KUPETIK SETANGKAI BINTANG 09
(Tien Kumalasari)
Birah masih mengipas-ngipasi wajahnya setelah simbok menyalakan AC di ruangan itu, sebelum rasa dingin memenuhi ruangan.
“Sudah suruhan membeli es kopyor?”
“Belum Nyonya, ketika saya mau menemui tukang kebun, Nyonya memanggil saya kembali kan?”
“Kamu mau menyuruh tukang kebun untuk membelinya?”
“Ya, Nyonya. Karena hanya dia yang bisa naik sepeda motor, maksud saya, biar cepat sampai.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Tolong ambilkan bantal satu lagi, aku ingin berbaring di sini.”
Simbok mengambilkan sebuah bantal lagi untuk calon nyonyanya.
“Jam berapa tuan kamu pulang?”
“Tidak tentu, Nyonya, kadang siang, kadang sore, tapi kadang tidak pulang sampai ber-hari-hari.”
Birah kemudian sadar, bahwa dia membutuhkan ponsel. Ya, ponsel, bukankah dengan ponsel itu dia bisa menghubungi Murtono setiap dia inginkan?
“Aku akan memintanya,” gumamnya sambil membaringkan tubuhnya.
“Apa masih ada yang Nyonya inginkan?”
“Kopyor … bukankah aku mau es kopyor? Kamu belum juga menyuruh orang untuk membelinya?”
“Baiklah, akan saya suruh sekarang."
"Tapi buka saja itu, pintunya, supaya udara segar bisa masuk,” titahnya lagi.
“Nyonya, kalau menyalakan AC, bukankah pintu harus tertutup, supaya hawa dinginnya tidak keluar?”
“O, begitu ya? Ya sudah, sana … sana, jalankan saja perintahku tadi.
Birah memejamkan matanya sambil berpikir. Ternyata banyak kebiasaan orang kaya yang belum diketahuinya. Lalu dia berpikir untuk sering-sering berada di rumah ini untuk mempelajari semuanya. Mengapa tidak? Rumah Sutar sudah bukan tempat yang nyaman lagi untuknya.
Tiba-tiba dia menatap sesuatu di tembok. Foto itu, mengapa Murtono belum memindahkannya seperti janjinya. Karenanya kembali dia berteriak.
“Mbooook!!
Simbok mendekat dengan wajah yang dipaksa cerah, sementara sebenarnya dia sangat kesal. Belum menjadi nyonya saja sudah banyak sekali perintahnya, menjengkelkan pula. Pikir simbok.
“Ya, Nyonya.”
“Mengapa foto itu belum juga dipindahkan?”
“Foto apa?”
“Ituuuu, foto majikan kamu dengan mantan istrinya.”
“Itu saya tidak tahu, Nyonya. Tuan tidak menyuruh memindahkannya. Lagipula foto itu sudah ada di sana sejak bertahun-tahun.”
“Apa kamu lupa, bahwa tuanmu sudah tidak lagi menjadi suami perempuan itu?”
“Maaf, Nyonya, saya sama sekali tidak berani mengatakan apapun.”
”Kalau begitu cepat pindahkan fotonya.”
“Dipindahkan ke mana, Nyonya?”
“Kemana saja, di belakang atau apa. Aku tidak suka.”
“Maaf, Nyonya, saya tidak berani kalau tidak tuan yang menyuruhnya.”
“Sekarang aku yang memerintahkannya,” hardik Birah yang merasa punya kuasa di rumah itu.
“Maaf, sungguh saya tidak berani. Nanti saja kalau tuan sudah pulang, Nyonya minta kepada tuan untuk memindahkannya, baru saya berani melakukannya.”
“Menyebalkan! Aku tidak mau melihatnya.”
“Cara terbaik kalau Nyonya tidak mau melihatnya, adalah Nyonya jangan menatapnya. Nyonya bisa melihat televisi, atau tidur di kamar tamu,” simbok yang merasa kesal mulai berani mencela.
“Apa? Kamu berani mengaturku?”
“Maaf, Nyonya, daripada Nyonya merasa kesal.”
“Baiklah, kalau begitu nyalakan tivinya.”
“Remotnya ada di meja, akan saya ambilkan,” kata simbok yang kemudian mengambil remote televisi, lalu diserahkannya kepada calon Nyonya yang masih bodoh tapi sok pintar itu.
“Apa maksudmu? Nyalakan sekalian.”
“Tapi nanti Nyonya tidak bisa memilih mana yang bagus untuk disaksikan.”
“Cepat nyalakan saja, aku hanya ingin terhibur.”
Simbok menurutinya, kemudian meninggalkan remote di meja.
“Eh, acara apa itu?”
“Itu berita, Nyonya.”
“Ganti yang nyanyi-nyanyi atau apa, aku tidak suka berita.”
“Itulah kenapa saya tadi minta agar nyonya sendiri yang memainkan remotenya, jadi bisa memilih acara yang Nyonya suka.”
Simbok memencet angka-angka di remote itu.
“Ini nyonya, pencet saja nomornya, ganti kalau tidak suka, saya mau melanjutkan pekerjaan saya.”
Bergegas simbok ke belakang, menghindari perintah-perintah yang terkadang membuatnya kesal, tapi juga geli.
***
Ketika kemudian simbok membawa segelas es kopyor ke ruang tengah, di mana Birah sedang berbaring di sofa. Dilihatnya sang nyonya sudah tertidur, mengeluarkan bunyi dengkur yang lumayan keras.
Simbok hanya meletakkan saja gelasnya, enggan membangunkannya. Dengan mengulum senyum, simbok pergi ke belakang, melanjutkan pekerjaannya.
Birah sedang menikmati kenyamanan tiduran di sofa empuk, udara dingin sejuk, dan impian yang membuatnya tersenyum-senyum dalam tidurnya. Tiba-tiba dia melihat Rohana datang, sambil berkacak pinggang memakinya.
“Dasar perempuan tak tahu malu. Kenapa kamu merebut suamiku?”
“Hei, berhenti mengoceh. Siapa yang suami kamu? Bukankah kamu sudah pergi meninggalkannya dengan laki-laki lain? Dasar perempuan tak tahu malu.”
“Apa katamu? Tak tahu malu? Bagaimana dengan dirimu? Kamu meninggalkan suami kamu demi laki-laki lain juga kan? Walaupun aku pergi, Murtono masih suamiku, Kami belum bercerai. Sekarang kamu harus minggat dari rumah ini.”
“Perempuan jahat!! Kamu memang bukan saudaraku, kamu anak ibumu, dan aku anak ayahku, sepantasnya kalau kamu jahat padaku. Dulu Murtono adalah kekasihku, kamu membujuk aku supaya aku menikah dengan Sutar, dengan alasan lebih ganteng. Ternyata kamu menginginkan dia. Iya kan?”
“Orang hidup itu harus memilih. Dasar kamu yang bodoh!! Sekarang angkat kaki dari rumah ini.”
“Tidak mau! Mas Murtono mau mengambilku sebagai istri.”
”Pergi tidak!!?”
“Tidak mau!!”
“Apa? Kamu kira aku tidak bisa memaksamu? Pergiii!! Pergiii!!”
“Tolooong …. augggh… tolooong!!”
Simbok bergegas ke depan mendengar teriakan Birah sangat keras.
“Ada apa?”
Simbok terkejut ketika melihat Birah terbaring di lantai, dan es kopyor yang diletakkannya di meja terguling, isinya tumpah membasahi lantai, termasuk baju Birah yang ada di bawahnya.
“Nyonya … kenapa Nyonya?”
“Pergi … ! Jangan sakiti aku?”
Simbok membantu Birah bangkit, dan kemudian dengan bingung Birah menatap simbok. Tiba-tiba ia marah.
“Mana dia? Mana dia?”
“Tidak ada siapa-siapa di sini, Nyonya?”
"Apa? Dia menjambak rambutku, membuatku terjatuh. Heeei, kamu membasahi bajuku? Kamu menumpahkan … apa ini ? Bau sirup … eh, tumpah? Kenapa kamu menumpahkannya?”
“Nyonya harusnya sadar dulu, bangun dulu. Entah tadi Nyonya bermimpi apa, tapi kemudian Nyonya terjatuh, dan membuat es kopyor yang saya siapkan tumpah,” terang simbok.
“Apa? Bajuku … bajuku … “
“Silakan Nyonya ganti baju dulu, kan masih ada di kamar, sementara saya bersihkan tempat ini.”
Birah berdiri, dengan uring-uringan, menuju kamar di mana dia semalam tidur di sana.
“Rohana, mengapa dia bisa datang kemari? Dasar perempuan jahat. Dia berusaha mengusirku dari rumah ini? Aku akan menjadi nyonya di sini, ada hak apa dia mengusirku?”
Simbok yang sedang membersihkan lantai terkejut, ketika Birah menutup pintu kamar dengan keras.
***
Hari sudah siang, Minar yang sejak tadi menyesali kejadian yang menimpa keluarganya, kemudian tersadar, bahwa dia harus memasak. Siapa tahu sang ayah akan segera pulang.
Sayur sudah disiapkan. Bayam dan tadi ada sedikit sisa kacang panjang, pasti enak dibuat sayur bening.
Sejenak ia melupakan kekecewaannya atas semua yang terjadi, karena disibukkan dengan pekerjaannya di dapur.
Sambil menunggu sayurnya matang, ia menggoreng ikan tongkol pindang. Lalu menyiapkan sambal terasi. Aroma ikan begitu menyengat, membuat Minar merasa lapar. Dia belum makan sesiang itu, menunggu ayahnya pulang.
Ketika ia sedang menata masakan di meja, ia mendengar deru mobi dari arah depan. Minar enggan menanggapi. Pasti ibunya lagi yang datang. Mulutnya cemberut seketika. Ia yakin sang ibu akan kembali marah-marah, apapun yang dilakukannya, dan lagi-lagi akan mengumpat ayahnya dengan sebutan ‘laki-laki miskin’. Sakit hati Minar mendengarnya, walau ibunya sendiri yang mengatakannya.
Ia mengambil piring, sendok lalu meletakkan nasi. Semuanya masih hangat. Ia tak peduli ketika mendengar langkah-langkah kaki. Sepertinya ada lebih dari satu orang. Wajah Minar semakin gelap. Apa ibunya membawa laki-laki itu ke dalam rumah? Minar meninggalkan ruang makan, masuk ke dapur, tanpa menoleh ke arah datangnya suara. Enggan rasanya melihat ada orang asing masuk ke rumah.
“Minar!!”
Minar terkejut. Itu suara ayahnya? Minar membalikkan tubuhnya, menebarkan senyuman lega.
“Sedang apa Minar?”
Minar terkejut, ada lagi yang menyapanya. Ya Tuhan, ayahnya datang bersama Kirani? Senyuman Minar semakin lebar. Senyum yang disertai perasaan sungkan. Bagaimana seorang yang kaya raya mau memasuki rumah ayahnya yang sama sekali tidak menarik? Sederhana dan kotor dengan cat dinding yang di sana-sini sudah mengelupas.
“Bu Kirani, aduh … rumahnya kotor,” itu tanggapan Minar sambil tersenyum malu.
“Kamu sedang apa? Hm, baunya enak,” kata Kirani.
“Bau ikan asin tongkol. Silakan duduk di depan saja, saya buatkan minuman.”
“Kamu tidak menawari aku makan?”
Minar terbelalak. Menawari bu Kirani makan? Dengan ikan asin dan sayur bening? Mimpi barangkali. Tapi tidak. Ini nyata. Kirani menatap Minar yang tampak seperti orang kebingungan.
“Nggak boleh yaa … makan masakan kamu?”
“Aduh, tapi ss … saya … hanya … itu …” kebingungan Minar menunjuk ke arah meja.
“Aku ingin mencicipi masakan kamu.”
“Minar, bu Kirani ingin makan di sini, tadi sudah mengatakannya.”
“Bb … baiklah … tap … pii… hanya …”
“Cepat ambilkan piring lagi," perintah sang ayah yang kemudian menuju ke tempat cucian untuk mencuci tangannya.
“Aku sudah mencium aroma yang membuat perutku keroncongan. Tapi Minar, aku juga membawa ayam bakar, ini. Hanya saja aku mau tongkol gorengnya itu.”
“Aduh, iya Bu, mengapa repot membawa ayam bakar segala.”
Tiba-tiba Minar teringat ketika tadi ibunya datang, mengatakan bahwa dia membawa ayam bakar, tapi kemudian tidak jadi ditinggalkannya di rumah. Ee, sekarang ada lagi yang membawa ayam bakar?
“Ibu di mana?” tanya Kirani tiba-tiba.
“Ibu … sedang … pergi.”
“Oh, sayang sekali, sebenarnya aku ingin sekali berkenalan dengan istri kamu, Mas," katanya kemudian kepada Sutar.
“Ya, sedang ada keperluan.”
“Aku kan juga harus mengatakan pada dia, bahwa Mas bekerja di tempat saya, sebagai asisten saya. Ya kan?”
“Tidak usah, dia pasti sudah mengerti.”
Minar sudah menyiapkan piring dan sendok untuk tamunya, berharap agar sang tamu tidak lagi membicarakan ibunya.
***
Mereka bertiga sudah duduk di meja makan kecil dan sederhana, lalu Minar menyendokkan nasi ke piring tamunya, juga ayahnya, lalu ke piringnya sendiri.
“Silakan Bu,” kata Minar yang masih agak canggung karena hanya bisa menyuguhkan masakan yang begitu sederhana. Tapi Minar heran, Kirani makan dengan sangat lahap, bahkan sambal semangkuk kecil juga sudah hampir habis.
“Hm, enak sekali. Kamu pintar membuat sambal. Pedas-pedas enak. Sayurnya juga segar, ada manis dan gurihnya. Besok aku bawakan jagung manis. Akan lebih nikmat lho rasanya."
“Terima kasih, Bu,” Minar tetap saja merasa malu.
“Makan pakai ayamnya. Kan sudah aku bawakan untuk kamu, Minar.”
“Iya Bu, nanti saya makan.”
“Sekarang saja, biar aku senang kalau makanan pemberianku kamu nikmati.”
Minar tersenyum, kemudian dia mencomot sepotong paha, agar tidak mengecewakan tamu yang membawakannya.
“Nah, begitu. Ayo … mas Sutar juga. Kok hanya aku yang makan lahap sih.”
“Iya, nih … aku juga sudah mengambil ayamnya,” kata Sutar.
“Sebenarnya istrimu ke mana Mas? Aku pikir tadi bisa berkenalan juga sama dia?” Kirani bertanya lagi.
“Nggak tahu aku, barangkali ada keperluan. Minar, siapkan air putih untuk minum,” kata Sutar untuk mengalihkan pembicaraan tentang istrinya.
Minar segera berdiri, lalu mengambil gelas-gelas yang diisinya dengan air putih.
“Bagaimana pekerjaan Bapak? Bapak suka?” Minar juga berusaha berbicara tentang lain hal. Agak rumit menceritakan perihal ibunya.
“Suka sekali. Bu Kirani sangat membantu bapak. Maklum, bapak kan tidak pernah bekerja kantoran.”
“Syukurlah, kalau bapak suka, Minar senang.”
“Orang bekerja itu kan yang penting nyaman. Ayahmu ini pintar, cepat mengerti. Nanti akan banyak membantu pekerjaan aku.”
“Terima kasih ya Bu.”
Pembicaraan di meja makan itu kemudian berlanjut di teras depan, ketika Minar kemudian membersihkan meja makan dan membawanya ke dapur.
***
Akhirnya Birah mandi, dan berganti pakaian, setelah memerintahkan simbok untuk mencuci pakaian-pakaian kotornya.
Ia kembali duduk di ruang tengah yang sudah bersih, tapi kemudian dia berteriak untuk menanyakan lagi es kopyornya.
“Nyonya, kalau nyonya masih mau, biar dibelikan lagi,” kata simbok.
“Apa maksudmu ‘masih mau’? Aku kan belum merasakannya?”
“Baiklah, biar dibelikan lagi.”
“Sekarang aku lapar, hari hampir sore.”
“Ya, Nyonya, akan saya siapkan,” kata simbok yang kemudian berlalu.
Birah duduk lagi di sofa, mengangkat kedua kakinya, dan menatap ke arah televisi dengan sikap angkuh.
Tiba-tiba seseorang memasuki rumah. Birah melotot menatapnya.
“Hei, kamu siapa? Nggak sopan, masuk ke rumah orang tanpa permisi!” tegurnya marah.
“Apa? Kamu yang siapa? Ini rumahku.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ๐น๐น๐น๐น๐น
Sami2 ibu Susi
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah *KUPETIK SETANGKAI BINTANG*
ReplyDeleteepisode 9 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Horeeee
ReplyDeleteHoreeee
Delete๐๐ป๐๐ป๐๐ป๐๐ป
ReplyDeleteAlhamdulillah ๐๐ฆ
KaeSBe_09 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tienkuuh...
Doaku semoga Bu Tien
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam seroja...๐๐คฉ
๐๐ป๐๐ป๐๐ป๐๐ป
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteSuwwun
ReplyDeleteSami2 pak Wirasaba
Delete⭐๐๐๐⭐
ReplyDeleteAlhamdulillah..Cerbung KSB epsd _ ,09 sudah tayang.
Matur sembah nuwun
Semoga Mbak Tien selalu sehat ๐ฅฐ
⭐๐๐๐⭐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Ning
Alhamdulillah KSB 09 sdh tayang...Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteLama nggak komen
Terima kasih banyak, bu Tien cantiik. Salam sehat selalu, yaa๐
ReplyDeleteSami2 jeng Mita
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTrimakasih Bu Tien semoga Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Alhamdulillah KSB 09 sdh tayang
ReplyDeleteMatur nuwun bunda
Sami2 ibu Wiwik
ReplyDeleteHore,,,, kena deh Birah ,itu Satria ya
ReplyDeleteTernyata dikehidupan nyata ada org yg seperti itu, kasihan ya mungkin latar belakang agama itu juga sangat berpengaruh.selajutnya...
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ๐ค๐ฅฐ๐ฟ❤️,
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Wah, hebat bener si Birah ini. Berani membentak bentak yang punya rumah. Kalau ditendang keluar rumah apa tidak malu ..
ReplyDeleteApa proses perceraiannya sudah berjalan ya , lanjut apa dicabut.
Selamat ya Sutar mendapat pekerjaan yang nyaman, jangan lupa kepada mandor yang baik hati.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin,
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillaah tayang
ReplyDeleteBiraaah... Birah
Makasih Bunda
Sami2 ibu Engkas
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
ADUHAI deh
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun bunda Tien...๐๐
ReplyDeleteSehat selalu kagem bunda...๐คฒ๐คฒ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Padma Sari
Syukron Bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah KaEsBe_09
Salam sehat dan tetap semangat Bu Tien.
Mohon maaf terlambat komen hari ini lumayan sibuk mulai pagi.
Salam ADUHAI
Terima kasih mas Kakek
DeleteAlhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~09 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..๐คฒ..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Es kopyor segar
ReplyDeleteBetul
DeleteAlhamdulillah cerbung KSB - 09 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Allahumma Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Birah mimpi jadi nyonya rumah yang kaya raya, sampai lupa suami dan anaknya. Eling Birah eling... Terimakasih bunda Tien, selalu sehat dan aduahi...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Komariyah
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien KSB 9 sdh tayang
Semoga bu tien sehat2 selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
ADUHAI .... ceritanya...
ReplyDeleteMatur nuwun, Mbak Tien.
Baca sambil momong cucu....๐คญ
Sami2 ibu Purwani
DeleteSelamat jadi MC
ADUHAI deh
Alhamdulillah.Birah kena damprat gak bisa naik derajat.tetap sehat ya Bunda.Maturnuwun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~09 sudah hadir, matursuwun Bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin ya Robal 'alamin..๐คฒ..
Reply
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dari Yk...
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat juga
Anaknya Martono datang?...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteMaturnuwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Yati
Alhamdulillah.... Sehat selalu mbakyu... ๐๐
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu.
Terima ksih bunda .slmt MLM slmt istrhat๐๐๐๐น
ReplyDeleteOoh...jadinya 'ayam bakar' ya yg dibawa Birah ke rumah? Ibu Tien memang piawai merangkai cerita. Tapi herannya kok Sutar dan Kirani tidak mempertanyakan luka & memar Mirna akibat kelakuan ibunya ya? Kan sudah membengkak...apa karena keasyikan makan bersama, jadi kurang perhatian.
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 14* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.