KANTUNG BERWARNA EMAS
27
(Tien Kumalasari)
Nurani mendekati ibu tirinya, yang masih
menelungkupkan kepalanya di meja makan. Rasa iba menyeruak, karena pada
dasarnya Nurani bukanlah seorang pendendam.
“Ibu, jangan dipikirkan apa yang dikatakan bapak, mari
sarapan bersama saya,” kata Nurani sambil duduk di sampingnya.
“Hanya karena aku ikut menyiapkan sarapan, dia tak mau
makan. Dia takut ada racun di makanan ini, sakit hati aku, Nur.”
“Mengapa Ibu merasa sakit? Ibu maklumi saja sikap
bapak. Beberapa kejadian membuat bapak terluka dan kecewa. Jadi ibu jangan
sakit hati. Kalau dibandingkan dengan sakit hatinya bapak, sakit hati karena
nasi goreng yang ditolak itu tidak seberapa.”
Bu Candra masih terisak.
“Ibu dengar apa yang dikatakan Nurani. Beberapa kali
dia disakiti, tapi masih bersikap begitu baik kepada Ibu,” kata Rian yang
keluar dari kamarnya, dan sudah rapi.
Bu Candra mengangkat wajahnya. Ditatapnya Rian dengan pandangan yang
memelas, dan wajah sembab penuh air mata.
“Bapakmu nggak mau makan karena aku ikut memasak nasi
goreng ini. Dia bilang takut aku meracuni makanan ini,” bu Candra mengadu, tapi
Rian sama sekali tidak membelanya.
“Apakah salah jika bapak bersikap seperti itu?
Pengalaman atau kejadian yang ibu lakukan membuat bapak terluka.”
“Tapi aku sama sekali tidak meracuni makanan ini.”
“Bapak mungkin juga mengerti, tapi bapak hanya ingin
membalas perlakuan Ibu saja tentang obat beracun itu.”
“Sudahlah Bu, jangan dipikirkan, ayo kita sarapan
bersama-sama,” kata Nurani sambil membalikkan piring ibunya, dan membubuhkan
beberapa sendok nasi goreng ke atasnya. Ia juga melakukan hal yang sama untuk
Rian.
“Sarapan dulu Mas, Mas mau segera pergi?”
“Iya, ada wawancara dengan sebuah perusahaan otomotif.”
“Syukurlah. Aku senang mendengarnya Mas, semoga
berhasil.”
“Terima kasih Nur. Kapan kamu mulai kuliah?”
“Bukankah masih bulan depan kuliah akan dimulai?”
“Semoga kamu bisa melewatinya dengan lancar. Bapak
ingin kamu bisa membantunya di perusahaan.”
“Bukan aku sendiri kan Mas, sama Mas Rian juga kan?”
“Kita akan belajar bersama-sama.”
“Ibu, makanlah yang banyak. Setelah ini aku ingin
mencari Pusy.”
“Pusy?”
“Dia kucing peliharaan almarhumah ibu, yang baru muncul
tadi malam itu. Saya heran, semalam tidur di kamar saya, di atas karpet, pagi-pagi
saat saya bangun sudah tidak ada. Padahal pintu kamar saya kunci.”
“Kucing? Aku jadi teringat kotoran yang ada di bantal
Karina. Berarti kucing itu,” kata bu Candra geram.
“Mengapa Ibu menuduh Pusy?”
“Pintu kamar juga terkunci, tapi dia bisa masuk.”
“Dia hanya seekor binatang, Bu. Jangan ibu marah sama
dia,” kata Rian.
“Dia menyebabkan adikmu cacat seumur hidup, karena
kotoran itu tampaknya beracun.”
“Ketika Ibu merasa bahwa meracuni itu adalah
menyakiti, bagaimana dengan kelakuan ibu ketika mencoba meracuni Nurani dengan
obat itu?”
“Mas!” Nurani menyentak kakak tirinya, yang dinilai
sangat kasar.
“Itu benar bukan?”
“Mas harus ingat, ibu ini adalah ibumu. Hormatilah
dia.”
“Aku hormati dia sebagai ibuku, tapi aku tidak akan
menghormati kelakuannya,” kata Rian yang sudah menghabiskan sepiring nasi
gorengnya, kemudian meneguk jus buah yang disiapkannya, lalu berdiri, dan
berlalu.
Bu Candra, lagi-lagi berurai air mata. Sakit demi
sakit karena ucapan, apakah sebanding dengan keburukan perilakunya? Tiba-tiba
bu Candra sadar, bahwa semua yang diterima adalah sebuah pantulan bola yang
dilemparkannya, dengan ujud yang berbeda.
Dipeluknya Nurani, dengan sepatah kata seperti yang
pernah diucapkannya.
“Maafkan ibu,” ucapan yang lirih, tapi disertai rasa
yang perih.
Nurani memeluk pundaknya.
“Ketika kita melakukan kesalahan, lalu kita
menyadarinya, dan berusaha
memperbaikinya, maka kita telah melepaskan diri dari belenggu yang bergayut di
hati kita,” katanya lembut.
***
Rian sedang duduk di taman, setelah wawancara
pekerjaan yang akan digelutinya. Siswati tampak mendampingi. Tapi keduanya
tidak banyak bicara. Siswati tahu, bahwa Rian sedang tidak dalam keadaan baik-baik
saja. Beberapa kali ia ingin menanyakannya, tapi selalu ditahannya. Mungkinkah
wawancara itu menghasilkan sesuatu yang buruk? Apakah dia gagal diterima?
Ada kolam ikan di depan mereka, yang kecipak ekornya
membuat air muncrat lalu membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang tampak unik.
Rian hanya menatapnya tanpa bicara. Konon ketika hati sedang gelisah, maka
dengan melihat ikan-ikan berseliweran maka hati akan menjadi lebih tenang.
Siswati mengambil sebuah kerikil kecil, dilemparkannya
ke tengah kolam. Air tampak berpendar, dan ikan disekitarnya berlarian.
Siswati tersenyum. Ia berharap Rian menikmati
keindahan taman dengan kolam ikannya di siang hari itu.
“Tadi wawancaranya lama?” tak tahan Siswati kemudian
membuka percakapan.
“Nggak. Sekitar setengah jam, atau lebih sedikit.”
"Hasilnya bagus kan?”
“Alhamdulillah, atas doa kamu.”
Siswati merasa lega. Jadi bukan karena wawancara itu,
maka Rian tampak sendu.
“Aku senang mendengarnya. Kapan mulai bekerja?”
“Menunggu mereka. Lagian aku baru mau wisuda minggu
depan.”
“Wah, menyenangkan sekali. Bapak sama ibu hadir kan?
Juga adik-adik kamu?”
Rian tak menjawab. Dalam situasi rumah yang sedang
tidak nyaman, adakah perhatian di saat wisuda nya nanti? Rian juga takut
mengutarakannya pada ayahnya, yang walaupun sikapnya selalu baik terhadapnya,
tapi situasi hatinya pasti sedang tidak baik.
“Kamu tampak aneh hari ini.”
Rian menatap gadis cantik di sampingnya, yang masih
sesekali melemparkan kerikil kecil ke tengah kolam.
“Aku tidak sedang baik-baik saja.”
“Apa yang terjadi Mas?”
“Ada yang ingin aku katakan sama kamu. Aku minta maaf.”
“Mengapa minta maaf?”
“Barangkali aku melukai hati kamu.”
“Mas tidak pernah melukai hati aku.”
“Kali ini, ya.”
“Aku tidak mengerti.”
“Sebaiknya hubungan kita putus.”
Siswati terkejut, tangan yang sudah siap melempar
kerikil, diturunkannya lagi. Ia menatap pria tampan dan pintar di sampingnya.
Pria yang dikaguminya, bukan hanya karena itu semua, tapi karena dia selalu
baik kepada semua orang. Banyak gadis mengejarnya, tak pernah diacuhkannya,
tapi dia mendekati dirinya, penuh perhatian yang lebih. Walau cinta tak pernah
terucap, tapi dari tatapan mata, mereka saling mengerti isi hati masing-masing.
Ada ikatan yang bukan pertemanan biasa, ikatan yang teramat dalam, dan susah
dilepaskannya. Tapi kali ini Rian mengatakan putus, Siswati tentu saja sangat
terkejut.
“Mas bercanda?”
“Aku serius, itu sebabnya aku mohon maaf.”
“Apakah karena Mas telah berhasil, maka menganggap aku
tidak pantas mendampingi Mas?”
“Bukan, bukan itu. Aku tidak merasa berhasil. Aku yang
justru merasa tidak pantas untuk berada di samping kamu.”
“Ada apa?”
“Aku tak bisa mengatakannya,” kata Rian lirih. Mana
bisa dia mengatakannya, bahwa Karina sudah ditangkap polisi, bahwa ibunya
mendukung kejahatan adiknya itu.
“Mas,” Siswati mulai terisak.
“Banyak pria lain yang lebih pantas untuk kamu. Kamu
begitu cantik dan pintar, kamu sangat baik, tapi aku merasa tidak pantas.”
“Mengapa tiba-tiba berkata begitu?”
“Aku tidak bisa mengatakannya. Sekarang ayo aku antarkan pulang. Maafkan aku ya, maafkan kalau selama ini ada kelakuan aku yang membuat kamu kecewa,” kata Rian sambil berdiri.
Tapi Siswati bergeming. Ia tetap
duduk di tepi kolam di taman itu menatap air dan ikan yang berkecipak, tak
peduli ada mata duka menatap mereka.
“Sis, ayo ….”
Pulanglah sendiri, aku juga mau pulang sendiri,
seperti sebelum aku mengenal Mas.”
“Jangan begitu, hari mulai senja, lebih baik aku antar
kamu.”
“Tidak, pergilah.”
Rian yang sudah melangkah menjauh, kembali mendekati
Siswati.
“Jangan begitu. Apa kamu marah sama aku?”
“Tidak, aku hanya ingin pulang sendiri, seperti hari-hari
yang akan datang, tanpa kamu.”
“Sis ….”
Siswati berdiri, melangkah menjauhi Rian, yang putus
asa karena gagal membujuknya. Akhirnya Rian pasrah, ketika sebuah taksi membawa
Siswati pergi.
“Maafkan aku Sis, kalau kamu tahu, siapa aku ini, maka
kamu juga pasti akan meninggalkan aku,” gumamnya pelan, sambil mendekati
motornya.
***
“Apa kabar anak bapak hari ini?” sapa pak Candra
begitu Rian memasuki rumah.
Rian menatap ayahnya. Berbagai perasaan bergejolak
dihatinya. Akhir-akhir ini pak Candra selalu menampakkan perhatian yang lebih
terhadapnya. Rupanya pak Candra tak mau dianggap membenci Rian juga, karena
perlakuan ibu dan adiknya.
“Hei, kenapa lesu? Nurani bilang, kamu wawancara
pekerjaan hari ini?”
Rian mendekati ayahnya, dan duduk di depannya.
“Sukses? Anak bapak pasti sukses dong.”
“Atas doa Bapak, saya bisa melewatinya.”
“Waoow … kapan mulai?”
“Menunggu dipanggil.”
“Bapak bangga untuk kamu.”
“Terima kasih Pak.”
“Tapi kamu tidak boleh lupa, kamu harus sambil belajar
sama Andre. Nantinya kamu akan mendampingi adik kamu Nurani, walau tidak secara
langsung.”
Rian menundukkan wajahnya.
“Mengapa kamu tampak murung? Jangan bilang kamu
ditinggalkan pacar kamu. Nurani bilang, kamu punya teman dekat yang sangat
cantik, dan membuat Nurani cemburu.”
Rian mengangkat wajahnya. Mengapa Nurani cemburu?”
“Nurani bilang, dia akan kehilangan kasih sayang
seorang kakak, karena kamu dekat dengan wanita itu.”
“Saya putus sama dia.”
“Haaa? Putus? Susah mencari gadis secantik dia.”
“Saya yang memutuskan.”
“Kenapa? Jangan sampai kamu begitu sombong karena
sudah mendapat pekerjaan dan tentu saja kedudukan, lalu ogah berpacaran dengan
mahasiswi.”
“Bapak kan tahu, saya ini saudara seorang narapidana.
Kalau dia tahu, saya juga pasti akan ditinggalkannya,” kata Rian berterus
terang.
“Apa kamu bilang? Saudara seorang narapidana, lalu
kamu khawatir dia akan meninggalkannya?”
“Saya tahu diri. Ibu saya juga bukan wanita baik-baik.”
“Rian, kamu tidak boleh begitu. Kamu itu anakku. Aku
ingin kamu berbahagia, dan sudah waktunya kamu memilih wanita yang pantas
menjadi pendamping kamu. Kalau kamu mencintai dia, aku akan melamarnya,” tegas
kata pak Candra, membuat Rian menitikkan air mata.
“Saya sungguh seperti kehilangan arah.”
“Kamu tidak perlu merasa rendah diri. Kamu adalah
kamu, bukan orang lain. Kamu anak baik, anak pintar dan berbakti, kamu luar
biasa. Kalaupun pantas, aku mau menjadikan kamu suami Nurani.”
Rian menatap ayahnya.
“Tapi kalian kan sudah menjadi saudara, tidak pantas kalau
itu aku lakukan. Lebih baik kamu menjadi seorang kakak yang bisa melindungi
adik kamu.”
Rian hanya mengangguk, ragu. Belum tentu Siswati mau
menerimanya, kalau dia tahu semua yang terjadi.
“Oh ya, aku sampai lupa bertanya, kapan kamu wisuda?”
Rian merasa matanya berbinar. Ayah tirinya ternyata
juga memperhatikan hal itu, padahal semula dikiranya tidak peduli.
“Masih Minggu depan.”
“Aku akan datang bersama Nurani.”
“Terima kasih Pak.”
“Apa kamu ingin ibumu juga akan menyaksikan wisuda
kamu itu? Terserah kamu saja, aku tidak ingin membuat kamu kecewa. Tapi Karina
kan tidak mungkin, dia sudah ditahan.”
“Saya bingung. Pasti Bapak tidak suka.”
“Kalau kamu ingin, lakukan saja. Orang tua wajib ikut
menikmati keberhasilan anaknya. Aku tak mau menghalanginya.”
Rian kembali menundukkan kepalanya. Ia masih marah
kepada ibunya, jadi berat untuk menanyakannya. Tapi benar kata ayahnya, bahwa
orang tua wajib ikut menikmati keberhasilan anaknya.
“Jangan terlalu membebani pikiran kamu. Buah akan
diunduh dari pohon yang ditanamnya. Lakukan yang terbaik untuk diri kamu,
jangan pernah ragu.”
***
Pak Candra belum mau bicara dengan istrinya. Ketika ia
mengutarakan pada Nurani bahwa ia akan menceraikannya, Nurani menentangnya.
“Tolong, Bapak jangan melakukan itu.”
“Dia begitu jahat sama kamu, dia tidak pantas menjadi
ibu di rumah ini.”
“Manusia terkadang bisa melakukan kesalahan, tapi ada
saat dimana dia menyadarinya, kemudian bertobat. Jadi berilah waktu untuk dia
bertobat.”
“Kamu tidak ingin bapak mengusirnya juga dari rumah
ini?”
“Tidak. Saya mohon Pak.”
“Kamu tidak takut dia akan memberi kamu obat beracun?”
“Yang Nurani takuti adalah kalau Nurani melakukan hal
yang menyimpang dari kebenaran. Nurani selalu mohon, agar selalu mendapat
bimbinganNya.”
Pak Candra hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Anak gadisnya sungguh luar biasa.
***
“Ibu, mengapa ibu tidur di kamar Karina?”
“Ibu tidak tahan, bapakmu tak mau bicara. Ibu juga
kangen sama Karina. Kasihan dia.”
“Janganlah ibu terlalu bersedih untuk itu. Bapak akan
bisa mengerti, dengan berjalannya waktu. Percayalah, nanti juga kemarahannya
akan mereda. Ibu jangan bosan terus meminta maaf, ya,” bujuk Nurani.
“Aku sudah melakukannya.”
“Bapak butuh waktu, ibu harus bersabar. Oh ya Bu,
minggu depan, mas Rian akan wisuda, ibu mau menghadirinya juga, bukan?”
Bu Candra tampak diam, tapi kemudian dia menggelengkan kepalanya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah sprinterku sdh bisa lari kencang lagi.
DeleteSelamat jeng Iin...... Juara 1
Terima kasih bu Tien.....
Salam sehat dan tetap semangat.
Alhamdulillah
ReplyDeleteHalo jeng Susi, dimana saya mereply saya ikut di komen yang saya replay......
Deletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah, matur nuwun mbakyuku
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE 27 tayang
ReplyDeleteMalam ini juara 1 ada 6 orang
Delete1. Jeng Iin M. Maimuin
2. Jeng Susi Herawati
3. Jeng Nanik Hsd
4. Jeng Sis Hakim
5. Bp. Arifin dan
6. Jeng Werdi Kabul.
Hanya beda detik saja. Selamat buat semuanya.
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien
🙏🙏
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah ... trimakasih salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteKBE 27 sudah hadir...
Matunuwun Bu Tien...
Semoga ibu selalu dalam lindungan Allah SWT... Aamiin Yaa Mujibassailiin...
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~27 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu
ReplyDelete🌻🦋🌻 Alhamdulillah KBE 27 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai 🙏🦋💐
ReplyDeleteAlhmdllh... terima ksh Mbu Tien.... luar biasa.....
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien, salam sehat dan aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah, matusuwun Bu Tien , sehat dan bahagia selalu nggih. .
ReplyDeleteAlhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 27 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Matur nuwun mbak Tien-ku Kantung Berwarna Emas sudah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdullillah ..trima kasih ya bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien....
Moga Bu Tien sekeluarga sehat selalu...
Aamiin.....
Sayang Rian terburu buru memutuskan hubungan dengan Siswati. Mungkin Nurani yang akan menyatukan lagi.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Salam bahagia, sehat dan aduhai selalu
Matur nuwun sanget Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteAlhamdulillah bunda Tien...
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien. Saya kagum dg tokoh Nurani yang baik hati dan tidak pendendam. Padahal bayangan saya bu Candra dicerai dan diusir dari rumah..ternyata Nurani yg menentang..hebat...
ReplyDeleteLho kok geleng kepala; nggak mau ikutan di wisudaan Rian, jangan jangan Rian itu temon, ya maksudé duda anak siji entuk prawan kasep; ngejrèng, la sukanya pergi pergi trus thukulan siji, thukulan siji karo sapa, ya yang pergi pergi itu, trus dudané ngênês: kak o, kena tinju ya.
ReplyDeleteIya tapi kan waktu itu niat banget merawat anak gawan, dadi thukulan paling akhir nggak kenal mukanya ayahnya? begitulah kira kira, aneh aneh muter-muter, iya ya hasil pergi pergi ya. Marai mumet; dadi temon?
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke dua puluh tujuh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMasyaAllah luar biasa memang karya2 bunda Tien.Tokoh kali ini benar2 sangat baik sekali..apalagi Nurani....Terharu akan sikapnya yg begitu baik hati sekali....tidak punya dendam...Subhanallah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien kbe 27 sdh tayang ...semakin mengharu biru ... salam sehat bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE 27 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu aduhai
Alhamdulillah Bu Tien menempatkan pak Candra sebagai sosok seorang ayah yang baik lagi bijak....
ReplyDeleteManusiawi lah kalau pak Candra dibubuhkan sedikit emosinya....
Itu hal yang wajar...
Dia mencintai seluruh keluarganya segenap jiwa dan raganya....
👍👍🙏🙏
Alhamdulillah...
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien...
Salam sehat sejahtera...
Matur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteTerima ksih bunda KBE nya..slm sht sll dan aduhai unk bunda bersm bpk..🙏🥰🌹
ReplyDelete