KUPETIK SETANGKAI BINTANG 10
(Tien Kumalasari)
Birah melotot. Seorang anak muda yang tampan berdiri di depan pintu, perlahan melangkah masuk tanpa sungkan. Bilang apa dia tadi? Ini rumahku? Apa dia orang sinting? Bukankah ini rumah kekasihnya, calon suaminya?
“Hei, mau ke mana?” Birah berteriak ketika lelaki muda itu melangkah semakin ke dalam.
“Berhentii!!”
Laki-laki muda itu tidak menggubrisnya. Ia berteriak memanggil simbok.
“Simboook !”
Tergopoh simbok keluar, sementara Birah semakin marah. Tapi kemudian mulutnya menganga, ketika melihat simbok terbungkuk-bungkuk ketika berada dihadapan laki-laki itu.
“Tuan muda … maaf, simbok tidak mendengar suara mobil, jadi tidak tahu kalau Tuan Muda Satria datang.”
“Aku naik taksi Mbok. Tolong koperku di depan. Bawa ke kamarku.”
“Baik, tuan.”
“Mbok, tunggu, siapa dia?” tanyanya sambil matanya melirik ke arah Birah yang masih melongo di atas sofa.
“Oh, itu … itu … Nyonya.”
“Nyonya?” kata laki-laki bernama Satria itu sambil menoleh ke arah Birah, tapi kemudian terus berjalan ke belakang, menuju kamar yang dimaksud, diiringi simbok sambil menarik kopor Satria.
Birah masih melongo, tapi ia mendengar simbok berbicara pelan pelan dengan Satria, barangkali sedang membicarakan dirinya, entahlah, Birah tak begitu jelas mendengarnya.
Tiba-tiba Birah merasa tak enak. Di rumah itu ada tuan muda Satria, yang pastinya adalah anak Murtono yang katanya sedang kuliah di Jakarta.
“Kalau ada dia di sini, rasanya aku harus pergi saja dari sini. Nggak enak menetap di sini walau enggan pulang ke rumah Sutar," kata batin Birah.
Birah bangkit berdiri, masuk ke kamar, kemudian mengambil tas dan baju yang dibelikan Murtono dan belum sempat dipakainya. Semuanya dimasukkan ke dalam tas keresek, lalu ia pergi ke luar.
Tapi Birah merasa ragu, harus pergi ke mana, sementara dia tak bisa menghubungi Murtono sama sekali. Pulang ke rumah suaminya? Berat sekali rasanya kalau ia harus ke sana, walaupun dia belum resmi bercerai. Tapi ia harus ke mana? Akhirnya Birah hanya duduk di teras, sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya.
***
Satria sudah berganti pakaian rumahan, lalu berjalan ke arah meja makan, di mana simbok sudah menyiapkan jus jeruk yang masih segar.
Satria duduk sambil memikirkan wanita yang dengan berbisik-bisik simbok mengatakan bahwa dia adalah calon istri ayahnya.
Ketika simbok keluar sambil membawakan cemilan, Satria kembali menanyakan tentang wanita itu.
“Sebenarnya dia itu siapa?”
“Simbok tidak tahu, Tuan Muda, ketika itu, tuan hanya mengatakan bahwa dia adalah calon istrinya, dan menyuruh para pembantu agar melayaninya dengan baik.”
“Orang dari mana dia?”
“Mana simbok tahu? Oh ya, sebentar, tadi dia minta makan, itu sudah simbok siapkan di meja. Tuan mau makan sekalian?”
“Tidak, aku sudah makan tadi, setelah ini mau istirahat saja. Kalau dia minta makan, segera saja suruh dia makan, aku mau duduk di ruang tengah saja,” kata Satria sambil membawa gelasnya, berjalan ke arah ruang tengah.
Simbok bergegas ke arah depan, tapi ia tak melihat Birah di sana. Apakah dia sudah pergi? Bukankah tadi bilang kalau lapar? Simbok berjalan ke arah teras, dan melihat Birah duduk di sana.
“Nyonya mau ke mana? Katanya mau makan?”
“Nggak jadi saja.”
“Kok nggak jadi? Katanya tadi lapar?”
“Nggak jadi lapar, aku mau pulang saja.”
“Itu tadi tuan muda Satria, putra tuan Murtono yang ada di Jakarta. Sudah lama sekali tidak pulang ke rumah ini.”
“Ya, aku sudah mendengarnya tadi. Tapi aku mau pulang saja. Begini, nanti kalau tuanmu pulang, bilang bahwa aku ada di rumah, minta agar dia menjemputku.”
“Baiklah kalau begitu, nanti saya sampaikan.”
“Jangan sampai lupa, aku menunggu di rumah.”
Birah bangkit, lalu berjalan keluar. Simbok membiarkannya, karena sebenarnya simbok juga kesal kalau Birah ada di sana. Kebanyakan perintah-perintah, sok berkuasa. Sekarang baru tahu rasa, Dengan adanya Satria, mana berani Birah berbuat seenaknya di rumah itu.
Birah masih berjalan di sepanjang jalan, dan tidak melihat ada taksi lewat.
“Apa boleh buat, dari pada jadi gelandangan di jalan, lebih baik aku pulang saja. Entah apa nanti kata mas Sutar,” gumamnya.
Tiba-tiba Birah ingat rasa laparnya, ditambah berjalan sudah agak jauh dari rumah Murtono. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, barangkali ada warung. Ia masih punya uang banyak karena tadi pagi Murtono memberinya uang lagi. Lalu dilihatnya ada sebuah warung makan di seberang jalan. Birah harus menyeberang, karena tuntutan rasa lapar sudah tak dapat ditahannya.
Ia langsung saja menyeberang tanpa melihat-lihat, lalu sebuah mobil hampir menabraknya. Walau begitu bagian depan mobil sempat mencium tubuh Birah, membuatnya terpental.
Bunyi rem berderit panjang, bersamaan dengan jeritan Birah.
Seseorang turun dari mobil, melihat orang yang tercium mobilnya.
Birah berusaha bangkit, dibantu orang-orang sekitar, yang ramai mengomelinya, karena mereka tahu bahwa Birah yang salah karena menyeberang tanpa melihat kiri-kanan.
“Kalau menyeberang itu hati-hati. Lihat kanan-kiri. Disini ramai, banyak kendaraan berseliweran. Untung hanya tersentuh, ketengah sedikit remuk, sampeyan,” kata orang-orang yang bersahutan mengomelinya.
“Bu, mana yang sakit? Ibu terluka?” tanya si penabrak yang adalah seorang wanita cantik. Dia adalah Kirani, yang baru pulang dari rumah Sutar ketika mengantarkannya pulang.
“Ya luka lah, memangnya mobilmu itu terbuat dari tepung? Besi, tahu!!” jawab Birah sambil mengelus siku tangan dan kakinya. Wajahnya meringis menahan sakit.
“Bajuku ini masih baru, dan bukan baju murahan. Lihat, sebelah sini sampai robek,” omelnya.
“Hanya baju yang robek, kalau tubuh ibu yang robek, bisa mampus,” terdengar kata kasar dari salah satu orang yang berkerumun. Tampaknya dia kesal melihat sikap Birah seperti tidak merasa bersalah.
“Saya antarkan ke rumah sakit ya Bu, rumah sakit tidak jauh dari sini.”
Tak ada pilihan bagi Birah untuk menolak. Kakinya sakit, siku tangannya terkoyak, barangkali terkena batu runcing. Lengan kanannya nyeri, terantuk badan mobil.
Wanita itu menuntun Birah yang berjalan tertatih, diajaknya masuk ke dalam mobil, lalu Kirani menjalankan mobilnya.
“Ibu sebenarnya mau ke mana?” tanya Kirani.
“Mau ke warung. Lapar saya. Tahu-tahu Anda menabrak saya.”
“Saya tidak menabrak Bu, ibu hampir tertabrak, karena menyeberang tanpa melihat jalan. Beruntung saya menjalankan mobilnya pelan, sehingga sempat mengeremnya.”
“Kalau ibu lapar, nanti setelah diperiksa, saya belikan makan," lanjut Kirani.
“Nanti di rumah sakit, Anda yang bayar kan?”
“Ya, saya akan membayar semua pengobatannya, ibu tidak perlu khawatir.”
“Ya syukurlah, saya takut, jangan-jangan karena Anda menyalahkan saya, lalu tidak mau membayar.”
Kirani hanya tersenyum. Dalam hati dia membatin, wanita ini cantik, pakaiannya bagus, tapi cara bicaranya seperti orang tidak berpendidikan. Bahkan sedikit kasar. Tapi Kirani tidak mempedulikannya. Ia harus bertanggung jawab karena mobilnya membuat orang terluka, walaupun bukan karena kesalahannya.
Di rumah sakit, Birah langsung ditangani. Kirani agak terkejut mendengar nama wanita itu. Subirah. Dia mengenal nama itu adalah nama istri Sutar. Dia hanya tahu namanya saat itu, tapi tidak tahu orangnya yang mana.
“Jangan-jangan benar, dia istri mas Sutar. Tapi kok penampilannya seperti orang berada. Pakaian bagus, tas dan sepatunya bagus. Aku ingin bertanya, tapi kok sungkan, sudah jelas bukan pastinya. Lihat saja keadaan mas Sutar. Rumahnya sederhana, anaknya juga berpakaian sederhana, bahkan lusuh. Sama sekali tidak tampak gambaran bahwa mas Sutar mampu membelikan istrinya barang-barang bagus, pasti hanya namanya saja yang sama. Lagipula tadi dia juga menyebutkan alamat yang berbeda dengan alamat mas Sutar,” gumam Kirani saat menunggu Birah ditangani.
Tentu saja, Birah tadi menyebutkan nama jalan yang sembarangan, tidak alamat rumah suaminya.
Ketika selesai ditangani, Birah keluar dengan lengan terbalut, dan berjalan dengan langkah terpincang-pincang. Kirani mendekat untuk menanyakan keadaannya kepada dokter, tapi katanya hanya luka ringan, dan kakinya lebam karena terantuk benda keras.
Kirani membayar semuanya, lalu mengajak Birah keluar dari sana. Hari mulai gelap, tapi meskipun ada rasa nyeri karena terluka, Birah tidak melupakan rasa laparnya.
“Turunkan saya di warung makan, saya harus makan, sejak siang belum sempat makan.”
“Baiklah, turun makan di warung depan itu ya, setelah itu saya antarkan Ibu pulang.”
“Tidak usah, saya akan naik taksi saja,” kata Birah yang tak ingin penabraknya mengetahui rumah suaminya yang sederhana.
“Saya bisa menunggu Ibu makan.”
“Tidak usah, berikan saja uang untuk saya makan, juga ganti rugi pakaian saya, dan juga untuk membayar obat kalau saya harus kembali lagi ke rumah sakit ketika luka saya belum sembuh,” kata Birah tanpa malu.
Kirani menahan senyumnya. Wanita bernama Birah ini sungguh tidak punya rasa sungkan. Tapi Kirani bukan orang yang suka mempersulit keadaan. Dia tak mau ribut karena hari sudah mulai gelap.
Dengan permintaan maaf, begitu mobil berhenti di sebuah warung, Kirani memberikan uang kepada Birah.
“Sejuta, cukup kan Bu?”
“Dua juta, baju ini mahal. Ini juga termasuk kerugian saya karena Anda menghambat perjalanan saya.”
Kirani memberikan uang yang diminta, kemudian mempersilakan Birah turun. Lebih baik tidak berurusan dengan orang aneh seperti itu. Beruntung Kirani membawa uang cash, kalau tidak, dia harus mencari ATM yang entah tempatnya jauh atau dekat dari daerah di mana dia berhenti.
***
Sutar sedang duduk di teras rumah, ditemani Minar, saat maghrib sudah berlalu. Minar sedang berpikir, baju apa yang akan dipakai ayahnya besok pagi, ketika Sutar dengan tertawa mengatakan bahwa Kirani sudah memberinya tiga setel baju.
“Ya ampun, Pak. Malu dong, semua-semua diberi oleh bu Kirani.”
“Tidak sepenuhnya diberi oleh dia. Katanya itu baju seragam pegawai di sana. Tapi entah mengapa, menurutku baju itu bukan baju murahan.”
“O, seragam? Baguslah kalau begitu, jadi Minar tidak usah terlalu memikirkan baju Bapak untuk dipakai besok. Tiga setel cukup untuk seminggu, tapi harus segera mencuci yang habis dipakai.”
“Nanti biar Bapak mencucinya sendiri.”
“Mengapa begitu? Minar sudah biasa mencuci baju semua yang ada di rumah ini.”
Tiba-tiba Minar dan Sutar melihat taksi berhenti di depan pagar. Lalu seseorang turun dari sana.
“Itu ibu?”
Yang baru saja turun dari taksi memang Birah. Setelah makan tadi, dia mencari taksi menuju pulang.
“Mengapa jalannya terpincang-pincang begitu?”
Sutar melihatnya sekilas. Bukan hanya cara Birah berjalan yang menarik perhatian, tapi juga pakaian yang dikenakannya. Ia tak menyapa ketika Birah melintas di sampingnya. Tapi Minar kemudian mengikutinya masuk.
“Ibu kenapa?”
“Diserempet mobil,” jawabnya dengan singkat.
“Diserempet mobil? Bagaimana bisa?”
“Ya bisa lah, aku lagi berjalan, lalu mobil melintas.”
Birah memasuki kamar, yang juga kamar suaminya. Walaupun lukanya masih terasa perih, dan lebam-lebam di tubuhnya juga nyeri, tapi Birah senang karena mendapat uang.”
Ia segera mandi dan berganti pakaian, lalu membaringkan tubuhnya begitu saja, tanpa keluar lagi untuk menemui suaminya.
“Kata ibu, tadi ibu terserempet mobil,” kata Minar sambil menghampiri ayahnya.
“Oh, tampaknya lukanya tidak parah. Wajahnya juga biasa saja.”
“Mungkin hanya luka ringan. Ada bau alkohol di tubuh ibu, pasti tadi dari rumah sakit juga.”
Sutar tak menjawab. Bayangan Birah menggandeng laki-laki kembali melintas, membuat wajahnya menjadi muram. Itu sebabnya dia tak mempedulikannya.
***
Murtono memasuki rumah, dan melihat ada minuman serta cemilan terhidang di meja. Murtono mengira Birah ada di rumah itu. Ia memasuki kamar, tapi tidak melihat bayangan Birah.
Ketika ia keluar, dilihatnya Satria juga keluar dari kamarnya. Tentu saja Murtono terkejut.
“Satria? Kamu pulang?” tanyanya sambil memeluk anaknya erat.
Bagaimanapun Satria adalah darah dagingnya, yang lama tak bertemu. Murtono mendekapnya lama, kemudian mengajaknya duduk.
"Kamu baru datang?”
“Sudah siang tadi Pak, lalu tidur.”
“Kenapa lama tidak menjenguk bapakmu ini?”
“Lagi sibuk menghadapi ujian, sekarang sudah lulus, tinggal wisuda.”
“Anak pintar. Senang bapak mendengarnya. Kamu akan lama di sini?”
“Agak lama. Kecuali itu ibu berpesan, kalau ada yang mau jadi pembantu di rumah Jakarta. Ibu membutuhkannya.”
“O, ada lah, nanti biar simbok carikan. Pasti banyak yang mau, asalkan bayarannya gede.”
“Soal bayaran gampang, yang penting mau. Oh ya, tadi Satria melihat ada wanita di rumah ini, apa benar dia calon istri Bapak?”
Murtono tak segera menjawab.
“Mm, dia? Bagaimana menurut kamu?” akhirnya dia bertanya.
“Kayaknya Satria nggak suka deh.”
“Apa?”
***
Besok lagi ya.
Suwun mb Tien
ReplyDeleteSmg sht sll
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun Yangtie
Matur nuwun mbak Tien
ReplyDeleteSami2 pak Latief
Delete“Kayaknya Satria nggak suka deh.”
ReplyDelete“Apa?”
πππ¨πππ£..... πππ©π§ππ π©ππππ π’ππ£ππͺπ πͺπ£π....
Syukron Bu Tien, KaEsBe episode_10 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI.....
πππΉ
Matur nuwun mas Kakek
DeleteADUHAI
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun jeng In
DeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Waduhhh telat ...
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah sdh tayang KSB 10...matur suwun Bu Tien salam sehat selalu.
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteSalam sehat juga
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
semoga selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nanik
Matur nuwun bunda Tien..ππ
ReplyDeleteSehat selalu kagem bunda..π€²π€²
Sami2 ibu Padmasari
DeleteAlhamdulillah Maturnuwun Bunda.KSB hebat.salam sehat
ReplyDeleteSami2 pak Herry
DeleteSalam sehat juga
Sami2 pak Herry
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun, Bu Tien cantiik... sehat2 selalu, yaaπ
ReplyDeleteAamiin
DeleteTerima kasih jeng Mita
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~10 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Semoga gak mental hr ini
ReplyDeleteAlhamdulilah KSB 10 sdh tayang ... semoga bu Tien sll sehat dan bahagia.. salam aduhai bun... 2 hari ini komen kok selalu rnental keluar gak tau knp nih ... smg yg ini bisa
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Nggak mental kok
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~10 sudah hadir, terimakasih mbakyu Tienkumalasari, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'Aalamiiin, salam dari Tanggamus, Lampung π€²..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sis
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerima kasih bunda..slmt malam dan salam sehat selalu πππΉ
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerina kasih bunda Tien
Sami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah, matursuwun, sehat selalu mbakyu... ππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Kun Yulia
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien ksb 10 sdh tayang
Semoga bu tien sehat2, senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... Aamiin yra
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulilah.. terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAlhamdulillah Matur nuwun bu Tien, salam sehat dari mBantul
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteSalam hangat dari Solo
Muncul tokoh Satria (bukan baja hitam). Baru bicara sedikit sudah dapat merasakan kesombongan calon ibu tirinya.
ReplyDeleteKirani ketemu Birah secara tidak sengaja lewat accident kecil. Tentu dia juga dapat menilai bagaimana watak Birah.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Nah lo...
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Bu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Reni
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sari
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Ning
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillaah, sdh dibaca KSB 10
ReplyDeleteParah juga Birah dg kelakuan nya bikin gemes ,,hihiπ
Satria aja g suka,,,tp Murtono suka tuh
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya π€π₯°πΏπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap aduhai
Terima Kasih bunda..slmt MLM dan slmt istirahat salam shtπππ
ReplyDelete