Wednesday, July 31, 2024

AKU BENCI AYAHKU 18

 AKU BENCI AYAHKU  18

(Tien Kumalasari)

 

Satria bergegas masuk ke dalam rumah. Rumahnya tidak terkunci rupanya.

“Minaaar, Minaaar,” Satria memanggil-manggil, tak ada jawaban. Ia masuk ke kamar, ke kamar mandi, ke dapur, tidak ada bayangan Minar di dalam rumah. Satria membuka pintu dapur yang menuju ke arah belakang, barangkali Minar ada di kebun, tapi tak ada.

Di dapur, sayur berserakan, ada adonan sambal pecel, sepiring telur ceplok, tergeletak begitu saja. Sepertinya barang-barang bakal masakan itu ditinggalkan begitu saja. Untunglah tak ada kompor menyala.

“Minaaar!”

Satria kembali mengelilingi rumah dengan perasaan cemas.

Ia ke depan, kembali mengamati ceceran darah. Ia berjongkok, mengamati ceceran darah itu. Benarkah darah? Tapi memang darah. Cuma sedikit, tapi baunya memang bau darah.

“Minaaaar, di mana kamu?”

Satria berlari ke halaman sambil berteriak-teriak. Ke pintu pagar yang masih terbuka sejak dia memasukkan mobilnya ke halaman.

Kemudian ia merasa lemas. Kembali ke rumah, mengamati rumah. Apakah ada perampok di siang bolong, lalu istrinya diculik? Di dalam rumah tak ada yang berubah, semuanya masih tertata rapi. Tapi di teras ia melihat bangku kecil di dekat pintu bergeser tempatnya.

“Minaaaar!!” Satria berteriak sampai suaranya serak.

Tiba-tiba salah seorang tetangga memasuki halaman dengan langkah tergopoh. Ia adalah RT di kampung itu.

“Aduh, pak Satria sudah pulang, syukurlah. Saya kembali kemari sebenarnya untuk mengunci pintu, soalnya tadi terburu-buru ke rumah sakit, lupa menutup pintu."

Satria ternganga. Ia pasti tidak salah dengar. Rumah sakit?

“Pak Satria, tadi seorang tukang sampah di kampung ini melihat bu Minar tergeletak di teras, lalu berteriak mengabari saya. Saya berlari ke rumah ini, dan melihat bu Minar pingsan. Bergegas saya mengambil mobil dan membawanya ke rumah sakit bersama istri.”

“Ada apa dengan istri saya?”

“Tampaknya dia terjatuh, lalu perdarahan. Walau hanya sedikit, dokter khawatir bu Minar keguguran.”

“Keguguran?” Satria berteriak.

“Semoga dokter bisa menyelamatkan kandungan bu Minar.”

“Kandungan?”

Satria masih terpana. Ia bahkan tak tahu kalau istrinya mengandung.

“Mari saya antarkan ke rumah sakit, tapi kunci dulu pintunya. Saya khawatir tadi ada orang jahat menyatroni rumah ini.”

Tak usah diminta dua kali, Satria segera mengunci pintu rumahnya, lalu bergegas menuju mobilnya, diikuti pak RT.

***

Satria tak banyak berkata-kata. Ia diam sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Tadi karena pak RT khawatir melihat keadaan Satria yang tampak syok, lalu mengambil alih kemudi. Satria duduk di sampingnya. Diam dengan perasaan gundah.

Minar tak pernah mengatakan apapun. Ia tak tahu Minar mengandung. Lalu kenapa Minar terjatuh, dan saat sedang memasak pula? Tampaknya ia mendengar ada orang datang, kemudian bergegas ke depan, dan dengan kesadaran penuh sempat mematikan kompornya. Tapi siapa yang datang? Mengapa Minar terjatuh?

“Saya bersyukur pak Satria segera pulang,” kata pak RT membuka pembicaraan setelah saling membisu beberapa saat lamanya.

“Saya selalu pulang untuk makan siang. Apa tadi pak RT melihat ada tamu datang?”

“Tidak tahu Pak. Meskipun rumah kita berdampingan, tapi kan saya tidak selalu bisa melihat kalau ada tamu di rumah pak Satria atau tidak. Tapi tadi sepertinya ada taksi berhenti di depan rumah.”

“Berarti ada yang masuk ke rumah.”

“Saya kurang memperhatikan. Pastinya iya. Taksi itu menunggu.”

“Tamunya wanita, atau pria, barangkali pak RT melihatnya.”

“Aduh, mengapa saya tak begitu memperhatikan ya. Saya keluar rumah setelah tukang sampah tergopoh-gopoh menemui saya. Ia mengabarkan bahwa bu Minar terjatuh atau pingsan, gitu.”

Satria diam. Kecemasan masih mencekam dalam hatinya.

“Semoga dokter bisa menyelamatkan putra pak Satria. Saya pulang karena istri saya yang menyuruh, supaya saya segera mengabari pak Satria. Untunglah pak Satria sudah ada di rumah ketika saya datang.”

Mobil itu memasuki rumah sakit. Satria segera mengikuti pak RT yang sudah tahu di mana Minar dirawat.

Mereka melihat bu RT duduk di ruang tunggu. Ia segera menyambut begitu melihat suaminya datang bersama Satria.

“Syukurlah, pak Satria begitu cepat sampai di sini,” sambut bu RT.

“Bagaimana keadaan istri saya, Bu.”

“Baru menunggu dokter. Saya belum mendapat keterangan apapun.”

Satria tak sabar, ia segera mendekat ke ruang rawat, di mana kata bu RT istrinya dirawat.

Ketika seorang wanita dengan jas putih keluar, Satria mengangguk.

“Dokter, bagaimana keadaan istri saya?”

“Bapak siapa?”

“Saya Satria, suami Minarni.”

“Oh, ya … syukurlah, bayi ibu Minarni bisa diselamatkan. Untunglah dia segera dibawa kemari.”

Satria mengusap wajahnya, dan berbisik pelan.

“Alhamdulillah.”

“Tapi ia benar-benar harus istirahat. Keadaan bayinya sangat lemah, sehingga memerlukan pengawasan dan penanganan yang intensif. Biarlah dia di sini untuk beberapa hari, sambil melihat perkembangannya. Semoga dugaan saya benar, bayi anda bisa diselamatkan.”

“Terima kasih banyak, dokter.”

“Dokter itu mengangguk, kemudian berlalu.

Seorang perawat keluar.

“Keluarga ibu Minarni?”

“Saya suaminya.”

“Bapak boleh menemui istri Bapak. Kami akan menyiapkan kamar inap untuk bu Minar.”

“Pilihkan kamar terbaik untuk istri saya.”

Perawat itu mengangguk, Satria masuk ke dalam dengan perasaan yang mengharu biru. Begitu melihat Minar terbaring di sebuah ranjang, Satria bergegas lalu menubruk istrinya.

“Minar, apa yang terjadi? Bagaimana perasaanmu sekarang? Mana yang sakit? Pusing? Kamu terluka?”

“Mas jangan khawatir, aku baik-baik saja,” kata Minar sambil tersenyum melihat kepanikan sang suami.

“Aku tidak tahu bahwa kamu sedang hamil,” katanya sambil mengelus kepala istrinya.

“Aku juga tidak tahu Mas. Aku tidak memperhatikan, sudah dua bulan ini aku tidak menstruasi. Kata dokter aku hamil sudah delapan minggu. Tadi pagi ketika masak, aku merasa mual, lalu muntah-muntah.”

“Kamu terjatuh gara-gara mual? Aku melihat bercak darah di teras.”

“Aku memang agak pusing waktu itu. Tapi aku terjatuh bukan karena mual.”

“Lalu apa yang terjadi? Bagaimana kamu bisa jatuh?”

“Tadi ibu datang ke rumah.”

“Apa? Ibu datang ke rumah? Apa yang dilakukan ibu sehingga membuat kamu terjatuh?”

“Ibu marah-marah tentang Tomy.”

“Mengapa marah? Apa yang dilakukan Tomy?”

“Ibu marah karena Tomy bekerja sebagai sopir, yang menurut ibu itu adalah pekerjaan rendahan.”

“Mengapa ibu marah sama kamu?”

“Ibu mengira, aku ikut mempengaruhi Mas, sehingga ibu marah-marah sama aku.”

“Bagaimana kamu bisa jatuh?”

“Aku meraih tangan ibu, bermaksud menenangkannya, tapi ibu menepiskan tanganku keras. Aku terbanting, menimpa meja kecil dekat pintu. Sakit sekali rasanya. Aku melihat darah keluar, aku ketakutan lalu pingsan.”

“Ya Tuhan, anakku,” Satria mengelus perut istrinya lembut dengan air mata berlinang.

“Setelah itu ibu tidak menolongmu bangun, atau apa?”

“Ibu langsung pergi, dan aku tak ingat apa-apa lagi.”

“Ibu sangat keterlaluan.”

“Ya sudahlah Mas, jangan marah pada ibu, toh keadaanku baik-baik saja.”

“Aku tidak tahu ada yang mau hadir dalam kehidupan kita. Kita harus menjaganya baik-baik.”

Minar mengangguk. Air matanyapun berlinang.

“Bagaimana sekarang rasanya?”

“Masih agak sakit, tapi sudah berkurang.”

“Syukurlah.”

“Kita harus berterima kasih kepada pak RT dan bu RT. Dia yang dengan gerak cepat membawa aku ke rumah sakit. Kata dokter, beberapa detik lagi aku terlambat ditangani, maka kita akan kehilangan bayi kita.”

Satria mencium perut Minar, seakan ia sedang mencium anaknya.

“Dokter meminta kamu agar beristirahat, jadi kamu harus beristirahat dulu dalam beberapa hari, di sini.”

“Tapi lebih baik aku pulang kan Mas. Siapa yang akan melayani Mas kalau aku harus berada di sini?”

“Mengapa kamu memikirkan orang lain sementara dirimu sendiri butuh penanganan intensif?”

“Orang lain itu siapa Mas, bukankah Mas suamiku?”

“Saat ini kamu harus fokus menjaga bayimu. Jangan memikirkan apapun. Aku sudah biasa merawat diriku sendiri.”

Minar tersenyum manis. Diraihnya tangan sang suami, lalu diciumnya lembut.

“Kamu adalah suami terbaik di dunia ini,” bisiknya.

***

Satria berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada pak RT, yang dianggap telah menyelamatkan bayi yang sedang dikandung Minar. Setelah Minar dibawa ke ruang inap, Satria pamit untuk mengantarkan pak RT dan bu RT.

“Kalau tidak tukang sampah itu yang memberi tahu kami, kami juga tidak tahu bahwa bu Minar pingsan."

“Besok saya juga akan mengucapkan terima kasih kepada tukang sampah itu.”

“Tadi pak Satria pulang untuk makan bukan? Berarti sampai sekarang belum makan dong. Nanti biar pembantu saya mengantarkan makan untuk pak Satria."

“Tidak Bu, saya melihat, di dapur sudah ada telur dan sambal pecel. Rupanya tadi Minar hampir selesai menyiapkan makan siang untuk saya, tinggal merebus sayurnya, nanti akan saya lanjutkan."

“Pak, nanti kita langsung ke rumah pak Satria dulu, biar aku merebus sayuran yang belum direbus oleh bu Minar, supaya pak Satria bisa makan lengkap,” kata bu RT.

“Jangan, tidak usah Bu, waktu belum menikah, saya biasa masak sendiri. Lagipula saya akan segera kembali ke rumah sakit, untuk membawakan baju ganti untuk istri saya juga.”

“Benar, pak Satria bisa melakukannya sendiri?”

“Benar Bu, ibu tidak usah khawatir. Saya sangat berterima kasih, karena pak RT dan bu RT lah, istri dan anak saya bisa diselamatkan."

“Jangan sungkan. Kalau ada apa-apa, kabari kami, pak Satria,” sambung pak RT.

Setelah mengantarkan pak RT dan bu RT, Satria segera kembali ke rumah. Dia melanjutkan merebus sayuran, lalu membawa semua makanan dan nasi itu ke rumah sakit.

Satria merasa lega melihat sang istri baik-baik saja, walaupun wajahnya agak pucat. Rasa mual masih mengganggunya, jadi dia hanya makan separuh nasi yang disiapkan sang suami.

“Mas tidak kembali ke kantor? Tidak apa-apa aku sendirian. Banyak perawat yang melayani dan memperhatikan aku kan?”

“Aku sudah minta ijin, jadi hari ini aku tidak akan kembali ke kantor.”

“Besok aku boleh pulang?”

“Jangan buru-buru ingin pulang, sebelum dokter mengijinkan. Ingat bahwa kamu sedang mengandung anak kita. Dokter mengingatkan bahwa keadaan bayinya belum kuat benar. Jadi harus sangat diperhatikan sehingga bisa mendapatkan penanganan yang baik. Karena itu kamu tidak boleh bertindak semau kamu.”

Minar mengangguk ketika diingatkan tentang bayinya. Memang benar, ia harus menjaganya, sehingga harus patuh kepada petunjuk dokter.

***

Sore hari itu Tomy sudah selesai bertugas. Ia memasuki ruangan Satria, karena ingin ikut mobilnya pulang, tapi tidak menemukannya. Sekretarisnya mengatakan bahwa Satria sudah pulang sejak tadi, dan tidak kembali ke kantor karena istrinya sakit.

“Sakit apa?”

“Saya tidak tahu, pak Tomy. Paginya pak Satria masih bersikap biasa saja, artinya pagi tadi ibu Minar masih baik-baik saja.”

“Baiklah, terima kasih banyak.”

Tomy melangkah keluar sambil menelpon Satria.

“Ada apa?” jawab Satria dari seberang.

“Kamu sudah pulang? Minar sakit apa?”

“Kamu tahu dari mana kalau Minar sakit?”

“Sekretaris kamu memberi tahu aku. Sakit apa? Tadi pagi kamu tidak mengatakan apa-apa saat bertemu aku.”

“Minar hampir keguguran.”

“Minar hamil?”

“Baru ketahuan siang ini, ketika dia dibawa ke rumah sakit. Ya sudah, ceritanya nanti saja, aku sedang nyetir nih, jalanan agak rame.”

Tomy memanggil ojol untuk pulang, sedianya mau nebeng Satria karena dia mau mampir beli sesuatu.

***

Tapi ketika Tomy sampai di rumah, ia melihat Satria sudah ada di sana, dan sedang bertengkar dengan ibunya.

“Istri kamu hampir keguguran, mengapa kamu menyalahkan aku?”

“Itu karena ibu yang membuatnya jatuh bukan? Lalu melihatnya jatuh, ibu tidak menolongnya, lalu langsung pergi.”

“Menurut kamu aku harus melakukan apa?” Kalau dia jatuh ya jatuh saja, masa aku harus membangunkannya lalu menggendongnya?” kata Rohana sambil melihat Tomy yang baru saja naik ke teras.

“Kamu … sangat tidak tahu malu, Tomy. Pokoknya aku tidak mau kamu bekerja menjadi sopir.”

Tomy mengerutkan keningnya.

“Ibu, aku sudah mau menjalaninya, sudahlah. Hanya pekerjaan ini yang Tomy dapatkan, sementara Tomy harus bekerja. Ibu juga yang memintanya.”

“Tapi tidak pekerjaan rendahan itu yang harus kamu jalani. Kamu harus berhenti bekerja.”

“Tidak bisa Bu, sudah hampir sebulan Tomy menjalaninya.”

Tomy ingin langsung berlalu ke belakang, tapi teriakan ibunya mengejutkannya.

“Kalau kamu nekat, lebih baik kamu pergi dari sini!!”

***

Besok lagi ya.

AKAN MENJADI NYATA

AKAN MENJADI NYATA

(Tien Kumalasari)


Kurangkum dalam genggam tanganku

Kupeluk dalam hangat tubuhku

Tenggelam dalam desir darahku

Terpaku dalam degup jantungku

Diatas sana, warna warni langit menciptakan lukisan

Saat angin bertiup membisikkan angan

Saat mentari pagi menjanjikan kehangatan

Gapai tanganku melambai di sana

Memetik mimpi agar menjadi nyata

Selamat pagiii


-----




Tuesday, July 30, 2024

AKU BENCI AYAHKU 17

 AKU BENCI AYAHKU   17

(Tien Kumalasari)

 

Rohana menggebu-gebu, mencari teman untuk menyalahkan Tomy, dan memaksa Tomy agar berhenti dari pekerjaannya yang menurutnya rendah dan memalukan.

“Iya Mas, coba Mas pikir, apa tidak malu, anak kita bekerja sebagai sopir? Bagaimana nanti kalau ketemu orang-orang yang mengenal kita. Pasti mereka akan mengejek kita, menganggap kita orang rendahan. Ya kan Mas?”

Nerocos suara Rohana seperti peluru ditembakkan.

“Diamm!!” tapi ayah Tomy justru membentaknya.

“Mas, aku begini karena kesal. Malu Mas, malu. Mas harus memperingatkannya, harus melarangnya. Tomy hanya akan menurut kalau Mas yang mengatakannya.”

“Tidak!”

“Apa maksudmu Mas? Mas tidak malu? Tidak mau melarangnya?”

“Biar dia bekerja sebagai apa saja.”

“Mas sudah tidak peduli pada anak kita? Mas benar-benar sudah membuangnya?”

“Kalau Tomy mau menjadi sopir, biarkan saja.”

“Mas!!”

“Selama ini Tomy selalu hidup dalam kemewahan. Tak ada yang kurang. Lalu ketika dia terpuruk. Kemudian bangkit. Itu hal yang harus disyukuri.”

“Maass!” Rohana masih berteriak.

“Mas tidak malu, Tomy menjadi sopir?” lanjutnya.

“Mengapa malu? Aku senang Tomy mau bekerja. Jangankan menjadi sopir. Menjadi penyapu jalanan saja aku harus bersyukur.”

“Mas! Mas bercanda kan?”

“Aku tidak bercanda. Diam dan biarkan dia. Jangan sedikit-sedikit mengadu. Jalan pikiran kamu tidak pernah sejalan dengan apa yang aku pikirkan. Kamu terlalu picik dan terkadang tidak waras."

“Tapi Mas, apa Mas nggak malu?”

Ponsel sudah mati. Rohana berteriak-teriak sendiri.

“Ayah Tomy yang sudah tidak waras. Bahkan kalau anaknya menyapu jalanan sekalipun dia mensyukurinya? Ya ampuun, ya ampuuun … aku bisa gila kalau begini. Mengapa bekas suamiku berpikiran begitu? Rupanya Tomy memang sudah benar-benar dibuangnya. Bahkan dibiarkannya kalaupun harus menjadi penyapu jalanan?”

Rohana meraung-raung karena kesal yang sudah tak lagi bisa ditahannya. Lalu ia merasa sendirian. Lalu ia merasa dunianya sudah runtuh, dan dia terpuruk diantara reruntuhan itu. Lemas seluruh tubuhnya sehingga membuatnya ambruk dilantai, sambil tak mampu menghentikan tangisnya.

Rasa kesalnya sekarang kemudian tertumpah kepada Satria yang tega membiarkan Tomy bekerja rendahan seperti itu.

“Ini pasti karena perempuan kampungan itu!” teriaknya.

***

Minar sedang berkutat didapur. Ia sekarang adalah ibu rumah tangga. Seorang istri, dan kewajibannya adalah melayani suami. Sebelum sang suami berangkat bekerja  dia sudah menanyakan kepada sang suami, ingin dimasakkan apa. Hal yang selalu dilakukan, tapi yang dijawabnya selalu dengan jawaban sama. Terserah kamu saja. Bagiku, apapun yang kamu masak selalu enak untuk dinikmati.

Hal yang rutin, tapi selalu manis untuk dirasakan.

Minar merajang sayuran karena dia ingin memasak pecel, menggoreng telur, membuat keripik kacang. Wah, yang terakhir ini adalah kesukaan Minar. Kalau sedang ada keripik kacang di toples, dan toples itu ada di dekatnya, maka tangannya tak berhenti meraih dan mengemilnya.

Oh ya, masih ada yang ingin dimasaknya, sayur asem di tambah jagung manis.

Minar bersenandung pelan, sambil tersenyum merekah. Tapi tiba-tiba perutnya merasa mual. Ia sedang menggoreng telur ceplok, lalu buru-buru diangkatnya karena sudah menyelesaikan tiga telur. Ia meletakkannya di pinggan, lalu setengah berlari pergi ke kamar mandi, memuntahkan semua isi perutnya. Lalu dengan terengah-engah ia kembali ke dapur.

Tinggal merebus sayuran, ia ingin melanjutkannya, tapi perutnya masih terasa tidak enak. Ia mematikan kompor, kemudian beranjak ke kamar untuk mengambil minyak gosok. Ia membalurkannya pada perut dan ulu hatinya.

Setelah merasa agak tenang, Minar bermaksud melanjutkan kegiatannya memasak. Hari sudah siang. Saat makan siang sang suami pasti pulang. Minar harus menyelesaikan semuanya.

Tapi tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu.

Minar bergegas ke depan, lalu melihat Rohana berdiri di depan pintu dengan mata menyala. Walau berdebar, Minar segera mengulurkan tangannya, bermaksud menyalami dan menciumnya. Tapi Rohana menepiskan tangannya dengan kasar.

“Ibu, silakan masuk,” katanya, sedikit gemetar.

“Siapa yang ingin masuk?”

“Ibu … kenapa Ibu sepertinya marah?”

“Memang aku marah. Terutama sama kamu. Bagus ya kelakuan kamu, menjerumuskan Tomy pada sesuatu yang rendah dan memalukan?”

Minar terkejut. Sungguh ia tak tahu apa maksud sang ibu mertua sebenarnya.

“Apa maksud ibu?”

“Apa maksud ibu … apa maksud ibu … Kamu tidak merasa bersalah? Bukankah kamu yang membuat Tomy bekerja sebagai rendahan, tidak bermartabat dan mempermalukan keluarga?”

“Ibu, mengapa Ibu menyalahkan saya?”

“Tidak bisa tidak, pasti kamu. Bukankah kamu yang membenci aku, lalu melakukan sesuatu supaya aku mendapat malu dan ditertawakan orang?”

“Saya tidak pernah membenci Ibu. Sebenci apapun Ibu terhadap saya, saya tidak akan membalasnya dengan kebencian,” Minar sedikit berani karena kesal dengan tuduhan tak beralasan itu.

“Bohong! Kalau tidak, mengapa kamu suruh Tomy bekerja sebagai sopir? Mana pantas dia menjadi sopir? Dia bukan orang kampungan seperti kamu. Dia terbiasa bekerja kantoran, menjadi orang yang dihormati, bukannya menjadi orang yang disuruh-suruh!!”

“Ibu, mohon dengarkan saya. Tomy datang menemui mas Satria, ia minta dicarikan pekerjaan. Mas Satria bilang, adanya lowongan sebagai_”

“Sopir? Dan dia membiarkan saudaranya bekerja rendahan seperti itu? Kamu kan yang menyuruhnya?”

“Ibu, sungguh saya tidak memintanya. Tomy kemudian datang dan mengatakan dia mau menjalaninya, karena lowongan yang ada ya tinggal itu.”

“Bohong!! Kamu sengaja! Kamu membuat aku malu,” kata Rohana sambil menuding nuding. Minar mendekat, berusaha memegang tangan Rohana dan menenangkannya, tapi kemudian Rohana mendorongnya, sehingga Minar jatuh mencium lantai.

“Ouuhh…!”

“Mengadulah kepada suami kamu, aku tidak takut!!” teriak Rohana yang kemudian bergegas meninggalkan Minar yang kesakitan.

“Sakitnyaaa… ouuhhh… “

Minar jatuh perutnya menimpa sebuah bangku di dekat pintu. Sangat sakit. Tiba-tiba ia tak ingat apapun, pingsan.

***

Siang itu Desy sedang menyelesaikan tugas yang diberikan ayah mertuanya. Hari sudah siang, saatnya istirahat. Desy menyerahkan berkas yang baru saja diselesaikan, di meja ayah mertuanya.

“Hm, aku senang kamu bekerja bagus.”

Desy mengangguk sambil tersenyum.

“Walaupun semula aku kecewa sama kamu.”

Desy mengangkat kepalanya, menatap sang mertua tak mengerti.

“Kamu membuat Monik, menantuku, pergi dari rumah?”

Desy terkejut. Ia tak pernah melakukannya, bahkan bertemu Monikpun tidak pernah.

“Mohon maaf Pak, saya sama sekali tidak melakukan apapun atas perginya Monik. Ketika saya sudah mengandung Indira, Tomy baru mengatakan bahwa dia sudah punya istri dan sudah mengandung anaknya. Tapi Tomy mengatakan bahwa dia tidak pernah mencintai Monik. Saya sama sekali tidak bermaksud merusak rumah tangga Tomy. Tomy yang selalu mengatakan bahwa dia benci istrinya.”

“Benarkah?”

“Saya tidak bohong. Ketika di Jakarta, dan saya bekerja di sebuah salon, saya justru bertemu Monik, yang tadinya saya tidak mengira bahwa dia adalah istri Tomy. Kami  berkenalan dan berteman sangat baik setelah mengetahui bahwa kami sama-sama istri Tomy.”

“Kamu bertemu Monik?”

“Saya juga pernah melihat anak Monik, laki-laki kecil menggemaskan yang bernama Boy. Wajahnya sangat mirip Tomy.”

“Di mana dia tinggal?”

“Dia tidak pernah mau mengatakan di mana dia tinggal, tapi dia bekerja di sebuah salon kecantikan, yang tadinya bersama saya. Setelah saya resign, saya tidak tahu apakah dia masih bekerja di sana, atau tidak.”

“Monik … menantuku … Aku yakin dia pergi karena tak tahan pada perlakuan suaminya.”

“Dia juga mengatakan semuanya pada saya. Kami adalah istri-istri yang kecewa pada perlakuan suami. Monik pergi karena perlakuan Tomy yang semena-mena, Saya meninggalkannya karena dia malas dan tak mau bekerja, sementara ibunya memeras saya dan meminta agar semua gaji saya diserahkan padanya. Saya juga diperlakukannya seperti pembantu.”

Sudah kepalang tanggung, lalu Desy menceritakan semua perlakuan Rohana kepadanya. Ia juga mengatakan seperti apa hubungannya dengan Monik, yang terjalin dengan sangat baik.

Ayah Tomy terdiam beberapa saat lamanya. Ada rasa kecewa yang menggurat hatinya. Kecewa pada rumah tangga anaknya, kecewa pada perlakuan Rohana yang sangat tidak manusiawi.

“Ya sudah, sekarang Tomy sudah bekerja, aku sedikit merasa tenang.”

“Oh, Tomy sudah bekerja?”

“Sebagai sopir.”

“Sopir?”

“Sopir di sebuah perusahaan. Biarkan saja. Biar dia tahu bagaimana beratnya mengais selembar rupiah demi hidup, bukan hanya bersenang-senang sepanjang waktu, karena menyombongkan kekayaan orang tuanya.”

Desy mengangguk. Ia bersyukur Tomy mau bekerja. Tapi dia tidak berkomentar apapun.

“Kamu mau ikut pulang dan makan di rumah?”

“Kalau Bapak mengijinkan,” jawab Desy malu-malu.

“Ayo pulang sekarang. Indira pasti senang ibunya makan siang bersamanya di rumah."

Desy merasa senang. Hari itu sang ayah mertua berbicara banyak dan ada senyumnya juga. Biasanya wajahnya selalu dingin dan kaku. Bicaranya juga seperti sangat hemat. Kalau tak ada yang perlu, dia tak pernah berbicara apapun.

***

Siang hari itu celoteh Indira memenuhi rumah. Ia baru saja selesai makan siang bersama kakek dan ibunya, yang kebetulan bisa pulang untuk makan siang.

“Apa ibu sekarang selalu bisa pulang untuk makan siang di rumah?” tanya Indira kepada ibunya, sementara sang kakek sudah masuk ke dalam ruang kerjanya.

“Tidak selalu bisa begitu, Indi. Kalau sedang tak ada pekerjaan penting, dan kakek mengijinkan, ibu bisa pulang ke rumah.”

“Senang kalau ada Ibu. Indi bisa makan banyak.”

“Kalaupun ibu tidak ada di rumah, Indi juga harus makan banyak. Supaya Indi cepat besar, sehat.”

“Bisa masuk sekolah?”

“Benar. Bisa masuk sekolah.”

“Supaya Indi pintar?”

“Tentu saja, Indi harus pintar.”

“Horeee, Indi suka sekolah … Nanti ibu mengantar Indi sekolah?”

“Barangkali bisa mengantar, tapi ibu kan harus bekerja. Jadi Indi nanti hanya akan ditemani bibik."

“Ibu bekerja terus?”

“Ya, ibu harus bekerja terus.”

"Besok Indi juga mau bekerja.”

“Indi harus sekolah dulu, yang pintar. Kalau Indi pintar, Indi bisa membantu kakek di kantor.”

“Seperti ibu?”

“Mirip seperti ibu. Tapi ibu tidak sekolah tinggi. Kalau Indi sekolah tinggi, bisa mendapat kedudukan yang lebih baik.”

“Sekolah tinggi itu apa?”

“Sekolah tinggi itu adalah sekolah yang … mmm … apa ya, pokoknya sekolah yang bisa membuat orang-orang menjadi pintar. Sekarang, waktu kecil, sekolah taman kanak-kanak, lalu ada sekolah Dasar, lalu ada lagi kelanjutannya .. dan kelanjutannya … dan kelanjutannya … nah, itu sekolah tinggi namanya," kata Desy yang bingung bagaimana cara menjelaskannya.

“Harus rajin ya?”

“Harus rajin.”

“Desy, kembali ke kantor,” titah ayah Tomy yang keluar dari ruang kerjanya.

Desy mencium gadis kecilnya, kemudian mengikuti sang ayah mertua masuk ke dalam mobilnya, untuk kembali lagi bekerja.

***

Siang itu saat istirahat telah tiba, Satria sedang bersiap pulang untuk menikmati makan siang bersama sang istri tercinta, ketika ponselnya berdering. Dari ibunya.

“Ya Ibu,” jawab Satria karena tiba-tiba ibunya menyebut namanya dengan kasar.

“Kamu ini maksudnya apa? Mengapa, kamu enak-enak bekerja menjadi manager di kantor kamu, lalu Tomy kamu jadikan sopir? Kamu ingin mempermalukan ibumu ini?”

“Bu, mengapa ibu memarahi saya? Tomy yang mau menjalani, bukan Satria memaksa. Memangnya ada apa?”

“Kamu tidak tahu di mana kesalahan kamu? Kalau kamu memang ingin menolong saudaramu, tolonglah dengan baik. Beri dia kedudukan yang terhormat, yang membuatnya dihargai setiap orang.”

“Ibu, manusia menjadi berharga bukan karena kedudukannya, tapi karena perilakunya.”

“Omong kosong apa itu? Kalau seorang sopir, bisa mendapat kehormatan dari mana? Bisa dihargai dari mana? Kan hanya sopir?”

“Sopir jangan disebut hanya sopir. Sopir juga memiliki harga, dan harus dihargai. Kalau sampai dia tidak berharga, berarti memang kelakuannya yang buruk atau tidak pantas dihargai.”

“Sudah, jangan omong berputar-putar, ibu nggak ngerti. Ibu hanya mau bilang bahwa kamu itu kebangetan!”

Satria ingin menjawabnya, tapi Rohana sudah menutup ponselnya.

Satria hanya geleng-geleng kepala. Ia sudah tahu bahwa ibunya berpikiran sangat sempit. Hanya harta dan kedudukan saja yang  dipikirkannya.

Ia membenahi berkas-berkas yang ada dimejanya, lalu melangkah keluar ruangan, menuju pulang.

***

Ia memarkir mobilnya di halaman. Biasanya, begitu mobilnya masuk halaman, Minar sudah tergopoh-gopoh menyambut, dengan menebarkan senyuman manis. Tapi kali itu tak ada penyambutan. Pasti sang istri sedang sibuk menyiapkan makan siangnya, sehingga tak mendengar suara mobil suaminya.

Satria naik ke teras rumahnya, sambil berteriak memanggil istrinya.

“Minaaar, aku sudah pulang.”

Tak ada jawaban. Tapi di teras Satria melihat bercak darah.

“Darah?” Satria mendesis dengan cemas.

***

Besok lagi ya.

 

MENUNGGUMU

 


Menunggumu ...

Dalam penantian yang sia-sia

Kau campakkan tetes keringat dan letih lelahku

Kau remas hingga remuk redam

Lumat bagai debu mengambang

Aku sakit dalam pedihnya asa

Nyaris putus dan terhenti napasku

Memburu bayang-bayang semu

Enyahlah mimpi malam hari

Mengukir kekosongan jiwa

Kuhempaskan kekejamanmu

Kuteriakkan bahwa kau bukan siapa-siapa.

Haiiii ...

Selamat pagiii

-----








Monday, July 29, 2024

AKU BENCI AYAHKU 16

 AKU BENCI AYAHKU  16

(Tien Kumalasari)

 

Tanpa sepengetahuan Desy, ternyata ayah Tomy tahu bahwa Desy pernah menanyakan tentang pekerjaan untuknya di rumah makan itu. Sopir yang dipercayanya itulah yang memberitahukannya.

Rupanya ketika membayar es krim yang dimakan Indira dan ibunya, sang sopir menanyakan kepada pegawai rumah makan itu, tentang apa yang dibicarakan Desy, lalu dia melaporkannya kepada majikannya.

Desy masih gemetar di depan pintu. Ia hampir yakin kalau ayah Tomy akan mengusirnya. Sebenarnya Desy tidak merasa sayang kalau harus meninggalkan keluarga itu. Tapi mestinya dia bisa mendapat pekerjaan dulu, jadi dia tidak akan kelaparan. Hanya saja pekerjaan yang ditunggu tidak segera didapatkannya. Bagaimana nanti kalau ayah Tomy mengusirnya?

“Masuklah, mengapa berdiri di situ terus?”

Desy terkejut. Ia lupa bahwa ruangan tuan besar dibatasi dengan kaca, yang dari luar tidak bisa melihat ke dalam, sedangkan dari dalam bisa melihat keluar.

Desy segera mendorong pintu, lalu mengangguk hormat kepada ayah mertuanya.

“Duduklah,” perintahnya. Tapi melihat tatapan ayah mertua yang tidak tampak garang, hati Desy sedikit lebih tenang.

Dengan hati-hati dia duduk, lalu menundukkan wajahnya sambil menautkan kedua belah tangannya.

“Kamu melamar pekerjaan di rumah makan itu?”

Desy terkejut. Sekarang ia yakin bahwa ayah mertuanya benar-benar marah dan pasti akan mengusirnya. Heran sekali Desy. Bagaimana sang ayah mertua bisa tahu kalau dia menanyakan pekerjaan di rumah makan itu? Apa pelayan yang kelihatannya ramah itu melaporkannya?

“Ss … saya minta maaf … Ss..saya hanya tidak ingin …mm..menjadi beban di tempat ini … jaj..jadi saya … menanyakan tentang pekerjaan itu di sana.”

“Mengapa kamu harus meminta maaf?”

“Kk..kalau say..saya dianggap ..bb..bersalah … saya minta maaf.”

Desy tetap menundukkan wajahnya, sehingga dia tidak melihat, bahwa wajah garang itu sedang tersenyum menatapnya.

“Aku tidak tahu, bahwa ternyata kamu perempuan yang baik.”

Desy menajamkan pendengarannya. Barangkali dia salah. Benarkah tuan garang itu mengatakan dirinya baik? Perlahan dia mengangkat wajahnya.

“Kamu seperti orang ketakutan.”

“Sayaa..saya minta maaf.”

“Minta maaf lagi?”

Desy tak tahu harus berkata apa.

“Aku tidak akan memarahi kamu. Mengapa kamu ketakutan? Benarkah kamu ingin bekerja?”

Sekarang Desy kehilangan hampir seluruh rasa takutnya. Suara tuan garang itu tak lagi garang.

“Kamu boleh bekerja di kantorku.”

Desy menajamkan pendengarannya. Itu bukan ucapan memecat atau mengusir bukan? Ia menawarkan pekerjaan di kantornya? Desy menatap ayah mertuanya dengan penuh tanda tanya. Sekarang dia melihat, bahwa ada senyuman di wajah yang segarang harimau itu.

Ketika mengetahui  bahwa Desy mencari pekerjaan, pandangan ayah Tomy sedikit berubah. Ia seorang pekerja keras, dan sangat menyukai orang yang tak suka berdiam diri. Wanita istri siri Tomy ternyata punya sisi baik yang membuatnya kagum. Karenanya ia ingin membantunya.

“Jawab pertanyaanku. Apa kamu ingin bekerja?”

“Iy … iya. Apa Bapak menyalahkan … ss… saya?”

“Tidak, orang ingin bekerja itu tidak salah. Bukankah aku menawarkan pekerjaan untuk kamu?”

“Be .. benarkah?”

“Datanglah ke kantor, besok pagi. Sopir akan mengantarkan kamu,” kata ayah Tomy yang kemudian berdiri, dan keluar dari ruangannya. Membiarkan Desy termangu beberapa saat lamanya.

Diluar, ia menghampiri Indira yang sedang menidurkan bonekanya di ranjang kecil mainan. Begitu melihat kakeknya, Indira segera berlari dan memeluknya.

“Kakek … mengapa Indi tak melihat ada Kakek?”

Sang kakek mengangkat tubuh Indira, diangkatnya tinggi, membuat Indira berteriak-teriak girang.

“Bonekanya bagus?”

“Bagus. Ibu yang memilihkannya.”

“Baiklah, main lagi sana, kakek mau kembali ke kantor.”

“Apa kakek marah pada ibu?” tanya Indi ketika melihat sang ibu keluar dari ruang kerja sang kakek, dan sedang mengusap matanya dengan jemarinya.

“Tidak. Siapa bilang kakek marah?”

“Ibu, apakah ibu menangis?” tanyanya sambil mendekati ibunya, dan menatap wajahnya.

Desy tersenyum dan menggelengkan wajahnya.

“Apa ibu menangis?” tanyanya lagi.

“Tidak. Ibu baik-baik saja. Tadi kemasukan debu, agak pedih.”

“Kakek jangan marah pada ibu ya?” katanya kemudian sambil mendekati kakeknya.

Sang kakek hanya tersenyum, kemudian mencium kedua pipi cucunya, lalu melangkah keluar.

Indira mengikutinya dari belakang, demikian juga Desy. Ada yang berbeda pada perasaan Desy. Seperti mimpi rasanya ketika ia melangkah di belakang ayah Tomy.

Ketika sang ayah mertua mau masuk ke mobilnya, Desy membungkukkan sedikit badannya, dan mengucap dengan bibir gemetar.

“Terima kasih banyak, Bapak.”

Laki-laki setengah tua itu tersenyum tipis.

“Jangan terlambat,” katanya sambil menutup pintu mobilnya, kemudian sang sopir membawanya berlalu.

“Benarkah kakek tidak marah pada ibu?” rupanya Indira masih belum percaya.

“Tidak. Kamu tahu, besok ibu akan bekerja di kantor kakek.”

“Bekerja? Jadi ibu mau pergi?”

“Ibu pergi pada pagi hari setelah menemani Indi sarapan, kemudian berangkat ke kantor kakek. Mungkin sore baru pulang, entahlah. Terserah kakek.”

“Nanti Indi tidak ditemani tidur?”

“Ibu menemani kamu tidur malam, siangnya sama bibik seperti biasa. Indi harus patuh kan? Anak baik harus patuh.”

Indi mengangguk. Anak itu seperti mengerti bahwa ibunya sedang gembira. Matanya yang berbinar, membuat Indi ikut senang.

***

Sebulan sudah berlalu. Ketika Desy menemukan kehidupan baru yang membuatnya senang, Tomy masih seperti hari-hari sebelumnya. Beberapa kali Satria memintanya datang, tapi Tomy enggan menurutinya. Ia merasa sang kakak hanya akan memberinya pekerjaan yang sama sekali tidak disukainya. Bagian pemasaran, sama sekali tidak membuatnya tertarik. Lalu driver itu pekerjaan gampang. Tomy sedikit tertarik. Tapi driver? Dia yang anak juragan, kaya raya, kemudian menjadi sopir yang disuruh-suruh? Beda tipis dengan pembantu kan?

Tomy yang dididik dengan segala kemanjaan telah membuatnya menjadi picik dan tidak bisa berwawasan luas. Ia hanya ingin enak dan enak. Ia bahkan mengabaikan kepergian kedua istrinya karena tidak ingin terbebani oleh masalah-masalah yang dianggapnya tidak begitu penting. Rohana, sang ibu, yang sudah kesal kemudian membiarkannya. 

Akhirnya Rohana benar-benar kehabisan uang untuk berfoya-foya, sampai membuatnya harus menjual mobilnya.

Walau begitu kesombongan masih saja terbawa dalam sikapnya. Ketika ia tak pernah membawa mobil saat bertemu teman-temannya, ia mengatakan kalau mobilnya dijual dan sedang memilih-milih mobil yang baru dan lebih bagus.

Tomy yang merasa terpaksa, pada suatu hari mendatangi rumah Satria. Saat itu masih sore, dan ternyata Satria belum pulang ke rumah. Ia hanya bertemu Minar, yang menemuinya di teras.

“Sebentar lagi mas Satria pulang. Kamu tunggu saja di sini," kata Minar setelah menghidangkan segelas kopi.

“Ada apa aku diminta datang berkali-kali?”

“Entahlah, barangkali hanya diajak berbincang.”

“Berbincang…” gumamnya.

“Kamu belum mendapat pekerjaan?”

Tomy menggeleng lemah.

"Ketika orang sudah mentok dalam mencari sesuatu, maka hal yang harus dilakukan adalah mengambil hal terbaik yang  ditawarkannya. Aku ingin menceritakan sesuatu tentang kehidupan keluargaku. Dulu, ayahku kehilangan pekerjaan karena pertimbangan usia. Karena tak ada pekerjaan, maka dia menerima saja bekerja menjadi kuli bangunan.”

“Kuli bangunan? Maksudmu … kamu ingin agar aku menjadi kuli bangunan?”

“Aku bercerita tentang ayahku. Aku yakin kamu tak bisa menjalaninya.”

“Sampai sekarang, ayahmu masih menjadi kuli bangunan?”

“Kemudian seseorang menolongnya, memberinya pekerjaan yang lebih bagus. Sebuah pengalaman hidup yang belum tentu orang lain bisa menerimanya, tapi karena rasa tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga, membuatnya menjalani apa yang bisa dijalaninya. Sebuah perjalanan hidup, Tomy. Ini kebalikannya dengan apa yang kamu alami. Dulu kamu bisa hidup enak, mewah, tidak kekurangan pastinya, tapi kemudian sesuatu telah merubahnya. Kamu merasakan bahwa hidupmu telah berubah, bukan?”

“Ini tidak pernah aku bayangkan.”

Sebuah mobil berhenti di halaman. Mobil keluaran lama, bukan mobil mewah seperti punya Tomy dulu, yang sekarang telah berada di tangan ayahnya. Tomy kemudian merasa, bahwa hidupnya memang sudah berubah.

Dari memiliki mobil mewah, sekarang tidak punya apa-apa. Sedangkan mobil Satria yang sederhana, dari dulu masih ada. Ia tahu sang ibu pernah menawarkan mobil baru, tapi ditolaknya. Satria yang sederhana selalu mendapatkan ketenangan dalam hidupnya, karena kemewahan yang dimiliki orang tuanya tetap membuatnya sederhana dan apa adanya.

“Ada tamu, rupanya?” sapa Satria ketika memasuki rumahnya.

“Baru pulang?”

“Sudah biasa, jam segini baru pulang. Kamu sudah lama?”

“Lumayan, sudah menghabiskan segelas kopi.”

Satria duduk di depan Tomy. Selama menjadi saudara, belum pernah mereka berbincang sedemikian akrab. Saling sapa pun juga jarang, karena memang tinggal di rumah yang berbeda. Ayah Satria membelikan rumah kecil ketika Satria kuliah di Jakarta, karena Satria enggan tinggal bersama ibunya yang sudah menikah lagi.

“Pekerjaan marketing yang pernah aku katakan dulu itu sudah terisi.”

Wajah Tomy tetap datar, karena ia memang tidak tertarik. Ia tahu, itu bukan pekerjaan mudah. Harus pintar bicara, harus bisa menarik perhatian. Ah, sudahlah, tak terbayangkan oleh Tomy pekerjaan itu.

“Tapi kamu kan tidak tertarik pekerjaan itu? Satunya lagi driver, apalagi. Yang driver sampai sekarang belum ada. Pimpinan aku terlalu memilih-milih. Tapi itupun kamu tidak tertarik bukan?”

“Aku bingung harus melakukan apa.”

“Aku bisa mengerti, selamanya kamu belum pernah merasakan apa yang namanya membutuhkan. Ketika seseorang membutuhkan, maka ia akan menjalani semuanya agar kebutuhan itu terpenuhi."

“Aku sekarang sedang membutuhkan pekerjaan itu.”

“Tapi kamu memilih-milih pekerjaan. Harus menjadi atasan. Kemampuan kamu tidak bisa menjangkau keinginan itu. Seorang pimpinan membutuhkan kecakapan, disertai pendidikan yang memadai. Kamu hanya bisa menjadi pimpinan di perusahaan ayah kamu sendiri. Tapi diluaran? Maaf, kamu tidak laku.”

Wajah Tomy menjadi gelap. Tapi apa yang dikatakan Satria tidak ada yang salah.

“Kecuali … kecuali … kamu mau melakukan apa saja, tanpa merasa rendah, tanpa merasa malu atau sakit hati ketika direndahkan.”

Minar yang sejak kedatangan Satria lalu masuk ke dalam, kemudian keluar sambil membawakan kopi untuk suaminya, dan juga untuk Tomy, karena kopi yang dihidangkan sejak awal sudah habis tandas.

“Kamu menyuruh aku datang karena kamu ingin memaki-maki aku?”

“Tomy, aku tidak memaki atau memarahi kamu. Aku berkata apa yang ada di dalam hatiku demi kamu. Darah yang mengalir di tubuh kita ada yang sama, karena ibu kita sama. Tapi kita berbeda. Aku lebih suka hidup sederhana, sedangkan kamu ….”

“Aku akan mencoba hidup sederhana.”

“Bagus. Nanti setelah kamu pulang, kamu rasakan apa yang aku katakan, setelah kamu bisa mengerti, datanglah lagi kemari. Bukankah berbicang begini lebih membuat batinmu tenang?”

Satria banyak menasehati Tomy. Hal yang belum pernah terjadi. Kehidupan yang membuatnya terombang-ambing karena ibunyapun kurang memperhatikannya, membuat kemudian ia ingin memenuhi panggilan saudaranya. Barangkali ia bisa berbagi. Dan tampaknya sesuatu terjadi dalam hatinya.

Sejak saat itu mereka menjadi lebih akrab. Lalu Tomy bersedia menjalani pekerjaan sebagai sopir di kantor Satria.

***

Tapi pekerjaan yang dijalani Tomy membuat Rohana mencak-mencak karena merasa direndahkan.

Hari masih pagi, dan Tomy baru mau berangkat kerja. Seminggu Tomy menjalani pekerjaan ini, baru hari ini Tomy berterus terang kepada sang ibu.

“Apa kamu sudah tidak waras? Kamu menjadi sopir, sedangkan kamu itu anak orang berada. Apa tidak malu kalau ketemu orang yang kamu kenal?”

“Mengapa harus malu Bu, ini pekerjaan halal kan?”

“Dasar bodoh! Satria itu ingin membuat kamu terhina. Aku yakin ini pasti karena ulah istrinya. Dia ingin membalas dendam karena aku membencinya, dan kamu adalah anakku. Dia ingin menunjukkan betapa hinanya kamu.”

“Mengapa ibu begitu? Bukankah ini juga pekerjaan?”

“Pekerjaan itu yang pantas, yang terhormat. Kamu itu mendapat pekerjaan sebagai pesuruh, tahu!”

“Ibu jangan begitu, Tomy sudah senang menjalani pekerjaan ini.”

“Hentikan! Ibu malu, tahu!”

“Ibu ini bagaimana, Tomy nggak kerja, ibu ngomel, Tomy bekerja, ibu juga ngomel. Bingung aku.”

“Bekerja itu yang bagus. Bukan menjadi sopir.”

“Ini pekerjaan yang bisa Tomy jalani. Tomy harap ibu tidak mengusikku.”

“Tapi aku malu. Aku tidak mau.”

“Hanya pekerjaan ini yang bisa Tomy jalani dan temukan. Tomy tidak punya pendidikan tinggi,” kata Tomy sambil berlalu, takut terlambat sampai di kantornya.

Rohana membanting-banting kakinya. Ia meraih ponselnya dan melapor kepada suaminya tentang pekerjaan yang dijalani Tomy.

“Mas harus bertindak, ini sangat memalukan!”

”Apa maksudmu memalukan? Dia mencuri? Merampok? Menipu orang?”

“Dia bekerja sebagai sopir di kantor Satria.”

“Apa?”

***

Besok lagi ya.

 

MAWARKU

 MAWARKU

(Tien Kumalasari)


Mawarku berayun

Saat angin lembut mengelusnya

Burung-burung janganlah manyun

Bernyanyilah riang ikuti irama

Kutatap indahnya pagi

Kutatap kelopak bunga

Bukankah kau berikan semuanya

Karena ada doa di setiap kuntumnya?

Ada cinta di setiap aroma wanginya?

Haiii

Selamat pagiiii


-----






Sunday, July 28, 2024

HANYA MIMPI

 HANYA MIMPI

(Tien Kumalasari)


Pelangi melambai

Membiaskan warna-warna

Membisikkan senandung cinta

Mengalunkan lagu-lagu asmara

Bidadari menari

Dengan selendang warna warni

Kutatap semuanya dengan harap penuh damba

Di mana pelangi

Di mana bidadari

Pergi?

Ternyata aku hanya bermimpi

Haiiii

Selamat pagiiiii


-----




Saturday, July 27, 2024

AKU BENCI AYAHKU 15

 AKU BENCI AYAHKU  15

(Tien Kumalasari)

 

 

Rohana menatapnya tajam, tapi wanita yang ditabraknya kemudian membungkukkan badan, lalu meraih tangan Rohana dengan sangat hormat.

“Ibu, apa kabar?”

“Kamu? Sedang apa kamu di sini?”

“Saya sedang … belanja, Bu.”

“Hm, belanja ya. Orang udik belanja sendiri di Jakarta? Berani sekali kamu.”

“Saya bersama mas Satria. Tuh, di sana, sedang membayar buah-buahan yang dibelinya.”

“O, sang nyonya sedang belanja, tapi ada pelayannya yang membawa belanjaan dan dia hanya jalan-jalan, sampai-sampai tidak melihat orang di depannya,” kata Rohana sinis.

“Bukan begitu Bu, saya sedang membeli perabot yang kami belum punya, mas Satria berhenti karena melihat buah yang dia sukai.”

“Aku kira kamu masih di kampung, hati-hati jalan-jalan di kota besar,” kata Rohana sambil berlalu.

“Minar, kamu sudah tinggal di sini bersama Satria?” Tomy yang masih berhenti menyapa Minar dengan ramah.

“Iya, Tomy. Apa kabarnya Monik?” tanya Minar yang pura-pura tidak tahu tentang perginya Monik, dan dia menyapa tapi  bingung apa yang akan dikatakannya.

“Monik sudah pergi.”

“Pergi, bagaimana maksudnya?”

“Sudahlah, jangan tanyakan tentang dia lagi. Mungkin dia pulang ke orang tuanya. Apa kamu tidak pernah bertemu?”

“Tidak, sama sekali tidak.”

“Tomy? Apa yang kamu lakukan? Jadi makan tidak?” teriak Rohana yang sudah berada didepan sebuah rumah makan.

Tiba-tiba Satria sudah mendekat dengan membawa tentengan buah jambu kristal.

“Ada Tomy, di sini?”

“Apa kabar Satria,” sapa Tomy, kaku.

“Kabar baik. Kamu masih di Jakarta?” tanya Satria yang juga pura-pura tidak mengerti tentang rumah tangga Tomy.

“Iya. Rupanya Minar sudah tinggal bersamamu di Jakarta?”

“Dia sudah selesai kuliah, setelah wisuda aku membawanya ke Jakarta."

“Syukurlah.”

“Kesibukan kamu apa? Kenapa ada di Jakarta?"

“Ini … belum ada. Baru mau cari pekerjaan.”

“Bukankah kamu_”

“Tomy!! Apa-apaan kamu!” teriak Rohana dari jauh, memotong pembicaraan keduanya.

“Ibu duluan, aku menyusul,” kata Tomy tak kalah keras.

“Kamu bekerja pada ayahmu bukan?” tanya Satria.

“Ada sesuatu, yang membuat bapak marah. Aku dipecat, juga diusir.”

“Sesuatu itu apa?”

“Banyak masalah yang membuat bapak kecewa. Monik pergi dari rumah, aku punya istri lagi,” katanya pelan, sambil memandang ke arah lain, sedikit sungkan.

“Wah, masih muda sudah menikah dua kali?”

“Kamu kan tahu, bahwa aku sama Monik tidak pernah saling menyukai.”

“Rumah tangga itu kan harus dipelihara.”

“Carikan aku pekerjaan,” akhirnya keluar juga perkataan itu dari mulut Tomy, setelah berbulan bulan merasa gengsi. Ia juga mengacuhkan perkataan Satria yang terakhir.

“Aku juga tidak tahu, apakah ada lowongan di kantor aku, tapi yang jelas ada itu bagian pemasaran.”

“Pemasaran? Apa pekerjaan bagian pemasaran?”

“Namanya pemasaran itu ya menawarkan apa saja yang sedang kamu jual. Bisa barang, bisa properti, bisa jasa apapun itu.”

“Biasanya aku jadi kepala bagian.”

Satria tertawa, pemikiran Tomy sangat sederhana, tapi tampak terbelakang dalam hal pekerjaan.

“Kamu jadi kepala bagian karena bekerja di perusahaan ayah kamu. Itupun kamu pasti masih banyak dibantu oleh ayah kamu. Ya kan? Oh ya, ada lagi, driver. Pasti kamu juga tidak suka.”

“Tomyyyyy!!” Rohana yang tadinya sudah masuk ke sebuah rumah makan, ternyata keluar lagi lalu berteriak memanggil Tomy.

“Kamu bersama ibu?”

“Kami sedang mau makan. Di rumah nggak ada yang memasak.”

“Mas, ada ibu, sebaiknya kita juga menemuinya. Tadi aku sudah menyalaminya juga,” kata Minar.

Akhirnya Tomy memenuhi panggilan ibunya, Minar mengajak Satria mengikutinya.

Rohana yang sudah kembali duduk di rumah makan itu, menatap tajam Satria yang sedang menggandeng tangan Minar.

”Ibu, apa kabar?” kata Satria yang tetap berdiri, hanya sedikit membungkuk lalu mencium tangan ibunya.

“Baik, tentu saja. Ya sudah, ibu dan Tomy mau makan dulu.”

“Satria, ikutlah makan bersama kami,” kata Tomy.

“Maaf Tomy, tadi kami sudah makan sebelum berangkat. Lagipula Minar masih harus belanja.”

“Ya sudah. Lupakan tentang pekerjaan itu. Aku tidak mau di bagian pemasaran.”

“Nanti aku kabari kalau  ada lowongan yang kira-kira kamu bisa melakukannya.”

Satria menggandeng tangan Minar lalu berpamit pada ibunya.

Tomy mengikutinya lagi dari belakang. Minar memberi isyarat kepada suaminya agar memberikan uang untuk Tomy. Satria yang mengerti kemudian membuka dompetnya, lalu menyelipkan beberapa lembar ratusan ribu ke saku baju Tomy.

“Eh, ini apa?”

“Sekedar buat jajan,” kata Satria yang kemudian melanjutkan melangkah pergi. Tomy meraba sakunya, ada uang satu juta di selipkan di saku bajunya. Malu? Ada sih, sedikit, tapi kan dia juga sedang tidak punya uang?

Tomy kembali ke meja di mana ibunya sudah menghadapi pesanannya.

“Kamu itu apa? Seperti ketemu pejabat saja. Harus diantar sampai ke depan,”

“Ya tidak apa-apa Bu, kan Satria itu kakak Tomy juga,” kata Tomy sambil nyengir. Kan baru saja dia dapat uang dari Satria, jadi dia berusaha membelanya.

“Bukan masalah Satria, ibu tidak suka pada perempuan itu.”

“Maksud ibu … Minar? Dia tidak salah, mengapa ibu membencinya?”

“Mengapa kamu selalu bersikap baik kalau ibu membicarakan Minar?”

“Sudahlah Bu, nggak enak makan sambil marah-marah. Ini ibu sudah pesan buat aku juga?”

“Iya, kelamaan menunggu kamu, ngobrol nggak penting.”

“Mengapa ibu memesan nasi soto? Kemarin sudah soto, kemarinnya juga soto,” omel Tomy.

“Jangan cerewet. Ini menu yang paling murah di sini. Yang penting tidak mati kelaparan.”

Tomy diam. Ia teringat apa yang dikatakan Satria. Ada lowongan, bagian pemasaran, dan juga driver? Astaga, masa anak pengusaha kaya jadi driver? Pikir Tomy sambil geleng-geleng kepala. Ia lupa bahwa dirinya sudah dipecat oleh ayahnya yang ‘pengusaha kaya’ itu.

Andai saja Tomy bisa melakoni apa saja asal bisa mendapat penghasilan, mungkin hidupnya akan terasa lebih tenang. Ia makan dengan berdiam diri. Menikmati nasi soto yang hampir setiap hari memasuki mulutnya.

"Tadi kamu bicara tentang pekerjaan?"

"Ya, yang ada lowongandi bagian pemasaran, dan driver."

"Apa? Jangan mau. Masa kamu akan kerja di bagian pemasaran? Berat. Ada targetnya. Apalagi driver. Pekerjaan rendahan," omel Rohana sambil menyuapkan makanan terakhirnya.

***

Pagi hari itu Rohana sedang mengumpulkan baju kotor untuk dicuci. Apa boleh buat, tak ada orang dan tak mampu bayar pembantu, sementara uang dari bekas suaminya lebih banyak dipergunakan untuk pergi bersama teman-temannya, tapi selalu mengeluh kekurangan. Tomy yang malas sudah enggan mencari istrinya, yang pergi entah ke mana. Akhirnya ia hanya pasrah, tetap mengikuti ibunya, tinggal di sana dan tak tahu harus berbuat apa.

Rohana meraba saku baju Tomy yang terasa tebal, ia sangat terkejut ketika menemukan uang di sana.

“Uang? Tomy memiliki uang? Dari mana? Sementara setiap hari hanya minta uang padaku, entah untuk beli jajanan atau hanya sekedar uang saku." 

Rohana selalu memberikannya, karena sesungguhnya dia amat menyayangi anak laki-lakinya itu.

Rohana menimang-nimang uang itu dan menghitungnya.

“Satu juta? Dari mana Tomy mendapatkan uang sebanyak ini? Padahal aku tak pernah memberinya uang yang banyak.”

Ketika ia sedang menimang-nimang uang itu, tiba-tiba Tomy muncul dan merebut uang itu. Rupanya Tomy ingat ketika menyimpan uang itu di saku, ia lupa menyimpan di dompetnya. Ia mencari-cari pakaian kotor yang ternyata sudah tak ada lagi. Ia membayangkan uangnya sudah di gilas di mesin cuci dan hancur. Lalu ia merasa lega ketika ternyata uangnya belum masuk mesin cuci, sedang dipegang  ibunya.

“Eh, itu uang siapa?” pekik ibunya karena terkejut Tomy tiba-tiba muncul.

“Uang Tomy dong Bu,” kata Tomy sambil membawa uangnya pergi. Tapi Rohana menarik tangannya.

“Kamu tidak menjawab pertanyaan ibu. Uang siapa itu?”

“Kan Tony sudah menjawab Bu, ini uang Tomy.”

“Dari mana kamu mendapat uang sebanyak itu? Bukan mencuri uang ibu kan?”

“Ya ampun Bu, memangnya ibu telah kehilangan uang? Tomy tidak pernah mencuri ya Bu. Ibu jangan khawatir.”

“Kalau begitu jawab, dari mana kamu mendapatkan uang itu?” tanya Rohana yang tidak melepaskan lengan Tomy.

“Dari Satria,” lalu Tomy melepaskan diri dari cengkeraman ibunya, langsung masuk ke dalam kamar dan menguncinya.

Rohana terpaku di tempatnya. Satria mau memberi uang untuk Tomy, sementara hubungan mereka tak pernah baik. Rohana merasa, bahwa Satria telah memiliki kehidupan yang nyaman. Tapi yang membuatnya tak suka adalah ada Minar di samping Satria.

“Mengapa perempuan itu dibawanya kemari? Sangat memalukan sampai Tomy diberi uang oleh suaminya. Pasti ia mengejek Tomy walau hanya dalam hati. Dikiranya aku kekurangan sehingga anakku harus diberinya uang. Tak mungkin MInar tak mengetahui tentang uang itu. Memalukan," omelnya.

***

 Minar sedang bersantai dengan suaminya di sore hari itu. Gelas minum yang tinggal separo, dan sepiring cemilan terhidang di depan mereka.

“Bagaimana sikap ibu ketika bertemu kamu tadi?” tanya Satria.

“Biasa saja, aku juga sempat menyalami dan mencium tangannya."

“Aku selalu khawatir, kalau ibu menyakiti kamu lagi.”

“Jangan dipikirkan, aku yang lebih muda harus bisa mengerti dan memahaminya. Pada suatu hari nanti dia pasti menyayangi aku,” kata Minar, tulus.

Satria menatap istrinya dengan pandangan kagum. Minar memang luar biasa.

“Mas tidak ingin menolong Tomy?” tanya Minar tiba-tiba.

“Menolong?”

“Bukankah dia butuh pekerjaan?”

“Di kantor, ada lowongan pekerjaan, tapi yang pasti tidak disukai Tomy. Bagian pemasaran, sudah ditolaknya. Dia mengatakan waktu bersama ayahnya dia adalah kepala bagian. Lalu ada lagi, driver. Apalagi driver, mana mungkin dia mau. Dia itu terbiasa hidup enak, mewah, jadi ketika Allah mengujinya dengan kehidupan yang membuatnya kekurangan, maka dia tak bisa mengatasinya.”

“Mas Satria sebagai kakaknya, harus bisa memberikan contoh, atau menuntunnya ke jalan yang benar. Memberinya arahan agar dia bisa mengatasi semua kesulitan dalam hidupnya. Bahwa mengingat kemewahan yang pernah dirasakannya, sangat tidak benar. Sebagai manusia, kita harus bisa melompati masa-masa sulit, dan mensyukuri apa yang menjadi karunia dalam hidup.”

“Kami tidak pernah berbincang. Kami selalu berbeda. Tomy yang dimanja ayah ibunya, dan aku yang mandiri. Mana mungkin dia mau menuruti apa kataku, seandainya kami bertemu.”

“Ajaklah dia ketemu, kalau Mas lagi senggang. Coba Mas bicara, agar dia mengerti bahwa apapun dan bagaimanapun yang ia hadapi, ia harus bisa mengatasinya. Jangan meremehkan sebuah pekerjaan."

Satria selalu merasa kagum kepada istrinya, yang selalu bisa berbicara dengan sangat bijak. Walaupun ibunya selalu membenci dirinya, tapi Minar tak pernah tidak menghormatinya, apalagi balas membencinya.

“Baiklah, kalau ada waktu akan aku suruh dia datang kemari.”

***

Sudah hampir sebulan Desy berada di rumah ayah Tomy, menemani anaknya setiap hari. Ada rasa lega karena ayah Tomy ternyata bisa menerima kehadirannya di rumah itu. Walau begitu dia tak ingin berpangku tangan dan menikmati semua kemudahan di rumah itu. Makan enak dan kenyang setiap hari, tidur nyenyak di kamar yang nyaman dan selalu wangi. Tapi Desy tak ingin berpangku tangan.

Ia selalu menunggu berita dari rumah makan, dimana dulu dia makan es krim bersama Indira.

Terlalu nyaman hidup tinggal makan, tidur, bepergian, bersenang-senang dengan anaknya. Desy merasa sangat tidak enak, apalagi dia berada di rumah mertuanya yang ia tahu bahwa dirinya tidak disukainya.

“Ibu, mengapa ibu bersedih?” Desy tersentak dari lamunannya ketika tiba-tiba Indira muncul, setelah puas bermain bersama pembantunya.

Desy tertawa pelan.

“Siapa yang bersedih? Ibu sama sekali tidak bersedih.”

“Kata bibik, ibu melamun. Kalau melamun itu, katanya sedang bersedih.”

“Tidak Indi, ibu hanya sedang menunggu kamu bermain. Tapi sama sekali tidak sedih kok.”

“Ibu jangan sedih ya?”

“Tidak. Ibu senang karena setiap hari bisa bersama Indi,”

“Benar?”

“Benar, Nak. Teruslah bermain, ibu hanya duduk dan menunggu di sini.”

Indrira berlari kepada pembantunya, dan mengatakan bahwa ibunya tidak sedang bersedih. Desy mendengar percakapan Indi, dan tersenyum senang.

Tiba-tiba ia mendengar mobil berhenti di halaman. Desy berdebar. Ia selalu takut, kalau ayah mertuanya datang. Ia merasa bahwa ia diterima di rumah itu karena terpaksa. Ia yakin bahwa sebenarnya ia tidak disukai. Adanya kemudian Desy diijinkan tinggal, pasti karena Indi merengek kepada kakeknya.

Desy berdiri menyambut di teras, mengangguk hormat ketika sang ayah mertua lewat. Tapi ayah Tomy hanya menoleh sejenak, lalu melewatinya, kemudian masuk ke dalam kamarnya, di mana dia bersantai bersama Indi setiap kali datang. Tapi kali itu ayah Tomy tidak memanggil Indi. Salah seorang pembantu datang, mengatakan kepada Desy bahwa tuan besar menunggu di ruangannya.

Desy berdebar. Setelah mengangguk, ia melangkah ke ruangan itu dengan kaki gemetar.

***

Besok lagi ya.

 

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 08

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  08 (Tien Kumalasari)   Bachtiar dan Adi saling pandang. Tak tahu apa yang harus dikatakan untuk menjawabnya....