BERSAMA HUJAN 33
(Tien Kumalasari)
Aisah merasa aneh melihat sikap Luki yang tiba-tiba tampak sangat bergembira, sementara tadi di sepanjang perjalanan pulang seperti lelah dan letih. Ia melambaikan tangan meminta Luki segera masuk, dan dengan langkah ringan Luki pun segera mengikutinya.
“Ayolah, Mas Luki itu kenapa?”
“Iya, aku sedang menerima telpon dari bapak.”
“Kelihatannya berita baik,” tuduh Aisah sambil mempersilakannya duduk.
“Sangat baik," kata Luki sambil menampakkan senyum sumringah.
“Dapat hadiah?”
“Kepo amat,” canda Luki.
Aisah tertawa sambil melangkah ke belakang, untuk memberi tahu orang tuanya bahwa Luki ingin bertemu. Tapi sebelum sampai di pintu, Luki menghentikannya.
“Bapak menunggu kedatangan kamu.”
“Aisah tersenyum sangat manis, kemudian melanjutkan langkahnya.
Walau begitu Luki tetap saja berdebar. Ia sudah mantap, akan berterus terang kepada kedua orang tua Aisah bahwa ia ingin segera meminangnya, dan kalau diijinkan akan mengajak Aisah menemui ayahnya yang tinggal di luar Jawa. Luki menata kalimat-kalimat yang sekiranya bagus, dan selalu saja gagal menyusunnya dengan apik. Maklum, baru kali ini ia menemui seseorang yang akan dianggapnya sebagai calon mertua.
“(Mohon maaf, bapak, ibu, kedatangan saya kemari adalah untuk memperkenalkan diri, saya Lukianto, pengusaha muda yang tinggal di luar Jawa….) aduh … kok terlalu sombong begitu ya, tiba-tiba memperkenalkan diri sebagai pengusaha. Nggak … nggak … (Permisi, bapak, ibu ….) eh… kok pakai permisi, seperti orang baru datang atau orang yang mau pamitan saja. (Bapak, serta ibu yang saya hormati ….) eh , kalau ini seperti orang lagi pidato. Ya ampun, gimana dong, aku bingung menyusun kata-kata yang bagus, cantik, sehingga calon mertua aku tertarik dan langsung menerima aku sebagai calon menantu,” kata batin Luki yang akhirnya dia hanya bisa memijit keningnya yang terasa pusing.
“Pak, Bu, ini mas Luki yang tadi saya katakan,” kalimat halus itu membuat Luki terperanjat karena dirinya sedang melamun. Ia kemudian hanya mengangkat wajahnya, kemudian berdiri untuk menyalami sepasang suami istri yang menyambut tangannya dengan hangat.
“Saya Lukianto, dipanggil Luki,” katanya gemetar.
“Ini bukannya Luki yang suka nyamperin Aisah waktu kita masih di kampung, ya Pak?” kata bu Wiranto, ibu Aisah.
“O, yang suka membawa sepeda lalu boncengan sama Aisah menyusuri parit-parit, lalu ibu pernah menjewer Aisah gara-gara bajunya penuh lumpur?” sambung pak Wiranto.
“Iya, benar Pak. Ini Luki yang itu. Sekarang sudah dewasa, gagah dan ganteng.”
Luki tersipu, sekaligus senang kedua orang tua Aisah masih mengenalinya.
“Iya benar. Kami bertemu lagi beberapa waktu yang lalu, dan sama sekali tidak mengira bahwa akan bertemu kembali,” kata Luki.
“Sangat menyenangkan bertemu teman masa kecil ya Nak,” kata pak Wiranto.
“Nak Luki masih kuliah atau sudah bekerja?”
“Saya sudah bekerja, Pak,” kata Luki yang kemudian merasa, sekarang saatnya memperkenalkan diri, bukan tiba-tiba pamer pekerjaan.
“Bekerja di sini juga?”
“Saya membantu ayah saya dalam bisnis. Tapi tidak di sini. Di luar Jawa.”
“Luar Jawa nya di mana?” sambung bu Wiranto.
“Riau, Bu.”
“Wah, masih muda sudah menjalankan bisnis ya.”
“Baru belajar Pak. Saya datang ke kota ini waktu itu, karena sedang mencoba membuka cabang di kota ini. Saat itulah saya bertemu Aisah, di rumah Andin sahabatnya, dimana ayah Andin itu sahabat ayah saya," terang Luki.
"Pasti kaget waktu itu, ada teman masa kecil."
"Iya, Bu."
“Bukan main Nak Luki ini. Anak muda yang penuh semangat. Semoga berhasil ya Nak.”
“Terima kasih pak.”
Bibik datang membawa baki berisi minuman hangat. Aisah menyajikannya, dari nampan yang dibawa bibik, diletakkannya didepan Luki dan ayah ibunya.
“Silakan, Mas.”
“Sebenarnya … ada yang ingin saya sampaikan kepada Bapak dan Ibu,” kata Luki kemudian, dengan perasaan tak menentu. Telapak tangannya sudah berkeringat, dikepal-kepalnya satu sama lain, untuk menutupi kegelisahannya.
Pak Wiranto dan istri tidak menyahut, hanya menunggu.
“Diminum dulu, minumannya, kok kelihatan gelisah begitu,” kata bu Wiranto sambil mendahului meraih cangkirnya. Pak Wiranto dan Luki mengikutinya.
Lalu mereka terdiam, menunggu Luki melanjutkan kalimatnya.
“Saat bertemu Aisah, saya … merasa … kami saling cocok … dan … saya suka sama dia,” akhirnya kalimat itu yang keluar.
“Suka itu … bagaimana? Suka sebagai teman, atau suka sebagai yang lainnya?” pancing pak Wiranto.
“Saya … mencintai Aisah.”
“O, cinta?” pak Wiranto dan sang istri kompak menyerukannya. Aisah hanya tertunduk tersipu.
“Saya ingin menjadikan Aisah sebagai istri saya,” lalu Luki merasa lega sudah mengatakan semuanya, walau dengan ucapan patah-patah dan sedikit gemetar.
Pak Wiranto saling pandang dengan istrinya, lalu keduanya menatap Aisah yang masih tertunduk.
“Aisah bagaimana?” tanya sang ayah.
Aisah mengangkat wajahnya. Bibirnya menjawab lirih.
“Terserah Bapak sana Ibu. Kalau Bapak dan Ibu ijinkan, saya akan menjalaninya.”
Pembicaraan itu berlanjut hangat. Yang jelas kedua orang tua Aisah tidak keberatan menerima Luki sebagai calon menantu. Tapi ketika Luki akan mengajaknya menemui ayahnya yang ada di luar Jawa, pak Wiranto tampak keberatan.
“Bagaimana mungkin saya membiarkan nak Luki membawa anak gadis saya, sementara baru saja nak Luki mengatakan bahwa mencintai anak saya?”
“Ayah saya ingin bertemu Aisah,” kata Luki lirih.
“Anak saya itu perempuan. Tidak sepantasnya datang ke sana untuk memperkenalkan diri. Jadi, kalau memang orang tua Nak Luki ingin bertemu Aisah, persilakan datang kemari, sekaligus bersilaturahmi dengan keluarga kami.”
Luki terdiam. Ia tidak membantah bahwa memang yang akan dilakukannya adalah kurang pantas.
“Saya minta maaf kalau menolak permintaan nak Luki."
“Saya lah yang minta maaf karena lancang meminta agar diijinkan mengajak Aisah. Saya mengerti. Jadi besok pagi kalau saya pulang, saya akan kembali bersama ayah saya untuk menemui keluarga di sini.”
“Nah, itu baru benar,” seru pak Wiranto.
***
Malam hari itu, pak Harsono menerima telpon dari pak Istijab lagi. Mereka memang benar-benar sahabat sejati, sehingga saat Luki mengatakan ingin membawa Aisah menemuinya, ia segera menelpon sang sahabat tersebut.
“Ada apa Mas? Belum tidur, jam segini?”
“Ini baru jam sembilan, apakah kamu sudah mau tidur?”
“Belum juga sih, hanya merasa heran, tadi kita sudah bicara banyak, sekarang Mas menelpon lagi.”
“Aku harus mengatakannya sama kamu, karena kelak kalau benar-benar terjadi, aku pasti akan meminta tolong sama kamu.”
“Ini masalah apa Mas?” tanya pak Harsono heran.
“Ini masalah anakku, Luki. Apa kamu tahu bahwa Luki jatuh cinta pada temannya Andin yang bernama Aisah?”
“O, iya. Sekilas Andin pernah mengatakan. Apa Mas keberatan?”
“Tadinya … ya. Tapi setelah aku ngomong panjang lebar sama kamu tadi, pikiranku jadi agak waras sedikit.”
Pak Harsono terkekeh mendengarnya.
“Memangnya tadinya Mas tidak waras, ya?”
“Ya, aku kalut. Kalang kabut karena ingin segera punya menantu Andin, gagal. Tapi setelah aku mendengar semuanya, aku bisa mengerti. Memang sebagai orang tua kita tidak bisa memaksakan kehendak. Manusia boleh berharap, tapi takdir lah yang akan membentuk kehidupan kita. Bagaimana kita bisa ingkar?”
“Jadi, Mas mau menerima Aisah sebagai menantu? Dia anak baik dan pintar. Andin tadi mengatakan bahwa dia telah lulus kuliah S1 nya, tinggal menunggu wisuda.”
“Syukurlah, semoga Luki tidak salah pilih. Sekarang ini, aku sedang menunggu Luki akan membawa Aisah menemui aku.”
“Luki akan mengajak Aisah menemui Mas di sini?”
“Iya, Luki mengatakannya.”
“Apa Aisah akan diijinkan oleh orang tuanya?”
“Masa tidak boleh?”
“Menurut saya, tidak mudah membawa anak gadis orang begitu saja. Mereka belum punya ikatan apa-apa. Tapi saya juga tidak tahu, orang tua Aisah seperti apa. Kalau dia gampangan ya mungkin diijinkan.”
“Semoga boleh ah, dan ingat ya Har, besok kalau aku punya gawe mantu, kamu harus selalu mendampingi aku.”
“Iya Mas.”
“Demikian juga besok kalau Andin menikah, aku juga akan mendampingi kamu.”
Keduanya berbincang sampai larut, terbawa oleh kegembiraan mereka karena segala kendala yang semula ada diantara mereka, telah kembali terurai.
***
Pagi hari itu adalah hari Minggu. Andin bersiap pergi ke pasar. Ia ingin memasak masakan kesukaan ayahnya.
‘Bapak ingin dimasakin apa?”
“Terserah kamu saja. Apapun yang kamu masak, bapak pasti suka.”
“Bagaimana kalau Andin masak rawon saja?”
“Wah, bukankah rawon itu bahannya pakai daging?”
“Iya pak, rawon daging sapi. Bapak suka?”
“Bukannya tidak suka, tapi daging kan mahal? Mengapa tidak masak sayur bening saja? Isinya bayam, jagung, dikasih terong juga enak, terus … ada kecambah kedelai, ada kulit melinjo, daun so. Seger itu Ndin.”
“Iya sih, tapi itu kan sudah sering. Sekali-sekali masak daging kan nggak apa-apa.”
“Meskipun sudah sering tapi sayuran itu sehat, bapak lebih suka itu. Oh ya, sama goreng rempeyek teri itu, bapak suka banget. Trus … sambal trasi, tapi jangan pedas-pedas.”
Andin tersenyum. Rupanya iming-iming makan daging sama sekali tidak menarik bagi ayahnya yang lebih suka hidup sederhana. Dengan alasan lebih sehat, sang ayah menolaknya.
“Baiklah, karena itu keinginan Bapak, akan Andin buatkan. Sekarang Andin mau ke pasar dulu ya.”
“Hati-hati. Naik apa?”
“Mau jalan kaki saja Pak, kan pasarnya nggak jauh, sekalian olah raga. Bukankah olah raga juga sehat?”
Iya, kamu benar.”
Tapi ketika baru saja Andin keluar dari halaman dan hampir menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di dekatnya. Andin terkejut, dan hampir saja berteriak marah karena hampir saja mobil itu membuatnya celaka. Tapi ketika sang pengemudi nongol dari jendela yang dibukanya, Andin merubah wajah juteknya menjadi senyuman.
“Dokter Faris.”
Sang dokter ganteng turun dari mobil, mendekati Andin.
“Mau kemana?”
“Belanja ke pasar.”
“Ayo aku antar.”
“Pasarnya cuma dekat, setelah perempatan, kanan jalan. Itu pasarnya.”
“Ya nggak apa-apa, ayo naik,” kata dokter Faris setengah memaksa, sambil membukakan pintu untuk Andin.
“Mau belanja apa?” tanyanya sambil menjalankan mobilnya.
“Sayur asem. Itu kesukaan bapak.”
“Bagus sekali. Itu lauk sehat.”
Ketika sudah sampai di pasar, Andin pun turun. Tapi ketika dia hampir mengucapkan terima kasih, dokter Faris ikut turun, lalu mengunci mobilnya.
“Dokter mau ke mana?”
“Mau ikut kamu belanja.”
“Dokter, pasarnya kotor, nggak usah saja.”
“Siapa bilang pasar itu bersih? Dimana-mana pasar itu kotor dan bau. Ayo, aku mau membantu kamu belanja.”
“Ya ampun, dokter itu nekat ya.”
“Aku ini jadi orang memang suka nekat, kalau tidak nekat, nggak bakalan aku diijinin mendekati kamu oleh bapak.”
Andin tersenyum. Mau tak mau ia membiarkan dokter Faris mengikutinya, ikut memilih sayur tanpa rasa risih atau takut tangannya kotor.
“Ayo beli buah. Buah juga sehat.”
Tapi dokter Faris tak hanya membeli buah. Ia juga membeli ayam yang dibayarnya sendiri. Agak ribut saat keduanya berebut membayar, membuat penjual ayam tersenyum geli. Pasti pengantin baru, begitu pikirnya.
Akhirnya Andin dan dokter Faris membawa belanjaan yang amat banyak karena ada tambahan buah, ayam, ikan dan masih ada lagi sayuran yang diharapkan bisa dimasak besok atau lusa.
Pak Harsono heran melihat Andin pulang membawa banyak belanjaan, bersama dokter Faris pula.
“Kok ada Nak Dokter juga sih?”
“Iya Pak, ini memang yang belanja dia, bukan Andin.”
“Saya ingin membantu Andin memasak ya Pak,” kata dokter Faris yang nekat memasuki rumah mengikuti Andin, sambil membawa belanjaan yang tidak terbawa oleh Andin.
“Nanti kotor lho Nak, duduk di sini saja, menemani bapak.”
“Iya Pak, nanti saya temani, sekarang mau masak dulu sama Andin,” katanya sambil nekat masuk ke dapur.
“Dokter apaan sih? Duduk saja sama bapak, saya buatkan minum.”
“Nggak usah, aku bisa ambil di kulkas.”
“Ngeyel.” gerutu Andin sambil memilah-milah sayur yang akan dimasak dan memasukkan yang lainnya ke dalam kulkas.
“Aku memang ngeyel. Biarin,” sergah dokter Faris yang dengan cekatan kemudian mengambil ayam dan mencucinya.
Pak Harsono tersenyum bahagia melihat ulah dokter Faris yang nekat membantu Andin memasak di dapur.
Kemudian ia beranjak ke depan, dan duduk di teras sambil menikmati udara yang cerah setelah beberapa hari yang lalu turun hujan.
Tiba-tiba di saat santai itu ia melihat sebuah mobil berhenti di sebelah kanan pagar, dan seseorang memasuki halaman.
Mata pak Harsono berkilat melihat siapa yang datang.
***
Besok lagi ya.
π·πΏπ·πΏπ·πΏπ·πΏπ·
ReplyDeleteAlhamdulillah BeHa_33 sdh tayang, rame.... Penasaran diujung cerita. Siapa yang datang Lukikah yang mau pamit?
Atau si Romi yang nekat dateng lagi ingin menemui Andin?
πΏπ·πΏπ·πΏπ·πΏπ·πΏ
Waaah klo mata pak Harsono berkilat berarti emosi tinggi yaa..
DeleteApkh Romi dtg lg mau minta maaf ke Andin dan pak Harsono?
tunggu bsk lg aaah...
Mtrnwn mbak
ReplyDeleteMatur nuwun sanget bunda Tien.
DeleteMakin seru ceritanya
Semoga bunda sehat selalu π€²
Alhamdulillaah tayang makasih bunda
ReplyDeleteTerima kasih, semoga Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah BERSAMA HUJAN~33 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²
Trmkzh
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDeleteππ
Matur nuwun mbak Tien-ku Bersama Hujan tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletenaturnuwun bunda
semoga sehat selalu
Alhamdulillah... BeHa33 sampun tayang
ReplyDeleteSugeng daluuu mbak Tien... Mugi tansah pinaringan sehat wal afiat ....
Salam Aduhai dr Surabaya πππ❤️
Alhamdulillah sudah tayang...
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien..
Yg ditunggu sdh tayang...
Semoga bunda sehat selalu..
Alhamdulillah, BH 33 telah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun Bunda Tien.
Semoga Bunda selalu sehat wal’afiat, semangat dan bahagia bersama Keluarga. Aamiin π€²π½
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien senantiasa sehat aamiin
Suwun
ReplyDeleteYeeeees
ReplyDeleteTanda-tandanya nih...hari bahagia sudah dekat...apa sudah mau ditamatkan bu Tien ya?π
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...π
ReplyDeleteAlhamdulillah.... terimakasih Bunda
ReplyDeleteKalau yang datang Romi, tampaknya terlalu berani. Lalu siapa yang membuat mata pak Harsono berkilat..
ReplyDeletePak Harsono sudah baik lagi dengan pak Istijab, malah jadi pendamping, baguslah.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aduh asyiknya, mendapur berdua tuh ada yang datang,
ReplyDeleteAduh; besok lagi.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Bersama hujan yang ke tiga puluh tiga sudah tayang
Sehat sehat ya Bu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Sugeng ndalu bu Tien salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah mbak Tien
Semangaat..sehat..ππ₯°
Waaah...Romi kah yg datang?
ReplyDeleteRomi lebih baik segera mengerti kalau Andin sdh dilamar dr.Faris & biar segera melamar Kinanti. Aduhaii...seruu.
Myr nwn Bu Tien. Sehat sll.
ReplyDeleteAlhamdulillah
Jangan2 Romi yg datang ...
Syukron nggih Mbak Tien ..
Smg kita semua sehat AamiinπΉπΉπΉπΉπΉ
Matur nuwun Bu Tien....tetap sehat njih Bu...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien ...., tetap sehat njih Bu...
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah "BeHa" 33
yang bikin penasaran
sudah tayang.
Matur nuwun Bu Tien.
Tetap sehat & smangats
slalu. Salam aduhaiπΉπ¦
ππππππππ
Alhamdulillah Maturnuwun Bunda
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien... Salam sehat,semangat,Aduhaiii
ReplyDeleteAlhamdulillah ..
ReplyDeleteMatur nuwun bu. Tienπ
Matur suwun ibu Tien Bersama Hujan 33 sudah tayang , semoga ibu Tien selalu sehat, kami selalu menunggu karya2 apik dari ibu
ReplyDeleteApakah yang datang Romi?
Kok bak Harsono kelihatan marah...
Kita tunggu tayangan BH 24
Salam tahes ulales ibu dan tak lupa selalu Aduhaaiii π❤️
Aisah heran lht Luki kali ini kok klhtn ceria
ReplyDeleteTrnyt itu td pak Istijab udah kasih lampu hijau kl Luki mang mencintai gadis lain
Bukan gadis pilihan bpknya, tp gadis itu adalah Aisah kawan kecilnya dulu
Saatnya ketemu org tua Aisah bpk/ibu Wiranto grogi juga rupanya
Setelah cerita masa kecilnya org tua Aisah juga inget Luki juga tersipu malu
Meskipun sesaat yah
Akan tetapi setelah menyatakan cintanya lgsg mau ngajak Aisah utk ketemu org tuanya
Yah jelas gak boleh lah
Anak gadis org mau di ajak pergi jauh
Yg bnr org tua Luki yg hrs dtg silaturahmi
Ketika pak Tijab tlp pak Harsono cerita mslh udah waras di candaannya heboh juga
Dokter Faris yg tiba2 menemui Andin dan ikut belanja ke pasar dan ikut juga sibuk di dapur
Wah bikin grogi aj nih mas Dokter Faris
Dan pak Harsono tiba2 lht seseorang yg dtg
Brgkli itu Romi
Hadeeh bikin kesel aj nih
Yuuk boleh deh penisirin bingitzs
Tunggu besok lagi ya
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Ttp semangat dan
ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Hamdallah.. Bersama Hujan 33 telah tayang. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap Semangat, tetap Sehat wal Afiat bersama Keluarga di Sala. Aamiin
ReplyDeletePak Harsono dan pak Tijab kompak, akan saling membantu klu nnt 'nduwe gawe'.
Semua nya Enjoy, Andin, dr Faris, Aisah dan Luki, tinggal menentukan tgl, kapan mau nikah.
Salam hangat nan Aduhai dari Jakarta
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Siapa kira2 yg dtg ya ,, bikin penasaran
Apa luki ,,,
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda Tien
Bikin penasaran aja....siapa yg datang ya? ADUHAI....
ReplyDeleteMatur.nuwun, Mbak Tien.
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 n selalu dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yaa rabbal'alamiin
Alhsmdulillah Bersama Hujan - 33 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, semoga bunda sehat dan bshagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMakasih bu Tien, sudah tayang episode ke 33. Tetap semangat !
ReplyDeleteMakasih bu Tien beha sudah tayang.tambah seru ceritanya.sehat selalu ibu.
ReplyDeleteAlhamdulilah, matur nuwun salam sehat inggih mbakyu Tienkumalasari dear yg lagi di Ctscan smoga hasilnya bagus, wassalam dari Tanggamus, Lmpng
ReplyDeleteAlhamdulillah, BH 33 telah tayang.
ReplyDeleteMatur suwun Bu Tien.
Salam sehat , semangat dan bahagia selalu bersama Keluarga. Aamiin π€²π½
Oh Romi datang lagi...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda
ReplyDeleteBeHa 33 sdh tayang
Siapa ya yg datang ?
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Sehat selalu dan tetap semangat. Semakin aduhai.
Terima ksih bundaqu slm sehat selalu y bund ππππΉ
ReplyDeleteRomi kah yang datang itu? Seru nih...π
ReplyDelete