Wednesday, January 4, 2023

KANTUNG BERWARNA EMAS 26

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  26

(Tien Kumalasari)

 

Nurani mendekap dadanya sendiri untuk mengurangi rasa dingin. Suasana begitu mencekam, tapi Nurani tak merasa takut. Ia mendengar sesuatu dari depan rumah, suara apa, begitu aneh. Seperti langkah kaki, seperti apa ya … membuat Nurani begitu penasaran. Semilir angin menambah dinginnya udara di tengah malam itu.

Penasaran, Nurani turun dari teras. Ia menatap ke sekeliling, tak ada sesuatu yang mencurigakan, lalu dia duduk di bangku taman masih dengan kedua tangan bersedekap.

“Mengapa di tengah malam begini bapak sama mas Rian belum datang?” gumamnya pelan.

“Suara apa ya tadi? Seperti suara orang melangkah di atas kerikil berbatu yang tersebar ditaman. Tapi kok tidak ada siapa-siapa?

Nurani berdiri, karena semakin tak tahan akan hawa dingin dan semilir angin yang menerpa. Ia melangkah perlahan menuju ke teras, tapi sebelum mencapai teras, terdengar sebuah teriakan.

“Auuwwh! Adduh !!”

Nurani menoleh ke belakang, terdengar denting aneh mengenai batu di pinggir kolam yang ada di depan teras. Lalu langkah-langkah lari ke luar halaman.

“Heii … siapa?” Nurani seperti tak mengenal takut, berteriak keras.

Ada orang menaiki pagar besi rumahnya, lalu melompat turun ke jalan, tapi derit rem kendaraan segera terdengar.

“Nurani terpaku di depan teras. Ada pisau belati tergeletak di dekat batu, dan darah menetes di sana. Warna merah yang menetes di batu taman yang putih,  kehitaman karena suasana remang malam itu.

“Darah siapa? Dan belati siapa? Orang itu siapa pula?” Apa maunya?”

Nurani terduduk lemas di tangga teras. Memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.

Lalu terdengar raungan sirene mobil polisi di luar sana.

“Ada apa di sana? Apa yang terjadi?” gumamnya bingung.

 Ia ingin berdiri, ketika tiba-tiba seekor kucing melompat ke pangkuannya.

Nurani terkejut.

“Kucing berbulu emas?”

Kucing itu mendekatkan kepalanya ke tubuh Nurani, dan menggerak-gerakkan ekornya.

“Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan? Apa kamu peliharaan almarhumah ibuku?” tanya Nurani sambil mengelus kepala kucing itu lembut.

Kucing itu membalas pertanyaan Nurani dengan bunyi nyaring yang terasa manis.

“Meeeouuuw …”

“Benar kamu kucing milik ibuku?”

Kucing itu menjilat-jilat tangan Nurani. Nurani mendekapnya.

“Apa yang dilakukan kucing ini, dan kemana dia selama ini, mengapa baru muncul kalau memang dia milik ibuku?”

Kucing itu meringkuk begitu nyaman di pangkuan Nurani. Sayang dia tak bisa bicara, barangkali banyak yang bisa diceritakannya.

Tiba-tiba pintu pagar di depan dibuka, Nurani melihat sosok Rian membuka pagar lebar-lebar, kemudian memasukan mobil ke halaman. Nurani bernapas lega.

Begitu turun, ayahnya bergegas mendekat, diikuti Rian.

“Apa yang terjadi?”

“Entahlah, Nurani tidak mengerti,” jawab Nurani sambil menggendong kucing yang baru saja ditemukannya.

“Mengapa kamu ada di luar?” tanya Rian.

“Kamu berada di luar, dan tidak mengerti apa yang terjadi?” tanya ayahnya heran.

“Kami baru saja menangkap orang yang tadi melompat keluar dari pagar. Apa yang dilakukannya terhadapmu?” kata Rian.

“Nurani juga heran, ada kejadian aneh yang membuat Nurani bingung. Tadi Nurani di kamar, mendengar suara aneh. Seperti orang berjalan menginjak kerikil, lalu suara dengusan, entahlah, lalu Nurani keluar karena penasaran. Lalu Nurani duduk sebentar di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah bangku di pinggir taman.

“Tiba-tiba ada orang berteriak, lalu orang itu lari keluar setelah memanjat pagar,” lanjutnya.

“Ada belati terjatuh disini, dan ceceran darah,” teriak Rian.

“Jangan sentuh belati itu, sampai polisi mengambilnya,” kata pak Candra.

“Ada orang jahat bermaksud membunuh kamu,” lanjutnya.

Nurani terkejut.

“Membunuh Nurani? Tadi karena tidak tahu apa yang terjadi, Nurani duduk di tangga ini, lalu tiba-tiba seekor kucing melompat ke atas pangkuan Nurani,” kata Nurani yang masih terus mendekap kucing itu.

“Itu Pusy?” kata pak Candra.

Dan kucing itu mengangkat kepalanya.

“Meeaaaauuuuw ….”

“Itu Pusy, kucing punya ibumu. Mengapa baru muncul? Kemana kamu selama ini?” tanya pak Candra sambil mengelus kepala Pusy.

“Jadi namamu Pusy?”

“Ayo masuk, bicara di dalam. Orang itu sudah bicara banyak. Sekarang biar polisi mengurusnya,” kata pak Candra sambil menarik tangan Nurani, mengajaknya masuk ke dalam.

***

Nurani membuatkan susu coklat panas untuk ayahnya dan untuk Ryan, juga untuk dirinya sendiri, mengingat betapa dingin malam itu di luar sana.

“Siapa orang itu, mengapa ingin membunuh Nurani? Bapak mengenalnya? Dia salah seorang teman Nurani?” tanya Nurani bertubi-tubi.

“Dia disuruh oleh seseorang, tadi belum mengaku, saya memanggil polisi setelah menangkapnya,” kata Rian.

“Tapi mengapa ada darah menetes?  Dan mengapa belatinya terjatuh, padahal saya tidak melakukan apa-apa, dan tampaknya dia yang terluka,” kata Nurani.

“Dia bilang seekor binatang menggigit tangannya ketika mau menancapkan belatinya ke tubuh kamu, dari belakang,” kata pak Candra.

“Menggigit? Binatang? Apakah itu si Pusy? Ya Tuhan … lalu apa salah saya? Siapa yang menyuruhnya? Pusy, kamu yang melakukannya?” kata Nurani yang masih mendekap Pusy.

“Meaaauuuuww ….” Sayang sekali hanya itu yang bisa dilakukan Pusy.

“Orang bermaksud membunuh tidak harus dengan alasan karena sebuah kesalahan. Tapi bisa juga karena kebencian.”

“Maksud Bapak, ada orang yang membenci saya?”

“Orang tersesat lah, yang telah membenci kamu. Tapi jelas ada,” kata pak Candra.

Rian tampak diam. Pak Candra sudah mengatakan semuanya. Saat di kantor, dan saat pak Candra mengajaknya jalan-jalan malam itu, makan di sebuah warung dan berbicang lagi sampai lewat tengah malam. Pak Candra melakukannya, sebenarnya hanya untuk menghibur Rian, yang pastilah terluka mengetahui perbuatan ibu dan adiknya. Pak Candra juga ingin  menunjukkan pada Rian, bahwa dia mengasihi Rian seperti anak kandungnya sendiri, karena pak Candra tahu bahwa Rian anak yang baik dan penuh kasih sayang. 

Walau begitu rasa sedih dan kecewa atas perbuatan ibu dan adiknya masih saja dirasakan Rian. Mereka darah dagingnya. Yang satu adalah ibu yang melahirkannya, dan yang satunya lagi adalah saudara sedarah yang terlahir dari rahim yang sama.

“Rian, apa kamu membenci bapak setelah bapak mengusir adik kamu?” kata pak Candra lembut.

“Tidak. Saya membenci perbuatan yang diluar nalar manusia baik-baik. Saya sedih pelakunya adalah orang yang darahnya mengalir di tubuh saya.”

“Bapak juga tidak mengerti, dan malam ini, jangan-jangan otak pelaku percobaan pembunuhan itu adalah juga Karina.”

Rian menundukkan muka. Sudah jelas yang terbayang di benaknya adalah, adiknya akan mendekam di penjara. Dan ibunya? Dia belum melihat sejak datang. Ia menoleh sekilas ke arah kamar.

“Ibu sudah tidur sejak tadi,” kata Nurani yang melihat apa yang dipikirkan Rian.

“Maafkanlah ibuku, dan adikku….” Kata Rian yang kemudian merangkul Nurani erat, suaranya bergetar, menahan seribu rasa yang tak bisa dilukiskannya.

“Iya Mas, aku sudah memaafkannya. Aku menyesal semuanya terjadi, dan aku harus mengatakan semuanya.”

“Kamu tidak salah. Kamu melakukan hal yang benar. Sebuah perilaku buruk janganlah ditutupi, agar kejahatan yang dilakukannya tidak berlanjut.”

“Ya sudah Mas, jangan dipikirkan lagi. Semoga ini semua bisa menjadikan pelajaran bagi Karina dan tentunya juga ibu. Maaf ya Mas, tapi percayalah,  aku tidak membenci mereka. Dihati aku tidak ada rasa benci, aku hanya menyesali.”

“Kamu anak baik, kebanggaan bapak, aku juga bangga sama kamu,” kata Rian kembali merangkul adiknya.

Tiba-tiba terdengar suara mobil di depan.

“Rian, tampaknya polisi telah datang, ia akan memeriksa tempat kejadian perkara malam ini juga.”

Rian melangkah ke depan, membuka pintu. Dan benar saja, beberapa polisi turun dari mobil. 

Hati Nurani bergetar. Kalau benar dugaan ayahnya bahwa Karina ada dibalik itu semua, pasti Karina akan masuk penjara. Hati Nurani serasa teriris. Berada dalam satu rumah selama bertahun-tahun, ikatan itu pastilah ada. Karina seperti bukan orang lain baginya. Ia ikut berdiri dan merangkul ayahnya, berharap hatinya lebih tenang.

***

Bu Candra yang sedang terlelap, terkejut mendengar kegaduhan di luar rumah. Ia keluar, dan melihat beberapa polisi berbincang dengan suaminya. Ada Rian dan ada pula Nurani.

“Rian,” panggilnya.

Rian membalikkan tubuhnya, mendekati ibunya.

“Ada apa?”

“Nurani hampir dibunuh.”

“Apa?”

“Ada seseorang yang berusaha membunuh Nurani.”

Bu Candra menutup mulutnya.

“Jangan-jangan Karina ada dibalik semua ini.”

“Jangan ngaco kamu Rian. Karina sedang bersedih karena diusir dari rumah,” kata bu Candra menahan tangis.

“Semuanya sudah ditangan polisi. Rian juga sedih, karena Karina adalah adik Rian. Dan Rian juga sedih karena Ibu membantunya melakukan kejahatan.”

“Maafkan ibu. Semuanya ibu lakukan demi Karina.”

“Memangnya Karina kenapa? Apa dia kekurangan kasih sayang? Apa dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya? Rian masih ingat, dulu Rian masih kecil, hidup kita serba kekurangan, sekolah Rian hampir terputus, lalu pak Candra menikahi ibu, mengasihi Rian dan Karina seperti anak sendiri. Apa yang kurang Bu? Mengapa kalian melakukannya? Rasa cinta akan menenangkan jiwa, tapi rasa dengki akan meracuni hati. Itulah yang kalian alami sekarang ini. Rian sangat sedih Bu.”

Bu Candra terisak. Ia masuk ke dalam rumah, duduk sambil menangisi kejadian yang menimpanya. Ada sesal yang kemudian melanda, tapi bukankah sesal itu datangnya kemudian? Rasanya semua sudah hancur. Belum lagi kalau nanti suaminya menceraikannya. Lalu bu Candra semakin deras mengucurkan air mata.

Rian kembali menemani ayahnya dan Nurani,  yang sedang memberi keterangan kepada polisi.

***

Pagi hari itu pak Candra bangun pagi-pagi sekali, atau entahlah barangkali malah tidak tidur semalaman, karena polisi pergi dari rumah ketika pagi hampir menjelang.

Ketika duduk di ruang tengah, dilihatnya Nurani sudah membuatkan coklat susu seperti biasanya, dan roti bakar lapis selai stroberi.

“Bapak, cemilannya roti bakar,” kata Nurani sambil tersenyum.

“Iya, ini cukup, bapak suka selai stroberi.” Kata pak Candra untuk menyenangkan hati putrinya.

“Saya buatkan nasi goreng?”

“Sesuka kamu saja Nur, bapak akan ke kantor pagi-pagi.”

“Baiklah, akan saya buat sekarang saja.”

Saat Nurani membuat nasi goreng itu, bu Candra sudah bangun, dan membantu Nurani di dapur. Meskipun masih merasa kesal, Nurani tetap bersikap baik pada ibu tirinya.

“Ibu duduk saja sama bapak, biar Nurani memasak nasi goreng.”

“Tidak apa-apa, biarlah ibu mulai sekarang ikut mengerjakan semuanya.”

“Ibu?”

“Ibu minta maaf … “ kata bu Candra sambil menyiapkan wajan di atas kompor karena Nurani sudah menyiapkan bumbunya.

“Lupakan saja Bu, yang penting, semua yang terjadi bisa menjadi pelajaran buat kita.

Nurani menekankan kata ‘kita’ dengan maksud agar ibunya tidak melakukannya lagi, dan dirinya juga akan lebih berhati-hati.

Pak Candra sudah berdandan rapi  ketika bu Candra meletakkan basi berisi nasi goreng yang menebarkan aroma sedap.

“Apa kamu memasaknya?”

“Iya Pak, ibu yang memasak,” Nurani lah yang menjawab pertanyaan ayahnya.

“Apa? Dia? Tidak, aku tidak mau makan,” kata pak Candra sambil membalikkan tubuhnya.

“Mengapa Bapak, Nurani sudah mencicipinya, enak sekali.”

“Kamu juga jangan makan makanan itu. Hati-hati dengan pengalaman yang telah lalu. Nasi goreng itu beracun,” kata pak Candra sambil berlalu, langsung turun ke halaman dan memacu mobilnya pergi.

Nurani tertegun, dan bu Candra menjatuhkan kepalanya di meja, menangis terisak-isak.

***

Andre datang ke kantor pagi-pagi, walaupun semalam ikut bergadang bersama pak Candra dan Rian. Ia bisa merasakan betapa kecewanya pak Candra atas terbukanya semua yang semula ditutup-tutupi oleh Nurani. Ia juga merasakan kesedihan Rian, yang tentunya terluka karena kelakuan ibu dan adiknya.

Pak Candra datang hanya beberapa menit setelah Andre membuka laptop kerjanya.

“Selamat pagi, Pak.”

“Pagi Andre, kok kamu sudah datang? Bukannya lewat tengah malam baru pulang?”

“Malah tidak bisa tidur Pak, sehingga pagi-pagi sudah sampai di sini.”

“Tidak bisa tidur? Karena aku ya? Maaf Ndre.”

“Bukan, saya memikirkan Bapak. Kejadian ini pasti sangat melukai hati Bapak.”

“Itu belum cukup Ndre. Semalam, ada pembunuh bayaran yang nyaris membuat Nurani celaka.”

“Apa? Pembunuh bayaran?”

Lalu pak Candra menceritakan bahwa saat pulang ada orang melompati pagar rumahnya, yang berhasil diringkus Rian, dan sekarang sudah ditangani polisi.

Andre heran mendengar penjahat itu terluka karena digigit binatang, yang menurut pak Candra adalah kucing piaraan almarhumah istrinya. Andre teringat kucing yang ada dibukit, menunggui tubuh Nurani yang tak sadarkan diri.

“Lagi-lagi kucing? Mengapa selalu ada kucing di setiap peristiwa buruk yang menimpa Nurani?”

“Aku tidak tahu juga. Kucing itu juga membuat Karina cacat,” kata pak Candra.

“Oh iya, Karina cerita waktu itu kalau pipinya yang sebelah, terasa gatal-gatal karena semalam terkena kotoran kucing, dan sampai sekarang ternyata rasa gatal itu membuatnya cacat. Jadi apakah kucing itu selalu melindungi Nurani? Dia tahu kalau Karina jahat sama Nurani maka dia melakukannya?”

“Aku juga heran. Kucing itu bisa berada dimana-mana.”

“Sekarang kucing itu sudah bersama Nurani?”

“Semalam Nurani membawanya ke kamarnya, tapi entahlah,  pagi tadi, aku tidak melihatnya. Oh iya, aku lupa menanyakan tentang kucing itu. Pergi ke mana dia?”

***

Besok lagi ya.

47 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Kantung Berwarna Emas sudah tayang

    ReplyDelete
  2. Alhamdulilah terima kasih bu tien ... salam sehat

    ReplyDelete

  3. Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~26 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien πŸ™

    ReplyDelete
  4. Replies
    1. Alhamdulillah pas buka blog pas tayang

      Lgsg mojok deh keburu penasaran aj deh
      Trnyt Karina ttp dendam sama Nurani
      Makin seru deh pokoknya
      Wauw mksh bunda Tien sehat selalu doaku ttp semangat hibur kita2 deh

      Delete
  5. Alhamdulillah...

    Maturnuwun Bu Tien
    πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  6. Terimakasih Mbak Tien KBE memang heboh.salam Aduhai

    ReplyDelete
  7. πŸŒ»πŸ¦‹πŸŒ» Alhamdulillah KBE 26 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai πŸ™πŸ¦‹πŸ’

    ReplyDelete
  8. Semakin seru aja ceritanya, matur nuwun sanget Bunda Tien Kumalasari

    ReplyDelete
  9. Yang d tunggu" dah tayang makasih bunda

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah sdh hadir KBE 26.
    Terima kasih Bu Tien..
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien
    Salam sehat dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  12. Ternyata makin banyak berbuat kejahatan. Yang terakhir ini benar-benar usaha pembunuhan. Makin berat hukumannya.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh datang...
    Matur nuwun bu Tien ...
    Semoga sehat selalu....
    Tetap semangat .....

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 26 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  15. Matur suwun bunda Tien
    Salam Tahes Ulales dari bumi Arema Malang

    ReplyDelete
  16. Terimakasih...Bu Tien.Bu Candra menyesal di belakang kalo di depan pendaftaran ya Bu Candra

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah. Matur suwun bu Tien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat

    ReplyDelete
  19. Terima kasih Bu Tien...
    Untuk KBE nya yg ke 26
    Sehat selalu ...
    Berkah Dalem Gusti πŸ™πŸ›πŸ˜‡

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien . .

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah terima kasih bu Tien, Nurani selamat karena pussy...semoga bu Candra benar2 insyaf. Salam sehat selalu bi bu Tien

    ReplyDelete
  22. Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.πŸ™πŸ˜€

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillahi rahmaanirrahim
    Matur nuwun bu tien

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah sudah tayang. Suwun bu Tien. Salam Seroja

    ReplyDelete
  25. Siapa yang menyuruh membunuh Nurani ya? Karinakah, atau bersekongkol dengan ibunya?
    Jahat mekakat, atine wulunen...
    Maturnuwun mbak Tien sayang, cerita bikin baper dan sungguh menghibur

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah KBE 26 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu. Aamiin

    ReplyDelete
  27. Ahkir yg bahagia ..saking dengki dan karina pakai menghalalkan cara2 tak baik ketahuan pak Chandra ..opraso muka gagal la di usir eee mau celakai Nurani ada si pusy peliharaan mama almarhum ...Makasih bu Tien

    ReplyDelete
  28. Puji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip shg KBE 26 hadir bagi kami para penggandrungnya.

    Rasa cinta akan menenangkan jiwa,
    Rasa dengki akan meracuni hati..

    Semoga dengan peristiwa tertangkapnya pembunuh bayaran Karina dan bu Chandra segera bertobat sepenuh hati, sehingga semua bisa hidup bahagia...

    Matur nuwun ibu Tien, bikin penasaran untuk baca selanjutnya...

    ReplyDelete
  29. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto,

    ReplyDelete
  30. Bingung diajak maen kucing²an sama pussy, rupanya selama ini Nurani dalam pantauan keamanan hansip pussy, kerΓ¨n lah; meauw cuma mendeteksi aura jahat yang dipancarkan orang orang yang mau mencelakai juragan Nurani. Nggak usah mendatangkan perangkat radar canggih; untuk mendeteksi pikiran jahat yang mau mencelakai juragan Nurani. Sudah terbuka semua alur cerita derita yang selama ini disimpan rapat di benak Nurani. Justru yang disarankan Rian; janganlah sebuah perilaku buruk dibiarkan bahkan ditutupi, agar kejahatan tidak berlanjut.
    Namanya orang bisnis yang bertumpu pada saling percaya, sekali kena kasus sudah tipislah; bahkan hilang rasa percaya itu.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Kantung berwarna emas yang ke dua puluh enam sudah tayang,
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
  31. Alhamdulillah...
    Terimakasih Bu Tien...
    Semoga sehat selalu...

    ReplyDelete
  32. Alhamdulillah. Suwun ibu
    Mugi Allah tansah paring kasarasan dumateng bu Tien.

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  02 (Tien Kumalasari)   Arumi menyandarkan tubuhnya, menikmati rasanya naik mobil bagus nan halus hampir tak ...