KUPETIK SETANGKAI BINTANG 11
(Tien Kumalasari)
Satria menundukkan kepala ketika sang ayah menatapnya tajam. Barangkali kesal dengan komentarnya. Tapi Satria yang begitu datang lalu mendapat sambutan yang tidak menyenangkan dan dirasa kasar, sudah tidak menyukainya, dan bisa menilai bahwa pilihan sang ayah tidaklah benar.
“Mengapa kamu tidak suka? Bapakmu ini sudah bertahun-tahun hidup sendirian, dan sekarang menemukan kembali pacar lama yang pernah terputus karena kehadiran ibumu. Apa salah kalau kemudian bapakmu ini mengambilnya sebagai istri?”
“Bapak tidak salah kalau ingin punya istri, tapi jangan salah memilih istri.”
“Apa maksudmu?”
“Perempuan bernama Birah itu sepertinya kurang cocok untuk Bapak.”
“Dia cantik. Memang tadinya dari keluarga yang tidak mampu, mengapa kamu bilang tidak cocok?”
“Satria kurang suka saja. Tidak bisa mengutarakan kepada Bapak. Entah bagaimana, menurut Satria, lebih baik Bapak memilih yang lain.”
“Kamu ini ada-ada saja. Hal jodoh itu kamu tidak bisa mengaturnya. Ini pilihan bapak. Mana kamu mengerti?”
“Satria hanya ingin yang terbaik untuk Bapak.”
“Dulu kamu menyarankan bapak agar menikah saja, tidak boleh main wanita, sekarang … giliran bapak mau memperistri seseorang, kamu melarang. Gimana kamu ini?”
“Satria tidak melarang, hanya_”
“Sudah … sudah, kamu tidak usah ikut campur. Ini bukan urusan kamu. Kalau kamu butuh duit, bilang saja berapa, nanti bapak beri. Tapi jangan mengatur bapak.”
Murtono yang merasa kesal, kemudian meninggalkan Satria, lalu masuk lagi ke dalam kamar.
Tapi tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya.
“Tuan ….”
Itu suara simbok. Murtono segera membuka lagi kamarnya.
“Aku tidak makan di rumah, tadi sudah makan diluar. Layani saya tuan muda, apa maunya.”
“Ya, Tuan. Tapi saya hanya mau menyampaikan pesan nyonya Birah.”
“Oh ya? Satria bilang tadi dia ada di sini.”
“Tampaknya, nyonya menunggu tuan. Tapi setelah tuan muda Satria datang, nyonya memilih pulang.”
“Apa Satria bersikap kasar pada dia?”
“Tidak, mereka malah belum sempat saling bicara. Tapi nyonya berpesan pada saya. Katanya, kalau Tuan sudah pulang, nyonya meminta agar Tuan menjemputnya."
“Ke mana dia?”
“Dia bilang ke rumah, begitu.”
“Ini sudah malam, besok saja.”
“Baiklah, kalau begitu saya akan melayani tuan muda untuk makan.”
Murtono mengangguk, lalu menutup pintu kamarnya. Rasa kesal karena Satria tidak menyukai Birah masih mengganggunya. Murtono heran. Simbok bilang mereka tidak sempat bicara.
“Mengapa Satria tiba-tiba tidak menyukainya? Bukankah Birah cantik? Dia juga seumuran dengan aku," gumamnya.
Murtono tentu saja tidak tahu, bagaimana sikap Birah ketika melihat Satria datang. Tiba-tiba saja Birah menghardiknya dengan kasar.
***
Simbok sedang melayani Satria makan. Tapi simbok melihat, sang tuan muda seperti tidak berselera. Wajahnya juga muram.
“Tuan, mengapa makan hanya sedikit?”
“Aku kesal pada bapak.”
“Memangnya kenapa? Tak biasanya tuan kesal sama orang tua, padahal lama tidak ketemu.”
“Karena perempuan itu.”
“Perempuan yang … eh, maksudnya nyonya Birah?”
“Mengapa bapak memilih perempuan seperti itu? Tidak kurang wanita cantik yang baik. Bapak juga punya uang, mana mungkin ada wanita menolaknya?”
“Saya juga tidak tahu.”
“Apa sudah lama mereka berhubungan? Sering datang kemari?”
“Baru beberapa hari. Kemarin menginap di sini.”
“Pernah menginap?”
“Ya, kami semua melayaninya dengan baik, karena tuan Murtono berpesan begitu.”
“Menurut simbok, dia itu bagaimana?”
“Apa maksud pertanyaan Tuan Muda?”
“Orang baik atau tidak itu kan kelihatan dari sikapnya?”
“Benar.”
“Begitu aku datang, dia menyemburkan kata-kata kasar.”
“Masa? Mungkin karena dia tidak tahu, siapa sebenarnya Tuan Muda ini.”
“Meskipun tidak tahu, dia kan bisa bertanya dengan baik-baik, bukan langsung menyembur seperti ular piton.”
Simbok tersenyum.
“Apa selama dia datang, dia bersikap baik sama semua pembantu di sini?”
“Maaf, simbok tidak berani menilai.”
“Mengapa tidak? Katakan saja. Sepatah kata kasar yang dilkeluarkannya, cukup untuk menilai, siapa dia itu sebenarnya. Apa menurut simbok dia baik?”
“Tuan Muda jangan menanyakannya pada simbok. Kalau simbok berkomentar. Nanti tuan besar akan marah pada simbok.”
Simbok tak berani bicara, bagaimana sikap Birah sebenarnya, karena simbok takut, kalau nanti Satria mengatakannya pada ayahnya, lalu simbok yang kena marah, dikira mengadu. Karenanya lebih baik dia diam.
"Mengapa takut? Ada aku. Katakan semuanya. Aku sungguh tidak rela bapak menikahi dia. Tadi aku bilang begitu pada bapak. Tapi bapak malah marah-marah."
”Wah, ini gawat, tuan. Kalau ada yang berani mencela, tuan besar pasti marah. Sudah, simbok nggak ikutan,” kata simbok sambil berusaha pergi meninggalkan Satria yang belum juga selesai makan.
“Mboook, jangan pergi dulu. Duduklah lagi, di depanku sini.”
“Jangan Tuan, simbok tidak berani.”
“Yang menyuruh itu aku, mengapa tidak berani?”
“Tuan mengajak cerita-cerita tentang nyonya Birah, simbok takut, karena tuan besar sepertinya sangat sayang pada nyonya. Begitu datang, dipesankan baju-baju bagus, beli sepatu bagus, tas bagus. Padahal waktu datang pakaiannya biasa saja,” kata simbok sangat pelan. Benar-benar takut tuannya akan mendengar.
“Siapa sebenarnya dia?”
“Simbok tidak tahu. Sungguh, Tuan.”
“Entah mengapa, aku tidak suka. Sepatah kata yang diucapkan saat aku datang, menunjukkan bahwa dia itu perempuan seperti apa. Mungkin dari dirinya yang semula hidup sederhana, lalu tiba-tiba bapak memanjakannya, kemudian timbullah sifat arogan itu.”
Simbok hanya tersenyum, ia benar-benar takut mengatakan sikap calon nyonya itu. Lalu simbok merasa lebih baik segera beranjak dari sana.
“Mboook, ambilkan air dingin,” tiba-tiba terdengar suara Murtono mendekat.
Simbok mengurungkan melangkah ke belakang. Mengambil gelas yang sudah sejak tadi disiapkan, lalu diisinya dengan air dingin dari dalam kulkas.
Murtono menemani Satria, duduk di kursi makan.
“Bapak tidak makan?”
“Aku tidak lapar. Tadi sudah makan di luar.”
“Mbok, singkirkan saja semuanya, aku sudah kenyang,” kata Satria.
***
Murtono dan Satria masih duduk di ruang makan, ketika simbok sudah membersihkan semuanya.
“Saya kira Bapak marah pada saya,” kata Satria memberanikan diri, takut ayahnya masih marah karena penolakan itu.
“Bapak tidak akan marah pada anak bapak sendiri. Kamu tahu, bapak sangat menyayangi kamu.”
“Satria juga sayang pada Bapak. Karena itulah ….”
“Jangan bicara tentang calon istri bapak.”
Satria terdiam. Kecewa pada pilihan sang ayah, sementara dia yakin wanita itu kurang baik untuk ayahnya. Ibunya sendiri, kurang begitu disukainya, karena ibunya menikah lagi dengan orang yang lebih kaya, di Jakarta.
“Kamu sering mengunjungi ibumu? Atau kamu tinggal bersama ibumu dan ayah tirimu?”
“Tidak, Satria masih tinggal di kost. Kadang-kadang saja menemui ibu, kalau ibu menelpon karena kangen.”
“Bisa kangen juga sama kamu? Bukankah dia juga punya anak dari suaminya?”
“Satria juga jarang ketemu Tomy. Dia kuliah di tempat yang berbeda. Kami juga baru ketemu ketika setelah lulus SMA lalu kuliah di Jakarta.
“Sekarang kamu istirahat dulu, besok kita bicara lagi.”
“Besok Satria mau jalan-jalan, ketemuan sama teman lama. Boleh pinjam mobilnya kan?”
“Boleh, bawa saja yang hitam, itu baru. Kalau mau boleh kamu bawa ke Jakarta.”
“Nanti saja gampang. Selamat tidur Pak,” kata Satria yang kemudian berdiri, dan beranjak menuju kamarnya.
Murtono termenung beberapa saat lamanya. Bagaimanapun dia kurang senang karena Satria tidak menyukai Birah. Apa kekurangan Birah? Bukankah dia cantik, dan juga bisa mengimbangi cintanya?
***
Pagi hari itu Minar sibuk di dapur. Ia harus menyiapkan sarapan untuk ayahnya, dan membawakan bekal juga. Jangan sampai Kirani selalu mengajaknya makan karena kasihan pada Sutar.
“Kok masih ada ayam bakarnya?” tiba-tiba Sutar melongok ke dapur.
“Masih ada, sudah diangetin tadi. Bapak sudah rapi sih?”
“Iya, takut kesiangan. Jangan sampai bu Kirani lebih dulu datang sebelum bapak.”
“Baiklah, itu minum Bapak, dan sarapan sekalian, semua sudah Minar siapkan.
Sutar tersenyum, lalu duduk dan menghirup kopi pahit kesukaannya.
“Kamu tidak makan?”
“Minar nanti saja. Lagipula ada ibu, nanti Minar menemani ibu makan.”
“Kamu masih perhatian pada ibumu. Sebentar lagi dia meninggalkan kita.”
“Selama masih ada di sini, dia masih istri Bapak.”
Sutar tak menjawab. Sejak dia mengucapkan kata cerai, Sutar sudah menyetujuinya. Sutar bahkan merasa bahwa Birah bukan lagi istrinya, apalagi setelah dia melihat sang istri bergandengan tangan dengan laki-laki lain.
“Uang kamu masih ada berapa?”
“Masih ada, cukup untuk beberapa hari ke depan. Di kebun masih banyak sayur. Minar hanya butuh beli beras saja,” kata Minar sambil tersenyum. Tak ada sesal ketika menyadari betapa susahnya hidup kekurangan.
“Semoga nanti gaji bapak cukup untuk makan kita.”
“Aamiin.”
***
Makan pagi sudah selesai, Sutar sudah siap berangkat, ketika Birah baru keluar dari kamar. Melihat penampilan suaminya, Birah merasa heran.
“Mana ada tukang batu berdandan serapi itu?” celetuknya pelan.
Minar yang mendengar tidak meladeni celetuk ibunya.
Sutar sudah berjalan sampai ke pingir jalan, ketika sebuah mobil berhenti di pagar.
“Rupanya bu Kirani menjemput bapak,” kata Minar pelan.
“Siapa itu tadi, yang menjemput ayahmu?”
“Itu atasan Bapak, kata Minar sambil masuk ke dalam rumah. Ia harus membereskan meja, dan menyiapkan makan untuk ibunya.
“Enak betul, mau bekerja dijemput atasan. Lagi pula ayahmu berdandan sangat rapi. Apa tiba-tiba dia diangkat jadi mandor?”
“Minar tidak tahu Bu. Sekarang ibu sarapan dulu, sudah Minar siapkan.”
Birah belum mandi, tapi dengan santai dia berjalan ke arah ruang makan.
“Tidak adakah nasi? Aku ogah sarapan singkong, sudah bosan.”
“Tidak ada singkong. Minar menanak nasi, dan ada lauknya.”
“Ayam bakar? Perasaan ayam bakar yang kemarin aku bawa, terbawa pergi lagi dan aku berikan kepada pembantu di sana,” kata Birah tanpa menjelaskan tentang ucapan ‘pembantu di sana’, dan Minar juga tak ingin menanyakannya.
“Apa ayahmu langsung menerima gaji, lalu bisa membeli ayam bakar untuk lauk?”
“Tidak, ini diberi oleh atasan bapak, sudah tadi malam."
“Rupanya ayahmu mendapat pekerjaan yang mandornya begitu baik hati,” kata Birah yang kemudian duduk di kursi makan. Tanpa sungkan ia menyendok nasi dan mencomot potongan ayam yang paling besar.
Minar menatapnya sambil tersenyum. Ibunya begitu menyukai makanan enak, dan pakaian bagus, dan tentu saja kesenangan yang semuanya tidak pernah didapatnya dari sang ayah.
Minar menyendok nasi ke piringnya, mengambil sepotong paha, dan makan menemani sang ibu.
“Siapa laki-laki yang bersama ibu kemarin dulu?” tanya Minar yang tak tahan untuk tidak bertanya.
“Apa? Laki-laki apa?”
“Minar dan ayah melihatnya. Ibu keluar dari rumah makan, bergandengan dengan seorang laki-laki.”
Birah menghentikan mengunyah makanannya. Tapi tak ada rasa sungkan walau ketahuan sedang bersama laki-laki lain.
“Dia … dulu teman ibu.”
“Yang memberi makanan dan uang pada ibu?”
“Dia kaya dan baik hati.”
“Karena itukah maka ibu ingin bercerai dari bapak?”
“Apa kamu keberatan?”
“Bagi Minar, lebih baik ibu selalu bersama bapak, suka ataupun susah. Sangat menyedihkan menyaksikan orang tua bercerai,” kata Minar terus terang.
“Ibu sudah cukup bersabar. Ibu setia kepada ayahmu sampai berpuluh tahun. Sejak kami menikah sampai punya anak sebesar kamu. Tapi ibu lelah menjadi orang miskin. Tadinya ibu ingin bertahan, tapi rasanya sangat melelahkan. Lalu ibu bertemu dia.”
Minar tak menjawab. Wajahnya terlihat murung. Benar kata ayahnya, bahwa tak akan ada yang bisa menghentikan ibunya. Karena itulah maka dia diam saja. Ia juga membiarkannya, ketika sang ibu segera mandi dan berdandan, kemudian ketika terdengar klakson mobil, lalu sang ibu berlari menjemputnya. Ibunya pergi tanpa mengatakan sesuatupun padanya.
Minar mengusap air matanya.
Ia ingin mengatakan bahwa ayahnya mungkin akan mendapatkan gaji yang lebih baik, sehingga membuat sang ibu mau kembali. Tapi rasanya tidak mungkin. Ayahnya bersaing dengan pemilik mobil itu? Minar kembali mengusap air matanya, lalu masuk ke dalam rumah untuk bersih-bersih. Sebentar lagi dia akan ke pasar untuk membeli bumbu-bumbu dapur dan lauk, karena sayurnya cukup memetik lagi di kebun.
***
Birah senang Murtono menjemputnya. Tapi Birah mengatakan bahwa dia tak ingin pulang ke rumah Murtono.
“Mengapa? Kelak itu juga akan menjadi rumahmu,” kata Murtono.
“Ada anakmu di sana, aku tidak suka.”
“Apa kalian pernah bertemu dan berbicara?”
“Tidak. Ketika dia datang, aku langsung pergi.”
“Harusnya kalian berbicara. Satria anak baik.”
“Pokoknya aku tidak mau. Apakah dia akan menetap di rumah itu?”
“Tidak, dia hanya liburan.”
“Kalau begitu selama ada anakmu, aku tidak ingin ke sana dulu. Kecuali kalau aku sudah resmi menjadi istri kamu.”
“Proses perceraian sedang berjalan, kamu harus bersabar.”
Tapi Birah terkejut ketika Murtono tetap membawanya ke rumah itu.
“Aku kan bilang bahwa aku tidak mau.”
“Hanya sebentar, ayo turun. Aku sudah beli sesuatu, kamu harus melihatnya.”
“Apa itu? Aku di sini saja.”
“Turunlah, sebentar saja.”
Entah mengapa, Murtono memaksa Birah untuk turun. Dia ingin mendekatkan Birah dengan anaknya.
Tapi ketika dia menggandeng Birah dan diajaknya masuk ke rumah, dilihatnya Satria sudah mengendarai mobil dan langsung keluar dari halaman.
“Satria!!”
Tapi Satria tak menggubrisnya, dalam sekejap bayangan mobil hitam itu sudah hilang di balik gerbang.
***
Besok lagi ya.
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
ReplyDelete“Yang memberi makanan dan uang pada ibu?”
“Dia kaya dan baik hati.”
“Karena itukah maka ibu ingin bercerai dari bapak?”
Syukron Bu Tien, KaeSBe episode_11 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI... 👍👍🌹
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
Matur nuwun mas Kakek
DeleteADUHAI deh
💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
KaeSBe_11 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tienkuuh...
Doaku semoga Bu Tien
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam seroja...😍🤩
💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️💫🧚🏻♀️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah *KUPETIK SETANGKAI BINTANG*
ReplyDeleteepisode 11 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Suwun
ReplyDeleteSamo2 pak Wirasaba
DeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillaah tayang makasih bunda
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Sami2 ibu Engkas
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhandulillah .Birah hijau sama uang.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat.Aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah.....tayang matur nuwun bunda Tien, sehat2 sllu
ReplyDeleteSami2 ibu Wiwik
DeleteAamiin atas doanya
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~11 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulilah KSB 11 sdh tayang, terima kasih bu Tien, semoga ibu sekeluarga sll sehat dan dlm lindungan Allah SWT .. salam sehat dan aduhai bun ... birah birah gaya nyonya besar
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Satria jelas mengatakan tidak suka. Simbok tidak berani mengatakan. Kalau baik pasti berani mengatakan, jadi tidak berani karena jelek.
ReplyDeleteMenunggu Minar mendapat Wahyu, apa pekerjaan, apa suami, apa nasib baik yang lain.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun Bu Tien, sehat selalu Ibu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah KSB 11 Sdh tayang
ReplyDeleteBgmn nasibnya Birah kalau Satriya gak setuju
Syukurin....
Matur nuwun bunda Tien moga sehat sll
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Alhamdulillah KSB 11 sdh tayang
ReplyDeleteMatur nembah nuwun bunda Tien K
Semoga selalu sehat semangat bahagia dan selalu dalam lindungan Allah SWT
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun anrikodk
Terimakasih bunda Tien, sehat selalu dan aduhai KSB 11...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Komariyah
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 11* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah... Sehat selalu mbakyu... Mtsw🙏🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Kun Yulis
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 11 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Cinta itu buta, itulah setidak nya yang di alami Murtono, tidak bisa memilih wanita yang benar, wanita type Material Girl yng dia pilih. Jadilah dilema dengan anak nya s Satria.
Murtono menyayangi anak nya, tapi juga mencintai Subirah.
Jadi bingung lah dia..😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Ning
Waah...seru nih kalau kawan lama Satria si Minar ya? Siapa tau...😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam segat.🙏
Btw, apa sebenarnya Murtono masih mencintai Rohana ya? Foto masih dipajang, perceraian baru diurus, padahal Tomy anak Rohana dan selingkuhannya sudah kuliah, sepantaran Satria lagi. Tunggu ibu Tien mengurai kisah berikutnya deh...😀
ReplyDeleteAlhamrulillah KSB 11 sdh tayang, matyrsuwun Bu Tien. ADUHAI... salam sehat dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteAduhai...Aduhai selalu
Cerita apa saja bisa jadi seru oleh Mbak Tien...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien
Assalamu alaikum
ReplyDeleteSaya pendatang baru yng ikut menikmati cerbung karya Bu Tien Kumalasari.
Cerita yng berkutat seput
tar keluarga, patut dicermati dan bisa menjadi inspirasi membentuk keluarga SA MA WA
ReplyDeleteTerimakasih.... Bunda Tien sehat selalu
ReplyDelete