AKU BENCI AYAHKU 42
(Tien Kumalasari)
Satria terpaku ditempatnya. Ada apa lagi dengan ibunya? Mengapa bisa tidak punya uang tapi berada di bandara? Bandarao mana?
“Satriaaaa ….” terdengar Rohana meraung.
“Bu, tenang Bu, jangan berteriak. Ini Ibu di mana?”
“Aku sudah bilang di bandara, aku nggak bisa pulang, tolong aku, Satriaaaaa,” suara Rohana tetap terdengar berteriak meraung.
“Buu, jangan berteriak, pasti banyak orang disekeliling Ibu, katakan dengan pelan dan tenang. Maksudku di bandara mana?”
“Aku ada di Solo, tahu.”
“Di Solo? Apa yang ibu lakukan di sana?”
“Jangan banyak bertanya, segera belikan aku ticket pulang sekarang, aku tidak mau terlantar di sini.”
“Satria transfer saja uangnya ke rekening Ibu ya, tolong kirimkan, atau foto KTP Ibu untuk pesan tiketnya.”
“Tidak … tidak … transfer saja, dan jangan sampai nggak ada sisanya, aku juga butuh makan. Kenapa? Apa kamu takut istrimu tidak mengijinkan? Mana mau dia kalau tahu kamu membantu ibumu.”
“Ibu jangan begitu. Minar begitu baik dan perhatian pada Ibu, walau Ibu membencinya.”
“Bohong. Tak mungkin dia menyukai apalagi perhatian sama ibumu. Aku benci sejak awal melihatnya.”
“Tapi Minar tidak membenci Ibu, aku harap ibu jangan membencinya.”
“Aku tetap benci. Jangan banyak bicara, apa kamu ada didekat istri kamu sehingga kamu terlalu banyak bicara yang intinya memuji-muji dia?”
“Satria masih di kantor. Dan perlu ibu tahu, bahwa Minar tidak membenci ibu, dia pula yang membayar hutang ibu pada bu Lisa ketika ibu ditahan di kantor polisi.”
“Apa? Bohong kan? Supaya dia kelihatan baik di mata ibumu ini?”
“Satria tidak pernah bohong. Ibu yang suka bohong.”
“Sudah, ini … ibu kirimkan nomor rekening ibu. Kelamaan, aku sudah berdiri di depan loket.”
Satria enggan menjawab kata-kata ibunya. Dia lalu menstransfer sejumlah uang agar ibunya bisa membeli tiket. Lalu dia beranjak pulang karena istrinya sedang menunggu.
Ketika berulang kali sang ibu menelpon lagi, Satria mengacuhkannya. Agak kesal dengan perilaku ibunya, yang melakukan sesuatu tanpa perhitungan, sehingga pergi dan tak bisa pulang. Kecuali itu sang ibu juga tetap saja merendahkan istrinya yang sebenarnya sangat perhatian padanya.
***
Sebelum sampai di rumah, Satria mendapat telpon dari ayahnya.
“Satria, apa kamu sibuk?”
“Sedang pulang mau makan siang di rumah.”
“Tadi pagi ibumu datang ke rumah.”
“Oh, rupanya menemui Bapak di rumah?”
“Ya, ngomong nggak karuan. Katanya mau menjual rumahnya juga., karena sudah nggak punya apa-apa.”
“Mau dibeli Bapak?”
“Ya enggak. Rumah sebagus itu pasti harganya mahal. Bapak belum bisa membelinya. Kelihatannya dia marah. Dia mampir ke toko sembako yang aku serahkan pengelolaannya pada Birah. Dia mengamuk karena tidak ketemu Birah. Lalu dia pergi, entah di mana sekarang dia. Aku pikir dia sudah sakit jiwa.”
“Tadi menelpon Satria, di bandara, nggak bisa pulang karena nggak punya uang. Lalu Satria transfer beberapa rupiah untuk beli tiket.”
“Aku agak kesal, bicaranya tidak karuan. Yang aku heran, dia bisa kehabisan uang dan katanya mobil serta perhiasan sudah dijual semua. Katanya ada yang pinjam uangnya dan tidak dikembalikan. Sepertinya tidak hanya seorang.”
“Ibu itu bohong,” sergah Satria. Lalu dia menceritakan bahwa ibunya punya hutang seratus juta, lalu dirinya terpaksa menjual mobilnya, kemudian punya hutang lagi limabelas juta yang kemudian dibayar oleh Minar.
“Ya Tuhan, untuk apa saja ia menghabiskan uang begitu banyak? Belum ada setahun aku mengembalikan uang yang aku pinjam. Begitu cepat hartanya habis?”
“Ibu hanya suka berfoya-foya. Tentu saja hartanya habis.”
“Ah, entahlah, sebenarnya sudah bukan urusanku apa yang terjadi pada ibumu, karena tidak ada lagi ikatan apapun diantara kami.”
“Yang menjengkelkan ialah dia selalu membenci Minar, sementara Minar dengan ikhlas merelakan uangnya untuk membayar hutang ibu.”
“Semoga nanti akan ada yang menyadarkannya.”
“Aamiin.”
“Satria, kalau kamu mau, bawa saja mobil bapak, nanti gampang, bapak bisa beli mobil bekas yang agak murah. Lagian di sini ke-mana-mana gampang.”
“Tidak usah Pak, sudah ada yang memberi mobil baru untuk Satria.”
“Oh ya? Atasan kamu?”
“Ayah Tomy.”
“Ayah Tomy itu bekas suami ibumu?”
“Iya. Dia sangat baik. Begitu tahu Satria menjual mobil untuk membayar hutang ibu, tiba-tiba saja dia mengirimkan mobil baru untuk Satria.”
“Syukurlah, aku senang kamu bisa dekat dengan orang-orang baik. Ya sudah, nanti kamu keburu lapar, ngomong terus sama bapak. Nanti bapak menelpon lagi.”
Satria sudah sampai di rumah, tapi dia tidak menceritakan apapun perihal ibunya. Sang mertua menyambut kepulangannya dengan linangan air mata, dan Satria bersyukur karena ternyata Birah yang dulu pernah dibencinya, bisa bersikap begitu baik.
***
Boy masih terbaring di atas ranjang. Panas tubuhnya belum stabil. Terkadang turun, lalu kembali naik. Dokter berpesan agar Boy tidak banyak bergerak. Boy juga mendapat pengawasan seksama dari dokter yang bertanggung jawab merawatnya. Sementara itu Tomy dengan penuh perhatian terus menungguinya. Pak Ratman sudah menelponnya, bahwa dia harus libur dulu sementara anaknya masih sakit.
Saat itu Boy terjaga, tapi tak sedikitpun ia menoleh ke arah samping, di mana Tomy selalu menungguinya.
“Ibuu ….” panggilnya pelan.
“Ibu sedang keluar sebentar. Boy mau minta apa? Minum? Bapak ambilkan ya.”
Boy menggeleng. Belum ada tatapan bersahabat menyorot dari matanya. Tomy memang harus bersabar. Yang pasti dia hanya ingin bersama anaknya saat sang anak menderita sakit.
“Boy ingin apa? Oh ya, kemarin mbak Kartika membawa mobil-mobilan kecil untuk Boy. Biar bapak ambilkan ya,” kata Tomy yang kemudian membuka bungkusan yang kemarin dibawa Kartika dan belum boleh diberikan, karena takut Boy terganggu dengan keinginannya untuk bermain. Tapi ketika Tomy memberikan mobil-mobilan yang kecil untuk Boy, Boy menerimanya dengan mata bersinar.
“Ini mobil baru. Bukan mobil Boy.”
“Mobil ini diberikan mbak Kartika untuk Boy. Jadi sekarang sudah menjadi milik Boy.”
“Aku mau turun.”
Tuh kan, harusnya Tomy tidak memberikannya terlebih dulu.
“Boy, kata dokter, Boy belum boleh banyak bergerak. Nanti Boy panas lagi. Tapi besok kalau sudah tidak sakit, Boy boleh main sepuasnya,” bujuk Tomy dengan lembut.
Berkali-kali Boy dibuat heran dengan sikap ayahnya yang tidak seperti ketika ia dan ibunya berkumpul dalam satu rumah. Sang ayah begitu lembut dan penuh perhatian. Ia juga bersikap lembut kepada ibunya. Sebenarnya hal itu membuatnya nyaman, tapi ada perasaan lain yang mengganggunya. Jangan-jangan kebaikannya itu hanya untuk membujuknya agar mau diajak pulang. Lalu dirumahnya, ayahnya berlaku kejam lagi seperti dulu. Karena itulah Boy belum sepenuhnya mau bersikap ramah pada ayahnya.
Mendengar sang ayah melarangnya turun, Boy hanya diam. Ia memegang erat mobil yang tadi diberikan ayahnya. Mobil yang bisa berjalan sendiri dengan remote kontrol.
“Sabar ya, sebentar lagi Boy bisa bermain mobil-mobilan.”
“Ibuu…”
“Ibu sedang membeli makanan, tunggu sebentar ya.”
“Kenapa om Satria tidak kemari?”
Om Satria lagi … Tomy mengeluh dalam hati. Tapi ia tak ingin membuat Boy kecewa. Ia harus menunjukkan bahwa dia bisa bersikap sebaik Satria.
“Om Satria masih bekerja. Nanti pasti akan datang kemari. Sekarang Boy makan ya, disuapin bapak?”
“Boy nggak suka bubur,” katanya ketus.
Tomy ingat, sejak kemarin Boy tidak mau makan karena tidak suka makan bubur, sementara dari rumah sakit Boy mendapat makan bubur. Itupun bubur halus yang disaring lembut.
“Boy, bubur ini sangat enak dan sehat. Ada vitaminnya, ada zat-zat yang bisa membuat Boy cepat sembuh. Cobain yuk? Boy kalau ingin sembuh karus mau mencoba bubur ini. Bubur ini bisa membuat orang sakit cepat sembuh lhoh.”
Mendengar iming-iming cepat sembuh, Boy menoleh ke arah Tomy. Benarkah makan bubur bisa membuat dirinya cepat sembuh?
“Dicobain ya?”
Tomy meraih nampan berisi makanan. Mengambil mangkuk bubur, diberinya sedikit kuah sayur.
“Ayuk, cobain dulu. Mau sembuh tidak?”
Boy menatap sendok yang sudah berisi sedikit bubur dan kuah sup yang dibawa Tomy, lalu didekatkannya ke bibirnya.
Sup adalah sayur kesukaan Boy. Aroma sup yang menusuk hidungnya, membuatnya kemudian membuka mulutnya. Tomy menyuapkan bubur itu, Boy mengecap-ngecapnya.
“Enak kan?”
Entah karena bubur dengan kuah sup itu memang enak, atau tangan penuh kasih sayang itu yang mengalirkan rasa nyaman di hati Boy, sehingga Boy membuka mulutnya beberapa kali, dan bubur itu habis separonya. Bahagia hati Tomy melihatnya.
Saat itulah tiba-tiba Monik muncul. Ia membelikan makanan untuk Tomy dan juga untuk dirinya.
“Haaa, Boy mau makan?” Monik bersorak sambil mendekat.
Tomy masih menyuapkan beberapa sendok lagi. Hampir habis ketika Boy menolaknya karena sudah kenyang.
“Anak pintar,” seru Monik sambil mencium dahi anaknya.
Monik juga senang, Boy mau menerima makanan yang disuapkan Tomy.
“Ibu, benarkah kalau Boy makan bubur sehat, lalu bisa cepat sembuh?”
“Tentu saja Boy. Kalau makan banyak, lalu menurut kata dokter, maka Boy akan cepat sembuh. Tuh, sudah pegang mobil-mobilan bagus?”
“Dia yang berikan, katanya diberi mbak Kartika.”
Monik tertawa, mendengar Boy menyebut ayahnya dengan kata ‘dia’.
“Boy, panggil dia bapak, jangan dia.”
Boy menatap Tomy yang kembali duduk, tapi tidak mengucapkan apa-apa.
“Biarlah, sesuka dia mau memanggil apa, aku sudah senang dia mau makan.”
“Baiklah, sekarang Mas makan saja dulu, itu aku beli untuk kita”
“Kamu dulu saja yang makan, aku belakangan.”
Monik mengambilkan minum untuk Boy.
“Boy di sini sendirian nggak apa-apa? Bapak sama ibu mau makan.”
Boy mengangguk. Tangan kecilnya mengutak atik mobil yang sedari tadi digenggamnya.
“Terima kasih atas semuanya,” kata Tomy yang kemudian makan dengan lahap, makanan yang diambilkan Monik.
“Semuanya itu apa. Aku yang berterima kasih, karena kamu mau menjaga Boy siang dan malam.”
“Mengapa begitu? Bukankah Boy itu anakku? Aku punya kewajiban untuk menjaga dan merawatnya,” katanya mantap.
Dalam hati Monik berkata, mengapa baru sekarang dia mengatakan dan menyadarinya?
Tak banyak yang mereka bicarakan. Rasa canggung karena baru berbaikan selama beberapa hari, menjadi penghalang untuk bicara banyak. Mungkin sungkan, mungkin malu, atau entahlah. Semoga mata yang saling menatap bersedia bicara tentang apa yang ada di dalam hati mereka.
***
Sore hari itu Minar menunggu Satria pulang, karena ia ingin menjenguk Boy. Birah juga bersedia untuk ikut, karena Satria berjanji akan mengajak ibu mertuanya untuk berkeliling kota Jakarta. Selamanya Birah belum pernah menginjakkan kakinya di kota itu. Ketika Satria pulang, bersamaan dengan Kirani yang baru pulang juga dari pertemuan bisnis yang didatanginya sejak siang.
“Aku juga mau ikut dong,” katanya melihat mereka mau pergi.
“Ibu tidak capek? Beristirahat saja dulu,” kata Minar.
“Nggak, aku nggak capek. Aku mau ikut putar-putar kota, setelah membezouk … siapa namanya anak itu?”
“Boy,” jawab Satria.
“Ayah Boy itu saudara seibu dengan saya.”
“Oh, pantesan kalian sangat dekat. Nggak apa-apa, aku mandi sebentar, lalu ikut. Takut terlambat, lalu kehabisan waktu bezoek.”
“Mas Satria juga harus mandi dulu ah, bau accceeemm.”
“Dulu saja, hanya karena suka mencium-cium bau keringatku, kamu melarangku mandi,” Satria meledek, lalu lari ke dalam kamar karena Minar siap mencubitnya.
Birah dan Kirani tertawa senang melihat kemesraan itu.
“Baiklah, sambil menunggu mereka, menikmati pisang goreng ini saja, ayo Bu. Sekarang Minar sudah doyan segala macam makanan, tidak seperti waktu ngidam dulu itu.”
“Ngidam biasanya begitu, tapi setiap orang berbeda-beda. Ada yang sedikit-sedikit muntah, ada yang biasa saja. Itu tidak masalah, yang penting sehat,” kata Birah.
***
Tomy sudah mandi, dan berganti pakaian, karena Kartika membawakan baju ganti Tomy yang diambilnya di rumah, kemarin sore. Entah ada yang kurang atau tidak, tapi Tomy senang bisa berganti pakaian bersih.
Ketika dia mau duduk di sofa karena Monik meletakkan minuman botol di meja, tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Rohana.
“Tomy, bisakah menolong ibu?”
“Menolong apa?”
“Buatkan iklan di koran-koran, ibu mau menjual rumah ibu.”
“Menjual rumah?”
“Cepat ke rumah, jangan banyak bicara.”
“Tapi Tomy sedang ada di rumah sakit, anak Tomy sakit.”
“Anakmu? Anak Desy, perempuan tak tahu diuntung itu?”
“Anaknya Monik.”
“Apa? Anaknya Monik? Aku mau melihatnya, di mana rumah sakitnya?”
***
Besok lagi ya.
Hore
ReplyDeleteTrmksh mb Tien, smg sht sll
DeleteAamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun Yangtie
🍒🍓🍒🍓🍒🍓🍒🍓
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
AaBeAy_42 sdh hadir.
Manusang nggih, doaku
semoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia
lahir bathin. Aamiin.
Salam seroja...😍🤩
🍒🍓🍒🍓🍒🍓🍒🍓
Aamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Salam ADUHAI
Boy
ReplyDeleteRohana......
ReplyDeleteSadarlah dikau....
Ingat balasannya lho ....
Matur nuwun bu Tien, episode ke 43 pasti ruame poll
Sami2 pak mas Kakek
DeleteAlhamdulillah terima kasih bu Tien🙏
ReplyDeleteSami2 ibu Ika
DeleteLama nggak komen
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulillah *Aku Benci Ayahku*
ReplyDeleteepisode 42 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Matur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur suwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah 👍🌷
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terima kasih, bu Tien. Salam sehat.🙏
ReplyDeleteSami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat kembali
Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~42 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Sami2 ibu Endah
DeleteTerima ksaih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Aku Benci Ayahku 42* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteWah si biang kerok, mau jenguk dah dapet uang dr Satria, seru nih ketemu Birah di RS & Satria jd ketahuan bohong nya , 😁😁🤩
Aduhaiii deh Bu Tien, 👍👍👍
Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Rohana memang perlu dibantu, tapi untuk menyadarkan gaya hidup yang tidak sesuai. Kalau hanya diberi uang terus menerus, tidak akan sembuh.
ReplyDeleteNah...di rumah sakit mungkin ketemu 'musuhnya' yang sangat tidak disukai. Apa akan ribut lagi ya...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien K ABAy 42
Semoga bunda selalu sehat dan srlalu dalam lindungan Allah SWT
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun Anrikodk
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
.Hamdallah...cerbung Aku Benci Ayahku part 42 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin.
Siip..sedikit demi sedikit Boy sdh mau menerima uluran tangan Ayah nya ( Tomy ).
Semoga di episode berikut nya tdk akan terjadi pecah perang dunia yang ke dua x nya lagi, krn Rohana akan bertemu dengan Subirah, musuh lama nya, di RS tempat Boy di rawat. Sing waras ngalah ya Birah. Klu Rohana ngajak jambak jambak..an..jangan di ladeni ya...😁😁
Aamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Panas
ReplyDeleteNgeyup pak Joyo
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam hangat semoga sehat selalu
Aamiin Yaa Robbal'Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Aamiin Yaa Robbal'Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sri
Salam hangat aduhai aduhai deh
Matur nwn bu Tien, salam sehat selalu
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteSalam sehat juga
Sy yakin tidak perang lagi karena Birah sudah sadar... ada Kirani juga Rohana pasti malu, betul kan bunda Tien? Terimakasih, salam sehat selalu, bahagia selalu da aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalam sehat dan aduhai
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteTerima kasih, ibu.
ReplyDeleteSami2 ibu Linatun-nisa
DeleteTerima kasih perhatiannya
Terima kasih ABA
ReplyDeleteSami2
DeleteMatur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSehat dan bahagia selalu bersama keluarga..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Ermi
Makasih mba Tien
ReplyDeleteSalam bahagia selalu aduhai
Sami2 ibu Sul
DeleteSalam aduhai selalu