KANTUNG BERWARNA EMAS
28
(Tien Kumalasari)
Nurani tertegun, tak percaya ibu tirinya tak ingin
menyaksikan upacara wisuda anak laki-lakinya.
“Ibu, bukankah Ibu harus bangga dengan wisuda mas
Rian? Dia berhasil menyelesaikan kuliahnya. Jerih payahnya selama bertahun-tahun
telah berbuah manis, ya kan Bu?”
“Tapi aku tidak akan datang. Bersyukur cukup dari
rumah saja.”
“Nanti mas Rian akan kecewa kalau tidak ada Ibu.”
“Jangan paksa aku,” tandas kata bu Candra.
“Bagaimana kalau nanti mas Rian kecewa? Kasihan dong
Bu.”
“Aku sudah mengatakannya, jangan paksa aku,” katanya
lalu meninggalkan Nurani sendirian.
Nurani kecewa. Ia memikirkan Rian. Pasti dia kecewa.
Orang tua yang sesungguhnya adalah ibunya itu, dan ayahnya hanyalah ayah
sambung, adakah arti ayah sambung baginya, sedangkan ibu Kandungnya tak peduli?
***
Ketika berkutat di dapur pagi hari itu, ibu tirinya
juga membantu, tapi dia tak mau menyiapkan minum ataupun makan untuk suaminya. Akan
sangat menyakitkan kalau suaminya menolak, masih diimbuhi kata-kata bahwa
makanan atau minuman itu ada racunnya. Apakah sebuah perbuatan yang membekas
tak akan bisa hilang selamanya? Bukankah dia sudah meminta maaf dan bertobat?
Sungguh ia tak ingin melakukannya lagi. Sekarang ia hanya membantu mencuci peralatan dan
bersih-bersih dapur, kemudian bersih-bersih rumah.
“Nur, bilang pada bapak, bahwa aku sedikitpun tak
menyentuh minuman atau makanan yang harus dia makan. Jangan sampai dia tidak sarapan
hanya karena ketakutan,” kata bu Candra sambil mengambil alat pel yang kemudian
dibawanya ke depan.
Nurani menatap ibu tirinua dengan perasaan kasihan.
“Dengan berjalannya waktu, kemarahan dan kata maaf
akan mencair. Alangkah menyenangkan berada di rumah dengan penuh rasa damai,”
gumam Nurani sambil menata makan pagi di meja.
Pak Candra keluar dari kamar dengan sudah berpakaian
rapi, siap ke kantor.
“Bapak sarapan sekarang ya?”
“Ya, bapak akan segera berangkat. Mana Rian? Ia akan ikut
bersama bapak sebelum dia mulai bekerja di perusahaan otomotif itu.”
“Oh, bagus sekali. Sebentar saya lihat, tadi
sepertinya sudah mandi,” kata Nurani dengan riang.
“Maaas,” Nurani berteriak.
“Hei, aku sudah di depanmu, mengapa teriak?”
Nurani terkekeh sambil menutup mulutnya,
“Itu, ditunggu bapak di ruang makan.”
“Aku sudah siap, bapak akan mengajak aku ke kantor.”
“Aku senang sekali. Kalau Mas Rian sudah pintar,
ajarin aku kan?”
“Ini untuk kamu Nur.”
Mereka berbincang sambil berjalan ke arah ruang makan.
Tapi Nurani berbelok ke ruang tengah, menghampiri ibu tirinya yang sedang
mengelap meja. Alat pel masih tersandar di dekat pintu.
“Ibu, sarapan dulu. Bapak sudah menunggu.”
“Ibu sarapan nanti saja.”
“Sekarang saja Bu, rame kan kalau makan bersama-sama?”
“Nanggung Nur, sudah terlanjur mengerjakan ini.
Makanlah dulu semuanya.”
Nurani merasa, tak akan bisa memaksa ibunya. Ia
melangkah menuju ruang makan dengan wajah muram.
“Ayo, makan sekalian, kok kamu malah jalan-jalan,”
tegur ayahnya.
“Mengajak ibu sarapan, tapi belum mau,” katanya sambil
duduk di samping Rian.
“Ya sudah, kalau tidak mau, ya jangan dipaksa,” kata
pak Candra sambil menerima piring yang sudah diisi nasi oleh Nurani.
Nurani merasa sedikit kesal, ayahnya belum mau
berdamai dengan ibu tirinya.
“Ibu juga tidak mau menghadiri acara wisuda mas Rian,”
kata Nurani seperti bergumam kepada dirinya sendiri.
Rian menatap Nurani sekilas, kemudian melanjutkan
menyendok makanannya. Nurani tahu, pasti lah sang kakak kecewa, tapi tidak diutarakannya. Barangkali rasa
ingin dihadiri ibunya, dan rasa kesal atas semua yang pernah dilakukannya,
membuat keinginan itu lenyap begitu saja, sedangkan pak Candra tak mengucapkan
apapun.
***
Di kantor, pak Candra segera memperkenalkan Rian
kepada seluruh karyawan, dengan mengajaknya mengitari setiap ruang di kantor
itu. Rian tersenyum tersipu, ketika banyak gadis-gadis berbisik memuji
ketampanannya.
“Tidak mirip pak Candra, tapi sama-sama ganteng ya,”
bisik salah seorang dari mereka.
“Senyumnya itu lhoh.”
“Jangan sembarangan memuji, siapa tahu dia sudah punya
calon.”
“Iya, pria seganteng itu, masa belum punya pacar.”
“Kalau belum aku juga mau,” kata salah seorang karyawan
centil yang kemudian disoraki kawan-kawannya.
Pak Candra dan Rian bukan tak mendengar celoteh itu, tapi
membiarkannya saja. Bukankah wajar laki-laki ganteng dikagumi gadis-gadis?
“Bagaimana Rian, banyak karyawan cantik di sini lhoh,”
seloroh Andre ketika mereka sudah kembali ke ruang pak Candra.
"Ramai anak-anak tadi."
“Padahal Andre juga ganteng, kok nggak ada yang berani
nggangguin ya?” kata pak Candra
“Yah, mas Andre kan punya kedudukan, mana mereka
berani?”
“Andre sangat serius,” tukas pak Candra.
“Benar Pak, barangkali mereka mengagumi dalam hati.”
“Tidak boleh, Andre itu bakal adik ipar kamu,” seloroh
pak Candra, membuat Andre tersipu, dan Rian tertawa lucu.
“Tapi Rian sudah punya lho Pak, saya sudah pernah
berkenalan sama dia. Dia cantik sekali,” kata Amdre.
“Nah, itu dia, semalam dia bilang sudah putus,” sesal
pak Candra.
“Putus? Kenapa?”
“Yaaah, ini kok jadi ngomong yang enggak-enggak sih,
katanya mau mengajak Rian belajar sama mas Andre,” kata Rian mengalihkan
pembicaraan.
Pak Candra tertawa.
“Tenang saja, sekarang kalian boleh mulai. Tadi baru
pemanasan.”
“Yah, pemanasan kok topiknya beda, Bapak ada-ada
saja.”
“Topiknya cukup menarik kan? Ya sudah, bapak punya
pekerjaan lain, kalian boleh mulai,” kata pak Candra sambil beranjak keluar
ruangan.
***
“Ibu, ayo sekarang makan, biar Nurani temanin,” kata
Nurani.
“Kamu belum sarapan juga?”
“Saya menunggu Ibu, kasihan kalau Ibu makan tidak ada
temannya.”
Bu Candra tersenyum. Ia baru sadar, betapa manis budi, anak tirinya.
“Mengapa harus menunggu ibu? Kamu selalu perhatian sama ibu. Ibu bukan orang baik
untuk kamu. Sudah selayaknya kalau kamu membenci ibu.”
“Tidak Bu, jangan berkata begitu. Nurani tidak pernah
berpikir begitu. Mari menciptakan ketenangan di dalam rumah ini, agar bapak
juga merasa senang.”
“Hari ini aku ingin menemui Karina. Pasti dia sedih,” bu Candra mengalihkan pembicaraan.
“Apakah saya harus mengantar Ibu?”
“Tidak, aku sendiri saja.”
“Sebenarnya saya sekalian mau keluar, sekalian
belanja.”
“Arahnya kan berbeda. Kamu belanja saja, nanti setelah
aku pulang, aku akan membantu kamu memasak.”
“Baiklah, terserah Ibu saja. Sekarang mari kita
sarapan dulu, supaya ke pasar nya tidak kesiangan.”
Bu Candra mengangguk. Ia mulai makan, dengan pikiran kemana-mana.
“Karina pasti sedih, tapi aku tak bisa menolongnya,” katanya
dalam hati. Ia sama sekali tak menduga, semuanya bisa seperti ini.
“ Sekarang Karina malah terlibat dalam rencana
pembunuhan, bahkan dia adalah otaknya. Pasti dia telah menghabiskan uang
tabungannya untuk membayar orang. Ya
Tuhan, mengapa semua ini harus terjadi? Semua salahku. Aku yang tadinya
mendorong Karina agar tidak kalah dengan Nurani. Tapi apa yang terjadi, semua
berantakan, aku malah merasa rendah dihadapan Nurani, aku tak berharga
berhadapan dengan anak tiri aku yang aku benci, yang ternyata memiliki hati
mulia," kata batinnya lagi.
Bu Candra mengusap setitik air matanya.
“Ibu, mengapa menangis?”
“Aku menyesali semuanya.”
“Baiklah, semua sudah terjadi. Mari kita jadikan semua
itu pelajaran. Bukankah Saya pernah mengatakan ini pada Ibu? Sudah, jangan
dipikirkan lagi, ibu harus percaya, bahwa semua niat baik akan mendapatkan juga
kebaikan.”
***
“Mengapa ibu membiarkan aku ditangkap polisi?” tangis
Karina ketika ibunya datang dengan membawakan makanan kesukaannya.
“Apa yang bisa ibu lakukan? Kamu bertindak gegabah
dengan membayar orang segala.”
“Karina sangat benci Nurani.”
“Tapi apa akibatnya? Kamu malah harus mendekam di
sini, belum nanti, kamu pasti akan dipenjara.”
“Jangan biarkan Karina dipenjara Bu, pasti Ibu bisa
melakukannya.”
“Tidak bisa Karina. Ibu tak punya uang banyak.
Lagipula kebenaran tak bisa dibeli dengan uang. Jadikan ini semua untuk
pelajaran bagi kamu.”
“Mengapa ibu malah menyalahkan aku? Ibu tidak membela
aku?”
“Bagaimana ibu harus membela kamu? Semuanya sudah
ditangan yang berwajib. Yang harus kamu lakukan adalah mentaati proses hukum
yang berlaku.””
“Ibu sungguh tega.”
“Tidak Nak, sesungguhnya ibu tidak tega. Kamu adalah
putriku satu-satunya. Ibu berharap yang terbaik untuk kamu. Bahwa kita kemudian
gagal, kita jadikan ini sebagai pelajaran berharga,” kata bu Candra menirukan
kata-kata Nurani yang diyakininya adalah benar.
“Aku sedih Bu.”
“Ibu juga sedih, kamu harus kuat ya.”
“Cacat di pipi ini belum sempat sembuh, aku sudah
dipenjara,” tangisnya semakin menjadi.
“Ya sudah, jangan menangis lagi. Sekarang ibu baru
sadar, kita memang salah Karin, ibu hanya bisa berdoa untuk kamu, agar kamu
kuat dan bisa melewati semua ini.”
***
Saat makan nsiang, Andre mengajak Rian makan di
kantin. Pak Candra belum kembali ke ruangannya, jadi mereka hanya makan berdua.
Saat makan itulah Andre yang penasaran, menanyakan
lagi soal Siswati yang sekilas pak Candra mengatakannya telah putus.
“Bapak tadi bercanda kan?”
“Tentang apa?”
“Bahwa kamu putus sama Siswati?”
“Tidak, itu serius.”
“Kenapa? Bukankah dia baik? Dia cantik. Apakah dia
selingkuh?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa?”
“Aku harus tahu diri.”
“Maksudnya…?”
“Kalau dia tahu kasus yang menimpa Karina, kelakuan
ibuku, pasti dia tidak akan mau sama aku. Aku lebih baik memutuskannya dari
sekarang, dari pada nanti akan bertambah sakit.”
“Pendapat macam apa itu?”
“Mas Andre jangan menganggap enteng masalah ini.
Hubungan keluarga itu penting. Baku dalam sebuah ikatan cinta. Dia pasti
menghitung-hitung, ‘kalau saudaranya seperti itu, aku pasti hanya akan mendapat
malu’. Begitu kan?”
“Tidak selalu begitu.”
“Tapi mungkin saja begitu kan?”
“Rian, menurut aku, masalah itu bisa dibicarakan dari
sekarang. Dia harus tahu, kemudian baru dia bersikap. Bukan kamu mengada-ada,
lalu memutuskan tiba-tiba.”
“Entahlah. Sesungguhnya pikiranku belum bisa setenang
sikapku ini. Karena bapak sangat merangkul aku, aku jadi menjadi lebih kuat.
Kalau tidak, aku sudah hancur.”
“Rian, kamu anak baik. Bapak mengakuinya, dan bapak
sangat menyayangi kamu.”
“Aku tahu. Itulah yang membesarkan hati aku.”
“Bicaralah sama Siswati. Kasihan. Dia pasti tidak tahu
apa sebabnya kamu memutuskan hubungan.”
Rian hanya mengangguk, tapi dia masih bingung untuk
menjalaninya.
“Aku selesaikan dulu masalah pekerjaan. Masalah cinta
dikesampingkan dulu.”
“Kalau dia digaet orang, baru tahu rasa kamu.”
Rian terbelalak.
“Begitu kah?”
“Siswati begitu cantik, dan lembut. Aku sudah pernah
berbincang dengan dia. Tidak salah kamu memilih dia. Tapi kalau kamu
memutuskannya, kamu akan menyesalinya.”
Kata-kata Andre ternyata mengena di hati Rian. Siswati
digaet orang? Mengapa Rian tiba-tiba merasa seperti ketakutan? Aduhai.
***
Nurani masih memilih-milih barang yang dibutuhkan.
Lumayan banyak kebutuhan dapur yang habis, jadi agak lama Nurani belanja.
Saat dia mendorong troli belanjaan, tiba-tiba
seseorang menyapanya.
“Nurani.”
Nurani terkejut. Ia melihat Siswati yang sedang berada
di counter sayuran. Nurani bergegas mendekati.
“Mbak, sedang belanja ya? Libur?”
“Ada kuliah pagi, sudah selesai, aku mampir belanja.
Tadi ibu sudah berpesan, agak banyak nih.”
“Terburu-buru nggak?”
“Nggak. Ibu pasti sudah masak, ini untuk persediaan.”
“Ayo kita minum-minum sebentar. Biar saja belanjaan ditinggal di sini dulu.
Aku haus, butuh teman.”
Siswati tersenyum.
Mereka bergandengan tangan menuju food court yang ada
di lantai atas.
“Kapan mulai kuliah?” tanya Siswati setelah mereka
memesan minuman dan cemilan.
“Bulan depan. Masih banyak waktu untuk bersantai.”
“Iya, benar.’
“Mas Rian minggu depan akan wisuda.”
“Ya, aku tahu.”
“Datang yuk.”
“Ah, tidak. Hari itu kebetulan ada acara. Sampaikan
saja ucapan selamat aku.”
“Tidak ingin menyampaikannya sendiri?”
“Ya, kalau ada kesempatan untuk bertemu. Sekarang kan
dia sudah berhasil mendapat pekerjaan seperti yang diinginkannya. Mana mungkin
mau ketemuan lagi sama aku?” kata Siswati sambil tersenyum, pahit.
“Ada sesuatu nih?”
“Tidak. Kami baik-baik saja.”
“Apa Mbak mencintai mas Rian?”
“Bukankah cinta harus banyak pertimbangan? Mas Rian
terlalu tinggi untuk aku, kalaupun cinta itu ada, aku harus menempatkannya di
tempat yang semestinya.”
“Tempat semestinya itu di mana?”
“Di dasar hati,” lalu Siswati terkekeh kecil. Tapi Nurani
melihat tawa itu bukan karena sesuatu yang lucu. Dia merasa bahwa Rian terlalu
tinggi? Itu kan kebalik. Bukannya mas Rian yang merasa tak pantas? Kata batin Nurani.
“Ayo diminum dulu jus nya, dan dimakan cemilannya,”
kata Nurani sambil menghirup minumannya.
“Kalau seandainya mas Rian itu punya kekurangan,
apakah Mbak mau menerimanya?”
“Lho, itu pertanyaan aneh. Kami sudah putus. Mas Rian
yang memutuskannya," kata Siswati.
“Misalnya belum, pasti ada jawabannya dong," kata Nurani.
“Mbak tahu kan, mas Rian itu bukan saudara kandung
aku?” lanjutnya.
“Ya, mas Rian sudah mengatakan semuanya.”
“Saya ingin mengatakan sesuatu. Mas Rian memutuskan
hubungan karena merasa bahwa dirinya tak pantas untuk Mbak Siswati.
“Kok gitu?”
“Pikirkanlah. Kalau mas Rian punya kekurangan, apakah
Mbak masih mau menerimanya? Kalau cinta memerlukan pertimbangan, maka apakah
sebuah cacat bisa menghapus cinta itu?”
***
Mereka berpisah dengan meninggalkan teka-teki yang
membuat Siswati bingung. Ia penasaran akan apa yang dikatakan Nurani. Tapi Nurani
membiarkannya. Kalau Siswati peduli, pasti dia akan menemui Rian dan menanyakannya.
Nurani memasuki rumah, dan ternyata rumahnya tidak
terkunci. Rupanya bu Candra sudah sampai di rumah terlebih dulu.
Nurani langsung ke arah dapur untuk meletakkan
belanjaan, dan betapa terkejutnya ia melihat Pusy sedang duduk menatap tajam
ibu tirinya, yang membawa pukulan dan siap mengayunkannya ke arah si Pusy. Pusy
diam tak bergerak, rupanya dia terluka.
“Jangaaan!!” Nurani berteriak.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien 🙏🙏
💐🦋💐 Alhamdulillah KBE 28 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai 🙏🦋🌻
ReplyDeleteAlhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 28 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah. Terimakasih bu Tien.
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat selalu Bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien
🙏🙏
Alhamdulillah....
ReplyDeleteSuwun ubu 🙏
Alhamdulillah KBE 28 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien KBE_28 sing ditunggu-tunggu sampun tayang..... Salam sehat dan tetap ADUHAI.
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~28 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulilah...
ReplyDeleteTks bunda Tien.. Nurani sdh tayang..
Semoga bunda sehat dan berbahagia selalu..
Aamiin.. 🙏🙏🙏🌹🌹
Alhamdulillaah dah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteMasyaallah... maturnuwun buTien, mugi berkah nggih.
ReplyDeleteAduuuh ada pusy.. knp terluka?
ReplyDeleteapkh dipukul sama ibu tirinya Nurani??
knp tdk lari yaa?? ..
kasian si empus pusy...
Terima kasih bu tien, salsm sehat
ReplyDeleteWaduh knp Bu Chandra kok nyakitin Pusy kshn deh
ReplyDeleteRupanya udah di kerjain ma Pusy rasain loh
Makanya jgn main2 ma Nurani di pikirnya ga ada yg jagain
Wow jgn salah yah Nurani ttp aman Krn ada yg dampingi
Wah makin seru nih
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien .
Semoga kita semua selalu sehat Aamiin🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah .. Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat 🤗🥰
Jangaaan ,,knp lg tuh pusy nya
Wah nunggu besok lg ya 🤣🤭
Terimakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan tetap aduhai
Mulailah Nurani mencairkan masalah Rian dengan Siswati. Mungkin nanti dibantu Andre...
ReplyDeleteKalau kucing berwarna emas itu disakiti, bisa jadi 'pembalasannya' berlipat ganda.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Trims Bu tien
ReplyDeleteHallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto,
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti,
Alhamdulillah..
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien..
Salam sehat selalu...
Alhandulillah
ReplyDeleteLo pusy kok gak melawan
Terima kasih bu Tien
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah..Matursuwun Bu Tien..
ReplyDeleteSalam sehat selalu...
Alhamdulillah KBE 28 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Kaya nambah power ya, carané kalau battery barusan di cas, lha iya tho dendang kebencian itu mengalun lagi setelah mengunjungi putri kesayangannya yang sangat diperhatikan,diharapkan, di domo², apatuh domo aku tau demo, berulang lagi: berarti berjilid jilit sama ya. Enggak itu semacam semangat berharap, cenderung disanjung kaya gitulah kira kira. Kebanyakan anastesi jadi aditive ya, halah kamu; aku malah nggak mudeng. Itu yang tahu apoteker, kamu itu cuma ngetheker mbaca aja masih crigis lagi.
ReplyDeleteTapikan ada juga modo kan, bukan; itu mådå lha kalau mådå itu mirip mabok lah, hèh tèlèrlaria ya, kekunci kali, ngrembug apa kamu itu.
Itu lho Amirah habis menjenguk putri kesayangannya ditahanan pulang² melihat pussy kepingin membunuh itu kucing, memory nya kekunci bagaimana si kucing yang membuat muka Karina jadi bopeng, jadi marah; tuh siap siap mau mukul pussy sudah terayun itu alat pemukulnya. Terus; nggak tahu, kan Nurani habis pulang dari belanja lanjut mau mendapur, memasak maksud lho, iya lihat biyungnya Karina mau memukul pussy, nah Nurani teriak 'jangan' , belum-belum sudah meninggi mau diamuk itu kucing, dibantai gitu, iya kan yang bikin bopeng itu kucing, pernah nyakar tangan Amirah lagi, cuma ngerti nya gara-gara ini kucing, jadi scenario nya bubar.
Sebuah rencana kalau dasarnya dengki ya susah terlaksana, lho kan akhirnya cuma cari kemenangan, menang menangan, membanggakan diri. Udah cuma segitu aja; lain nggak urusan. Berantakan donk; ya nggak urusan, wuah itu dia perusak. Yang penting menang. Target ekspektasi, wuah apa lagi tuh, lama lama kaya pembekalan pemenangan; ha ha mulai istilah macêm macêm keluar, mau pemilu bro; ada duwitnya nggak, ini lagi minta bagian.
Tapi Nurani tuh kaya negosiator tuh, yah memang dasarnya adem ya enak aja, ngomong sama sana ngomong sama sini; tujuannya kan bikin adêm, iya deh dari hati ke hati, bagus tuh bekal manager lagian mengupayakan mendapatkan respon dan usulan, semua kalau sudah ngerti, rencana kedepan bisa ambil keputusan.
Kok dakik dakik men, lho masa depan..
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke dua puluh delapan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Nurani langsung ke arah dapur untuk meletakkan belanjaan, dan betapa terkejutnya ia melihat Pusy sedang duduk menatap tajam ibu tirinya, yang membawa pukulan dan siap mengayunkannya ke arah si Pusy. Pusy diam tak bergerak, rupanya dia terluka.
ReplyDeletePusy kok terluka kenapa ya ..???