KUPETIK SETANGKAI BINTANG 41
(Tien Kumalasari)
Di rumah Sakit Satria segera memasuki ruang di mana sang ibu dirawat. Ada Sinah yang melayani ibunya makan. Lalu begitu dia masuk, sang ibu segera mendorong tangan Sinah yang siap menyuapkan makanan ke arahnya.
“Sudah … sudah … aku nggak doyan makan,” katanya lirih.
“Nyonya bagaimana, ini tadi Nyonya minta tambah, mengapa baru dua suap tidak dihabiskan,” kata Sinah yang heran karena tiba-tiba Rohana bilang tidak doyan makan, padahal sepiring penuh tadi sudah dihabiskan lalu minta tambah.
“Sinah, siapa yang minta tambah? Kamu jangan mengada-ada. Mulutku rasanya pahit,” katanya sambil sekali lagi mendorong piring yang didekatkan padanya.
Sinah mengambil piring yang masih berisi makanan, dan merasa heran atas sikap majikannya. Lalu Satria mendekat.
“Ibu kenapa?”
Tiba-tiba Rohana menangis, sambil memegangi tangan Satria.
“Satria, tidak terasa, ternyata aku sakit parah. Kata dokter umurku tidak lama lagi.”
“Sebenarnya ibu sakit apa? Kata mbak Sinah, kemarin baik-baik saja.”
“Dokter baru memeriksa sekilas kemarin, ketika tadi diperiksa ulang, ditemukan penyakit mematikan di tubuh ibu. Kata dokter aku tidak boleh sedih atau tertekan, karena hal itu akan mempersingkat umur ibu.”
“Satria akan menemui dokternya.”
“Tidak usah, sebentar lagi dokternya akan datang kemari, ketika ibu bilang kamu mau datang. Sinah, coba kamu cari dokternya yang tadi. Katanya mau keluar sebentar karena ada pasien yang harus ditangani,” katanya kemudian kepada Sinah.
“Mbaknya yang tadi?” kata Sinah.
“Iya, dia itu dokter. Jangan panggil mbak, enak saja. Apa kamu mau disuntik mati?”
“Habis tadi tidak memakai pakaian dokter, mana saya tahu kalau dia dokter. Biasanya dokter kan pakaiannya putih-putih,” kata Sinah polos.
“Jangan banyak komentar, segera cari, tadi katanya mau ke apotek dulu untuk menjelaskan obat sebelum menangani pasien.”
“Jadi saya mencari ke apotek, Nyonya?”
“Iya. Cepatlah.”
Sinah segera pergi.
“Satria, tolong selalu doakan ibu, agar ibu tidak cepat mati,” katanya dengan air mata berlinang.
Hati Satria terasa miris. Benarkah ibunya yang tampak bugar ternyata digerogoti penyakit ganas?
“Satria akan ke ruang dokter dulu.”
“Jangan, Sinah sedang memanggilnya.”
“Katanya sedang menangani pasien.”
“Tadi katanya mau mampir ke apotek, ada obat yang harus dijelaskan. Entah keliru atau apa.”
“Obat untuk Ibu?”
“Bukan, untuk pasien lain. Makanya dia ke apotek dulu.”
Satria memegangi tangan ibunya.
“Tidak panas.”
“Memang tidak panas. Ibu tidak merasa panas, hanya sangat pusing dan berat, rasanya. Ibu juga tidak doyan makan.”
“Kalau sudah ditangani dokter, ibu tidak usah khawatir. Berdoa saja, agar Allah memberikan kesembuhan.”
“Kamu jangan menganggap enteng penyakit ibu. Dokter wanti-wanti agar ibu tidak sedih, atau tertekan. Padahal ibu sedang sedih memikirkan Tomy.”
“Ibu sudah menghubungi Tomy?”
“Susah. Kalau ibu menelpon tidak pernah diangkat. Ibu jadi sedih. Monik menelpon terus. Kalau tidak ada jalan keluar, kita harus berhadapan dengan orang tua Monik yang katanya marah-marah terus. Ibu tidak tahu harus berbuat apa lagi. Kamu sendiri juga menolak saran ibu. Ibu sudah seperti pengemis meminta tolong padamu,” lalu Rohana terguguk lagi.
“Sudahlah, ibu jangan menangis, katanya tidak boleh sedih?”
“Tapi bagaimana lagi? Itu menjadi beban berat bagi ibu. Kamu sendiri tidak mau membantu.”
“Baiklah Bu, nanti kita pikirkan lagi.”
Mata Rohana tiba-tiba bersinar.
“Kamu bersedia menolong ibu? Bersedia menikahi Monik?”
“Akan Satria pikirkan. Yang penting Ibu sembuh.”
Tiba-tiba seorang wanita muncul. Sepertinya dialah dokter yang dimaksud. Ia memakai jubah putih, tapi belum tampak tua. Ia langsung mendekati Rohana yang masih terbaring.
“Dokter, ini Satria, anak saya," kata Rohana sambil mengusap air matanya dengan ujung selimut yang menutupi sampai ke dadanya. Satria meraih tissue, diberikan kepada ibunya, lalu berdiri agak menjauh.
“Oh, ini yang namanya Satria?”
Satria mengulurkan tangannya dengan sopan.
“Bagaimana keadaan ibu saya, dok?”
“Saya sangat menyesal, ibu Rohana terlambat berobat, padahal penyakitnya sangat parah.”
“Parah?”
“Sangat parah. Kemungkinan untuk sembuh hanya duapuluh lima persen.”
Wajah Satria sedikit pucat. Separah itu?”
“Tapi kalau dia patuh, saya yakin akan bisa hidup lebih lama. Anda harus menjaga ibu Anda. Jangan sampai dia kecewa, sedih ataupun terluka.”
Wanita yang disebut dokter itu bicara panjang lebar, tapi intinya adalah bahwa karena penyakit ibunya parah, maka dia harus menjaganya dan jangan mengecewakannya.
Siapa sih orangnya yang ingin kehilangan seorang ibu? Walau ia tidak dirawat sejak bayi, tapi ia tahu bahwa Rohana adalah wanita yang melahirkannya. Walau kesal dalam hati, tapi tentu tak rela melihat ibunya menderita, apalagi sampai meninggal. Ada sedih mengiris, ketika teringat pada janjinya, bahwa tak akan mengecewakan ibunya, dan akan membuatnya senang.
Bagaimana dengan menikahi Monik?
Ya Tuhan, keluhnya ketika keluar dari ruang rawat ibunya.
***
Hanya dua hari setelah Satria menjenguknya sang ibu diijinkan pulang. Mana Satria tahu bahwa dokter sebelumnya mengatakan bahwa Rohana baik-baik saja? Ia sudah bertemu dokter wanita yang ia lupa menanyakan siapa namanya, atau mungkin ibunya mengatakan tapi dia lupa. Dokter itu berpesan wanti-wanti agar dia selalu membuat ibunya senang.
Tentang menikahi Monik, dia akan memikirkannya. Dan itu adalah lebih dari setengah kesanggupannya.
Pikiran Satria menerawang ke arah Minar. Memang sih, Minar belum pernah menjawab atau membalas cintanya. Tapi Satria sudah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia harus memperjuangkan cintanya. Lalu bagaimana ia harus menikahi Monik?
Tiba-tiba timbul rasa geram di hati Satria, kepada Tomy. Ia mengambil ponselnya, lalu menelpon Tomy.
Satria sudah menduga, pasti Tomy tak akan mengangkatnya. Tapi ia terus mencoba, dan ia merasa lega ketika panggilannya diangkat.
“Hallo,” jawaban dari seberang. Bukan suara Tomy, tapi suara seorang laki-laki dengan suara bariton.
“Selamat pagi,” sambut Satria, bagaimanapun ia harus bersikap sopan karena dialah yang menelpon.
“Maaf, saya ingin bicara dengan Tomy.”
“Oh, Tomy sedang mandi. Baru saja dia masuk. Saya angkat panggilan ini karena terus menerus berdering.”
“Saya bicara dengan siapa ya?” tanya Satria sopan.
“Saya ayahnya Tomy. Kalau boleh tahu, ini siapa?”
“Saya Satria.”
“Oh, Satria, anak Rohana yang dari Solo itu?”
“Benar Pak. Tapi saya bekerja di Jakarta sini. Maaf mengganggu Bapak. Kalau begitu saya tutup dulu, saya akan menelpon lagi nanti.”
“Kalau boleh tahu, ada urusan apa ya? Apa urusan uang?”
Satria terkejut, dan juga agak tersinggung.
“Tidak, saya tidak pernah berurusan dengan Tomy tentang urusan uang. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan.”
“Tentang apa kira-kira? Saya ayahnya, kalau ada hal penting yang hubungannya dengan Tomy, saya harus tahu.”
Satria ragu antara berterus terang atau tidak. Tapi dia sudah menelpon, apapun nanti, ia harus mengatakannya. Toh Tomy pasti juga tetap saja akan ingkar. Biar saja ayahnya tahu. Misalkan ayahnya membela Tomy, biarkan saja. Tomy tidak bertanggung jawab, yang penting ayahnya tahu.
“Bagaimana? Katakan saja. Apalagi Anda bilang ini hal penting.”
“Maaf Pak, ini sebuah tanggung jawab yang harusnya dipikul Tomy.”
“Tanggung jawab mengenai apa? Tomy berhutang? Saya sudah mencukupi kebutuhannya, bahkan saya kira lebih dari cukup. Tapi kalau sampai Tomy berhutang, saya harus menanyakannya juga pada Rohana. Dikemanakan saja uang yang selalu saya berikan.”
“Bukan masalah uang, tapi masalah seorang gadis.”
“Masalah seorang gadis? Maksudnya …? Soal pelecehan? Saya sudah berpesan wanti-wanti kepada Rohana, bahwa dia harus mendidik Tomy dengan baik. Saya sedang kecewa karena kuliahnya tidak segera selesai. Malah dia bilang enggan bersekolah lagi. Setelah itu dia tak mau pulang ke Jakarta, dan memilih ikut bekerja di kantor saya. Saya agak bingung dengan sikapnya.”
“Saya hanya ingin bicara dengan Tomy. Kalau Bapak ingin jelasnya, silakan saja menanyakannya kepada Tomy.”
“Ya sudah, itu tampaknya Tomy sudah selesai mandi, saya akan segera menanyakannya.”
Ponsel ditutup tiba-tiba. Tapi Satria merasa lega. Beruntung tadi ayahnya yang menjawab. Kalau Tomy, bisa jadi dia malah mematikan ponselnya.
***
Monik sangat senang ketika mendengar dari Rohana, bahwa yang akan menikahinya adalah Satria. Rohana bilang bahwa tak lama lagi akan datang melamar. Monik langsung mengatakan kepada orang tuanya, bahwa dia ingin pesta yang sangat meriah untuk pernikahannya nanti.
Monik juga sudah menyebarkan berita bahagia itu kepada teman-temannya. Ia sungguh bangga bisa bersanding dengan Satria nantinya. Bukankah di kampus Satria adalah pujaan para gadis? Wajahnya yang tampan, tutur katanya yang lembut dan manis kepada siapa saja, membuat banyak teman-teman kuliahnya tergila-gila padanya. Dan sekarang, Satria akan menjadi miliknya.
Berita itu sangat mengejutkan Wini. Ia segera meraih ponselnya untuk menelpon Minar. Tapi tidak, Wini merasa lebih baik datang saja ke rumah Minar dan berbicara secara langsung. Ia harus segera menghiburnya kalau sampai Minar bersedih setelah mendengar kabar itu. Kebetulan hari ini hari liburnya Minar.
***
Tapi dugaan Wini salah. Dengan menyembunyikan hatinya yang patah, Minar justru tersenyum manis.
“Mereka adalah pasangan yang serasi.”
Jawaban itu membuat Wini sangat kesal kepada sahabatnya.
“Minar, aku tahu bahwa kamu mencintai mas Satria. Kamu menyembunyikan rasa itu hanya karena perasaan rendah diri kamu. Apa kamu tahu bahwa cinta adalah bahagia melihat kecintaannya hidup bahagia? Bagaimana perasaan kamu melihat orang yang kamu cintai hidup tertekan kalau tidak boleh dikatakan menderita?”
Minar terdiam. Serapat apa ia menyembunyikan perasaannya, tetap saja kelihatan, bagaimana sebenarnya perasaannya. Walau bibirnya tersenyum, tapi mata Minar tampak berembun.
“Dengar, mas Satria menikah bukan karena mencintainya. Dia dikorbankan karena saudaranya melarikan diri.”
“Apa yang bisa aku lakukan selain mensyukuri? Mas Satria malakukannya karena hatinya yang baik dan mulia,” lirih Minar.
“Ya Tuhan. Betapa marahnya aku mendengar berita itu. Berita dari Monik yang dengan bangga bercerita kepada teman-temannya bahwa dia akan bersanding dengan pria yang sejak dulu menjadi pujaan gadis-gadis di kampusnya. Kalau pantas, ingin aku mencabik-cabik wajah Monik yang tak tahu malu itu.”
“Ssssh, Wini, tenangkan hatimu,” kata Minar sambil memeluk sahabatnya erat.
Keadaan menjadi terbalik. Tadinya Wini yang ingin menghibur Minar kalau Minar menjadi sedih karena berita ini, tapi sekarang justru Minar yang berusaha menenangkan hatinya yang panas.
“Kamu tahu Wini, bahwa manusia hidup itu kan sudah memiliki garisnya masing-masing. Mau kamu sengsara, mau kamu bahagia, tak ada yang harus disesali, karena semua yang kita alami ini sudah ada takdirnya masing-masing. Seperti aku menjalani hidup kekurangan di masa lalu, lalu sekarang bisa mendapat pekerjaan dan menjalani kehidupan yang lebih baik, atau kehidupanmu … kehidupan mas Satria … juga kehidupan Monik, siapa yang mengaturnya? Kalau kita sedang berdoa, Ya Allah, berikan yang terbaik untuk hidup hamba. Maka inilah hidup yang diberikanNya untuk kita, jadi inilah yang terbaik,” kata Minar walau embun yang semula mengambang di matanya kemudian tumpah mengaliri pipi lembutnya.
Wini ganti memeluk sahabatnya, dan mereka berpelukan sangat lama.
“Kamu luar biasa Minar. Kamu sangat kuat menjalani kehidupan kamu dengan segala liku-liku yang sulit. Dan entah seandainya itu aku, apa bisa aku melakukannya.”
“Kamu pasti bisa melakukannya, Wini.”
“Benarkah kamu tidak terluka?”
“Sudah banyak luka memenuhi jiwaku. Luka ditinggalkan ibu, luka ini dan itu, tapi rasa ikhlas akan menutupi luka itu. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku, Wini. Aku bisa menerima semuanya.”
“Terbuat dari apa, hatimu itu Minar?” kata Wini sendu, sambil terus memeluk sahabatnya.
***
Rohana gembira bukan alang kepalang, karena berhasil membujuk Satria dengan rekayasa. Barangkali juga ini balasan dari hadiah rekayasa yang dibuat Satria ketika akan memberikan ponsel untuk Minar. Tapi kan sifatnya berbeda? Hadiah rekayasa diberikan karena ada kasih sayang, tapi menikah rekayasa adalah sebuah korban. Satria benar-benar mengkhawatirkan kesehatan ibunya, karena dia sanggup menuruti permintaannya. Barangkali kalau Satria lebih teliti, ia bisa menanyakan langsung kepada rumah sakit tentang hasil pemeriksaan ibunya. Fisiknya, bukan hanya kata dokternya yang entah namanya Satria lupa. Tapi perasaan kalut membuatnya melupakan akal sehatnya. Ia juga tak mampu mengabari Minar tentang ‘nasibnya’.
***
Hari itu Rohana bersiap berangkat ke Solo dan akan mengajak Murtono untuk melamar. Ia tak harus memberitahunya terlebih dulu, karena ia tahu Murtono pasti akan mengomel karena sesungguhnya tidak setuju. Ia sedang menunggu Satria yang katanya sedang dalam perjalanan ke rumahnya.
Tiba-tiba ia melihat sebuah mobil memasuki halaman. Mobil Tomy.
Tapi bukan hanya Tomy yang turun dari mobil itu, ada juga ayahnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah *KaeSBe*
ReplyDeleteepisode 41 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 jeng Susi
Deleteππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
KaeSBe_41 sdh tayang.
Matur nuwun Bu Tien,
semoga Bu Tien &
kelg, tetap sehat dan
bahagia. Aamiin.
Salam aduhai...ππ€©
ππππππππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Ning
DeleteKomennya kok ngirit heheee
Ndengarènn
Alhamdulilah KSB 41 sudah tayang, maturnuwun bu Tien ..semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan bahagia..salam hangat dan aduhai aduhai bun ❤️❤️
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Salam aduhai deh
ππ«ππ«ππ«ππ«ππ«
ReplyDeleteAlhamdulillah KaeSBe episode_41 sudah tayang. Terima kasih bu Tien. Salam sehat dan tetap ADUHAI...
πππΉ
Tiba-tiba ia melihat sebuah mobil memasuki halaman. Mobil Tomy.
Tapi bukan hanya Tomy yang turun dari mobil itu, ada juga ayahnya.
ππ«ππ«ππ«ππ«ππ«
Rame besuk, ayah Tomy termakan omongan Satria, Tomy hrs bertanggungjawab menikahi Monik.
DeleteHehee... matur nuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~41 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerima kasih, bu Tien cantiik.... sehat2 selalu, yaaππ·
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Mita
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun Bunda... salam aduhai dan smg sehat2 selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Wah nyegat Rohana kliwat matur nuwun jeng Tien
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiik
Deletematur nuwun bu Tien...
ReplyDeleteSami2 ibu Atiek
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya π€π₯°πΏπ
ReplyDeleteAduhai nih, ayah nya Tomi dtg, apa yg akan terjadi,,,, yg jelas jd rame ππ€
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Wkwk...ada dokter gadungan ya...jangan2 nantinya Rohana kena karma sakit parh beneran, kapok deh!π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam sehat.πππ
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Ayo Rohana marahi oleh ayah Tomi supaya kelakuannya terbongkar, tidak jadi melamar Monik... Eeehhh kok jadi aku yang marah padahal bunda Tien punya cerita. Saking gregetna sama Rohana.
ReplyDeleteMakasih bunda kutunggu kelanjutannya, salam sehat selalu dari Tasikmalaya.
Sami2 ibu Engkas
ReplyDeleteSalam sehat dari Solo
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 41* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
maturnuwun bunda
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..ππ
ReplyDeleteAlhamdulillah " Kupetik Setangkai Bintang-41" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Allahumma Aamiin
Alhamdulillah.. yang selalu ditunggu tayang. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai..
ReplyDeleteAlhamdulillah... Mtnw mbakyu, sehat selaluπ
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
KSB 41 telah tayang
Semoga bu tien sehat2 selalu
Nah lo, tambah rame deh, ay nya tomy jg datang, apakah akan terkuak sakitnya rohana yg pura" itu, tunggu besok lagi yaaa
ReplyDeleteMks bun KSB 41 nya.......selamat malam semoga slll bahagia bersama kelrg......
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 41 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Hebat Rohana...sandiwara nya bisa mengelabui Satria. Emang hidup atau mati nya seseorang, dia yang nentuin x ya...π
Nah..krn taat nya Satria sama Bunda nya, bisa jadi insiden ini terbongkar, krn tdk sengaja Satria phone Tomy,..Ayah nya Tomy yang angkat...jadi ketahuan borok mu deh Tomy..ππ
Malam dingin
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matursuwun Bu Tien KaeSBe 41 ~ nya. Semoga Bu Tien sehat selalu, bahagia bersama keluarga
ReplyDeleteMudah²an ayah Tommy sudah tahu masalahnya sehingga Satria bisa selamat dan kemudian bisa memetik bintang untuk Minar...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteTomi hrs tanggung jawab.
Terimakasih Bunda Tien
ReplyDeleteSehat selalu dan bahagia bersama amancu
Aduhai