KANTUNG BERWARNA EMAS
26
(Tien Kumalasari)
Nurani mendekap dadanya sendiri untuk mengurangi rasa
dingin. Suasana begitu mencekam, tapi Nurani tak merasa takut. Ia mendengar
sesuatu dari depan rumah, suara apa, begitu aneh. Seperti langkah kaki, seperti
apa ya … membuat Nurani begitu penasaran. Semilir angin menambah dinginnya
udara di tengah malam itu.
Penasaran, Nurani turun dari teras. Ia menatap ke
sekeliling, tak ada sesuatu yang mencurigakan, lalu dia duduk di bangku taman
masih dengan kedua tangan bersedekap.
“Mengapa di tengah malam begini bapak sama mas Rian belum
datang?” gumamnya pelan.
“Suara apa ya tadi? Seperti suara orang melangkah di atas
kerikil berbatu yang tersebar ditaman. Tapi kok tidak ada siapa-siapa?
Nurani berdiri, karena semakin tak tahan akan hawa
dingin dan semilir angin yang menerpa. Ia melangkah perlahan menuju ke teras,
tapi sebelum mencapai teras, terdengar sebuah teriakan.
“Auuwwh! Adduh !!”
Nurani menoleh ke belakang, terdengar denting aneh
mengenai batu di pinggir kolam yang ada di depan teras. Lalu langkah-langkah
lari ke luar halaman.
“Heii … siapa?” Nurani seperti tak mengenal takut,
berteriak keras.
Ada orang menaiki pagar besi rumahnya, lalu melompat
turun ke jalan, tapi derit rem kendaraan segera terdengar.
“Nurani terpaku di depan teras. Ada pisau belati
tergeletak di dekat batu, dan darah menetes di sana. Warna merah yang menetes di batu taman yang putih, kehitaman
karena suasana remang malam itu.
“Darah siapa? Dan belati siapa? Orang itu siapa pula?”
Apa maunya?”
Nurani terduduk lemas di tangga teras. Memikirkan apa
yang sebenarnya terjadi.
Lalu terdengar raungan sirene mobil polisi di luar
sana.
“Ada apa di sana? Apa yang terjadi?” gumamnya bingung.
Ia ingin
berdiri, ketika tiba-tiba seekor kucing melompat ke pangkuannya.
Nurani terkejut.
“Kucing berbulu emas?”
Kucing itu mendekatkan kepalanya ke tubuh Nurani, dan
menggerak-gerakkan ekornya.
“Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan? Apa kamu peliharaan almarhumah ibuku?” tanya Nurani sambil mengelus kepala kucing itu lembut.
Kucing itu membalas pertanyaan Nurani dengan bunyi
nyaring yang terasa manis.
“Meeeouuuw …”
“Benar kamu kucing milik ibuku?”
Kucing itu menjilat-jilat tangan Nurani. Nurani
mendekapnya.
“Apa yang dilakukan kucing ini, dan kemana dia selama
ini, mengapa baru muncul kalau memang dia milik ibuku?”
Kucing itu meringkuk begitu nyaman di pangkuan Nurani.
Sayang dia tak bisa bicara, barangkali banyak yang bisa diceritakannya.
Tiba-tiba pintu pagar di depan dibuka, Nurani melihat
sosok Rian membuka pagar lebar-lebar, kemudian memasukan mobil ke halaman.
Nurani bernapas lega.
Begitu turun, ayahnya bergegas mendekat, diikuti Rian.
“Apa yang terjadi?”
“Entahlah, Nurani tidak mengerti,” jawab Nurani sambil
menggendong kucing yang baru saja ditemukannya.
“Mengapa kamu ada di luar?” tanya Rian.
“Kamu berada di luar, dan tidak mengerti apa yang
terjadi?” tanya ayahnya heran.
“Kami baru saja menangkap orang yang tadi melompat
keluar dari pagar. Apa yang dilakukannya terhadapmu?” kata Rian.
“Nurani juga heran, ada kejadian aneh yang membuat Nurani
bingung. Tadi Nurani di kamar, mendengar suara aneh. Seperti orang berjalan
menginjak kerikil, lalu suara dengusan, entahlah, lalu Nurani keluar karena
penasaran. Lalu Nurani duduk sebentar di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah
bangku di pinggir taman.
“Tiba-tiba ada orang berteriak, lalu orang itu lari
keluar setelah memanjat pagar,” lanjutnya.
“Ada belati terjatuh disini, dan ceceran darah,”
teriak Rian.
“Jangan sentuh belati itu, sampai polisi mengambilnya,”
kata pak Candra.
“Ada orang jahat bermaksud membunuh kamu,” lanjutnya.
Nurani terkejut.
“Membunuh Nurani? Tadi karena tidak tahu apa yang
terjadi, Nurani duduk di tangga ini, lalu tiba-tiba seekor kucing melompat ke
atas pangkuan Nurani,” kata Nurani yang masih terus mendekap kucing itu.
“Itu Pusy?” kata pak Candra.
Dan kucing itu mengangkat kepalanya.
“Meeaaaauuuuw ….”
“Itu Pusy, kucing punya ibumu. Mengapa baru muncul?
Kemana kamu selama ini?” tanya pak Candra sambil mengelus kepala Pusy.
“Jadi namamu Pusy?”
“Ayo masuk, bicara di dalam. Orang itu sudah bicara
banyak. Sekarang biar polisi mengurusnya,” kata pak Candra sambil menarik tangan
Nurani, mengajaknya masuk ke dalam.
***
Nurani membuatkan susu coklat panas untuk ayahnya dan
untuk Ryan, juga untuk dirinya sendiri, mengingat betapa dingin malam itu di
luar sana.
“Siapa orang itu, mengapa ingin membunuh Nurani? Bapak
mengenalnya? Dia salah seorang teman Nurani?” tanya Nurani bertubi-tubi.
“Dia disuruh oleh seseorang, tadi belum mengaku, saya
memanggil polisi setelah menangkapnya,” kata Rian.
“Tapi mengapa ada darah menetes? Dan mengapa belatinya terjatuh, padahal saya
tidak melakukan apa-apa, dan tampaknya dia yang terluka,” kata Nurani.
“Dia bilang seekor binatang menggigit tangannya ketika
mau menancapkan belatinya ke tubuh kamu, dari belakang,” kata pak Candra.
“Menggigit? Binatang? Apakah itu si Pusy? Ya Tuhan … lalu apa salah saya? Siapa yang menyuruhnya? Pusy, kamu yang melakukannya?” kata
Nurani yang masih mendekap Pusy.
“Meaaauuuuww ….” Sayang sekali hanya itu yang bisa
dilakukan Pusy.
“Orang bermaksud membunuh tidak harus dengan alasan karena
sebuah kesalahan. Tapi bisa juga karena kebencian.”
“Maksud Bapak, ada orang yang membenci saya?”
“Orang tersesat lah, yang telah membenci kamu. Tapi
jelas ada,” kata pak Candra.
Rian tampak diam. Pak Candra sudah mengatakan semuanya. Saat di kantor, dan saat pak Candra mengajaknya jalan-jalan malam itu, makan di sebuah warung dan berbicang lagi sampai lewat tengah malam. Pak Candra melakukannya, sebenarnya hanya untuk menghibur Rian, yang pastilah terluka mengetahui perbuatan ibu dan adiknya. Pak Candra juga ingin menunjukkan pada Rian, bahwa dia mengasihi Rian seperti anak kandungnya sendiri, karena pak Candra tahu bahwa Rian anak yang baik dan penuh kasih sayang.
Walau begitu rasa sedih dan kecewa atas
perbuatan ibu dan adiknya masih saja dirasakan Rian. Mereka darah dagingnya. Yang
satu adalah ibu yang melahirkannya, dan yang satunya lagi adalah saudara
sedarah yang terlahir dari rahim yang sama.
“Rian, apa kamu membenci bapak setelah bapak mengusir
adik kamu?” kata pak Candra lembut.
“Tidak. Saya membenci perbuatan yang diluar nalar
manusia baik-baik. Saya sedih pelakunya adalah orang yang darahnya mengalir di
tubuh saya.”
“Bapak juga tidak mengerti, dan malam ini, jangan-jangan
otak pelaku percobaan pembunuhan itu adalah juga Karina.”
Rian menundukkan muka. Sudah jelas yang terbayang di
benaknya adalah, adiknya akan mendekam di penjara. Dan ibunya? Dia belum
melihat sejak datang. Ia menoleh sekilas ke arah kamar.
“Ibu sudah tidur sejak tadi,” kata Nurani yang melihat
apa yang dipikirkan Rian.
“Maafkanlah ibuku, dan adikku….” Kata Rian yang
kemudian merangkul Nurani erat, suaranya bergetar, menahan seribu rasa yang tak
bisa dilukiskannya.
“Iya Mas, aku sudah memaafkannya. Aku menyesal
semuanya terjadi, dan aku harus mengatakan semuanya.”
“Kamu tidak salah. Kamu melakukan hal yang benar.
Sebuah perilaku buruk janganlah ditutupi, agar kejahatan yang dilakukannya
tidak berlanjut.”
“Ya sudah Mas, jangan dipikirkan lagi. Semoga ini
semua bisa menjadikan pelajaran bagi Karina dan tentunya juga ibu. Maaf ya Mas,
tapi percayalah, aku tidak membenci
mereka. Dihati aku tidak ada rasa benci, aku hanya menyesali.”
“Kamu anak baik, kebanggaan bapak, aku juga bangga
sama kamu,” kata Rian kembali merangkul adiknya.
Tiba-tiba terdengar suara mobil di depan.
“Rian, tampaknya polisi telah datang, ia akan
memeriksa tempat kejadian perkara malam ini juga.”
Rian melangkah ke depan, membuka pintu. Dan benar saja, beberapa polisi turun dari mobil.
Hati Nurani bergetar. Kalau benar
dugaan ayahnya bahwa Karina ada dibalik itu semua, pasti Karina akan masuk
penjara. Hati Nurani serasa teriris. Berada dalam satu rumah selama
bertahun-tahun, ikatan itu pastilah ada. Karina seperti bukan orang lain
baginya. Ia ikut berdiri dan merangkul ayahnya, berharap hatinya lebih tenang.
***
Bu Candra yang sedang terlelap, terkejut mendengar
kegaduhan di luar rumah. Ia keluar, dan melihat beberapa polisi berbincang
dengan suaminya. Ada Rian dan ada pula Nurani.
“Rian,” panggilnya.
Rian membalikkan tubuhnya, mendekati ibunya.
“Ada apa?”
“Nurani hampir dibunuh.”
“Apa?”
“Ada seseorang yang berusaha membunuh Nurani.”
Bu Candra menutup mulutnya.
“Jangan-jangan Karina ada dibalik semua ini.”
“Jangan ngaco kamu Rian. Karina sedang bersedih karena
diusir dari rumah,” kata bu Candra menahan tangis.
“Semuanya sudah ditangan polisi. Rian juga sedih,
karena Karina adalah adik Rian. Dan Rian juga sedih karena Ibu membantunya
melakukan kejahatan.”
“Maafkan ibu. Semuanya ibu lakukan demi Karina.”
“Memangnya Karina kenapa? Apa dia kekurangan kasih
sayang? Apa dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya? Rian masih ingat, dulu
Rian masih kecil, hidup kita serba kekurangan, sekolah Rian hampir terputus,
lalu pak Candra menikahi ibu, mengasihi Rian dan Karina seperti anak sendiri.
Apa yang kurang Bu? Mengapa kalian melakukannya? Rasa cinta akan menenangkan
jiwa, tapi rasa dengki akan meracuni hati. Itulah yang kalian alami sekarang
ini. Rian sangat sedih Bu.”
Bu Candra terisak. Ia masuk ke dalam rumah, duduk
sambil menangisi kejadian yang menimpanya. Ada sesal yang kemudian melanda,
tapi bukankah sesal itu datangnya kemudian? Rasanya semua sudah hancur. Belum
lagi kalau nanti suaminya menceraikannya. Lalu bu Candra semakin deras
mengucurkan air mata.
Rian kembali menemani ayahnya dan Nurani, yang sedang memberi
keterangan kepada polisi.
***
Pagi hari itu pak Candra bangun pagi-pagi sekali, atau
entahlah barangkali malah tidak tidur semalaman, karena polisi pergi dari rumah
ketika pagi hampir menjelang.
Ketika duduk di ruang tengah, dilihatnya Nurani sudah
membuatkan coklat susu seperti biasanya, dan roti bakar lapis selai stroberi.
“Bapak, cemilannya roti bakar,” kata Nurani sambil
tersenyum.
“Iya, ini cukup, bapak suka selai stroberi.” Kata pak
Candra untuk menyenangkan hati putrinya.
“Saya buatkan nasi goreng?”
“Sesuka kamu saja Nur, bapak akan ke kantor pagi-pagi.”
“Baiklah, akan saya buat sekarang saja.”
Saat Nurani membuat nasi goreng itu, bu Candra sudah
bangun, dan membantu Nurani di dapur. Meskipun masih merasa kesal, Nurani tetap
bersikap baik pada ibu tirinya.
“Ibu duduk saja sama bapak, biar Nurani memasak nasi
goreng.”
“Tidak apa-apa, biarlah ibu mulai sekarang ikut
mengerjakan semuanya.”
“Ibu?”
“Ibu minta maaf … “ kata bu Candra sambil menyiapkan
wajan di atas kompor karena Nurani sudah menyiapkan bumbunya.
“Lupakan saja Bu, yang penting, semua yang terjadi
bisa menjadi pelajaran buat kita.
Nurani menekankan kata ‘kita’ dengan maksud agar
ibunya tidak melakukannya lagi, dan dirinya juga akan lebih berhati-hati.
Pak Candra sudah berdandan rapi ketika bu Candra meletakkan basi berisi nasi
goreng yang menebarkan aroma sedap.
“Apa kamu memasaknya?”
“Iya Pak, ibu yang memasak,” Nurani lah yang menjawab
pertanyaan ayahnya.
“Apa? Dia? Tidak, aku tidak mau makan,” kata pak
Candra sambil membalikkan tubuhnya.
“Mengapa Bapak, Nurani sudah mencicipinya, enak
sekali.”
“Kamu juga jangan makan makanan itu. Hati-hati dengan
pengalaman yang telah lalu. Nasi goreng itu beracun,” kata pak Candra sambil
berlalu, langsung turun ke halaman dan memacu mobilnya pergi.
Nurani tertegun, dan bu Candra menjatuhkan kepalanya
di meja, menangis terisak-isak.
***
Andre datang ke kantor pagi-pagi, walaupun semalam
ikut bergadang bersama pak Candra dan Rian. Ia bisa merasakan betapa kecewanya
pak Candra atas terbukanya semua yang semula ditutup-tutupi oleh Nurani. Ia
juga merasakan kesedihan Rian, yang tentunya terluka karena kelakuan ibu dan
adiknya.
Pak Candra datang hanya beberapa menit setelah Andre
membuka laptop kerjanya.
“Selamat pagi, Pak.”
“Pagi Andre, kok kamu sudah datang? Bukannya lewat
tengah malam baru pulang?”
“Malah tidak bisa tidur Pak, sehingga pagi-pagi sudah
sampai di sini.”
“Tidak bisa tidur? Karena aku ya? Maaf Ndre.”
“Bukan, saya memikirkan Bapak. Kejadian ini pasti
sangat melukai hati Bapak.”
“Itu belum cukup Ndre. Semalam, ada pembunuh bayaran
yang nyaris membuat Nurani celaka.”
“Apa? Pembunuh bayaran?”
Lalu pak Candra menceritakan bahwa saat pulang ada
orang melompati pagar rumahnya, yang berhasil diringkus Rian, dan sekarang
sudah ditangani polisi.
Andre heran mendengar penjahat itu terluka karena
digigit binatang, yang menurut pak Candra adalah kucing piaraan almarhumah
istrinya. Andre teringat kucing yang ada dibukit, menunggui tubuh Nurani yang
tak sadarkan diri.
“Lagi-lagi kucing? Mengapa selalu ada kucing di setiap
peristiwa buruk yang menimpa Nurani?”
“Aku tidak tahu juga. Kucing itu juga membuat Karina
cacat,” kata pak Candra.
“Oh iya, Karina cerita waktu itu kalau pipinya yang
sebelah, terasa gatal-gatal karena semalam terkena kotoran kucing, dan sampai
sekarang ternyata rasa gatal itu membuatnya cacat. Jadi apakah kucing itu
selalu melindungi Nurani? Dia tahu kalau Karina jahat sama Nurani maka dia
melakukannya?”
“Aku juga heran. Kucing itu bisa berada dimana-mana.”
“Sekarang kucing itu sudah bersama Nurani?”
“Semalam Nurani membawanya ke kamarnya, tapi entahlah, pagi
tadi, aku tidak melihatnya. Oh iya, aku lupa menanyakan tentang kucing itu. Pergi
ke mana dia?”
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Kantung Berwarna Emas sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah terima kasih bu tien ... salam sehat
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien....
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~26 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien π
Alhamdulilah, matur nuwun injih
ReplyDeleteJeng Iin, le mlayu rikat ....
ReplyDeleteAlhamdulillah pas buka blog pas tayang
DeleteLgsg mojok deh keburu penasaran aj deh
Trnyt Karina ttp dendam sama Nurani
Makin seru deh pokoknya
Wauw mksh bunda Tien sehat selalu doaku ttp semangat hibur kita2 deh
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien
ππ
Terimakasih Mbak Tien KBE memang heboh.salam Aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteπ»π¦π» Alhamdulillah KBE 26 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai ππ¦π
ReplyDeleteSemakin seru aja ceritanya, matur nuwun sanget Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteYang d tunggu" dah tayang makasih bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh hadir KBE 26.
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien..
Semoga sehat selalu
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Salam sehat dan aduhai selalu
Ternyata makin banyak berbuat kejahatan. Yang terakhir ini benar-benar usaha pembunuhan. Makin berat hukumannya.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat .....
Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 26 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terima kasih Mbu Tien....
ReplyDeleteMatur suwun bunda Tien
ReplyDeleteSalam Tahes Ulales dari bumi Arema Malang
Terimakasih...Bu Tien.Bu Candra menyesal di belakang kalo di depan pendaftaran ya Bu Candra
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien...
ReplyDeleteUntuk KBE nya yg ke 26
Sehat selalu ...
Berkah Dalem Gusti πππ
Salam Aduhai ...πππ€©
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah terima kasih bu Tien, Nurani selamat karena pussy...semoga bu Candra benar2 insyaf. Salam sehat selalu bi bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.ππ
ReplyDeleteAlhamdulillahi rahmaanirrahim
ReplyDeleteMatur nuwun bu tien
Alhamdulillah sudah tayang. Suwun bu Tien. Salam Seroja
ReplyDeleteSiapa yang menyuruh membunuh Nurani ya? Karinakah, atau bersekongkol dengan ibunya?
ReplyDeleteJahat mekakat, atine wulunen...
Maturnuwun mbak Tien sayang, cerita bikin baper dan sungguh menghibur
Alhamdulillah KBE 26 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu. Aamiin
Ahkir yg bahagia ..saking dengki dan karina pakai menghalalkan cara2 tak baik ketahuan pak Chandra ..opraso muka gagal la di usir eee mau celakai Nurani ada si pusy peliharaan mama almarhum ...Makasih bu Tien
ReplyDeletePuji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip shg KBE 26 hadir bagi kami para penggandrungnya.
ReplyDeleteRasa cinta akan menenangkan jiwa,
Rasa dengki akan meracuni hati..
Semoga dengan peristiwa tertangkapnya pembunuh bayaran Karina dan bu Chandra segera bertobat sepenuh hati, sehingga semua bisa hidup bahagia...
Matur nuwun ibu Tien, bikin penasaran untuk baca selanjutnya...
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto,
Bingung diajak maen kucing²an sama pussy, rupanya selama ini Nurani dalam pantauan keamanan hansip pussy, kerΓ¨n lah; meauw cuma mendeteksi aura jahat yang dipancarkan orang orang yang mau mencelakai juragan Nurani. Nggak usah mendatangkan perangkat radar canggih; untuk mendeteksi pikiran jahat yang mau mencelakai juragan Nurani. Sudah terbuka semua alur cerita derita yang selama ini disimpan rapat di benak Nurani. Justru yang disarankan Rian; janganlah sebuah perilaku buruk dibiarkan bahkan ditutupi, agar kejahatan tidak berlanjut.
ReplyDeleteNamanya orang bisnis yang bertumpu pada saling percaya, sekali kena kasus sudah tipislah; bahkan hilang rasa percaya itu.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke dua puluh enam sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Alhamdulillah...
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien...
Semoga sehat selalu...
Alhamdulillah. Suwun ibu
ReplyDeleteMugi Allah tansah paring kasarasan dumateng bu Tien.
Makasih mba Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu
ReplyDelete