AKU BENCI AYAHKU 18
(Tien Kumalasari)
Satria bergegas masuk ke dalam rumah. Rumahnya tidak terkunci rupanya.
“Minaaar, Minaaar,” Satria memanggil-manggil, tak ada jawaban. Ia masuk ke kamar, ke kamar mandi, ke dapur, tidak ada bayangan Minar di dalam rumah. Satria membuka pintu dapur yang menuju ke arah belakang, barangkali Minar ada di kebun, tapi tak ada.
Di dapur, sayur berserakan, ada adonan sambal pecel, sepiring telur ceplok, tergeletak begitu saja. Sepertinya barang-barang bakal masakan itu ditinggalkan begitu saja. Untunglah tak ada kompor menyala.
“Minaaar!”
Satria kembali mengelilingi rumah dengan perasaan cemas.
Ia ke depan, kembali mengamati ceceran darah. Ia berjongkok, mengamati ceceran darah itu. Benarkah darah? Tapi memang darah. Cuma sedikit, tapi baunya memang bau darah.
“Minaaaar, di mana kamu?”
Satria berlari ke halaman sambil berteriak-teriak. Ke pintu pagar yang masih terbuka sejak dia memasukkan mobilnya ke halaman.
Kemudian ia merasa lemas. Kembali ke rumah, mengamati rumah. Apakah ada perampok di siang bolong, lalu istrinya diculik? Di dalam rumah tak ada yang berubah, semuanya masih tertata rapi. Tapi di teras ia melihat bangku kecil di dekat pintu bergeser tempatnya.
“Minaaaar!!” Satria berteriak sampai suaranya serak.
Tiba-tiba salah seorang tetangga memasuki halaman dengan langkah tergopoh. Ia adalah RT di kampung itu.
“Aduh, pak Satria sudah pulang, syukurlah. Saya kembali kemari sebenarnya untuk mengunci pintu, soalnya tadi terburu-buru ke rumah sakit, lupa menutup pintu."
Satria ternganga. Ia pasti tidak salah dengar. Rumah sakit?
“Pak Satria, tadi seorang tukang sampah di kampung ini melihat bu Minar tergeletak di teras, lalu berteriak mengabari saya. Saya berlari ke rumah ini, dan melihat bu Minar pingsan. Bergegas saya mengambil mobil dan membawanya ke rumah sakit bersama istri.”
“Ada apa dengan istri saya?”
“Tampaknya dia terjatuh, lalu perdarahan. Walau hanya sedikit, dokter khawatir bu Minar keguguran.”
“Keguguran?” Satria berteriak.
“Semoga dokter bisa menyelamatkan kandungan bu Minar.”
“Kandungan?”
Satria masih terpana. Ia bahkan tak tahu kalau istrinya mengandung.
“Mari saya antarkan ke rumah sakit, tapi kunci dulu pintunya. Saya khawatir tadi ada orang jahat menyatroni rumah ini.”
Tak usah diminta dua kali, Satria segera mengunci pintu rumahnya, lalu bergegas menuju mobilnya, diikuti pak RT.
***
Satria tak banyak berkata-kata. Ia diam sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Tadi karena pak RT khawatir melihat keadaan Satria yang tampak syok, lalu mengambil alih kemudi. Satria duduk di sampingnya. Diam dengan perasaan gundah.
Minar tak pernah mengatakan apapun. Ia tak tahu Minar mengandung. Lalu kenapa Minar terjatuh, dan saat sedang memasak pula? Tampaknya ia mendengar ada orang datang, kemudian bergegas ke depan, dan dengan kesadaran penuh sempat mematikan kompornya. Tapi siapa yang datang? Mengapa Minar terjatuh?
“Saya bersyukur pak Satria segera pulang,” kata pak RT membuka pembicaraan setelah saling membisu beberapa saat lamanya.
“Saya selalu pulang untuk makan siang. Apa tadi pak RT melihat ada tamu datang?”
“Tidak tahu Pak. Meskipun rumah kita berdampingan, tapi kan saya tidak selalu bisa melihat kalau ada tamu di rumah pak Satria atau tidak. Tapi tadi sepertinya ada taksi berhenti di depan rumah.”
“Berarti ada yang masuk ke rumah.”
“Saya kurang memperhatikan. Pastinya iya. Taksi itu menunggu.”
“Tamunya wanita, atau pria, barangkali pak RT melihatnya.”
“Aduh, mengapa saya tak begitu memperhatikan ya. Saya keluar rumah setelah tukang sampah tergopoh-gopoh menemui saya. Ia mengabarkan bahwa bu Minar terjatuh atau pingsan, gitu.”
Satria diam. Kecemasan masih mencekam dalam hatinya.
“Semoga dokter bisa menyelamatkan putra pak Satria. Saya pulang karena istri saya yang menyuruh, supaya saya segera mengabari pak Satria. Untunglah pak Satria sudah ada di rumah ketika saya datang.”
Mobil itu memasuki rumah sakit. Satria segera mengikuti pak RT yang sudah tahu di mana Minar dirawat.
Mereka melihat bu RT duduk di ruang tunggu. Ia segera menyambut begitu melihat suaminya datang bersama Satria.
“Syukurlah, pak Satria begitu cepat sampai di sini,” sambut bu RT.
“Bagaimana keadaan istri saya, Bu.”
“Baru menunggu dokter. Saya belum mendapat keterangan apapun.”
Satria tak sabar, ia segera mendekat ke ruang rawat, di mana kata bu RT istrinya dirawat.
Ketika seorang wanita dengan jas putih keluar, Satria mengangguk.
“Dokter, bagaimana keadaan istri saya?”
“Bapak siapa?”
“Saya Satria, suami Minarni.”
“Oh, ya … syukurlah, bayi ibu Minarni bisa diselamatkan. Untunglah dia segera dibawa kemari.”
Satria mengusap wajahnya, dan berbisik pelan.
“Alhamdulillah.”
“Tapi ia benar-benar harus istirahat. Keadaan bayinya sangat lemah, sehingga memerlukan pengawasan dan penanganan yang intensif. Biarlah dia di sini untuk beberapa hari, sambil melihat perkembangannya. Semoga dugaan saya benar, bayi anda bisa diselamatkan.”
“Terima kasih banyak, dokter.”
“Dokter itu mengangguk, kemudian berlalu.
Seorang perawat keluar.
“Keluarga ibu Minarni?”
“Saya suaminya.”
“Bapak boleh menemui istri Bapak. Kami akan menyiapkan kamar inap untuk bu Minar.”
“Pilihkan kamar terbaik untuk istri saya.”
Perawat itu mengangguk, Satria masuk ke dalam dengan perasaan yang mengharu biru. Begitu melihat Minar terbaring di sebuah ranjang, Satria bergegas lalu menubruk istrinya.
“Minar, apa yang terjadi? Bagaimana perasaanmu sekarang? Mana yang sakit? Pusing? Kamu terluka?”
“Mas jangan khawatir, aku baik-baik saja,” kata Minar sambil tersenyum melihat kepanikan sang suami.
“Aku tidak tahu bahwa kamu sedang hamil,” katanya sambil mengelus kepala istrinya.
“Aku juga tidak tahu Mas. Aku tidak memperhatikan, sudah dua bulan ini aku tidak menstruasi. Kata dokter aku hamil sudah delapan minggu. Tadi pagi ketika masak, aku merasa mual, lalu muntah-muntah.”
“Kamu terjatuh gara-gara mual? Aku melihat bercak darah di teras.”
“Aku memang agak pusing waktu itu. Tapi aku terjatuh bukan karena mual.”
“Lalu apa yang terjadi? Bagaimana kamu bisa jatuh?”
“Tadi ibu datang ke rumah.”
“Apa? Ibu datang ke rumah? Apa yang dilakukan ibu sehingga membuat kamu terjatuh?”
“Ibu marah-marah tentang Tomy.”
“Mengapa marah? Apa yang dilakukan Tomy?”
“Ibu marah karena Tomy bekerja sebagai sopir, yang menurut ibu itu adalah pekerjaan rendahan.”
“Mengapa ibu marah sama kamu?”
“Ibu mengira, aku ikut mempengaruhi Mas, sehingga ibu marah-marah sama aku.”
“Bagaimana kamu bisa jatuh?”
“Aku meraih tangan ibu, bermaksud menenangkannya, tapi ibu menepiskan tanganku keras. Aku terbanting, menimpa meja kecil dekat pintu. Sakit sekali rasanya. Aku melihat darah keluar, aku ketakutan lalu pingsan.”
“Ya Tuhan, anakku,” Satria mengelus perut istrinya lembut dengan air mata berlinang.
“Setelah itu ibu tidak menolongmu bangun, atau apa?”
“Ibu langsung pergi, dan aku tak ingat apa-apa lagi.”
“Ibu sangat keterlaluan.”
“Ya sudahlah Mas, jangan marah pada ibu, toh keadaanku baik-baik saja.”
“Aku tidak tahu ada yang mau hadir dalam kehidupan kita. Kita harus menjaganya baik-baik.”
Minar mengangguk. Air matanyapun berlinang.
“Bagaimana sekarang rasanya?”
“Masih agak sakit, tapi sudah berkurang.”
“Syukurlah.”
“Kita harus berterima kasih kepada pak RT dan bu RT. Dia yang dengan gerak cepat membawa aku ke rumah sakit. Kata dokter, beberapa detik lagi aku terlambat ditangani, maka kita akan kehilangan bayi kita.”
Satria mencium perut Minar, seakan ia sedang mencium anaknya.
“Dokter meminta kamu agar beristirahat, jadi kamu harus beristirahat dulu dalam beberapa hari, di sini.”
“Tapi lebih baik aku pulang kan Mas. Siapa yang akan melayani Mas kalau aku harus berada di sini?”
“Mengapa kamu memikirkan orang lain sementara dirimu sendiri butuh penanganan intensif?”
“Orang lain itu siapa Mas, bukankah Mas suamiku?”
“Saat ini kamu harus fokus menjaga bayimu. Jangan memikirkan apapun. Aku sudah biasa merawat diriku sendiri.”
Minar tersenyum manis. Diraihnya tangan sang suami, lalu diciumnya lembut.
“Kamu adalah suami terbaik di dunia ini,” bisiknya.
***
Satria berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada pak RT, yang dianggap telah menyelamatkan bayi yang sedang dikandung Minar. Setelah Minar dibawa ke ruang inap, Satria pamit untuk mengantarkan pak RT dan bu RT.
“Kalau tidak tukang sampah itu yang memberi tahu kami, kami juga tidak tahu bahwa bu Minar pingsan."
“Besok saya juga akan mengucapkan terima kasih kepada tukang sampah itu.”
“Tadi pak Satria pulang untuk makan bukan? Berarti sampai sekarang belum makan dong. Nanti biar pembantu saya mengantarkan makan untuk pak Satria."
“Tidak Bu, saya melihat, di dapur sudah ada telur dan sambal pecel. Rupanya tadi Minar hampir selesai menyiapkan makan siang untuk saya, tinggal merebus sayurnya, nanti akan saya lanjutkan."
“Pak, nanti kita langsung ke rumah pak Satria dulu, biar aku merebus sayuran yang belum direbus oleh bu Minar, supaya pak Satria bisa makan lengkap,” kata bu RT.
“Jangan, tidak usah Bu, waktu belum menikah, saya biasa masak sendiri. Lagipula saya akan segera kembali ke rumah sakit, untuk membawakan baju ganti untuk istri saya juga.”
“Benar, pak Satria bisa melakukannya sendiri?”
“Benar Bu, ibu tidak usah khawatir. Saya sangat berterima kasih, karena pak RT dan bu RT lah, istri dan anak saya bisa diselamatkan."
“Jangan sungkan. Kalau ada apa-apa, kabari kami, pak Satria,” sambung pak RT.
Setelah mengantarkan pak RT dan bu RT, Satria segera kembali ke rumah. Dia melanjutkan merebus sayuran, lalu membawa semua makanan dan nasi itu ke rumah sakit.
Satria merasa lega melihat sang istri baik-baik saja, walaupun wajahnya agak pucat. Rasa mual masih mengganggunya, jadi dia hanya makan separuh nasi yang disiapkan sang suami.
“Mas tidak kembali ke kantor? Tidak apa-apa aku sendirian. Banyak perawat yang melayani dan memperhatikan aku kan?”
“Aku sudah minta ijin, jadi hari ini aku tidak akan kembali ke kantor.”
“Besok aku boleh pulang?”
“Jangan buru-buru ingin pulang, sebelum dokter mengijinkan. Ingat bahwa kamu sedang mengandung anak kita. Dokter mengingatkan bahwa keadaan bayinya belum kuat benar. Jadi harus sangat diperhatikan sehingga bisa mendapatkan penanganan yang baik. Karena itu kamu tidak boleh bertindak semau kamu.”
Minar mengangguk ketika diingatkan tentang bayinya. Memang benar, ia harus menjaganya, sehingga harus patuh kepada petunjuk dokter.
***
Sore hari itu Tomy sudah selesai bertugas. Ia memasuki ruangan Satria, karena ingin ikut mobilnya pulang, tapi tidak menemukannya. Sekretarisnya mengatakan bahwa Satria sudah pulang sejak tadi, dan tidak kembali ke kantor karena istrinya sakit.
“Sakit apa?”
“Saya tidak tahu, pak Tomy. Paginya pak Satria masih bersikap biasa saja, artinya pagi tadi ibu Minar masih baik-baik saja.”
“Baiklah, terima kasih banyak.”
Tomy melangkah keluar sambil menelpon Satria.
“Ada apa?” jawab Satria dari seberang.
“Kamu sudah pulang? Minar sakit apa?”
“Kamu tahu dari mana kalau Minar sakit?”
“Sekretaris kamu memberi tahu aku. Sakit apa? Tadi pagi kamu tidak mengatakan apa-apa saat bertemu aku.”
“Minar hampir keguguran.”
“Minar hamil?”
“Baru ketahuan siang ini, ketika dia dibawa ke rumah sakit. Ya sudah, ceritanya nanti saja, aku sedang nyetir nih, jalanan agak rame.”
Tomy memanggil ojol untuk pulang, sedianya mau nebeng Satria karena dia mau mampir beli sesuatu.
***
Tapi ketika Tomy sampai di rumah, ia melihat Satria sudah ada di sana, dan sedang bertengkar dengan ibunya.
“Istri kamu hampir keguguran, mengapa kamu menyalahkan aku?”
“Itu karena ibu yang membuatnya jatuh bukan? Lalu melihatnya jatuh, ibu tidak menolongnya, lalu langsung pergi.”
“Menurut kamu aku harus melakukan apa?” Kalau dia jatuh ya jatuh saja, masa aku harus membangunkannya lalu menggendongnya?” kata Rohana sambil melihat Tomy yang baru saja naik ke teras.
“Kamu … sangat tidak tahu malu, Tomy. Pokoknya aku tidak mau kamu bekerja menjadi sopir.”
Tomy mengerutkan keningnya.
“Ibu, aku sudah mau menjalaninya, sudahlah. Hanya pekerjaan ini yang Tomy dapatkan, sementara Tomy harus bekerja. Ibu juga yang memintanya.”
“Tapi tidak pekerjaan rendahan itu yang harus kamu jalani. Kamu harus berhenti bekerja.”
“Tidak bisa Bu, sudah hampir sebulan Tomy menjalaninya.”
Tomy ingin langsung berlalu ke belakang, tapi teriakan ibunya mengejutkannya.
“Kalau kamu nekat, lebih baik kamu pergi dari sini!!”
***
Besok lagi ya.