Wednesday, July 3, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 40

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  40

(Tien Kumalasari)

 

Satria menggenggam ponselnya erat, tak percaya apa yang didengarnya.

“Apa Mbak?”

“Tuan muda, nyonya dibawa ke rumah sakit, tadi pingsan. Tetangga yang membawanya.”

“Apa Tomy tidak ada?”

“Tuan muda Tomy sudah berhari-hari tidak pulang.”

Satria mengumpat dalam hati. Tomy benar-benar tidak bisa diandalkan. Maunya hanya bersenang-senang dan menghabiskan uang.

“Tuan muda segera pulang ya, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.”

“Tapi saya ada di Solo, jauh, dan tidak bisa langsung pulang. Paling cepat besok pagi, itu kalau saya bisa mendapat tiket pagi.”

“Lalu saya harus bagaimana?”

“Mbak Sinah pergi ke rumah sakit saja dulu, kabari saya kalau ada apa-apa. Saya berusaha pulang besok.”

“Baiklah, Tuan Muda.”

Sinah menutup ponselnya, meninggalkan Satria termenung beberapa saat.

“Ada apa?” tanya Wini dan Minar hampir bersamaan.

“Ibu dibawa ke rumah sakit, kata pembantu, tadi pingsan tiba-tiba.”

“Mas akan pulang?”

“Paling cepat baru bisa besok pagi.”

“Ikut prihatin ya Mas, semoga tidak terjadi hal buruk untuk ibu, dan semoga cepat sembuh,” kata Minar.

Satria menatap Minar dengan pandangan sendu. Gadis ini luar biasa, selalu disakiti ibunya, tapi masih bersedia mendoakan. Satria semakin merasa kalau dia tidak salah pilih. Ia ingin membicarakan mengenai hubungan mereka dan hal yang dianggap kendala oleh Minar, tapi tertunda gara-gara berita itu.

“Sebenarnya aku ingin bicara, Minar, tapi sepertinya waktunya tidak tepat. Kalau keadaan ibuku baik-baik saja, aku akan kembali kemari untuk menemuimu,” kata Satria.

“Tidak usah terburu-buru Mas, yang penting ibu harus sembuh dulu.”

Satria mengangguk, kemudian dia memesan taksi.

“Kamu aku antar sekalian ya?” kata Satria.

“Tidak usah Mas, nanti aku pulang sendiri saja,” kata Minar.

“Jangan khawatir Mas, nanti aku yang akan mengantarkan Minar pulang," sambung Wini.

“Baiklah Wini, terima kasih banyak.”

Sepeninggal Satria, Wini tampak termenung beberapa saat.

“Kasihan mas Satria,” gumamnya pelan.

“Kita doakan yang terbaik untuk ibu mas Satria,” kata Minar.

“Banyak hal yang harus dipikirkan oleh mas Satria.”

“Kalau masalah itu menyangkut aku, aku kira tidak terlalu harus dipikirkan,” kata Minar.

“Itu kan menurut kamu. Tadi mas Satria menyusul kamu sampai kemari kan juga karena ingin berbicara denganmu?”

“Ah, mengapa harus begitu? Dan itu sampai memberatkan dia?”

“Masih ada lagi yang menjadi beban pikiran mas Satria.”

“Soal ibunya sakit?”

“Ya, itu masalah yang baru saja didengarnya. Ada lagi yang memberatkan pikirannya. Apa kamu tahu bahwa Monik telah hamil?”

“Monik? Hamil? Bukan karena mas Satria kan?” tiba-tiba Minar merasa khawatir.

“Tentu saja bukan. Mas Satria punya saudara seibu lain ayah, namanya Tomy.”

“Tomy yang melakukannya?”

“Ketika kita lebih dulu pulang waktu ke Jakarta itu, Monik kan tidak pulang bersama kita? Rupanya dia menginap di rumah ibu mas Satria.”

“Ya, kelihatannya ibunya sangat suka pada Monik. Dan mereka sesungguhnya serasi, bukan?”

“Kamu dari dulu sampai sekarang selalu saja ngomong begitu,” kata Wini cemberut.

“Tapi benar kan?”

“Nggak. Nggak benar. Yang benar itu sama kamu.”

“Wini!”

“Tunggu, aku belum selesai ngomong tentang Monik.”

“Entah bagaimana, kemudian Monik berhubungan dengan Tomy, dan sekarang dia hamil.”

“Lalu … Monik segera menikah dong sama Tomy.”

“Tomy … pergi, gampangnya … kabur, begitu saja.”

“Lalu?”

“Yang membuat kesal, si ibu yang tidak berperasaan itu minta agar mas Satria menikahi Monik.”

Minar menutup mulutnya. Kali ini entah mengapa, benar-benar Minar merasa ada pisau menggores hatinya. Bukankah rasa cinta itu memang ada?

“Jadi mas Satria akan segera menikahi Monik?”

“Sejak tadi mas Satria mengatakan bahwa dia tidak mau.”

“Kasihan Monik dong.”

“Kamu itu. Mengapa memikirkan Monik?”

“Yaah, perempuan selalu menjadi korban, bukan? Dia hanya korban. Kalau tidak ada yang mau bertanggung jawab, bukankah ia pantas dikasihani?”

“Salah sendiri mau melakukan hal yang tidak pantas itu,” gerutu Wini.

“Salah dua-duanya dong,” bela Minar.

“Tapi syukurlah, mas Satria bilang tak akan mau melakukannya, karena dia hanya mencintai kamu.”

Minar menghela napas sedih.

“Banyak kendala yang harus aku hadapi. Biarlah aku tidak memimpikan hal itu.”

“Aku akan selalu mendoakan kamu, semoga kamu berjodoh dengan mas Satria.”

“Ah, Wini. Ya sudah, aku mau pulang dulu, aku naik ojol saja ya.”

“Eh, jangan. Biar aku antar kamu.”

***

Sutar heran, karena Minar pulang dengan diantar Wini, sedangkan Satria tidak nampak batang hidungnya.

“Nak Satria kemana?”

“Tadi mendadak ada berita, ibunya masuk rumah sakit, jadi dia tergesa pulang untuk mengabari ayahnya.”

“Lho, ibunya di mana?” tanya Sutar heran.

“Ibunya ada di Jakarta. Dia kan sudah cerai dengan ayahnya.”

“Oo, sakit apa dia?”

“Belum tahu, mas Satria belum cerita. Barangkali pembantu yang menelponnya  juga tidak mengatakan sakit apa, hanya mengatakan kalau ibunya dibawa ke rumah sakit.”

“Semoga baik-baik saja.”

“Aamiin. Bapak sudah makan?”

“Belum, menunggu kamu. Apa kamu sudah makan?”

“Belum, tadi mau mampir beli lauk sungkan, karena diantar Wini. Jadi makan masakan Minar saja ya Pak.”

“Mengapa tidak? Masakan kamu pasti masih banyak karena baru dimakan siang tadi. Lagi pula sayang kalau tidak dimakan. Masakan kamu kan selalu enak.”

“Terima kasih Pak, saya siapkan dulu ya, supaya hangat juga. Enak, malam-malam begini makanannya hangat.”

“Ya, terserah kamu saja.”

Sutar duduk menunggu sambil berpikir, mengapa wajah Minar tampaknya seperti murung. Apakah karena hubungannya dengan Satria? Tapi Sutar enggan menanyakannya. Dia sudah memikirkan, bahwa ia harus memutuskan hubungan antara Minar dan Satria. Banyak hal yang akan menjadi sandungan. Masalah kedudukan, masalah kekayaan, masalah ibunya juga.

“Daripada nanti Minar akan menyesal, lebih baik menghindar sebelum terlanjur,” gumamnya.

“Bapak, makanan sudah siap,” teriak Minar dari ruang makan.

***

“Harusnya besok Satria pulang pagi, tapi tidak ada tiket untuk pagi, jadi terpaksa siang,” kata Satria setelah ada di rumah.

“Sebenarnya sakit apa ibumu?”

“Satria belum tahu pak. Mbak Sinah hanya mengatakan bahwa tadi ibu pingsan, lalu dibawa ke rumah sakit.”

“Ibumu itu stress,” kata Murtono.

“Terlalu memanjakan Tomy, lalu bingung bagaimana mengatasinya, ketika ada masalah.”

“Aku tidak rela kalau kamu dijadikan korban. Suruh dia mencari Tomy, kan dia yang berbuat, mengapa tidak mau bertanggung jawab.”

“Iya, Satria juga tidak mau.”

“Syukurlah. Biar ibumu mengerti. Masa anak sendiri dikorbankan. Tapi sebenarnya aku mengerti, dibalik ini semua, ibumu bermaksud memisahkan kamu dan Minar. Pemikiran yang aneh.”

“Satria juga tidak mengerti, bagaimana jalan pikiran ibu, sampai harus mengorbankan Satria, dan membiarkan Tomy kabur. Kata mbak Sinah sudah berhari-hari Tomy tidak pulang. Biasanya dia tidur di rumah ayahnya.”

“Bukankah ayahnya punya istri?”

“Dia orang kaya, rumahnya ada di mana-mana.”

“Tapi kelakuannya itu. Masa menghamili gadis, lalu kabur.”

“Kebanyakan dimanja sejak kecil. Terkadang Satria juga kesal pada ibu. Kalau Satria menegur, ibu mengira Satria iri hati. Padahal sama sekali tidak. Satria tidak pernah meminta apapun dari ibu.”

“Ya sudah, sekarang kamu istirahat saja. Dari kamu datang sampai sekarang tidak istirahat sama sekali. Tapi, oh ya, kamu tadi ketemu Minar?”

“Ketemu di rumah Wini, tapi Satria belum sempat bicara apa-apa, lalu menerima telpon dari mbak Sinah.”

“Lain kali bisa dibicarakan ketika suasana sudah tenang.”

“Baiklah.”

***

 Di rumah sakit, Sinah duduk menunggui Rohana yang terbaring dengan infus dilengannya.

“Kamu sudah memberi tahu Satria?”

“Sudah, Nyonya. Tapi tuan muda Satria tidak bisa pulang malam ini. Pastinya baru besok pagi.”

“Tidak apa-apa, yang penting dia mau pulang menemui aku.”

Sinah menyingkir, ketika dokter sedang visite, dan akan memeriksa keadaan Rohana.

“Sebenarnya ibu tidak apa-apa. Tekanan darah normal, jantung baik. Mungkin besok sudah bisa pulang ke rumah,” kata dokter.

“Tidak dokter, tapi saya merasa sakit, badan saya lemas, kepala pusing dan terasa berat.”

“Tapi menurut pemeriksaan tadi, keadaan Ibu baik-baik saja. Hanya saja kalau memang Ibu masih merasa tidak nyaman, besok akan kami adakan pemeriksaan ulang.”

“Baiklah dokter, jangan tergesa menyuruh saya pulang, saya takut saya menderita sakit yang serius.”

“Tidak, menurut saya ibu sehat kok.”

“Benarkah? Mengapa badan saya lemas, bahkan untuk bangun saja saya harus dibantu pembantu saya itu.”

“Besok kami adakan pemeriksaan ulang secara menyeluruh,” kata dokter sambil berlalu.

Sinah yang tadinya menjauh, kemudian mendekat dan menatap majikannya dengan heran.

“Nyonya bagaimana sih, dokter mengatakan bahwa Nyonya sehat dan sudah boleh pulang, mengapa Nyonya tidak mau? Kebanyakan orang lebih suka tidak terlalu lama di rumah sakit,” kata Sinah berterus terang.

“Kamu tahu apa. Dokter itu juga bisa salah Nyatanya aku masih merasa sakit kok.”

“Ya sudah, terserah nyonya saja.”

“Nanti kamu telpon Satria lagi. Besok pulang jam berapa, gitu.”

“Baik Nyonya.”

***

Ketika siang itu Satria pulang ke rumah ibunya, Sinah sedang ada di rumah. Ibunya meminta Sinah memasak sesuatu, karena makanan di rumah sakit tidak enak.

“Tuan muda sudah pulang. Nyonya menanyakannya terus.”

“Bagaimana keadaan ibu?”

“Semalam, dokter bilang nyonya tidak apa-apa dan hari ini harusnya boleh pulang. Tapi nyonya tidak mau, saya heran,” kata Sinah sambil membuatkan minuman untuk Satria.

“Mengapa tidak mau pulang?”

“Kata nyonya, masih merasa pusing, lemas, kepala berat, begitu. Jadi dokter hari ini akan mengadakan pemeriksaan ulang.”

Satria duduk di sofa ketika Sinah meletakkan minuman dingin untuk Satria.

“Mungkin nyonya terlalu banyak pikiran.”

“Apa?”

“Saya tahu bahwa non … siapa tuh namanya, yang katanya tamu nyonya, saya dengar hamil, jadi nyonya memikirkannya.”

“Apa gadis itu sudah lama berhubungan dengan Tomy?”

“Baru ketemu sekali itu, Tuan.”

“Baru ketemu sekali?”

“Saya jadi berpikir, apa karena obat yang diberikan nyonya ya?”

“Obat apa?”

"Dulu itu kan nyonya menyuruh saya membuatkan minuman untuk Tuan. Katanya Tuan mau datang. Tapi nyonya memasukkan obat ke dalam minuman itu. Saya itu kan pembantu yang selalu ingin tahu. Saya tidak takut melakukan sesuatu kalau sesuatu itu benar. Lalu saya tanya pada nyonya, obat apa, katanya hanya vitamin, begitu. Tapi tiba-tiba tuan Tomy datang, langsung minum minuman itu. Saya tidak berani menegurnya, lalu saya buatkan lagi minum untuk tuan Satria. Lha ketika saya membuat minuman lagi, saya melihat tuan Tomy menggendong gadis itu ke kamarnya. Heran saya, kan baru ketemu sekali.”

Satria terpana. Pikirannya melayang jauh, menduga apa yang dilakukan ibunya. Memasukkan vitamin ke dalam minuman, lalu diminum Tomy, lalu Monik dibawa masuk ke kamar.

“Ya Tuhan, apakah obat itu diperuntukkan aku, agar aku melakukan sesuatu pada Monik, lalu ….”

Satria bukan orang bodoh. Ibunya berniat memasukkan obat itu, yang kata Sinah vitamin. Tapi itu pasti obat perangsang yang kemudian membuat Tomy lupa diri. Tapi Satria heran, mengapa Monik menuruti saja kemauan Tomy?

“Ya sudah, Tuan, silakan diminum dulu, saya melanjutkan memasak, karena nyonya tidak mau makan makanan yang dari rumah sakit. Padahal enak juga lhoh. Saya yang selalu memakannya.”

Satria mengangguk, tapi pikirannya menjadi tidak tenang. Ia meneguk minumannya, dan membayangkan seandainya dirinya yang meminum minuman itu, apa jadinya?

“Tuhan melindungi aku dari jebakan ibuku sendiri,” gumamnya.

***

Setelah Sinah selesai memasak dan menyiapkan semuanya, ia bermaksud kembali ke rumah sakit. Tapi Satria enggan ikut bersamanya, mengingat kata Sinah yang menurut keterangan dokter, bahwa ibunya baik-baik saja. Lagipula ada ganjalan yang membuatnya kesal tentang minuman yang seharusnya untuk dia itu.

Tapi ketika dia masih termenung sendirian, tiba-tiba ponselnya berdering. Sebenarnya Satria enggan mengangkatnya. Tapi akhirnya diangkatnya juga.

“Ya, Ibu.”

“Satria, kamu sudah datang, kenapa tidak segera menemui ibu?”

“Satria sangat lelah, ingin beristirahat dulu.”

“Kamu adalah anak yang aku lahirkan, tapi kamu tidak peduli pada apa yang ibu katakan dan apa yang ibu minta?”

“Yang ibu minta adalah hal yang tidak masuk akal.”

“Tapi ibu punya penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Penyakit itu akan membuat ibu meninggal kalau kamu membuat ibu kecewa. Dokter menyuruh ibu untuk tidak banyak pikiran. Tolong buatlah ibu senang, kalau kamu tidak ingin melihat ibu meninggal dengan penasaran. Kalau kamu tidak percaya, datanglah kemari, dokter Andri menunggu untuk berbicara denganmu.”

Satria terkejut. Betapapun bencinya dia kepada ibunya, tetap saja Rohana adalah ibunya. Tak mungkin dia membiarkan ibunya meninggal. Ia bangkit dan bergegas berangkat ke rumah sakit.

***

Besok lagi ya. 

49 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Horeeeee Kung Latief Sragentina number one, mendahului sprinter muda.....
      🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫

      Alhamdulillah KaeSBe episode_40 sudah tayang. Terima kasih bu Tien. Salam sehat dan tetap ADUHAI...
      👍👍🌹

      “Saya jadi berpikir, apa karena obat yang diberikan nyonya ya?” gumam Sinah.

      🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫

      Delete
  2. Alhamdulillah *KaeSBe*
    episode 40 tayang

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
    Salam hangat dari Jogja
    Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng In

      Delete
  3. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah..
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah 👍🌷
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  6. Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
    Sehat selalu kagem bunda...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Padmasari

      Delete
  7. Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Subagyo

      Delete
  8. Alhamdulilah KSB 40 sdh tayang aduuuh rohana mau akal2an punya penyakit beraaat...tapi satria sdh tau ....

    Maturnuwun bu Tien ..salam sehat dan aduhai 3x

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun, bu Tien cantiik... sehat dan semangat terus yaa...💕

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~40 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete

  11. Alhamdullilah
    Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 40* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...
    .

    ReplyDelete
  12. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun pak Wedeye

    ReplyDelete
  13. Ealah ...Rohana baiknya dibuang ke kali saja. Biar tidak buat kisruh saja.
    Minar memang perlu mendapat penjelasan tentang ibunya. Murtono tidak akan menikahinya.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  14. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....

    ReplyDelete
  15. 💫💐💫💐💫💐💫💐
    Alhamdulillah 🙏🦋
    KaeSBe_40 sdh tayang.
    Matur nuwun sanget,
    semoga Bu Tien &
    kelg, selalu sehat &
    bahagia. Aamiin.
    Salam seroja...😍🤩
    💫💐💫💐💫💐💫💐

    ReplyDelete
  16. Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 40 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin

    Benang mbrundet...lama2 sdh bisa di urai

    Satria jadi tahu rencana jahat ibu nya.

    Melalui uang nya yang banyak, Rohana dapat mempengaruhi dr Andri, agar visum nya di buat sakit parah, hebat bukan Rohana..😁😁

    Skrng pokrol bambu apalagi yang Rohana rencanakan. Jangan sampai Satria msk ke jebakan Batman nya lagi.

    ReplyDelete
  17. Akankah jebakan Rohana untuk Satria akan berhasil? Semoga tidak... kasihan Satria jadi tumbal kesalahan yang dilakukan oleh ibunya sendiri. Terimakasih bunda Tien salam sehat selalu dan aduhai

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah...cerbung KaeSBe 40 telah tayang

    Matursuwun Bu Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin

    ReplyDelete
  19. Hehe...berarti sakitnya Rohana itu hanyalah rekayasa untuk minta perhatian Satria dan menekannya agar menuruti kemauannya. Licik sekali! Syukurlah Murtono ada di pihak Satria, dan Sinah juga sudah membula kisah sebenarnya. Seru nih...penasaran nanti berakhir bagaimana ya?🤔😅

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat selalu.🙏😀

    ReplyDelete
  20. Kok ada ibu sekejam Rohana itu ya?...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  21. Ada ada aja akal Rohana, sepertinya akal akalan join sama dokter,. Iiihhh dasar Rohana... Rohana!

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya 🤗🥰🌿💖

    Satria, sesuai namanya, ,,👍👍👍

    ReplyDelete
  23. Terimakasih Bunda Tien .. Sehatselalu

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 09

  MASIH ADAKAH MAKNA  09 (Tien Kumalasari)   Binari melotot dengan kaki gemetar. Di depannya, sang ayah memegang kotak yang telah kosong, de...