Thursday, January 5, 2023

KANTUNG BERWARNA EMAS 27

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  27

(Tien Kumalasari)

 

Nurani mendekati ibu tirinya, yang masih menelungkupkan kepalanya di meja makan. Rasa iba menyeruak, karena pada dasarnya Nurani bukanlah seorang pendendam.

“Ibu, jangan dipikirkan apa yang dikatakan bapak, mari sarapan bersama saya,” kata Nurani sambil duduk di sampingnya.

“Hanya karena aku ikut menyiapkan sarapan, dia tak mau makan. Dia takut ada racun di makanan ini, sakit hati aku, Nur.”

“Mengapa Ibu merasa sakit? Ibu maklumi saja sikap bapak. Beberapa kejadian membuat bapak terluka dan kecewa. Jadi ibu jangan sakit hati. Kalau dibandingkan dengan sakit hatinya bapak, sakit hati karena nasi goreng yang ditolak itu tidak seberapa.”

Bu Candra masih terisak.

“Ibu dengar apa yang dikatakan Nurani. Beberapa kali dia disakiti, tapi masih bersikap begitu baik kepada Ibu,” kata Rian yang keluar dari kamarnya, dan sudah rapi.

Bu Candra mengangkat wajahnya.  Ditatapnya Rian dengan pandangan yang memelas, dan wajah sembab penuh air mata.

“Bapakmu nggak mau makan karena aku ikut memasak nasi goreng ini. Dia bilang takut aku meracuni makanan ini,” bu Candra mengadu, tapi Rian sama sekali tidak membelanya.

“Apakah salah jika bapak bersikap seperti itu? Pengalaman atau kejadian yang ibu lakukan membuat bapak terluka.”

“Tapi aku sama sekali tidak meracuni makanan ini.”

“Bapak mungkin juga mengerti, tapi bapak hanya ingin membalas perlakuan Ibu saja tentang obat beracun itu.”

“Sudahlah Bu, jangan dipikirkan, ayo kita sarapan bersama-sama,” kata Nurani sambil membalikkan piring ibunya, dan membubuhkan beberapa sendok nasi goreng ke atasnya. Ia juga melakukan hal yang sama untuk Rian.

“Sarapan dulu Mas, Mas mau segera pergi?”

“Iya, ada wawancara dengan sebuah perusahaan otomotif.”

“Syukurlah. Aku senang mendengarnya Mas, semoga berhasil.”

“Terima kasih Nur. Kapan kamu mulai kuliah?”

“Bukankah masih bulan depan kuliah akan dimulai?”

“Semoga kamu bisa melewatinya dengan lancar. Bapak ingin kamu bisa membantunya di perusahaan.”

“Bukan aku sendiri kan Mas, sama Mas Rian juga kan?”

“Kita akan belajar bersama-sama.”

“Ibu, makanlah yang banyak. Setelah ini aku ingin mencari Pusy.”

“Pusy?”

“Dia kucing peliharaan almarhumah ibu, yang  baru muncul tadi malam itu. Saya heran, semalam tidur di kamar saya, di atas karpet, pagi-pagi saat saya bangun sudah tidak ada. Padahal pintu kamar saya kunci.”

“Kucing? Aku jadi teringat kotoran yang ada di bantal Karina. Berarti kucing itu,” kata bu Candra geram.

“Mengapa Ibu menuduh Pusy?”

“Pintu kamar juga terkunci, tapi dia bisa masuk.”

“Dia hanya seekor binatang, Bu. Jangan ibu marah sama dia,” kata Rian.

“Dia menyebabkan adikmu cacat seumur hidup, karena kotoran itu tampaknya beracun.”

“Ketika Ibu merasa bahwa meracuni itu adalah menyakiti, bagaimana dengan kelakuan ibu ketika mencoba meracuni Nurani dengan obat itu?”

“Mas!” Nurani menyentak kakak tirinya, yang dinilai sangat kasar.

“Itu benar bukan?”

“Mas harus ingat, ibu ini adalah ibumu. Hormatilah dia.”

“Aku hormati dia sebagai ibuku, tapi aku tidak akan menghormati kelakuannya,” kata Rian yang sudah menghabiskan sepiring nasi gorengnya, kemudian meneguk jus buah yang disiapkannya, lalu berdiri, dan berlalu.

Bu Candra, lagi-lagi berurai air mata. Sakit demi sakit karena ucapan, apakah sebanding dengan keburukan perilakunya? Tiba-tiba bu Candra sadar, bahwa semua yang diterima adalah sebuah pantulan bola yang dilemparkannya, dengan ujud yang berbeda.

Dipeluknya Nurani, dengan sepatah kata seperti yang pernah diucapkannya.

“Maafkan ibu,” ucapan yang lirih, tapi disertai rasa yang perih.

Nurani memeluk pundaknya.

“Ketika kita melakukan kesalahan, lalu kita menyadarinya,  dan berusaha memperbaikinya, maka kita telah melepaskan diri dari belenggu yang bergayut di hati kita,” katanya lembut.

***

Rian sedang duduk di taman, setelah wawancara pekerjaan yang akan digelutinya. Siswati tampak mendampingi. Tapi keduanya tidak banyak bicara. Siswati tahu, bahwa Rian sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Beberapa kali ia ingin menanyakannya, tapi selalu ditahannya. Mungkinkah wawancara itu menghasilkan sesuatu yang buruk? Apakah dia gagal diterima?

Ada kolam ikan di depan mereka, yang kecipak ekornya membuat air muncrat lalu membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang tampak unik. Rian hanya menatapnya tanpa bicara. Konon ketika hati sedang gelisah, maka dengan melihat ikan-ikan berseliweran maka hati akan menjadi lebih tenang.

Siswati mengambil sebuah kerikil kecil, dilemparkannya ke tengah kolam. Air tampak berpendar, dan ikan disekitarnya berlarian.

Siswati tersenyum. Ia berharap Rian menikmati keindahan taman dengan kolam ikannya di siang hari itu.

“Tadi wawancaranya lama?” tak tahan Siswati kemudian membuka percakapan.

“Nggak. Sekitar setengah jam, atau lebih sedikit.”

"Hasilnya bagus kan?”

“Alhamdulillah, atas doa kamu.”

Siswati merasa lega. Jadi bukan karena wawancara itu, maka Rian tampak sendu.

“Aku senang mendengarnya. Kapan mulai bekerja?”

“Menunggu mereka. Lagian aku baru mau wisuda minggu depan.”

“Wah, menyenangkan sekali. Bapak sama ibu hadir kan? Juga adik-adik kamu?”

Rian tak menjawab. Dalam situasi rumah yang sedang tidak nyaman, adakah perhatian di saat wisuda nya nanti? Rian juga takut mengutarakannya pada ayahnya, yang walaupun sikapnya selalu baik terhadapnya, tapi situasi hatinya pasti sedang tidak baik.

“Kamu tampak aneh hari ini.”

Rian menatap gadis cantik di sampingnya, yang masih sesekali melemparkan kerikil kecil ke tengah kolam.

“Aku tidak sedang baik-baik saja.”

“Apa yang terjadi Mas?”

“Ada yang ingin aku katakan sama kamu. Aku minta maaf.”

“Mengapa minta maaf?”

“Barangkali aku melukai hati kamu.”

“Mas tidak pernah melukai hati aku.”

“Kali ini, ya.”

“Aku tidak mengerti.”

“Sebaiknya hubungan kita putus.”

Siswati terkejut, tangan yang sudah siap melempar kerikil, diturunkannya lagi. Ia menatap pria tampan dan pintar di sampingnya. Pria yang dikaguminya, bukan hanya karena itu semua, tapi karena dia selalu baik kepada semua orang. Banyak gadis mengejarnya, tak pernah diacuhkannya, tapi dia mendekati dirinya, penuh perhatian yang lebih. Walau cinta tak pernah terucap, tapi dari tatapan mata, mereka saling mengerti isi hati masing-masing. Ada ikatan yang bukan pertemanan biasa, ikatan yang teramat dalam, dan susah dilepaskannya. Tapi kali ini Rian mengatakan putus, Siswati tentu saja sangat terkejut.

“Mas bercanda?”

“Aku serius, itu sebabnya aku mohon maaf.”

“Apakah karena Mas telah berhasil, maka menganggap aku tidak pantas mendampingi Mas?”

“Bukan, bukan itu. Aku tidak merasa berhasil. Aku yang justru merasa tidak pantas untuk berada di samping kamu.”

“Ada apa?”

“Aku tak bisa mengatakannya,” kata Rian lirih. Mana bisa dia mengatakannya, bahwa Karina sudah ditangkap polisi, bahwa ibunya mendukung kejahatan adiknya itu.

“Mas,” Siswati mulai terisak.

“Banyak pria lain yang lebih pantas untuk kamu. Kamu begitu cantik dan pintar, kamu sangat baik, tapi aku merasa tidak pantas.”

“Mengapa tiba-tiba berkata begitu?”

“Aku tidak bisa mengatakannya. Sekarang ayo aku antarkan pulang. Maafkan aku ya, maafkan kalau selama ini ada kelakuan aku yang membuat kamu kecewa,” kata Rian sambil berdiri. 

Tapi Siswati bergeming. Ia tetap duduk di tepi kolam di taman itu menatap air dan ikan yang berkecipak, tak peduli ada mata duka menatap mereka.

“Sis, ayo ….”

Pulanglah sendiri, aku juga mau pulang sendiri, seperti sebelum aku mengenal Mas.”

“Jangan begitu, hari mulai senja, lebih baik aku antar kamu.”

“Tidak, pergilah.”

Rian yang sudah melangkah menjauh, kembali mendekati Siswati.

“Jangan begitu. Apa kamu marah sama aku?”

“Tidak, aku hanya ingin pulang sendiri, seperti hari-hari yang akan datang, tanpa kamu.”

“Sis ….”

Siswati berdiri, melangkah menjauhi Rian, yang putus asa karena gagal membujuknya. Akhirnya Rian pasrah, ketika sebuah taksi membawa Siswati pergi.

“Maafkan aku Sis, kalau kamu tahu, siapa aku ini, maka kamu juga pasti akan meninggalkan aku,” gumamnya pelan, sambil mendekati motornya.

***

“Apa kabar anak bapak hari ini?” sapa pak Candra begitu Rian memasuki rumah.

Rian menatap ayahnya. Berbagai perasaan bergejolak dihatinya. Akhir-akhir ini pak Candra selalu menampakkan perhatian yang lebih terhadapnya. Rupanya pak Candra tak mau dianggap membenci Rian juga, karena perlakuan ibu dan adiknya.

“Hei, kenapa lesu? Nurani bilang, kamu wawancara pekerjaan hari ini?”

Rian mendekati ayahnya, dan duduk di depannya.

“Sukses? Anak bapak pasti sukses dong.”

“Atas doa Bapak, saya bisa melewatinya.”

“Waoow … kapan mulai?”

“Menunggu dipanggil.”

“Bapak bangga untuk kamu.”

“Terima kasih Pak.”

“Tapi kamu tidak boleh lupa, kamu harus sambil belajar sama Andre. Nantinya kamu akan mendampingi adik kamu Nurani, walau tidak secara langsung.”

Rian menundukkan wajahnya.

“Mengapa kamu tampak murung? Jangan bilang kamu ditinggalkan pacar kamu. Nurani bilang, kamu punya teman dekat yang sangat cantik, dan membuat Nurani cemburu.”

Rian mengangkat wajahnya. Mengapa Nurani cemburu?”

“Nurani bilang, dia akan kehilangan kasih sayang seorang kakak, karena kamu dekat dengan wanita itu.”

“Saya putus sama dia.”

“Haaa? Putus? Susah mencari gadis secantik dia.”

“Saya yang memutuskan.”

“Kenapa? Jangan sampai kamu begitu sombong karena sudah mendapat pekerjaan dan tentu saja kedudukan, lalu ogah berpacaran dengan mahasiswi.”

“Bapak kan tahu, saya ini saudara seorang narapidana. Kalau dia tahu, saya juga pasti akan ditinggalkannya,” kata Rian berterus terang.

“Apa kamu bilang? Saudara seorang narapidana, lalu kamu khawatir dia akan meninggalkannya?”

“Saya tahu diri. Ibu saya juga bukan wanita baik-baik.”

“Rian, kamu tidak boleh begitu. Kamu itu anakku. Aku ingin kamu berbahagia, dan sudah waktunya kamu memilih wanita yang pantas menjadi pendamping kamu. Kalau kamu mencintai dia, aku akan melamarnya,” tegas kata pak Candra, membuat Rian menitikkan air mata.

“Saya sungguh seperti kehilangan arah.”

“Kamu tidak perlu merasa rendah diri. Kamu adalah kamu, bukan orang lain. Kamu anak baik, anak pintar dan berbakti, kamu luar biasa. Kalaupun pantas, aku mau menjadikan kamu suami Nurani.”

Rian menatap ayahnya.

“Tapi kalian kan sudah menjadi saudara, tidak pantas kalau itu aku lakukan. Lebih baik kamu menjadi seorang kakak yang bisa melindungi adik kamu.”

Rian hanya mengangguk, ragu. Belum tentu Siswati mau menerimanya, kalau dia tahu semua yang terjadi.

“Oh ya, aku sampai lupa bertanya, kapan kamu wisuda?”

Rian merasa matanya berbinar. Ayah tirinya ternyata juga memperhatikan hal itu, padahal semula dikiranya tidak peduli.

“Masih Minggu depan.”

“Aku akan datang bersama Nurani.”

“Terima kasih Pak.”

“Apa kamu ingin ibumu juga akan menyaksikan wisuda kamu itu? Terserah kamu saja, aku tidak ingin membuat kamu kecewa. Tapi Karina kan tidak mungkin, dia sudah ditahan.”

“Saya bingung. Pasti Bapak tidak suka.”

“Kalau kamu ingin, lakukan saja. Orang tua wajib ikut menikmati keberhasilan anaknya. Aku tak mau menghalanginya.”

Rian kembali menundukkan kepalanya. Ia masih marah kepada ibunya, jadi berat untuk menanyakannya. Tapi benar kata ayahnya, bahwa orang tua wajib ikut menikmati keberhasilan anaknya.

“Jangan terlalu membebani pikiran kamu. Buah akan diunduh dari pohon yang ditanamnya. Lakukan yang terbaik untuk diri kamu, jangan pernah ragu.”

***

Pak Candra belum mau bicara dengan istrinya. Ketika ia mengutarakan pada Nurani bahwa ia akan menceraikannya, Nurani menentangnya.

“Tolong, Bapak jangan melakukan itu.”

“Dia begitu jahat sama kamu, dia tidak pantas menjadi ibu di rumah ini.”

“Manusia terkadang bisa melakukan kesalahan, tapi ada saat dimana dia menyadarinya, kemudian bertobat. Jadi berilah waktu untuk dia bertobat.”

“Kamu tidak ingin bapak mengusirnya juga dari rumah ini?”

“Tidak. Saya mohon Pak.”

“Kamu tidak takut dia akan memberi kamu obat beracun?”

“Yang Nurani takuti adalah kalau Nurani melakukan hal yang menyimpang dari kebenaran. Nurani selalu mohon, agar selalu mendapat bimbinganNya.”

Pak Candra hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Anak gadisnya sungguh luar biasa.

***

“Ibu, mengapa ibu tidur di kamar Karina?”

“Ibu tidak tahan, bapakmu tak mau bicara. Ibu juga kangen sama Karina. Kasihan dia.”

“Janganlah ibu terlalu bersedih untuk itu. Bapak akan bisa mengerti, dengan berjalannya waktu. Percayalah, nanti juga kemarahannya akan mereda. Ibu jangan bosan terus meminta maaf, ya,” bujuk Nurani.

“Aku sudah melakukannya.”

“Bapak butuh waktu, ibu harus bersabar. Oh ya Bu, minggu depan, mas Rian akan wisuda, ibu mau menghadirinya juga, bukan?”

Bu Candra tampak diam, tapi kemudian dia menggelengkan kepalanya.

***

Besok lagi ya.

 

42 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah sprinterku sdh bisa lari kencang lagi.
      Selamat jeng Iin...... Juara 1
      Terima kasih bu Tien.....
      Salam sehat dan tetap semangat.

      Delete
  2. Replies
    1. Halo jeng Susi, dimana saya mereply saya ikut di komen yang saya replay......

      Delete
  3. Alhamdulilah, matur nuwun mbakyuku

    ReplyDelete
  4. Replies
    1. Malam ini juara 1 ada 6 orang
      1. Jeng Iin M. Maimuin
      2. Jeng Susi Herawati
      3. Jeng Nanik Hsd
      4. Jeng Sis Hakim
      5. Bp. Arifin dan
      6. Jeng Werdi Kabul.
      Hanya beda detik saja. Selamat buat semuanya.

      Delete
  5. Alhamdulillah...

    Maturnuwun Bu Tien
    🙏🙏

    ReplyDelete
  6. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah ... trimakasih salam sehat

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah...
    KBE 27 sudah hadir...
    Matunuwun Bu Tien...
    Semoga ibu selalu dalam lindungan Allah SWT... Aamiin Yaa Mujibassailiin...

    ReplyDelete

  9. Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~27 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  10. 🌻🦋🌻 Alhamdulillah KBE 27 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai 🙏🦋💐

    ReplyDelete
  11. Alhmdllh... terima ksh Mbu Tien.... luar biasa.....

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien . .

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien, salam sehat dan aduhai

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, matusuwun Bu Tien , sehat dan bahagia selalu nggih. .

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 27 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  16. Matur nuwun mbak Tien-ku Kantung Berwarna Emas sudah tayang

    ReplyDelete
  17. Alhamdullillah ..trima kasih ya bu tien

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah sudah tayang....
    Matur nuwun Bu Tien....

    Moga Bu Tien sekeluarga sehat selalu...

    Aamiin.....

    ReplyDelete
  19. Sayang Rian terburu buru memutuskan hubungan dengan Siswati. Mungkin Nurani yang akan menyatukan lagi.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien
    Salam bahagia, sehat dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun sanget Bunda Tien Kumalasari

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun bu Tien. Saya kagum dg tokoh Nurani yang baik hati dan tidak pendendam. Padahal bayangan saya bu Candra dicerai dan diusir dari rumah..ternyata Nurani yg menentang..hebat...

    ReplyDelete
  23. Lho kok geleng kepala; nggak mau ikutan di wisudaan Rian, jangan jangan Rian itu temon, ya maksudé duda anak siji entuk prawan kasep; ngejrèng, la sukanya pergi pergi trus thukulan siji, thukulan siji karo sapa, ya yang pergi pergi itu, trus dudané ngênês: kak o, kena tinju ya.
    Iya tapi kan waktu itu niat banget merawat anak gawan, dadi thukulan paling akhir nggak kenal mukanya ayahnya? begitulah kira kira, aneh aneh muter-muter, iya ya hasil pergi pergi ya. Marai mumet; dadi temon?
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Kantung berwarna emas yang ke dua puluh tujuh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  24. MasyaAllah luar biasa memang karya2 bunda Tien.Tokoh kali ini benar2 sangat baik sekali..apalagi Nurani....Terharu akan sikapnya yg begitu baik hati sekali....tidak punya dendam...Subhanallah

    ReplyDelete
  25. Terima kasih bu tien kbe 27 sdh tayang ...semakin mengharu biru ... salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah KBE 27 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  27. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah Bu Tien menempatkan pak Candra sebagai sosok seorang ayah yang baik lagi bijak....
    Manusiawi lah kalau pak Candra dibubuhkan sedikit emosinya....
    Itu hal yang wajar...

    Dia mencintai seluruh keluarganya segenap jiwa dan raganya....
    👍👍🙏🙏

    ReplyDelete
  29. Alhamdulillah...
    Terimakasih Bu Tien...
    Salam sehat sejahtera...

    ReplyDelete
  30. Terima ksih bunda KBE nya..slm sht sll dan aduhai unk bunda bersm bpk..🙏🥰🌹

    ReplyDelete

PUTIK BUNGA SEGERA MEKAR

PUTIK BUNGA SEGERA MEKAR (Tien Kumalasari) Matahari kembali memancar Terik gerah menggugah Ketika kucium aroma wangi Bagai angin pegunungan ...