncak. Di sana udaranya sejuk, tidak seperti di sini, panas, gerah.

Birah membuka bungkusan sayur dan memilah-milahnya. Gembira hatinya ketika  mendengar ia akan melihat-lihat kota Jakarta dengan lebih luas, dan pergi ke tempat wisata yang belum pernah dilihatnya.

Birah adalah wanita sederhana, yang sejak masih muda dan menikah, belum pernah merasakan kehidupan mewah.  Impian untuk meninggalkan kemiskinan dengan mengejar cinta seorang duda yang menjadi cinta pertamanya, kandas karena banyak penghalang yang membuatnya gagal meraih cita dan cintanya. Tapi rasa ikhlas yang diawali oleh kesadarannya, kemudian membuatnya hidup lebih tenang. Walau bukan dikatakan mewah, tapi apa yang diinginkannya bisa kesampaian. Makan enak, berpakaian bagus, tidur nyenyak, apa yang kurang dari hidup yang didapatkannya? Bukan kemewahan yang membuatnya bahagia, tapi ketenangan dan kenyamanan. Itulah yang kemudian disadarinya.

“Kita akan masak urap, menggoreng ikan, dan sayur asem. Sayur asem di sini beda lhoh, dengan sayur asem di daerah kita,” kata Minar.

“Baiklah, ayo kita coba sayur asem yang lain,” kata Birah yang mulai ringan perasaannya.

***

Ini hari ke lima Boy ada di rumah sakit. Keadaannya mulai membaik, tapi dokter belum mengijinkannya pulang. Tomy yang setia menunggui, dan hampir tidak tidur berhari-hari, juga makan yang tidak teratur, mulai merasa badannya menjadi tidak enak.

Siang hari itu ia pamit pulang. Ia kehabisan baju ganti. Kecuali itu  banyak baju kotor yang tidak sempat dicuci, karena dia menolak ketika Minar ingin mencucikannya.

“Aku kan sudah bilang, taruh saja di keranjang kotoran, nanti aku mencucikannya. Dasar bandel.” Monik mulai berani mengomelinya.

“Tidak apa-apa. Kamu sudah capek lahir batin, masa aku masih harus menyuruhmu mencuci baju-bajuku. Biar aku pulang dulu saja,” kata Tomy sambil mendekati Boy, setelah Boy selesai makan.

“Bapak mau pulang dulu, Boy sama ibu ya.”

Boy hanya mengangguk. Belum tampak ada tanda-tanda bahwa dia menerima sang ayah dengan sepenuh hati. Tapi Tomy cukup puas, karena Boy tidak menolak atau mengusirnya.

Ketika Tomy mau pulang, sambil menjinjing tas berisi baju-baju kotor, ia memegangi lengan Monik sambil berpamit.

“Titip anakku,” katanya sambil tersenyum.

“Istirahat saja dulu, tidak usah buru-buru kembali ke rumah sakit.”

Tomy melambaikan tangannya, tapi Monik merasakan sesuatu yang lain. Tangan Tomy ketika menyentuhnya, terasa panas. Wajahnya juga tampak pucat. Monik mengejar ke pintu dan melongok keluar, karena ia merasa, Tomy sedang sakit. Tapi sampai di luar pintu, bayangan Tomy tak lagi tampak.

Ketika Monik akan mengejarnya, Boy memanggilnya.

“Ibuuuu.”

Monik membalikkan tubuhnya, urung mengejar Tomy. Tapi sambil mendekati sang anak, Monik diliputi perasaan khawatir.

“Ada apa?”

“Mau minum.”

Monik mengambilkan minum. Setelahnya ia lalu mengambil ponselnya. Tapi berkali-kali dihubungi, Tomy tidak menjawabnya.

Barangkali masih di jalan, atau ia tak mendengarnya. Monik akan menunggu beberapa saat lagi.

***

Tapi sampai dirumah Tomy segera disibukkan dengan mencuci pakaiannya. Memang sih, di rumah itu ada mesin cuci, tapi tetap saja dia sibuk, karena setelah selesai, dia masih harus menjemur, kemudian dia pergi mandi dan berganti pakaian bersih yang masih tersisa. Tapi setelah mandi itu, tubuh Tomy terasa mengigil. Ia merebahkan tubuhnya, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut.

Ia meringkuk, dan menutupi lagi tubuhnya dengan bantal. Dingin itu terus menusuk-nusuk tulangnya. Tomy merasa lemas, dan tak berdaya. Ia bahkan lupa menutup pintu rumahnya.

Kartika sepulang dari kampus, melewati rumah Tomy. Ia melihat pintunya terbuka. Dengan perasaan riang dia berhenti, mundur sedikit, dan memasuki halaman rumah itu.

Berjingkat dia memasuki rumah, sambil memanggil-manggil namanya.

“Mas Tomy… mas Tomy …!

Tak ada jawaban, pasti di belakang. Kartika melangkah ke belakang, pintu dapur ke arah belakang terbuka. Kartika mencium wangi sabun.

“Mas Tomy habis mencuci, berarti dia di belakang, menjemur pakaian.”

Dengan riang pula Kartika melangkah ke belakang.

“Mas Tomy …. Maaas.”

Kartika kembali memasuki dapur, tapi tak melihat Tomy. Ia melihat ke arah kamar yang tertutup Ia mengetuknya perlahan, tapi tak ada jawaban. Kartika mendorongnya. Ternyata tidak dikunci.

“Maaas,” ia berteriak, tapi pelan. Tak ada jawaban. Kamar itu remang-remang, karena jendela tertutup rapat. Kartika melihat ke arah ranjang, dan sangat terkejut melihat Tomy meringkuk di sana.

“Mas Tomy!! Kamu sakit?”

Kecuali meringkuk, Tomy juga menututpi tubuhnya dengan bantal.

“Maaas.”

Tomy tak menjawab. Kartika merasa cemas, tubuh Tomy menggigil.

“Ya ampun Mas, kamu sakit.”

Kartika panik. Ia bingung harus mengubungi siapa. Tapi ia memilih berlari ke arah dapur. Ia menuang air dalam termos. Cuma hangat, tentu saja. Berhari-hari tidak diganti.

 Kartika dengan cekatan memanaskan air, hanya sedikit, cukup segelas, ia ingin membuat minum yang sedikit hangat. Ada the celup disiapkan dengan sangat cekatan, sedikit gula, lalu air yang dipanaskan sudah cukup panas, karena memang diambil dari termos. Kartika menuangkannya ke dalam gelas, lalu membawanya ke kamar. Diletakkannya gelas itu di nakas, lalu ia menarik tubuh Tomy, agar tidak meringkuk miring, ia merangkulnya, membuatnya duduk, lalu meraih sendok dan berusaha memasukkan sesendok the hangat itu ke mulut Tomy.

“Bisa minumnya? Cobalah, agar tidak kedinginan lagi.”

Setengah sadar Tomy membuka matanya, dan tiba-tiba meraih tubuh Kartika sambil menyebut sebuah nama.

“Moniik.”

Tapi pada saat itu pintu terbuka lebar, dan seseorang masuk.

***

Besok lagi ya.

 

61 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah.....
    Matur nuwun bu Tien, hari² akan berakhir "Aku Benci Ayahku" ke 44 malam ini sdh di tayangkan.

    Salam SEROJA, tetap semangat & ADUHAI ......
    🌷🌻🌹🤝

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, matur suwun ibu, mugi tansah pinaringan sehat njih🙏

    ReplyDelete
  4. 🌻💛🌻💛🌻💛🌻💛
    Alhamdulillah 🙏🦋
    AaBeAy_44 sdh hadir.
    Manusang nggih, doaku
    semoga Bu Tien &
    kelg slalu sehat & bahagia
    lahir bathin. Aamiin.
    Salam seroja...😍🤩
    🌻💛🌻💛🌻💛🌻💛

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah 👍🌷
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏

    ReplyDelete
  6. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  7. Nah lo...Monik kah yang datang itu? Kartika selalu hadir sebagai penolong, jadi saudara sajalah...😀

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏😘😘

    ReplyDelete
  8. alhamdulillah
    Terimakasih bunda tien

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah
    Tayang jg
    Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~44 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete

  11. Alhamdullilah
    Cerbung *Aku Benci Ayahku 44* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien "Aq ben Ay 44" sdh tayang dgn lancar
    Semoga bu tien sehat² n senantiasa dlm lindungan Allah SWT

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillaah,matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Monik kah yg datang ,,,trs Boy dg siapa. Apakah Satria ,, wah nunggu besok ya ,,,🤩

    ReplyDelete
  14. Semoga nggak ada kesalah pahaman yaa.
    Makasih mba Tien.
    Sehat selalu tetap aduhai

    ReplyDelete
  15. Terimakasih bunda Tien, salam sehat, bahagia dan aduhaiii selalu

    ReplyDelete
  16. Maturnuwun bu Tien.. Tomi jangan ya diiiik.

    ReplyDelete
  17. Rohana dasar berwatak mata duitan. Hati hati saja kalau punya uang banyak, jangan sampai malah ketipu.
    Wah Kartika bermaksud menolong Tomy tapi apa jadi masalah ya..
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah "Aku Benci Ayahku- 44" sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin Allahumma Aamiin
    Salam Aduhai..

    ReplyDelete
  19. .Hamdallah...cerbung Aku Benci Ayahku part 44 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin.

    Tomy lagi sakit, tidak tahu klu yng dia peluk bukan Monik, tapi Tika. Nah lho padahal Monik sdh berada di rmh dan melihat nya. Semoga Tomy bisa jelas in ya.

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, sehat selalu nggih Bu Tien 💖

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....

    ReplyDelete
  22. Ooh...jangan2 yg datang pak Ratman ya? Karena Monik ga mungkin meninggalkan Boy sendirian di RS. Waah...bisa2 langsung dinikahkan deh.😅

    ReplyDelete
  23. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Sami2 ibu Sri

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 08

  MASIH ADAKAH MAKNA  08 (Tien Kumalasari)   Tegar heran melihat Boy mendahului masuk. Setelah mengunci mobil ia bergegas mengikuti. Tomy ya...