KUPETIK SETANGKAI BINTANG 12
(Tien Kumalasari)
Murtono dengan kesal terus saja membawa Birah masuk ke dalam rumah, sementara Birah dengan cemberut mengikutinya.
“Aku sudah bilang, tidak mau ke rumah ini. Apa sih maksud Mas ini sebenarnya?”
“Sebenarnya aku hanya ingin agar kalian saling bertemu, kemudian berbincang, supaya ada kedekatan diantara calon anak dan ibu sambung.”
“Buktinya apa, dia kabur tanpa mau berhenti meskipun Mas meneriakinya. Sudah jelas kalau dia tidak suka sama aku.”
Birah masih saja cemberut ketika Murtono memintanya duduk di sofa.
“Bagaimana mungkin bisa akrab kalau tidak pernah berkomunikasi?”
“Sejak melihat aku, dia sudah nggak suka.”
“Ya sudah, nanti kita pikirkan lagi, sekarang tunggu, aku akan memberikan sesuatu,” kata Murtono sambil beranjak masuk ke dalam kamar.
Ditinggalkan Murtono, Birah berteriak memanggil simbok.
“Mboook.”
Simbok bergegas menghampiri.
“Ya, Nyonya.”
“Aku mau minuman segar. Bukan es kopyor, nanti kelamaan, aku sudah ingin pergi.”
“Nyonya maunya apa, yang siap hanya jus jeruk.”
“Ya sudah, jus jeruk juga mau. Cepat ya.”
Tanpa menjawab, simbok beranjak ke belakang. Birah duduk dengan menyilangkan kakinya, benar-benar sudah seperti seorang nyonya.
Ketika simbok muncul, bersamaan dengan munculnya Murtono dari dalam kamarnya. Ia membawa sebuah kotak.
Simbok meletakkan dua gelas jus di atas meja, kemudian berlalu.
Tanpa dipersilakan, Birah segera meneguk jus jeruknya dengan nikmat.
“Haus ya?” tanya Murtono.
Birah meletakkan gelasnya yang telah kosong. Murtono menatapnya sambil tersenyum.
“Ini apa?” tanya Birah ketika menatap kotak yang diletakkan di atas meja.
“Coba tebak.”
“Apa … oo… ponsel ya, ini ada gambarnya, ponsel. Benar kan?”
Birah berjingkrak saking senengnya. Lalu dibukanya kotak itu.
“Ini langsung bisa dipakai?”
“Bisa, tapi ini masih memakai simcard punyaku. Nggak apa-apa, bisa langsung dipakai jadinya, sudah aku setel, ada nomor kontak aku. Lain kali aku belikan nomor yang khusus atas nama kamu."
"Kalau Mas berikan untuk aku, lalu Mas pakai apa?"
"Gampang. Aku punya beberapa nomor kontak. Itu nomor lama."
“Ajarin dong, gimana caranya?”
Birah hanya bersekolah sampai SMP, tapi dia tahu dari teman-temannya, dan pernah berkali-kali mencoba ponsel temannya. Tapi hanya sekilas, karena bukan miliknya. Lagipula model ponselnya juga berbeda. Sekarang Murtono mengajarinya. Tidak lama, karena hanya sedikit berbeda.
Senang sekali rasanya, saat mencoba menelpon Murtono, dan kemudian mencoba menerima ketika Murtono menelponnya.
Tapi Birah tidak ingin berlama-lama di rumah Murtono. Ia ingin pergi, khawatir Satria pulang dan harus bertemu dengannya. Sesungguhnya Birah malu untuk bertemu Satria, karena ketika kedatangannya, dia sempat membentaknya, mengira orang asing yang lancang masuk ke dalam rumah, padahal dia anak yang punya rumah. Itu sebabnya dia enggan bertemu.
“Aku mau pergi saja.”
“Ayo keluar saja, kalau kamu tidak suka di rumah ini, selama proses perceraian masih berjalan, lebih baik kamu tinggal di rumah suami kamu dulu.”
“Aduh, aku sudah nggak suka tinggal di sana. Ketika kita berjalan berduaan, suami aku pernah melihatnya.”
“Benarkah? Dan kamu takut?”
“Enggak sih, tapi yang sebenarnya aku bosan tinggal dirumah. Kumuh, gelap, kotor, aku lebih suka tinggal di rumah kamu.”
Murtono tertawa.
“Tentu saja, salah kamu sendiri, mengapa dulu memilih laki-laki miskin?”
“Ya, aku salah, gara-gara Rohana membujuk aku. Tapi sudahlah, aku bersyukur sudah bertemu lagi denganmu, dalam keadaanmu yang sudah kaya raya begini.”
“Sebenarnya aku sedang ada perlu. Sudah dua hari tidak ke kantor, jadi lebih baik kamu aku antarkan pulang saja dulu.”
“Ikut ke kantormu, bolehkah? Kamu bisa memperkenalkan aku kepada para karyawanmu.”
“Tidak sekarang. Saat ini kamu masih istri orang. Tunggu setelah semuanya selesai.”
“Baiklah, turunkan aku di sebuah supermarket saja, aku mau belanja.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Sambil berjalan, ajari aku bagaimana memesan taksi online.”
“Baiklah, nanti aku ajarkan.”
***
Minar sedang memasak di dapur. Hanya sayur bobor dari sayur bayam yang dipetiknya, dan membuat tahu bacem yang sudah dimasaknya lebih dulu, agar bumbunya meresap. Tak banyak olahan lauk yang bisa dimasak Minar, karena ibunya juga tidak pernah memasak yang aneh-aneh. Sayur bening, sayur asem, oseng kangkung. Apa lagi? Tapi Minar puas dengan semuanya. Asalkan ayahnya mau memakannya, ia sudah senang. Sudah berhari-hari ibunya pulang kerumah. Tapi hanya setiap menjelang malam. Ia hanya tidur, lalu paginya sudah pergi lagi. Setiap pulang selalu membawa belanjaan yang banyak. Baju-baju baru, sepatu baru. Pernah pada suatu hari Birah membelikan lagi dua buah baju, tapi Minar enggan memakainya, karena modelnya terbuka dan tentu saja membuatnya malu. Lagipula ia tahu apapun yang dibeli ibunya adalah dari uang pemberian laki-laki itu. Minar semakin enggan.
“Kamu itu diberi baju-baju bagus tapi tidak pernah mau menerima. Apa kamu selamanya akan menjadi gembel?” tegur ibunya kesal.
“Minar sudah merasa cukup dengan apa yang Minar miliki. Pemberian ibu, Minar simpan dengan baik.”
“Dasar ayahnya gembel, anaknya sudah pasti juga gembel.”
“Ibu jangan menghina bapak seperti itu. Bagaimanapun dia suami ibu,” kesal Minar yang semakin berani karena ibunya tidak pernah lagi menempatkan dirinya sebagai istri dan ibu yang baik."
“Aku tidak menghina, hanya mengatakan apa yang menjadi kenyataannya. Hanya buruh bangunan, mau disebut apa lagi kalau bukan gembel?”
“Menjadi buruh ataupun menjadi juragan, apakah yang membedakan kecuali uang yang dimiliki? Mereka sama dimata Allah, jadi Ibu jangan merendahkan pekerjaan bapak apapun pekerjaannya.”
“Huhh, susah ngomong sama orang yang tidak mengerti,” kata Birah sambil meninggalkan Minar untuk masuk ke dalam kamar.
Selama ada di rumah suaminya, Birah selalu tidur di kamar, dan Sutar juga tidak menegurnya. Ia memilih diam, dan tidur di kursi panjang di ruang tengah. Mereka tak pernah bertegur sapa. Ketika pagi-pagi Sutar berangkat bekerja, Birah selalu masih meringkuk di dalam kamar, ngorok. Tak lama setelah Sutar pergi, Birahpun kemudian memanggil taksi, dan pergi entah ke mana, sampai sore harinya baru pulang. Ia juga tak pernah makan di rumah, karena makan di restoran jauh lebih enak dan membuatnya bergengsi.
Siang hari itu, ketika Minar sedang menata masakannya di meja makan, ia mendengar seseorang mengucapkan salam. Minar bergegas ke depan, dan melihat seorang petugas pos memberikan sepucuk surat dalam amplop coklat.
Minar mengucapkan terima kasih dan membawa surat itu ke dalam.
“Dari pengadilan agama,” gumamnya.
Minar segera sadar bahwa ini adalah surat dari pengadilan agama, atas gugatan cerai yang diajukan ibunya. Minar menghela napas sedih. Rupanya rumah tangga orang tuanya tak lagi bisa dipertahankan.
***
Sutar sedang berada di kantornya. Ia satu ruangan dengan Kirani, atas permintaan Kirani. Tapi Sutar, walaupun tidak berpendidikan tinggi, tapi ia mengetahui batasan-batasan yang harus dimengertinya. Ia hanyalah anak buah, yang karena kebaikan Kirani kemudian dijadikan asisten pribadinya.
Setumpuk kertas terletak di mejanya. Ia harus meneliti semuanya.
“Mas, kita makan di luar yuk, hentikan saja dulu pekerjaan itu.”
“Maaf, Bu Kirani, Minar selalu membawakan bekal makan untuk saya, kasihan kalau saya tidak memakannya,” kata Sutar yang selalu bersikap seperti seorang bawahan di depan Kirani, walaupun Kirani sudah melarangnya.
“Tapi sekalian ada yang ingin aku bicarakan, tentang proyek yang baru saja masuk.”
“Ibu makan saja dulu, nanti bicara setelah Ibu kembali,” kata Sutar.
Kirani menghela napas kecewa. Setiap hari ia mengajak Sutar makan, tapi Sutar selalu menolaknya, dengan alasan Minar telah membawakannya bekal. Kirani tak bisa menolaknya, karena iapun harus menghargai apa yang Minar lakukan untuk ayahnya.
“Baiklah, aku mengerti. Tapi suatu hari aku akan minta ijin pada Minar, agar dia tak usah membawakan bekal untuk ayahnya, agar aku bisa mengajak Mas menemani aku makan.”
Sutar hanya tersenyum, sambil menyusun map yang sudah diperiksanya, dipisahkan dengan yang baru saja masuk.
“Atau … Mas takut kalau istri marah, kalau bekal yang dibawakan Minar tidak Mas makan?”
“Tidak, istriku tak akan peduli.”
“Apa? Tak akan peduli?”
Sutar menyesal telah kelepasan bicara.
“Maksudku, tak apa-apa, dia tak akan marah,” Sutar meralatnya.
Tapi Kirani menangkap sesuatu yang disembunyikan Sutar. Beberapa kali ketika dia mampir ke rumah Sutar saat pulang kerja, ia tak pernah bertemu istrinya. Padahal ia ingin berkenalan dengan sang istri. Tapi Kirani tak berani menanyakannya, karena ia tahu Sutar sedang menyembunyikan sesuatu.
“Ya sudah Mas, aku mau pulang makan. Nanti mau dibawakan apa?”
“Tidak usah, Minar membawakan nasi dan lauk yang cukup.”
Kirani mengangguk, kemudian berlalu.
Begitu Kirani pergi, Sutar membuka bekal yang dibawakan Minar. Begitu setiap hari. Alasan Minar juga tepat, jangan sampai selalu merepotkan Kirani, yang selalu memperhatikan keperluan ayahnya.
Sutar membuka kotak bekal, ada urap daun kenikir, dan teri goreng, harumnya menggugah selera. Sutar bahagia memiliki anak yang penuh perhatian dan pintar mengatur uang yang hanya sedikit, sehingga selalu bisa makan kenyang walau hanya dengan lauk sederhana. Ia tak banyak bicara, tidak seperti istrinya yang suka mengeluhkan uang yang tidak seberapa.
“Ah, sudahlah. Lebih baik aku tidak usah memikirkan Birah. Biarlah kalau dia sudah menemukan apa yang diinginkannya,” gumamnya sambil mencuci tangan, sekalian berwudhu, karena azan lohor sudah terdengar.
***
Kirani sudah makan di rumah. Ada bandeng presto goreng yang disiapkan pembantunya, yang kemudian dia minta kepada sang pembantu agar membungkusnya. Ia akan memberikannya kepada Minar.
Kirani sedang dalam perjalanan kembali ke kantor, ketika di tengah jalan ia melihat seseorang yang dikenalnya. Wanita yang hampir tertabrak mobilnya, yang bernama Subirah.
Kirani memperlambat mobilnya. Birah sedang berjalan bersama seorang laki-laki, dan bergayut di lengannya. Pasangan yang sudah tidak lagi muda itu, berjalan sambil bercanda mesra, bak pasangan muda-mudi yang sedang dimabuk cinta.
“Hm, aku kira Subirah istri mas Sutar, ternyata dia punya suami. Ternyata benar, hanya nama saja yang sama,” gumam Kirani sambil memacu mobilnya.
Ketika ia singgah di sebuah toko roti untuk membeli cemilan, ia bertemu lagi dengan Subirah dan pasangannya.
Rupanya mereka juga mengendarai mobil, dan punya tujuan sama dengan dirinya. Toko roti itu. Tapi Kirani heran. Tampaknya mereka orang berada, mengapa Birah begitu tak tahu malu ketika meminta uang dua juta kepada dirinya, dengan alasan untuk pengobatan selanjutnya dan imbalan atas terjadinya kecelakaan itu. Padahal dirinya yang bersalah.
Kirani tak ingin mengingatnya. Ia memilih beberapa cemilan untuk dibagi menjadi dua bungkus, satu untuk dibawa ke rumah, dan satunya akan diberikan Minar.
“Kamu tidak ingin beli juga untuk suami kamu yang miskin itu?”
Ucapan itu mengejutkan Kirani. Jadi laki-laki itu bukan suaminya? Rupanya Subirah hanya simpanan, atau entah apa namanya, tapi hubungannya tampak seperti bukan hubungan orang berteman atau bersaudara.
“Tidak usah, ini untuk aku makan sendiri di dalam kamar. Anakku Minar juga kalau diberi belum tentu mau. Anak itu sombong seperti bapaknya.”
Kirani terkejut. Tadi sebenarnya ia ingin menyapa, tapi kemudian diurungkannya. Kata-kata suami miskin, dan nama Minar yang disebutkannya, membuatnya kemudian meraba-raba.
Perempuan itu bernama Subirah, punya kekasih kaya, tapi punya suami miskin, dan anak yang bernama Minar? Bukankah itu gambaran keluarga Sutar?
Jadi Sutar ditinggal selingkuh oleh istrinya?
Kirani masih memilih-milih, ketika Birah dan Murtono meninggalkan toko roti itu.
Ketika iapun kemudian pulang, beribu pertanyaan memenuhi benaknya.
***
Birah sudah benar-benar mantap menjadi istri Murtono yang selalu memanjakannya. Dengan uang banyak yang selalu diberikan Murtono, dia bisa belanja apapun yang diinginkannya, dan makan makanan apapun yang disukainya. Mana mungkin Sutar mampu membuatnya senang seperti ini?
Sesiang ini tadi, ia sudah belanja pakaian lagi, lalu makanan, kemudian ia akan pulang dengan hati puas.
Ketika mereka berjalan ke arah mobil, tiba-tiba ponsel Birah berdering. Dengan heran Birah mengangkatnya. Karena ragu, suara dari seberang langsung berbicara.
“Mas, aku tidak bisa menghubungi Satria, di mana dia?”
Birah melongo.
“Siapa perempuan ini? Mengapa menelpon di ponselku?”
***
Besok lagi ya.