Friday, May 31, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 12

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  12

(Tien Kumalasari)

 

Murtono dengan kesal terus saja membawa Birah masuk ke dalam rumah, sementara Birah dengan cemberut mengikutinya.

“Aku sudah bilang, tidak mau ke rumah ini. Apa sih maksud Mas ini sebenarnya?”

“Sebenarnya aku hanya ingin agar kalian saling bertemu, kemudian berbincang, supaya ada kedekatan diantara calon anak dan ibu sambung.”

“Buktinya apa, dia kabur tanpa mau berhenti meskipun Mas meneriakinya. Sudah jelas kalau dia tidak suka sama aku.”

Birah masih saja cemberut ketika Murtono memintanya duduk di sofa.

“Bagaimana mungkin bisa akrab kalau tidak pernah berkomunikasi?”

“Sejak melihat aku, dia sudah nggak suka.”

“Ya sudah, nanti kita pikirkan lagi, sekarang tunggu, aku akan memberikan sesuatu,” kata Murtono sambil beranjak masuk ke dalam kamar.

Ditinggalkan Murtono, Birah berteriak memanggil simbok.

“Mboook.”

Simbok bergegas menghampiri.

“Ya, Nyonya.”

“Aku mau minuman segar. Bukan es kopyor, nanti kelamaan, aku sudah ingin pergi.”

“Nyonya maunya apa, yang siap hanya jus jeruk.”

“Ya sudah, jus jeruk juga mau. Cepat ya.”

Tanpa menjawab, simbok beranjak ke belakang. Birah duduk dengan menyilangkan kakinya, benar-benar sudah seperti seorang nyonya.

Ketika simbok muncul, bersamaan dengan munculnya Murtono dari dalam kamarnya. Ia membawa sebuah kotak.

Simbok meletakkan dua gelas jus di atas meja, kemudian berlalu.

Tanpa dipersilakan, Birah segera meneguk jus jeruknya dengan nikmat.

“Haus ya?” tanya Murtono.

Birah meletakkan gelasnya yang telah kosong. Murtono menatapnya sambil tersenyum.

“Ini apa?” tanya Birah ketika menatap kotak yang diletakkan di atas meja.

“Coba tebak.”

“Apa … oo… ponsel ya, ini ada gambarnya, ponsel. Benar kan?”

Birah berjingkrak saking senengnya. Lalu dibukanya kotak itu.

“Ini langsung bisa dipakai?”

“Bisa, tapi ini masih memakai simcard punyaku. Nggak apa-apa, bisa langsung dipakai jadinya, sudah aku setel, ada nomor kontak aku. Lain kali aku belikan nomor yang khusus atas nama kamu."

"Kalau Mas berikan untuk aku, lalu Mas pakai apa?"

"Gampang. Aku punya beberapa nomor kontak. Itu nomor lama."

“Ajarin dong, gimana caranya?”

Birah hanya bersekolah sampai SMP, tapi dia tahu dari teman-temannya, dan pernah berkali-kali mencoba ponsel temannya. Tapi hanya sekilas, karena bukan miliknya. Lagipula model ponselnya juga berbeda. Sekarang Murtono mengajarinya. Tidak lama, karena hanya sedikit berbeda.

Senang sekali rasanya, saat mencoba menelpon Murtono, dan kemudian mencoba menerima ketika Murtono menelponnya.

Tapi Birah tidak ingin berlama-lama di rumah Murtono. Ia ingin pergi, khawatir Satria pulang dan harus bertemu dengannya. Sesungguhnya Birah malu untuk bertemu Satria, karena ketika kedatangannya, dia sempat membentaknya, mengira orang asing yang lancang masuk ke dalam rumah, padahal dia anak yang punya rumah. Itu sebabnya dia enggan bertemu.

“Aku mau pergi saja.”

“Ayo keluar saja, kalau kamu tidak suka di rumah ini, selama proses perceraian masih berjalan, lebih baik kamu tinggal  di rumah suami kamu dulu.”

“Aduh, aku sudah nggak suka tinggal di sana. Ketika kita berjalan berduaan, suami aku pernah melihatnya.”

“Benarkah? Dan kamu takut?”

“Enggak sih, tapi yang sebenarnya aku bosan tinggal dirumah. Kumuh, gelap, kotor, aku lebih suka tinggal di rumah kamu.”

Murtono tertawa.

“Tentu saja, salah kamu sendiri, mengapa dulu memilih laki-laki miskin?”

“Ya, aku salah, gara-gara Rohana membujuk aku. Tapi sudahlah, aku bersyukur sudah bertemu lagi denganmu, dalam keadaanmu yang sudah kaya raya begini.”

“Sebenarnya aku sedang ada perlu. Sudah dua hari tidak ke kantor, jadi lebih baik kamu aku antarkan pulang saja dulu.”

“Ikut ke kantormu, bolehkah? Kamu bisa memperkenalkan aku kepada para karyawanmu.”

“Tidak sekarang. Saat ini kamu masih istri orang. Tunggu setelah semuanya selesai.”

“Baiklah, turunkan aku di sebuah supermarket saja, aku mau belanja.”

“Baiklah kalau begitu.”

“Sambil berjalan, ajari aku bagaimana memesan taksi online.”

“Baiklah, nanti aku ajarkan.”

***

Minar sedang memasak di dapur. Hanya sayur bobor dari sayur bayam yang dipetiknya, dan membuat tahu bacem yang sudah dimasaknya lebih dulu, agar bumbunya meresap. Tak banyak olahan lauk yang bisa dimasak Minar, karena ibunya juga tidak pernah memasak yang aneh-aneh. Sayur bening, sayur asem, oseng kangkung. Apa lagi? Tapi Minar puas dengan semuanya. Asalkan ayahnya mau memakannya, ia sudah senang. Sudah berhari-hari ibunya pulang kerumah. Tapi hanya setiap menjelang malam. Ia hanya  tidur, lalu paginya sudah pergi lagi. Setiap pulang selalu membawa belanjaan yang banyak. Baju-baju baru, sepatu baru. Pernah pada suatu hari Birah membelikan lagi dua buah baju, tapi Minar enggan memakainya, karena modelnya terbuka dan tentu saja membuatnya malu. Lagipula ia tahu apapun yang dibeli ibunya adalah dari uang pemberian laki-laki itu. Minar semakin enggan.

“Kamu itu diberi baju-baju bagus tapi tidak pernah mau menerima. Apa kamu selamanya akan menjadi gembel?” tegur ibunya kesal.

“Minar sudah merasa cukup dengan apa yang Minar miliki. Pemberian ibu, Minar simpan dengan baik.”

“Dasar ayahnya gembel, anaknya sudah pasti juga gembel.”

“Ibu jangan menghina bapak seperti itu. Bagaimanapun dia suami ibu,” kesal Minar yang semakin berani karena ibunya tidak pernah lagi menempatkan dirinya sebagai istri dan ibu yang baik."

“Aku tidak menghina, hanya mengatakan apa yang menjadi kenyataannya. Hanya buruh bangunan, mau disebut apa lagi kalau bukan gembel?”

“Menjadi buruh ataupun menjadi juragan, apakah yang membedakan kecuali uang yang dimiliki? Mereka sama dimata Allah, jadi Ibu jangan merendahkan pekerjaan bapak apapun pekerjaannya.”

“Huhh, susah ngomong sama orang yang tidak mengerti,” kata Birah sambil meninggalkan Minar untuk masuk ke dalam kamar.

Selama ada di rumah suaminya, Birah selalu tidur di kamar, dan Sutar juga tidak menegurnya. Ia memilih diam, dan tidur di kursi panjang di ruang tengah. Mereka tak pernah bertegur sapa. Ketika pagi-pagi Sutar berangkat bekerja, Birah selalu masih meringkuk di dalam kamar, ngorok. Tak lama setelah Sutar pergi, Birahpun kemudian memanggil taksi, dan pergi entah ke mana, sampai sore harinya baru pulang. Ia juga tak pernah makan di rumah, karena makan di restoran jauh lebih enak dan membuatnya bergengsi.

Siang hari itu, ketika Minar sedang menata masakannya di meja makan, ia mendengar seseorang mengucapkan salam. Minar bergegas ke depan, dan melihat seorang petugas pos memberikan sepucuk surat dalam amplop coklat.

Minar mengucapkan terima kasih dan membawa surat itu ke dalam.

“Dari pengadilan agama,” gumamnya.

Minar segera sadar bahwa ini adalah surat dari pengadilan agama, atas gugatan cerai yang diajukan ibunya. Minar menghela napas sedih. Rupanya rumah tangga orang tuanya tak lagi bisa dipertahankan.

***

Sutar sedang berada di kantornya. Ia satu ruangan dengan Kirani, atas permintaan Kirani. Tapi Sutar, walaupun tidak berpendidikan tinggi, tapi ia mengetahui batasan-batasan yang harus dimengertinya. Ia hanyalah anak buah, yang karena kebaikan Kirani kemudian dijadikan asisten pribadinya.

Setumpuk kertas terletak di mejanya. Ia harus meneliti semuanya.

“Mas, kita makan di luar yuk, hentikan saja dulu pekerjaan itu.”

“Maaf, Bu Kirani, Minar selalu membawakan bekal makan untuk saya, kasihan kalau saya tidak memakannya,” kata Sutar yang selalu bersikap seperti seorang bawahan di depan Kirani, walaupun Kirani sudah melarangnya.

“Tapi sekalian ada yang ingin aku bicarakan, tentang proyek yang baru saja masuk.”

“Ibu makan saja dulu, nanti bicara setelah Ibu kembali,” kata Sutar.

Kirani menghela napas kecewa. Setiap hari ia mengajak Sutar makan, tapi Sutar selalu menolaknya, dengan alasan Minar telah membawakannya bekal. Kirani tak bisa menolaknya, karena iapun harus menghargai apa yang Minar lakukan untuk ayahnya.

“Baiklah, aku mengerti. Tapi suatu hari aku akan minta ijin pada Minar, agar dia tak usah membawakan bekal untuk ayahnya, agar aku bisa mengajak Mas menemani aku makan.”

Sutar hanya tersenyum, sambil menyusun map yang sudah diperiksanya, dipisahkan dengan yang baru saja masuk.

“Atau … Mas takut kalau istri marah, kalau bekal yang dibawakan Minar tidak Mas makan?”

“Tidak, istriku tak akan peduli.”

“Apa? Tak akan peduli?”

Sutar menyesal telah kelepasan bicara.

“Maksudku, tak apa-apa, dia tak akan marah,” Sutar meralatnya.

Tapi Kirani menangkap sesuatu yang disembunyikan Sutar. Beberapa kali ketika dia mampir ke rumah Sutar saat pulang kerja, ia tak pernah bertemu istrinya. Padahal ia ingin berkenalan dengan sang istri. Tapi Kirani tak berani menanyakannya, karena ia tahu Sutar sedang menyembunyikan sesuatu.

“Ya sudah Mas, aku mau pulang makan. Nanti mau dibawakan apa?”

“Tidak usah, Minar membawakan nasi dan lauk yang cukup.”

Kirani mengangguk, kemudian berlalu.

Begitu Kirani pergi, Sutar membuka bekal yang dibawakan Minar. Begitu setiap hari. Alasan Minar juga tepat, jangan sampai selalu merepotkan Kirani, yang selalu memperhatikan keperluan ayahnya.

Sutar membuka kotak bekal, ada urap daun kenikir, dan teri goreng, harumnya menggugah selera. Sutar bahagia memiliki anak yang penuh perhatian dan pintar mengatur uang yang hanya sedikit, sehingga selalu bisa makan kenyang walau hanya dengan lauk sederhana. Ia tak banyak bicara, tidak seperti istrinya yang suka mengeluhkan uang yang tidak seberapa.

“Ah, sudahlah. Lebih baik aku tidak usah memikirkan Birah. Biarlah kalau dia sudah menemukan apa yang diinginkannya,” gumamnya sambil mencuci tangan, sekalian berwudhu, karena azan lohor sudah terdengar.

***

Kirani sudah makan di rumah. Ada bandeng presto goreng yang disiapkan pembantunya, yang kemudian dia minta kepada sang pembantu agar membungkusnya. Ia akan memberikannya kepada Minar.

Kirani sedang dalam perjalanan kembali ke kantor, ketika di tengah jalan ia melihat seseorang yang dikenalnya. Wanita yang hampir tertabrak mobilnya, yang bernama Subirah.

Kirani memperlambat mobilnya. Birah sedang berjalan bersama seorang laki-laki, dan bergayut di lengannya. Pasangan yang sudah tidak lagi muda itu, berjalan sambil bercanda mesra, bak pasangan muda-mudi yang sedang dimabuk cinta.

“Hm, aku kira Subirah istri mas Sutar, ternyata dia punya suami.  Ternyata benar, hanya nama saja yang sama,” gumam Kirani sambil memacu mobilnya.

Ketika ia singgah di sebuah toko roti untuk membeli cemilan, ia bertemu lagi dengan Subirah dan pasangannya.

Rupanya mereka juga mengendarai mobil, dan punya tujuan sama dengan dirinya. Toko roti itu. Tapi Kirani heran. Tampaknya mereka orang berada, mengapa Birah begitu tak tahu malu ketika meminta uang dua juta kepada dirinya, dengan alasan untuk pengobatan selanjutnya dan imbalan atas terjadinya kecelakaan itu. Padahal dirinya yang bersalah.

Kirani tak ingin mengingatnya. Ia memilih beberapa cemilan untuk dibagi menjadi dua bungkus, satu untuk dibawa ke rumah, dan satunya akan diberikan Minar.

“Kamu tidak ingin beli juga untuk suami kamu yang miskin itu?”

Ucapan itu mengejutkan Kirani. Jadi laki-laki itu bukan suaminya? Rupanya Subirah hanya simpanan, atau entah apa namanya, tapi hubungannya tampak seperti bukan hubungan orang berteman atau bersaudara.

“Tidak usah, ini untuk aku makan sendiri di dalam kamar. Anakku Minar juga kalau diberi belum tentu mau. Anak itu sombong seperti bapaknya.”

Kirani terkejut. Tadi sebenarnya ia ingin menyapa, tapi kemudian diurungkannya. Kata-kata suami miskin, dan nama Minar yang disebutkannya, membuatnya kemudian meraba-raba.

Perempuan itu bernama Subirah, punya kekasih kaya, tapi punya suami miskin, dan anak yang bernama Minar? Bukankah itu gambaran keluarga Sutar?

Jadi Sutar ditinggal selingkuh oleh istrinya?

Kirani masih memilih-milih, ketika Birah dan Murtono meninggalkan toko roti itu.

Ketika iapun kemudian pulang, beribu pertanyaan memenuhi benaknya.

***

Birah sudah benar-benar mantap menjadi istri Murtono yang selalu memanjakannya. Dengan uang banyak yang selalu diberikan Murtono, dia bisa belanja apapun yang diinginkannya, dan makan makanan apapun yang disukainya. Mana mungkin Sutar mampu membuatnya senang seperti ini?

Sesiang ini tadi, ia sudah belanja pakaian lagi, lalu makanan, kemudian ia akan pulang dengan hati puas.

Ketika mereka berjalan ke arah mobil, tiba-tiba ponsel Birah berdering. Dengan heran Birah mengangkatnya. Karena ragu, suara dari seberang langsung berbicara.

“Mas, aku tidak bisa menghubungi Satria, di mana dia?”

Birah melongo.

“Siapa perempuan ini? Mengapa menelpon di ponselku?”

***

Besok lagi ya.

 

 

MENUNGGU DATANGMU

MENUNGGU DATANGMU

(Tien Kumalasari)


Menunggu datangmu

Dalam dekapan dingin yang membeku

Diantara deru angin yang menggebu

Temaram yang semalam menyelimuti bumi

Perlahan sirna

Kala kehangatan mulai datang

Kutunggu, dalam meniti waktu

Hai angin pagi

Sampaikan dengan kelembutanmu

Bahwa heningnya malam telah berganti

Dan semarak kehidupan telah menanti

Kuayun langkahku, dalam harap dan asa membakar jiwa.

Selamat pagiiiii...


-----




Thursday, May 30, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 11

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  11

(Tien Kumalasari)

 

Satria menundukkan kepala ketika sang ayah menatapnya tajam. Barangkali kesal dengan komentarnya. Tapi Satria yang begitu datang lalu mendapat sambutan yang tidak menyenangkan dan dirasa kasar, sudah tidak menyukainya, dan bisa menilai bahwa pilihan sang ayah tidaklah benar.

“Mengapa kamu tidak suka? Bapakmu ini sudah bertahun-tahun hidup sendirian, dan sekarang menemukan kembali pacar lama yang pernah terputus karena kehadiran ibumu. Apa salah kalau kemudian bapakmu ini mengambilnya sebagai istri?”

“Bapak tidak salah kalau ingin punya istri, tapi jangan salah memilih istri.”

“Apa maksudmu?”

“Perempuan bernama Birah itu sepertinya kurang cocok untuk Bapak.”

“Dia cantik. Memang tadinya dari keluarga yang tidak mampu, mengapa kamu bilang tidak cocok?”

“Satria kurang suka saja. Tidak bisa mengutarakan kepada Bapak. Entah bagaimana, menurut Satria, lebih baik Bapak memilih yang lain.”

“Kamu ini ada-ada saja. Hal jodoh itu kamu tidak bisa mengaturnya. Ini pilihan bapak. Mana kamu mengerti?”

“Satria hanya ingin yang terbaik untuk Bapak.”

“Dulu kamu menyarankan bapak agar menikah saja, tidak boleh main wanita, sekarang … giliran bapak mau memperistri seseorang, kamu melarang. Gimana kamu ini?”

“Satria tidak melarang, hanya_”

“Sudah … sudah, kamu tidak usah ikut campur. Ini bukan urusan kamu. Kalau kamu butuh duit, bilang saja berapa, nanti bapak beri. Tapi jangan mengatur bapak.”

Murtono yang merasa kesal, kemudian meninggalkan Satria, lalu masuk lagi ke dalam kamar.

Tapi tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya.

“Tuan ….”

Itu suara simbok. Murtono segera membuka lagi kamarnya.

“Aku tidak makan di rumah, tadi sudah makan diluar. Layani saya tuan muda, apa maunya.”

“Ya, Tuan. Tapi saya hanya mau menyampaikan pesan nyonya Birah.”

“Oh ya? Satria bilang tadi dia ada di sini.”

“Tampaknya, nyonya menunggu tuan. Tapi setelah tuan muda Satria datang, nyonya memilih pulang.”

“Apa Satria bersikap kasar pada dia?”

“Tidak, mereka malah belum sempat saling bicara. Tapi nyonya berpesan pada saya. Katanya, kalau Tuan sudah pulang, nyonya meminta agar Tuan menjemputnya."

“Ke mana dia?”

“Dia bilang ke rumah, begitu.”

“Ini sudah malam, besok saja.”

“Baiklah, kalau begitu saya akan melayani tuan muda untuk makan.”

Murtono mengangguk, lalu menutup pintu kamarnya. Rasa kesal karena Satria tidak menyukai Birah masih mengganggunya. Murtono heran. Simbok bilang mereka tidak sempat bicara.

“Mengapa Satria tiba-tiba tidak menyukainya? Bukankah Birah cantik? Dia juga seumuran dengan aku," gumamnya.

Murtono tentu saja tidak tahu, bagaimana sikap Birah ketika melihat Satria datang. Tiba-tiba saja Birah menghardiknya dengan kasar.

***

Simbok sedang melayani Satria makan. Tapi simbok melihat, sang tuan muda seperti tidak berselera. Wajahnya juga muram.

“Tuan, mengapa makan hanya sedikit?”

“Aku kesal pada bapak.”

“Memangnya kenapa? Tak biasanya tuan kesal sama orang tua, padahal lama tidak ketemu.”

“Karena perempuan itu.”

“Perempuan yang … eh, maksudnya nyonya Birah?”

“Mengapa bapak memilih perempuan seperti itu? Tidak kurang wanita cantik yang baik. Bapak juga punya uang, mana mungkin ada wanita menolaknya?”

“Saya juga tidak tahu.”

“Apa sudah lama mereka berhubungan? Sering datang kemari?”

“Baru beberapa hari. Kemarin menginap di sini.”

“Pernah menginap?”

“Ya, kami semua melayaninya dengan baik, karena tuan Murtono berpesan begitu.”

“Menurut simbok, dia itu bagaimana?”

“Apa maksud pertanyaan Tuan Muda?”

“Orang baik atau tidak itu kan kelihatan dari sikapnya?”

“Benar.”

“Begitu aku datang, dia menyemburkan kata-kata kasar.”

“Masa? Mungkin karena dia tidak tahu,  siapa sebenarnya Tuan Muda ini.”

“Meskipun tidak tahu, dia kan bisa bertanya dengan baik-baik, bukan langsung menyembur seperti ular piton.”

Simbok tersenyum.

“Apa selama dia datang, dia bersikap baik sama semua pembantu di sini?”

“Maaf, simbok tidak berani menilai.”

“Mengapa tidak? Katakan saja. Sepatah kata kasar yang dilkeluarkannya, cukup untuk menilai, siapa dia itu sebenarnya. Apa menurut simbok dia baik?”

“Tuan Muda jangan menanyakannya pada simbok. Kalau simbok berkomentar. Nanti tuan besar akan marah pada simbok.”

Simbok tak berani bicara, bagaimana sikap Birah sebenarnya, karena simbok takut, kalau nanti Satria mengatakannya pada ayahnya, lalu simbok yang kena marah, dikira mengadu. Karenanya lebih baik dia diam.

"Mengapa takut? Ada aku. Katakan semuanya. Aku sungguh tidak rela bapak menikahi dia. Tadi aku bilang begitu pada bapak. Tapi bapak malah marah-marah."

”Wah, ini gawat, tuan. Kalau ada yang berani mencela, tuan besar pasti marah. Sudah, simbok nggak ikutan,” kata simbok sambil berusaha pergi meninggalkan Satria yang belum juga selesai makan.

“Mboook, jangan pergi dulu. Duduklah lagi, di depanku sini.”

“Jangan Tuan, simbok tidak berani.”

“Yang menyuruh itu aku, mengapa tidak berani?”

“Tuan mengajak cerita-cerita tentang nyonya Birah, simbok takut, karena tuan besar sepertinya sangat sayang pada nyonya. Begitu datang, dipesankan baju-baju bagus, beli sepatu bagus, tas bagus. Padahal waktu datang pakaiannya biasa saja,” kata simbok sangat pelan. Benar-benar takut tuannya akan mendengar.

“Siapa sebenarnya dia?”

“Simbok tidak tahu. Sungguh, Tuan.”

“Entah mengapa, aku tidak suka. Sepatah kata yang diucapkan saat aku datang, menunjukkan bahwa dia itu perempuan seperti apa. Mungkin dari dirinya yang semula hidup sederhana, lalu tiba-tiba bapak memanjakannya, kemudian timbullah sifat arogan itu.”

Simbok hanya tersenyum, ia benar-benar takut mengatakan sikap calon nyonya itu. Lalu simbok merasa lebih baik segera beranjak dari sana.

“Mboook, ambilkan air dingin,” tiba-tiba terdengar suara Murtono mendekat.

Simbok mengurungkan melangkah ke belakang. Mengambil gelas yang sudah sejak tadi disiapkan, lalu diisinya dengan air dingin dari dalam kulkas.

Murtono menemani Satria, duduk di kursi makan.

“Bapak tidak makan?”

“Aku tidak lapar. Tadi sudah makan di luar.”

“Mbok, singkirkan saja semuanya, aku sudah kenyang,” kata Satria.

***

Murtono dan Satria masih duduk di ruang makan, ketika simbok sudah membersihkan semuanya.

“Saya kira Bapak marah pada saya,” kata Satria memberanikan diri, takut ayahnya masih marah karena penolakan itu.

“Bapak tidak akan marah pada anak bapak sendiri. Kamu tahu, bapak sangat menyayangi kamu.”

“Satria juga sayang pada Bapak. Karena itulah ….”

“Jangan bicara tentang calon istri bapak.”

Satria terdiam. Kecewa pada pilihan sang ayah, sementara dia yakin wanita itu kurang baik untuk ayahnya. Ibunya sendiri, kurang begitu disukainya, karena ibunya menikah lagi dengan orang yang lebih kaya, di Jakarta.

“Kamu sering mengunjungi ibumu? Atau kamu tinggal bersama ibumu dan ayah tirimu?”

“Tidak, Satria masih tinggal di kost. Kadang-kadang saja menemui ibu, kalau ibu menelpon karena kangen.”

“Bisa kangen juga sama kamu? Bukankah dia juga punya anak dari suaminya?”

“Satria juga jarang ketemu Tomy. Dia kuliah di tempat yang berbeda. Kami juga baru  ketemu ketika setelah lulus SMA lalu kuliah di Jakarta.

“Sekarang kamu istirahat dulu, besok kita bicara lagi.”

“Besok Satria mau jalan-jalan, ketemuan sama teman lama. Boleh pinjam mobilnya kan?”

“Boleh, bawa saja yang hitam, itu baru. Kalau mau boleh kamu bawa ke Jakarta.”

“Nanti saja gampang. Selamat tidur Pak,” kata Satria yang kemudian berdiri, dan beranjak menuju kamarnya.

Murtono termenung beberapa saat lamanya. Bagaimanapun dia kurang senang karena Satria tidak menyukai Birah. Apa kekurangan Birah? Bukankah dia cantik, dan juga bisa mengimbangi cintanya?

***

Pagi hari itu Minar sibuk di dapur. Ia harus menyiapkan sarapan untuk ayahnya, dan membawakan bekal juga. Jangan sampai Kirani selalu mengajaknya makan karena kasihan pada Sutar.

“Kok masih ada ayam bakarnya?” tiba-tiba Sutar melongok ke dapur.

“Masih ada, sudah diangetin tadi. Bapak sudah rapi sih?”

“Iya, takut kesiangan. Jangan sampai bu Kirani lebih dulu datang sebelum bapak.”

“Baiklah, itu minum Bapak, dan sarapan sekalian, semua sudah Minar siapkan.

Sutar tersenyum, lalu duduk dan menghirup kopi pahit kesukaannya.

“Kamu tidak makan?”

“Minar nanti saja. Lagipula ada ibu, nanti Minar menemani ibu makan.”

“Kamu masih perhatian pada ibumu. Sebentar lagi dia meninggalkan kita.”

“Selama masih ada di sini, dia masih istri Bapak.”

Sutar tak menjawab. Sejak dia mengucapkan kata cerai, Sutar sudah menyetujuinya. Sutar bahkan merasa bahwa Birah bukan lagi istrinya, apalagi setelah dia melihat sang istri bergandengan tangan dengan laki-laki lain.

“Uang kamu masih ada berapa?”

“Masih ada, cukup untuk beberapa hari ke depan. Di kebun masih banyak sayur. Minar hanya butuh beli beras saja,” kata Minar sambil tersenyum. Tak ada sesal ketika menyadari betapa susahnya hidup kekurangan.

“Semoga nanti gaji bapak cukup untuk makan kita.”

“Aamiin.”

***

Makan pagi sudah selesai, Sutar sudah siap berangkat, ketika Birah baru keluar dari kamar. Melihat penampilan suaminya, Birah merasa heran.

“Mana ada tukang batu berdandan serapi itu?” celetuknya pelan.

Minar yang mendengar tidak meladeni celetuk ibunya.

Sutar sudah berjalan sampai ke pingir jalan, ketika sebuah mobil berhenti di pagar.

“Rupanya bu Kirani menjemput bapak,” kata Minar pelan.

“Siapa itu tadi, yang menjemput ayahmu?”

“Itu atasan Bapak, kata Minar sambil masuk ke dalam rumah. Ia harus membereskan meja, dan menyiapkan makan untuk ibunya.

“Enak betul, mau bekerja dijemput atasan. Lagi pula ayahmu berdandan sangat rapi. Apa tiba-tiba dia diangkat jadi mandor?”

“Minar tidak tahu Bu. Sekarang ibu sarapan dulu, sudah Minar siapkan.”

Birah belum mandi, tapi dengan santai dia berjalan ke arah ruang makan.

“Tidak adakah nasi? Aku ogah sarapan singkong, sudah bosan.”

“Tidak ada singkong. Minar menanak nasi, dan ada lauknya.”

“Ayam bakar? Perasaan ayam bakar yang kemarin aku bawa, terbawa pergi lagi dan aku berikan kepada pembantu di sana,” kata Birah tanpa menjelaskan tentang ucapan  ‘pembantu di sana’, dan Minar juga tak ingin menanyakannya.

“Apa ayahmu langsung menerima gaji, lalu bisa membeli ayam bakar untuk lauk?”

“Tidak, ini diberi oleh atasan bapak, sudah tadi malam."

“Rupanya ayahmu mendapat pekerjaan yang mandornya begitu baik hati,” kata Birah yang kemudian duduk di kursi makan. Tanpa sungkan ia menyendok nasi dan mencomot potongan ayam yang paling besar.

Minar menatapnya sambil tersenyum. Ibunya begitu menyukai makanan enak, dan pakaian bagus, dan tentu saja kesenangan yang semuanya tidak pernah didapatnya dari sang ayah.

Minar menyendok nasi ke piringnya, mengambil sepotong paha, dan makan menemani sang ibu.

“Siapa laki-laki yang bersama ibu kemarin dulu?” tanya Minar yang tak tahan untuk tidak bertanya.

“Apa? Laki-laki apa?”

“Minar dan ayah melihatnya. Ibu keluar dari rumah makan, bergandengan dengan seorang laki-laki.”

Birah menghentikan mengunyah makanannya. Tapi tak ada rasa sungkan walau ketahuan sedang bersama laki-laki lain.

“Dia … dulu teman ibu.”

“Yang memberi makanan dan uang pada ibu?”

“Dia kaya dan baik hati.”

“Karena itukah maka ibu ingin bercerai dari bapak?”

“Apa kamu keberatan?”

“Bagi Minar, lebih baik ibu selalu bersama bapak, suka ataupun susah. Sangat menyedihkan menyaksikan orang tua bercerai,” kata Minar terus terang.

“Ibu sudah cukup bersabar. Ibu setia kepada ayahmu sampai berpuluh tahun. Sejak kami menikah sampai punya anak sebesar kamu. Tapi ibu lelah menjadi orang miskin. Tadinya ibu ingin bertahan, tapi rasanya sangat melelahkan. Lalu ibu bertemu dia.”

Minar tak menjawab. Wajahnya terlihat murung. Benar kata ayahnya, bahwa tak akan ada yang bisa menghentikan ibunya. Karena itulah maka dia diam saja. Ia juga membiarkannya, ketika sang ibu segera mandi dan berdandan, kemudian ketika terdengar klakson mobil, lalu sang ibu berlari menjemputnya. Ibunya pergi tanpa mengatakan sesuatupun padanya.

Minar mengusap air matanya.

Ia ingin mengatakan bahwa ayahnya mungkin akan mendapatkan gaji yang lebih baik, sehingga membuat sang ibu mau kembali. Tapi rasanya tidak mungkin. Ayahnya bersaing dengan pemilik mobil itu? Minar kembali mengusap air matanya, lalu masuk ke dalam rumah untuk bersih-bersih. Sebentar lagi dia akan ke pasar untuk membeli bumbu-bumbu dapur dan lauk, karena sayurnya cukup memetik lagi di kebun.

***

Birah senang Murtono menjemputnya. Tapi Birah mengatakan bahwa dia tak ingin pulang ke rumah Murtono.

“Mengapa? Kelak itu juga akan menjadi rumahmu,” kata Murtono.

“Ada anakmu di sana, aku tidak suka.”

“Apa kalian pernah bertemu dan berbicara?”

“Tidak. Ketika dia datang, aku langsung pergi.”

“Harusnya kalian berbicara. Satria anak baik.”

“Pokoknya aku tidak mau. Apakah dia akan menetap di rumah itu?”

“Tidak, dia hanya liburan.”

“Kalau begitu selama ada anakmu, aku tidak ingin ke sana dulu. Kecuali kalau aku sudah resmi menjadi istri kamu.”

“Proses perceraian sedang berjalan, kamu harus bersabar.”

Tapi Birah terkejut ketika Murtono tetap membawanya ke rumah itu.

“Aku kan bilang bahwa aku tidak mau.”

“Hanya sebentar, ayo turun. Aku sudah beli sesuatu, kamu harus melihatnya.”

“Apa itu? Aku di sini saja.”

“Turunlah, sebentar saja.”

Entah mengapa, Murtono memaksa Birah untuk turun. Dia ingin mendekatkan Birah dengan anaknya.

Tapi ketika dia menggandeng Birah dan diajaknya masuk ke rumah, dilihatnya Satria sudah mengendarai mobil dan langsung keluar dari halaman.

“Satria!!”

Tapi Satria tak menggubrisnya, dalam sekejap bayangan mobil hitam itu sudah hilang di balik gerbang.

***

Besok lagi ya.

MANISNYA MADU

 MANISNYA MADU

(Tien Kumalasari)


Manisnya janji yang terucap

Seperti manisnya setetes madu

Saat kidung-kidung cinta berkumandang di telinga

Kekasih .... hanya kidung tanpa makna

Ketika aku pungut cintamu yang terserak

Tak ada lagi dendang bergema

Cinta hanyalah tinggal kerak

O.. cinta

Mimpi telah pergi dan melambai dengan santai

Langit menjadi kelabu

Menghapus sisa-sisa rindu

Selamat pagiiiii


-----




Wednesday, May 29, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 10

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  10

(Tien Kumalasari)

 

Birah melotot. Seorang anak muda yang tampan berdiri di depan pintu, perlahan melangkah masuk tanpa sungkan. Bilang apa dia tadi? Ini rumahku? Apa dia orang sinting? Bukankah ini rumah kekasihnya, calon suaminya?

“Hei, mau ke mana?” Birah berteriak ketika lelaki muda itu melangkah semakin ke dalam.

“Berhentii!!”

Laki-laki muda itu tidak menggubrisnya. Ia berteriak memanggil simbok.

“Simboook !”

Tergopoh simbok keluar, sementara Birah semakin marah. Tapi kemudian mulutnya menganga, ketika melihat simbok terbungkuk-bungkuk ketika berada dihadapan laki-laki itu.

“Tuan muda … maaf, simbok tidak mendengar suara mobil, jadi tidak tahu kalau Tuan Muda Satria datang.”

“Aku naik taksi Mbok. Tolong koperku di depan. Bawa ke kamarku.”

“Baik, tuan.”

“Mbok, tunggu, siapa dia?” tanyanya sambil matanya melirik ke arah Birah yang masih melongo di atas sofa.

“Oh, itu … itu … Nyonya.”

“Nyonya?” kata laki-laki bernama Satria itu sambil menoleh ke arah Birah, tapi kemudian terus berjalan ke belakang, menuju kamar yang dimaksud, diiringi simbok sambil menarik kopor Satria.

Birah masih melongo, tapi ia mendengar simbok berbicara pelan pelan dengan Satria, barangkali sedang membicarakan dirinya, entahlah, Birah tak begitu jelas mendengarnya.

Tiba-tiba Birah merasa tak enak. Di rumah itu ada tuan muda Satria, yang pastinya adalah anak Murtono yang katanya sedang kuliah di Jakarta.

“Kalau ada dia di sini, rasanya aku harus pergi saja dari sini. Nggak enak menetap di sini walau enggan pulang ke rumah Sutar," kata batin Birah.

Birah bangkit berdiri, masuk ke kamar, kemudian mengambil tas dan baju yang dibelikan Murtono dan belum sempat dipakainya. Semuanya dimasukkan ke dalam tas keresek, lalu ia pergi ke luar.

Tapi Birah merasa ragu, harus pergi ke mana, sementara dia tak bisa menghubungi Murtono sama sekali. Pulang ke rumah suaminya? Berat sekali rasanya kalau ia harus ke sana, walaupun dia belum resmi bercerai. Tapi ia harus ke mana? Akhirnya Birah hanya duduk di teras, sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya.

***

Satria sudah berganti pakaian rumahan, lalu berjalan ke arah meja makan, di mana simbok sudah menyiapkan jus jeruk yang masih segar.

Satria duduk sambil memikirkan wanita yang dengan berbisik-bisik simbok mengatakan bahwa dia adalah calon istri ayahnya.

Ketika simbok keluar sambil membawakan cemilan, Satria kembali menanyakan tentang wanita itu.

“Sebenarnya dia itu siapa?”

“Simbok tidak tahu, Tuan Muda, ketika itu, tuan hanya mengatakan bahwa dia adalah calon istrinya, dan menyuruh para pembantu agar melayaninya dengan baik.”

“Orang dari mana dia?”

“Mana simbok tahu? Oh ya, sebentar, tadi dia minta makan, itu sudah simbok siapkan di meja. Tuan mau makan sekalian?”

“Tidak, aku sudah makan tadi, setelah ini mau istirahat saja. Kalau dia minta makan, segera saja suruh dia makan, aku mau duduk di ruang tengah saja,” kata Satria sambil membawa gelasnya, berjalan ke arah ruang tengah.

Simbok bergegas ke arah depan, tapi ia tak melihat Birah di sana. Apakah dia sudah pergi? Bukankah tadi bilang kalau lapar? Simbok berjalan ke arah teras, dan melihat Birah duduk di sana.

“Nyonya mau ke mana? Katanya mau makan?”

“Nggak jadi saja.”

“Kok nggak jadi? Katanya tadi lapar?”

“Nggak jadi lapar, aku mau pulang saja.”

“Itu tadi tuan muda Satria, putra tuan Murtono yang ada di Jakarta. Sudah lama sekali tidak pulang ke rumah ini.”

“Ya, aku sudah mendengarnya tadi. Tapi aku mau pulang saja. Begini, nanti kalau tuanmu pulang, bilang bahwa aku ada di rumah, minta agar dia menjemputku.”

“Baiklah kalau begitu, nanti saya sampaikan.”

“Jangan sampai lupa, aku menunggu di rumah.”

Birah bangkit, lalu berjalan keluar. Simbok membiarkannya, karena sebenarnya simbok juga kesal kalau Birah ada di sana. Kebanyakan perintah-perintah, sok berkuasa. Sekarang baru tahu rasa, Dengan adanya Satria, mana berani Birah berbuat seenaknya di rumah itu. 

Birah masih berjalan di sepanjang jalan, dan tidak melihat ada taksi lewat.

“Apa boleh buat, dari pada jadi gelandangan di jalan, lebih baik aku pulang saja. Entah apa nanti kata mas Sutar,” gumamnya.

Tiba-tiba Birah ingat rasa laparnya, ditambah berjalan sudah agak jauh dari rumah Murtono. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, barangkali ada warung. Ia masih punya uang banyak karena tadi pagi Murtono memberinya uang lagi. Lalu dilihatnya ada sebuah warung makan di seberang jalan. Birah harus menyeberang, karena tuntutan rasa lapar sudah tak dapat ditahannya.

Ia langsung saja menyeberang tanpa melihat-lihat, lalu sebuah mobil hampir menabraknya. Walau begitu bagian depan mobil sempat mencium tubuh Birah, membuatnya terpental.

Bunyi rem berderit panjang, bersamaan dengan jeritan Birah.

Seseorang turun dari mobil, melihat orang yang tercium mobilnya.

Birah berusaha bangkit, dibantu orang-orang sekitar, yang ramai mengomelinya, karena mereka tahu bahwa Birah yang salah karena menyeberang tanpa melihat kiri-kanan.

“Kalau menyeberang itu hati-hati. Lihat kanan-kiri. Disini ramai, banyak kendaraan berseliweran. Untung hanya tersentuh,  ketengah sedikit remuk, sampeyan,” kata orang-orang yang bersahutan mengomelinya.

“Bu, mana yang sakit? Ibu terluka?” tanya si penabrak yang adalah seorang wanita cantik. Dia adalah Kirani, yang baru pulang dari rumah Sutar ketika mengantarkannya pulang.

“Ya luka lah, memangnya mobilmu itu terbuat dari tepung? Besi, tahu!!” jawab Birah sambil mengelus siku tangan dan kakinya. Wajahnya meringis menahan sakit.

“Bajuku ini masih baru, dan bukan baju murahan. Lihat, sebelah sini sampai robek,” omelnya.

“Hanya baju yang robek, kalau tubuh ibu yang robek, bisa mampus,” terdengar kata kasar dari salah satu orang yang berkerumun. Tampaknya dia kesal melihat sikap Birah seperti tidak merasa bersalah.

“Saya antarkan ke rumah sakit ya Bu, rumah sakit tidak jauh dari sini.”

Tak ada pilihan bagi Birah untuk menolak. Kakinya sakit, siku tangannya terkoyak, barangkali terkena batu runcing. Lengan kanannya nyeri, terantuk badan mobil.

Wanita itu menuntun Birah yang berjalan tertatih, diajaknya masuk ke dalam mobil, lalu Kirani menjalankan mobilnya.

“Ibu sebenarnya mau ke mana?” tanya Kirani.

“Mau ke warung. Lapar saya. Tahu-tahu Anda menabrak saya.”

“Saya tidak menabrak Bu, ibu hampir tertabrak, karena menyeberang tanpa melihat jalan. Beruntung saya menjalankan mobilnya pelan, sehingga sempat mengeremnya.”

“Kalau ibu lapar, nanti setelah diperiksa, saya belikan makan," lanjut Kirani.

“Nanti di rumah sakit, Anda yang bayar kan?”

“Ya, saya akan membayar semua pengobatannya, ibu tidak perlu khawatir.”

“Ya syukurlah, saya takut, jangan-jangan karena Anda menyalahkan saya, lalu tidak mau membayar.”

Kirani hanya tersenyum. Dalam hati dia membatin, wanita ini cantik, pakaiannya bagus, tapi cara bicaranya seperti orang tidak berpendidikan. Bahkan sedikit kasar. Tapi Kirani tidak mempedulikannya. Ia harus bertanggung jawab karena mobilnya membuat orang terluka, walaupun bukan karena kesalahannya.

Di rumah sakit, Birah langsung ditangani. Kirani agak terkejut mendengar nama wanita itu. Subirah. Dia mengenal nama itu adalah nama istri Sutar. Dia hanya tahu namanya saat itu, tapi tidak tahu orangnya yang mana.

“Jangan-jangan benar, dia istri mas Sutar. Tapi kok penampilannya seperti orang berada. Pakaian bagus, tas dan sepatunya bagus. Aku ingin bertanya, tapi kok sungkan, sudah jelas bukan pastinya. Lihat saja keadaan mas Sutar. Rumahnya sederhana, anaknya juga berpakaian sederhana, bahkan lusuh. Sama sekali tidak tampak gambaran bahwa mas Sutar mampu membelikan istrinya barang-barang bagus, pasti hanya namanya saja yang sama. Lagipula tadi dia juga menyebutkan alamat  yang berbeda dengan alamat mas Sutar,” gumam Kirani saat menunggu Birah ditangani.

Tentu saja, Birah tadi menyebutkan nama jalan yang sembarangan, tidak alamat rumah suaminya.

Ketika selesai ditangani, Birah keluar dengan lengan terbalut, dan berjalan dengan langkah terpincang-pincang. Kirani mendekat untuk menanyakan keadaannya kepada dokter, tapi katanya hanya luka ringan, dan kakinya lebam karena terantuk benda keras.

Kirani membayar semuanya, lalu mengajak Birah keluar dari sana. Hari mulai gelap, tapi meskipun ada rasa nyeri karena terluka, Birah tidak melupakan rasa laparnya.

“Turunkan saya di warung makan, saya harus makan, sejak siang belum sempat makan.”

“Baiklah, turun makan di warung depan itu ya, setelah itu saya antarkan Ibu pulang.”

“Tidak usah, saya akan naik taksi saja,” kata Birah yang tak ingin penabraknya mengetahui rumah suaminya yang sederhana.

“Saya bisa menunggu Ibu makan.”

“Tidak usah, berikan saja uang untuk saya makan, juga ganti rugi pakaian saya, dan juga untuk membayar obat kalau saya harus kembali lagi ke rumah sakit ketika luka saya belum sembuh,” kata Birah tanpa malu.

Kirani menahan senyumnya. Wanita bernama Birah ini sungguh tidak punya rasa sungkan. Tapi Kirani bukan orang yang suka mempersulit keadaan. Dia tak mau ribut karena hari sudah mulai gelap.

Dengan permintaan maaf, begitu mobil berhenti di sebuah warung, Kirani memberikan uang kepada Birah.

“Sejuta, cukup kan Bu?”

“Dua juta, baju ini mahal. Ini juga termasuk kerugian saya karena Anda menghambat perjalanan saya.”

Kirani memberikan uang yang diminta, kemudian mempersilakan Birah turun. Lebih baik tidak berurusan dengan orang aneh seperti itu. Beruntung Kirani membawa uang cash, kalau tidak, dia harus mencari ATM yang entah tempatnya jauh atau dekat dari daerah di mana dia berhenti.

***

Sutar sedang duduk di teras rumah, ditemani Minar, saat maghrib sudah berlalu. Minar sedang berpikir, baju apa yang akan dipakai ayahnya besok pagi, ketika Sutar dengan tertawa mengatakan bahwa Kirani sudah memberinya tiga setel baju.

“Ya ampun, Pak. Malu dong, semua-semua diberi oleh bu Kirani.”

“Tidak sepenuhnya diberi oleh dia. Katanya itu baju seragam pegawai di sana. Tapi entah mengapa, menurutku baju itu bukan baju murahan.”

“O, seragam? Baguslah kalau begitu, jadi Minar tidak usah terlalu memikirkan baju Bapak untuk dipakai besok. Tiga setel cukup untuk seminggu, tapi harus segera mencuci yang habis dipakai.”

“Nanti biar Bapak mencucinya sendiri.”

“Mengapa begitu? Minar sudah biasa mencuci baju semua yang ada di rumah ini.”

Tiba-tiba Minar dan Sutar melihat taksi berhenti di depan pagar. Lalu seseorang turun dari sana.

“Itu ibu?”

Yang baru saja turun dari taksi memang Birah. Setelah makan tadi, dia mencari taksi menuju pulang.

“Mengapa jalannya terpincang-pincang begitu?”

Sutar melihatnya sekilas. Bukan hanya cara Birah berjalan yang menarik perhatian, tapi juga pakaian yang dikenakannya. Ia tak menyapa ketika Birah melintas di sampingnya. Tapi Minar kemudian mengikutinya masuk.

“Ibu kenapa?”

“Diserempet mobil,” jawabnya dengan singkat.

“Diserempet mobil? Bagaimana bisa?”

“Ya bisa lah, aku lagi berjalan, lalu mobil melintas.”

Birah memasuki kamar, yang juga kamar suaminya. Walaupun lukanya masih terasa perih, dan lebam-lebam di tubuhnya juga nyeri, tapi Birah senang karena mendapat uang.”

Ia segera mandi dan berganti pakaian, lalu membaringkan tubuhnya begitu saja, tanpa keluar lagi untuk menemui suaminya.

“Kata ibu, tadi ibu terserempet mobil,” kata Minar sambil menghampiri ayahnya.

“Oh, tampaknya lukanya tidak parah. Wajahnya juga biasa saja.”

“Mungkin hanya luka ringan. Ada bau alkohol di tubuh ibu, pasti tadi dari rumah sakit juga.”

Sutar tak menjawab. Bayangan Birah menggandeng laki-laki kembali melintas, membuat wajahnya menjadi muram. Itu sebabnya dia tak mempedulikannya.

***

Murtono memasuki rumah, dan melihat ada minuman serta cemilan terhidang di meja. Murtono mengira Birah ada di rumah itu. Ia memasuki kamar, tapi tidak melihat bayangan Birah.

Ketika ia keluar, dilihatnya Satria juga keluar dari kamarnya. Tentu saja Murtono terkejut.

“Satria? Kamu pulang?” tanyanya sambil memeluk anaknya erat.

Bagaimanapun Satria adalah darah dagingnya, yang lama tak bertemu. Murtono mendekapnya lama, kemudian mengajaknya duduk.

"Kamu baru datang?”

“Sudah siang tadi Pak, lalu tidur.”

“Kenapa lama tidak menjenguk bapakmu ini?”

“Lagi sibuk menghadapi ujian, sekarang sudah lulus, tinggal wisuda.”

“Anak pintar. Senang bapak mendengarnya. Kamu akan lama di sini?”

“Agak lama. Kecuali itu ibu berpesan, kalau ada yang mau jadi pembantu di rumah Jakarta. Ibu membutuhkannya.”

“O, ada lah, nanti biar simbok carikan. Pasti banyak yang mau, asalkan bayarannya gede.”

“Soal bayaran gampang, yang penting mau. Oh ya, tadi Satria melihat ada wanita di rumah ini, apa benar dia calon istri Bapak?”

Murtono tak segera menjawab.

“Mm, dia? Bagaimana menurut kamu?” akhirnya dia bertanya.

“Kayaknya Satria nggak suka deh.”

“Apa?”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

TENTANG MATAHARI

TENTANG MATAHARI

(Tien Kumalasari)


Sepagi ini

terik mentari sudah menyengat

namun bukankah birunya langit menebarkan semangat?

jangan hiraukan peluh yang membanjir

hilangkan keluh, jangan peduli pada  pandangan mencibir

tahukah kamu? 

mentari sudah berjanji

ketika dia pergi

rembulan akan hadir menemani

sinar kencana, akan dengan suka cita memandikan bumi

dengan kehangatan yang abadi

Selamat pagiiiii


-------







-----


Tuesday, May 28, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 09

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  09

(Tien Kumalasari)

 

Birah masih mengipas-ngipasi wajahnya setelah simbok menyalakan AC di ruangan itu, sebelum rasa dingin memenuhi ruangan.

“Sudah suruhan membeli es kopyor?”

“Belum Nyonya, ketika saya mau menemui  tukang kebun, Nyonya memanggil saya kembali kan?”

“Kamu mau menyuruh tukang kebun untuk membelinya?”

“Ya, Nyonya. Karena hanya dia yang bisa naik sepeda motor, maksud saya, biar cepat sampai.”

“Oh, baiklah kalau begitu. Tolong ambilkan bantal satu lagi, aku ingin berbaring di sini.”
Simbok mengambilkan sebuah bantal lagi untuk calon nyonyanya.

“Jam berapa tuan kamu pulang?”

“Tidak tentu, Nyonya, kadang siang, kadang sore, tapi kadang tidak pulang sampai ber-hari-hari.”

Birah kemudian sadar, bahwa dia membutuhkan ponsel. Ya, ponsel, bukankah dengan ponsel itu dia bisa menghubungi Murtono setiap dia inginkan?

“Aku akan memintanya,” gumamnya sambil membaringkan tubuhnya.

“Apa masih ada yang Nyonya inginkan?”

“Kopyor … bukankah aku mau es kopyor? Kamu belum juga menyuruh orang untuk membelinya?”

“Baiklah, akan saya suruh sekarang." 

"Tapi buka saja itu, pintunya, supaya udara segar bisa masuk,” titahnya lagi.

“Nyonya, kalau menyalakan AC, bukankah pintu harus tertutup, supaya hawa dinginnya tidak keluar?”

“O, begitu ya? Ya sudah, sana … sana, jalankan saja perintahku tadi.

Birah memejamkan matanya sambil berpikir. Ternyata banyak kebiasaan orang kaya yang belum diketahuinya. Lalu dia berpikir untuk sering-sering berada di rumah ini untuk mempelajari semuanya. Mengapa tidak? Rumah Sutar sudah bukan tempat yang nyaman lagi untuknya.

Tiba-tiba dia menatap sesuatu di tembok. Foto itu, mengapa Murtono belum memindahkannya seperti janjinya. Karenanya kembali dia berteriak.

“Mbooook!!

Simbok mendekat dengan wajah yang dipaksa cerah, sementara sebenarnya dia sangat kesal. Belum menjadi nyonya saja sudah banyak sekali perintahnya, menjengkelkan pula. Pikir simbok.

“Ya, Nyonya.”

“Mengapa foto itu belum juga dipindahkan?”

“Foto apa?”

“Ituuuu, foto majikan kamu dengan mantan istrinya.”

“Itu saya tidak tahu, Nyonya. Tuan tidak menyuruh memindahkannya. Lagipula foto itu sudah ada di sana sejak bertahun-tahun.”

“Apa kamu lupa, bahwa tuanmu sudah tidak lagi menjadi suami perempuan itu?”

“Maaf, Nyonya, saya sama sekali tidak berani mengatakan apapun.”

”Kalau begitu cepat pindahkan fotonya.”

“Dipindahkan ke mana, Nyonya?”

“Kemana saja, di belakang atau apa. Aku tidak suka.”

“Maaf, Nyonya, saya tidak berani kalau tidak tuan yang menyuruhnya.”

“Sekarang aku yang memerintahkannya,” hardik Birah yang merasa punya kuasa di rumah itu.

“Maaf, sungguh saya tidak berani. Nanti saja kalau tuan sudah pulang, Nyonya minta kepada tuan untuk memindahkannya, baru saya berani melakukannya.”

“Menyebalkan! Aku tidak mau melihatnya.”

“Cara terbaik kalau Nyonya tidak mau melihatnya, adalah Nyonya jangan menatapnya. Nyonya bisa melihat televisi, atau tidur di kamar tamu,” simbok yang merasa kesal mulai berani mencela.

“Apa? Kamu berani mengaturku?”

“Maaf, Nyonya, daripada Nyonya merasa kesal.”

“Baiklah, kalau begitu nyalakan tivinya.”

“Remotnya ada di meja, akan saya ambilkan,” kata simbok yang kemudian mengambil remote televisi, lalu diserahkannya kepada calon Nyonya yang masih bodoh tapi sok pintar itu.

“Apa maksudmu? Nyalakan sekalian.”

“Tapi nanti Nyonya tidak bisa memilih mana yang bagus untuk disaksikan.”

“Cepat nyalakan saja, aku hanya ingin terhibur.”

Simbok menurutinya, kemudian meninggalkan remote di meja.

“Eh, acara apa itu?”

“Itu berita, Nyonya.”

“Ganti yang nyanyi-nyanyi atau apa, aku tidak suka berita.”

“Itulah kenapa saya tadi minta agar nyonya sendiri yang memainkan remotenya, jadi bisa memilih acara yang Nyonya suka.”

Simbok memencet angka-angka di remote itu.

“Ini nyonya, pencet saja nomornya, ganti kalau tidak suka, saya mau melanjutkan pekerjaan saya.”

Bergegas simbok ke belakang, menghindari perintah-perintah yang terkadang membuatnya kesal, tapi juga geli.

***

Ketika kemudian simbok membawa segelas es kopyor ke ruang tengah, di mana Birah sedang berbaring di sofa. Dilihatnya sang nyonya sudah tertidur, mengeluarkan bunyi dengkur yang lumayan keras.

Simbok hanya meletakkan saja gelasnya,  enggan membangunkannya. Dengan mengulum senyum, simbok pergi ke belakang, melanjutkan pekerjaannya.

Birah sedang menikmati kenyamanan tiduran di sofa empuk, udara dingin sejuk, dan impian yang membuatnya tersenyum-senyum dalam tidurnya. Tiba-tiba dia melihat Rohana datang, sambil berkacak pinggang memakinya.

“Dasar perempuan tak tahu malu. Kenapa kamu merebut suamiku?”

“Hei, berhenti mengoceh. Siapa yang suami kamu? Bukankah kamu sudah pergi meninggalkannya dengan laki-laki lain? Dasar perempuan tak tahu malu.”

“Apa katamu? Tak tahu malu? Bagaimana dengan dirimu? Kamu meninggalkan suami kamu demi laki-laki lain juga kan? Walaupun aku pergi, Murtono masih suamiku, Kami belum bercerai. Sekarang kamu harus minggat dari rumah ini.”

“Perempuan jahat!! Kamu memang bukan saudaraku, kamu anak ibumu, dan aku anak ayahku, sepantasnya kalau kamu jahat padaku. Dulu Murtono adalah kekasihku, kamu membujuk aku supaya aku menikah dengan Sutar, dengan alasan lebih ganteng. Ternyata kamu menginginkan dia. Iya kan?”

“Orang hidup itu harus memilih. Dasar kamu yang bodoh!! Sekarang angkat kaki dari rumah ini.”

“Tidak mau! Mas Murtono mau mengambilku sebagai istri.”

”Pergi tidak!!?”

“Tidak mau!!”

“Apa? Kamu kira aku tidak bisa memaksamu? Pergiii!! Pergiii!!”

“Tolooong …. augggh… tolooong!!”

Simbok bergegas ke depan mendengar teriakan Birah sangat keras.

“Ada apa?”

Simbok terkejut ketika melihat Birah terbaring di lantai, dan es kopyor yang diletakkannya di meja terguling, isinya tumpah membasahi lantai, termasuk baju Birah yang ada di bawahnya.

“Nyonya … kenapa Nyonya?”

“Pergi … ! Jangan sakiti aku?”

Simbok membantu Birah bangkit, dan kemudian dengan bingung Birah menatap simbok. Tiba-tiba ia marah.

“Mana dia? Mana dia?”

“Tidak ada siapa-siapa di sini, Nyonya?”

"Apa? Dia menjambak rambutku, membuatku terjatuh. Heeei, kamu membasahi bajuku? Kamu menumpahkan … apa ini ? Bau sirup … eh, tumpah? Kenapa kamu menumpahkannya?”

“Nyonya harusnya sadar dulu, bangun dulu. Entah tadi Nyonya bermimpi apa, tapi kemudian Nyonya terjatuh, dan membuat es kopyor yang saya siapkan tumpah,” terang simbok.

“Apa? Bajuku … bajuku …  “

“Silakan Nyonya ganti baju dulu, kan masih ada di kamar, sementara saya bersihkan tempat ini.”

Birah berdiri, dengan uring-uringan, menuju kamar di mana dia semalam tidur di sana.

“Rohana, mengapa dia bisa datang kemari? Dasar perempuan jahat. Dia berusaha mengusirku dari rumah ini? Aku akan menjadi nyonya di sini, ada hak apa dia mengusirku?”

Simbok yang sedang membersihkan lantai terkejut, ketika Birah menutup pintu kamar dengan keras.

***

Hari sudah siang, Minar yang sejak tadi menyesali kejadian yang menimpa keluarganya, kemudian tersadar, bahwa dia harus memasak. Siapa tahu sang ayah akan segera pulang.

Sayur sudah disiapkan. Bayam  dan tadi ada sedikit sisa kacang panjang, pasti enak dibuat sayur bening.

Sejenak ia melupakan kekecewaannya atas semua yang terjadi, karena disibukkan dengan pekerjaannya di dapur.

Sambil menunggu sayurnya matang, ia menggoreng ikan tongkol pindang. Lalu menyiapkan sambal terasi. Aroma ikan begitu menyengat, membuat Minar merasa lapar. Dia belum makan sesiang itu, menunggu ayahnya pulang.

Ketika ia sedang menata masakan di meja, ia mendengar deru mobi dari arah depan. Minar enggan menanggapi. Pasti ibunya lagi yang datang. Mulutnya cemberut seketika. Ia yakin sang ibu akan kembali marah-marah, apapun yang dilakukannya, dan lagi-lagi akan mengumpat ayahnya dengan sebutan ‘laki-laki miskin’. Sakit hati Minar mendengarnya, walau ibunya sendiri yang mengatakannya.

Ia mengambil piring, sendok lalu meletakkan nasi. Semuanya masih hangat. Ia tak peduli ketika mendengar langkah-langkah kaki. Sepertinya ada lebih dari satu orang. Wajah Minar semakin gelap. Apa ibunya membawa laki-laki itu ke dalam rumah? Minar meninggalkan ruang makan, masuk ke dapur, tanpa menoleh ke arah datangnya suara. Enggan rasanya melihat ada orang asing masuk ke rumah.

“Minar!!”

Minar terkejut. Itu suara ayahnya? Minar membalikkan tubuhnya, menebarkan senyuman lega.

“Sedang apa Minar?”

Minar terkejut, ada lagi yang menyapanya. Ya Tuhan, ayahnya datang bersama Kirani? Senyuman Minar semakin lebar. Senyum yang disertai perasaan sungkan. Bagaimana seorang yang kaya raya mau memasuki rumah ayahnya yang sama sekali tidak menarik? Sederhana dan kotor dengan cat dinding yang di sana-sini  sudah mengelupas.

“Bu Kirani, aduh … rumahnya kotor,” itu tanggapan Minar sambil tersenyum malu.

“Kamu sedang apa? Hm, baunya enak,” kata Kirani.

“Bau ikan asin tongkol. Silakan duduk di depan saja, saya buatkan minuman.”

“Kamu tidak menawari aku makan?”

Minar terbelalak. Menawari bu Kirani  makan? Dengan ikan asin dan sayur bening? Mimpi barangkali. Tapi tidak. Ini nyata. Kirani menatap Minar yang tampak seperti orang kebingungan.

“Nggak boleh yaa … makan masakan kamu?”

“Aduh, tapi ss … saya … hanya … itu …” kebingungan Minar menunjuk ke arah meja.

“Aku ingin mencicipi masakan kamu.”

“Minar, bu Kirani ingin makan di sini, tadi sudah mengatakannya.”

“Bb … baiklah … tap … pii… hanya …”

“Cepat ambilkan piring lagi," perintah sang ayah yang kemudian menuju ke tempat cucian untuk mencuci tangannya.

“Aku sudah mencium aroma yang membuat perutku keroncongan. Tapi Minar, aku juga membawa ayam bakar, ini. Hanya saja aku mau tongkol gorengnya itu.”

“Aduh, iya Bu, mengapa repot membawa ayam bakar segala.”

Tiba-tiba Minar teringat ketika tadi ibunya datang, mengatakan bahwa dia membawa ayam bakar, tapi kemudian tidak jadi ditinggalkannya di rumah. Ee, sekarang ada lagi yang membawa ayam bakar?

“Ibu di mana?” tanya Kirani tiba-tiba.

“Ibu … sedang … pergi.”

“Oh, sayang sekali, sebenarnya aku ingin sekali berkenalan dengan istri kamu, Mas," katanya kemudian kepada Sutar.

“Ya, sedang ada keperluan.”

“Aku kan juga harus mengatakan pada dia, bahwa Mas bekerja di tempat saya, sebagai asisten saya. Ya kan?”

“Tidak usah, dia pasti sudah mengerti.”

Minar sudah menyiapkan piring dan sendok untuk tamunya, berharap agar sang tamu tidak lagi membicarakan ibunya.

***

Mereka bertiga sudah duduk di meja makan kecil dan sederhana, lalu Minar menyendokkan nasi ke piring tamunya, juga ayahnya, lalu ke piringnya sendiri.

“Silakan Bu,” kata Minar yang masih agak canggung karena hanya bisa menyuguhkan masakan yang begitu sederhana. Tapi Minar heran, Kirani makan dengan sangat lahap, bahkan sambal semangkuk kecil juga sudah hampir habis.

“Hm, enak sekali. Kamu pintar membuat sambal. Pedas-pedas enak. Sayurnya juga segar, ada manis dan gurihnya. Besok aku bawakan jagung manis. Akan lebih nikmat lho rasanya."

“Terima kasih, Bu,” Minar tetap saja merasa malu.

“Makan pakai ayamnya. Kan sudah aku bawakan untuk kamu, Minar.”

“Iya Bu, nanti saya makan.”

“Sekarang saja, biar aku senang kalau  makanan pemberianku kamu nikmati.”

Minar tersenyum, kemudian dia mencomot sepotong paha, agar tidak mengecewakan tamu yang membawakannya.

“Nah, begitu. Ayo … mas Sutar juga. Kok hanya aku yang makan lahap sih.”

“Iya, nih … aku juga sudah mengambil ayamnya,” kata Sutar.

“Sebenarnya istrimu ke mana Mas? Aku pikir tadi bisa berkenalan juga sama dia?” Kirani bertanya lagi.

“Nggak tahu aku, barangkali ada keperluan. Minar, siapkan air putih untuk minum,” kata Sutar untuk mengalihkan pembicaraan tentang istrinya.

Minar segera berdiri, lalu mengambil gelas-gelas yang diisinya dengan air putih.

“Bagaimana pekerjaan Bapak? Bapak suka?” Minar juga berusaha berbicara tentang lain hal. Agak rumit menceritakan perihal ibunya.

“Suka sekali. Bu Kirani sangat membantu bapak. Maklum, bapak kan tidak pernah bekerja kantoran.”

“Syukurlah, kalau bapak suka, Minar senang.”

“Orang bekerja itu kan yang penting nyaman. Ayahmu ini pintar, cepat mengerti. Nanti akan banyak membantu pekerjaan aku.”

“Terima kasih ya Bu.”

Pembicaraan di meja makan itu kemudian berlanjut di teras depan, ketika Minar kemudian membersihkan meja makan dan membawanya ke dapur.

***

Akhirnya Birah mandi, dan berganti pakaian, setelah memerintahkan simbok untuk mencuci pakaian-pakaian kotornya.

Ia kembali duduk di ruang tengah yang sudah bersih, tapi kemudian dia berteriak untuk menanyakan lagi es kopyornya.

“Nyonya, kalau nyonya masih mau, biar dibelikan lagi,” kata simbok.

“Apa maksudmu ‘masih mau’? Aku kan belum merasakannya?”

“Baiklah, biar dibelikan lagi.”

“Sekarang aku lapar, hari hampir sore.”

“Ya, Nyonya, akan saya siapkan,” kata simbok yang kemudian berlalu.

Birah duduk lagi di sofa, mengangkat kedua kakinya, dan menatap ke arah televisi dengan sikap angkuh.

Tiba-tiba seseorang memasuki rumah. Birah melotot menatapnya.

“Hei, kamu siapa? Nggak sopan, masuk ke rumah orang tanpa permisi!” tegurnya marah.

“Apa? Kamu yang siapa? Ini rumahku.”

***

Besok lagi ya.

ADA MAKNA 28

ADA MAKNA  28 (Tien Kumalasari)   Wanda terus mengamati buku itu, dan kemarahan kemudian menyergap batinnya. Ia merasa dikhianati oleh sang ...