KEMBANG CANTIKKU 38
(Tien Kumalasari)
Wahyudi dan Barjo menatap ke arah pintu, di mana sang
sekretaris berdiri.
“Siapa?”
“Namanya bu Gatot,” kata sekretaris itu.
Wahyudi dan Barjo saling pandang. Tapi kemudian
Wahyudi mempersilakannya masuk. Mereka heran karena belum pernah melihat wanita
itu sebelumnya. Seorang wanita dengan pakaian bagus, berdandan sangat menyolok,
dengan alis tebal, mata dengan eye shadow yang tak kalah tebalnya, dan bibir
yang merah menyala. Ada gelang berkilauan di kiri dan kanan pergelangan
tangannya dengan gemerlap permata menyilaukan, kalung dengan rantai sebesar ibu
jari tangan melingkar di lehernya yang hampir tidak kelihatan karena tertutup
pipinya yang gembur.
Wanita itu mengangguk hormat.
“Ibu mau ketemu siapa?”
“Saya ingin ketemu pak Wahyudi, benarkah saya
berhadapan dengan Pak Wahyudi?”
“Saya Wahyudi. Apakah kita pernah bertemu?”
“Belum pernah. Perkenalkan, nama saya bu Gatot, dari
Matesih.”
“Matesih?” gumam Wahyudi. Yang dikenalnya di Matesih
adalah bu Lasminah dan kedua putri cantiknya. Siapa gerangan bu Gatot yang
tiba-tiba mencarinya? Mencarikan pekerjaan untuk anaknya? Tampaknya dia orang
kaya, lihat saja cara dia berpakaian dan segenap perhiasan emas yang melingkar-lingkar
di tubuhnya.
“Kedatangan saya kemari adalah ….”
Tiba-tiba ibu itu menelungkupkan kepalanya di meja
kerja Wahyudi, dan menangis terisak-isak di sana. Lagi-lagi Wahyudi dan Barjo
berpandangan dengan perasaan heran.
“Ada apa Bu? Apa yang bisa saya bantu?”
“Saya mohon … saya mohon … tolonglah saya ….”
Bu Gatot mengangkat wajahnya, lalu membuka tas mahal
yang dibawanya, lalu mengeluarkan sebuah amplop tebal, diletakkannya di depan
Wahyudi.
“Ada apa Bu? Ini apa?”
“Tolonglah saya Pak, saya mohon, cabutlah laporan Bapak
atas anak saya, Sartono,” katanya diselingi isak.
“Ooo ,” Wahyudi dan Barjo bergumam hampir bersamaan.
“Ini, uang … sebagai ungkapan terima kasih saya, atas
kebaikan hati Pak Wahyudi.”
Wahyudi mendorong amplop tebal itu ke depan bu Gatot.
Ia menghela napas.
“Yang pertama, saya tidak bisa menerima uang dari Ibu.
Kedua, saya tidak bisa mencabut laporan saya,” katanya tandas.
Wanita itu kembali menjatuhkan kepalanya di meja
sambil memperkeras tangisnya.
“Tolong Bu, jangan menangis di sini, saya minta maaf
kalau tidak bisa memenuhi permintaan Ibu.”
Bu Gatot mengangkat kepalanya, wajahnya basah oleh air
mata, belepotan warna hitam oleh cat alis dan matanya, yang luntur karena air
mata itu. Kalau tidak sedang bersimpati atas duka seorang ibu, pastilah Wahyudi
dan Barjo sudah tertawa geli. Bagaimana
tidak, dandanan yang begitu menor dan menyolok tiba-tiba larut karena banjirnya
air mata, membentuk cemong-cemong yang aneh. Wahyudi meraih selembar tissue yang terletak di mejanya, lalu
diulurkannya kepada wanita yang masih saja mengalirkan air mata. Ia menerima
tissue, lalu mengusap wajahnya. Ia sadar bahwa dandanan wajahnya telah rusak,
ketika melihat tissue pengusap wajahnya tampak berwarna-wani.
“Pak, saya akan menambahnya kalau itu dirasa kurang.
Bahkan bapak yang duduk di samping Pak Wahyudi ini juga akan saya beri, tapi
maaf, saya tidak punya amplop lagi,” katanya sambil membuka tasnya, dan tampak
menghitung-uang dengan tangan masih di dalamnya.
“Tidak Bu, jangan. Saya tidak bisa menerima uang Ibu,
seperti juga Pak Wahyudi ini,” kata Barjo tegas.
“Tapi, saya mohon tolonglah saya. Saya hanya punya
satu orang anak, saya tidak tega melihat dia dipenjara Pak, tolonglah saya,”
dan wanita itu kembali menangis keras.
“Begini Bu, saya bukannya tidak mau menolong Ibu, tapi
apa yang dilakukan putra Ibu itu benar-benar sebuah kesalahan.”
“Maafkanlah dia,” ibu itu menyela.
“Ya, tentu. Saya bisa memaafkannya, tapi proses hukum
sedang berjalan.”
“Tolonglahhh..”
“Bu, sebuah kesalahan harus mendapatkan hukuman.
Anggaplah itu bukan hukuman, tapi pelajaran, demi sebuah kesalahan yang telah
diperbuatnya. Memang benar, ibu punya banyak uang dan bisa melakukan apapun.
Sartono menyadari hal itu, dan dia menganggap bahwa dengan uang, apapun bisa
terjadi. Kesombongan anak Ibu itulah yang harus dihentikan. Dengan uang Ibu, dia
berharap akan bisa terbebas dari jeratan hukum. Tapi tidak Bu. Dia harus
menjalani hukumannya, sebagai pelajaran atas kelakuan buruk dan kesombongannya.”
“Pak Wahyudi, saya akan menambahnya. Apa Bapak mau
saya beri gelang saya ini, barangkali istri Pak Wahyudi akan senang, atau calon
istri? Saya mendengar Pak Wahyudi adalah calon menantu bu Lasminah.”
“Calon istri saya tidak akan mau menerima pemberian
karena suap, dan saya tidak mau menerima uang karena suap juga. Tolong Ibu pulanglah.
Biarlah Sartono menikmati hukumannya, dan berharaplah agar itu menjadikannya
pelajaran dan membuatnya jera.”
“Jadi … Pak Wahyudi tidak mau menolong saya?”
“Saya melakukan ini, supaya anak ibu menjadi orang
yang lebih baik nantinya. Ibu harus mengerti, ini semua demi untuk dia. Ibu
bersabar ya. Dan sekali lagi maaf.” Wahyudi berdiri, lalu membuka pintu ruang
kerjanya, sebagai pertanda bahwa dia meminta si ibu itu segera meninggalkan
ruangannya.
Wanita itu berdiri dengan lesu, melangkah tersaruk tanpa daya.
***
Hari terus berjalan, proses hukum tetap bergulir.
Wahyudi bergeming untuk memikirkannya. Ia berharap dengan hukuman itu, Sartono
dan kawan-kawannya yang ditangkap belakangan segera bisa menyadari kesalahannya,
memperbaiki langkahnya, dan mengerti bahwa harta orang tuanya yang berlimpah
tak akan bisa melepaskannya dari jeratan hukum.
Sekarang saatnya hari bahagia bagi Nano dan Murti.
Rumah sederhana milik bu Lasminah tampak semarak karena banyaknya lampu
gemerlap yang menghiasi area perhelatan itu. Jalanan kampung di sekitar rumah
pun ditutup, seperti kebiasaan di kampung itu, kalau ada yang punya kerja pasti
harus menutup jalan, agar bisa untuk menata kursi tamu undangan yang tak akan
cukup ditampung di dalam rumah.
Wahyudi yang sibuk ikut mengatur di sana-sini, malam
itu sudah berdandan dengan pakaian Jawa. Gagah, dan ganteng. Sebentar-sebentar
Murni yang sudah berdandan cantik mencuri pandang ke arahnya. Memalukan ya?
Tapi hanya mencuri-curi kok, dan kalau nggak ketahuan, pastilah tidak akan
membuatnya malu. Murni berpikir, perjaka tua yang selalu diledeknya ternyata
tidak tampak tua. Ia bahkan seperti pria matang yang bersikap sangat dewasa.
Murni berharap, apabila kelak berada disampingnya, ia akan menemukan sebuah
naungan yang teduh.
“Ehem !” seseorang berdehem di belakangnya. Murni
menoleh, salah seorang teman sekolahnya yang akan ikut mengiringi pengantin
sedang tersenyum penuk arti.
“Dari tadi ngelihatin ke sana terus sih?” ledeknya.
Nah, ini baru ketahuan, dan tentu saja Murni malu. Ia
mencubit lengan temannya, lalu keduanya beranjak dengan cepat ke belakang,
karena acara akan segera dimulai.
Diantara tamu undangan itu tampak pak Kartiko dan
keluarganya, termasuk Wisnu dan Mila putrinya.
“Mana pak Udi?” teriak Mila diantara hiruk pikuk tamu
yang datang.
“Sst, pak Udi sedang sibuk,” kata Wisnu.
“Aku mau pak Udi,” seperti biasa Mila selalu merengek
setiap kali ingin ketemu Wahyudi. Dia sudah tahu kalau pak Udi nya ada di
antara tamu-tamu itu.
Wisnu melongok ke sana-kemari, dan akhirnya melihat
Wahyudi sedang menuju ke arahnya. Mila sangat senang melihat kedatangan
Wahyudi, yang kemudian menggendongnya.
“Maaf saya tidak melihat kedatangan Bapak, Ibu dan Pak
Wisnu.”
“Iya, kami tahu karena kamu pasti sibuk. Mana calon
istri kamu?” tanya pak Kartiko yang sudah diberi tahu bahwa Wahyudi akan
menikahi adik ipar Nano.
“Dia ada di belakang Pak, sebentar, akan saya
panggilkan,” kata Wahyudi sambil melangkah pergi, dengan Mila masih ada dalam
gendongannya.
Ketika kembali, Wahyudi sudah bersama Murni yang
tersipu malu ketika pak Kartiko dan bu Kartiko menggodanya.
“Jadi ini pilihan kamu Yudi? Cantik ..” kata bu Kartiko.
“Iya, cantik. Kapan menyusul?”
Murni hanya tersenyum.
“Doakan saja Pak.”
“Selalu bapak doakan. Aku senang kalian bisa memilih
istri yang cantik-cantik. Semoga cantik juga hatinya.”
“Aamiin.”
Wisnu ikut menyalami Murni, lalu ada sendu yang tiba-tiba menyeruak, teringat akan kegagalannya dalam berumah tangga. Memang benar, istri harus cantik hatinya, bukan hanya wajahnya. Wisnu mengendapkan rasa pilu hatinya. Ia tak ingin mengingatnya lagi. Ia belum berharap akan menikah lagi.
***
Namun penyesalan itu bukan hanya berkecamuk dalam hati
Wisnu. Pak Kartiko pun merasakan ke piluan yang sama. Beberapa tahun lalu, dia
yang menjodohkan Wisnu dan Aqila, karena ayah Qila adalah sahabatnya. Ia merasa
kasihan ketika kedua orang tua Qila meninggal, lalu mengambilnya menjadi
menantu. Siapa sangka, ternyata Qila hanya menyukai harta suaminya, bukan
mencintainya. Kelakuannya yang buruk menyebabkan keduanya harus berpisah,
karena Wisnu tak ingin memperpanjang penyesalannya.
“Pak, kok belum tidur?” kata bu Kartiko ketika melihat
suaminya masih duduk di sofa setelah pulang dari menghadiri pernikahan Nano.
“Kok aku belum ngantuk ya,” jawab pak Kartiko sambil
menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.
“Bapak seperti sedang memikirkan sesuatu.”
“Tiba-tiba aku menyesal bu, dulu menikahkan Wisnu dengan
Qila.”
“Ibu juga menyesal Pak, dulu kan ibu yang
membujuk-bujuk Qila supaya mau menjadi menantu kita.”
“Masalahnya waktu itu kan kita hanya kasihan setelah
dia yatim piatu, sedangkan ayahnya kan sahabatku sejak masih sekolah dulu.”
“Benar sekali. Karena kasihan. Tidak tahunya dia bukan
wanita yang baik.”
“Wisnu seperti terpukul tadi. Melihat pengantin, jadi
teringat nasib pernikahannya.”
“Ya sudah Pak, kita tidak perlu menyesalinya. Kita
serahkan saja semuanya kepada Yang Maha Kuasa, dan berharap agar Wisnu bisa
menemukan pengganti istrinya yang tidak setia.”
“Ibu pernah melihat sekretaris baru itu?”
“Lasmi? Pernah, ketika Bapak mengajak ibu ke kantor waktu
itu.”
“Dia cantik kan?”
“Kata Wisnu, dia pintar dan cekatan.”
“Apa dia sudah punya suami?”
“Sepertinya belum. Mengapa Bapak menanyakannya?”
Pak Kartiko tersenyum.
“Barangkali Wisnu tertarik untuk mengambilnya sebagai
istri.”
“Ah, Bapak ada-ada saja. Mengenai masalah Wisnu, Bapak
tidak usah memikirkannya. Ibu kok tidak melihat bahwa Wisnu tertarik pada
sekretarisnya. Nanti kalau kita yang memilih, kemudian ternyata tidak seperti
yang kita harapkan, nanti Bapak menyesal lagi.”
“Iya juga sih Bu.”
“Ya sudah, sekarang sudah malam, lebih baik Bapak
segera tidur.”
“Tapi besok aku akan menanyakannya pada Wisnu tentang
sekretarisnya itu.”
“Ah, Bapak.”
***
Bu Lasminah tinggal berdua dengan Murni, karena Nano
sudah memboyong Murti ke kota, dan mereka kemudian tinggal di kediaman keluarga
Kartiko, seperti pak Kertiko dan istri menginginkannya.
Tapi Murti yang tahu diri, setelah memasak untuk
suaminya, ia segera membantu simbok di dapur. Berkali-kali bu Kartiko
melarangnya, tapi Murti tetap melakukannya.
“Tidak apa-apa Bu, saya kan sudah selesai. Daripada
bengong, lebih baik membantu di dapur, sambil belajar memasak juga.”
“Iya Murti, simbok itu sangat pintar memasak, dan
masakannya enak. Kalau perlu kamu tidaK usah memasak sendiri, nanti ambil lauk
dari sini saja.”
“Iya Bu, terima kasih banyak. Tapi kan saya bilang
tadi bahwa saya ingin belajar memasak sama simbok, jadi saya juga harus mempraktekkannya
bukan?”
“Ternyata Nano pinter sekali memilih istri. Sudah
cantik, rajin pula. Ya sudah, terserah kamu saja, yang penting jangan sampai
kecapekan. Nanti kalau terlalu capek, kamu tidak segera hamil lho,” goda bu
Kartiko.
Murti tersipu.
“Ibu bisa saja.”
“Itu benar, Murti. Pastinya kan kamu ingin segera
punya anak? Jadi jangan terlalu capek.”
“Iya Bu, cuma memasak saja, mana bisa capek? Di rumah,
saya dan Murni selalu memasak sendiri. Tapi ya masakan orang desa Bu.”
“Lho, masakan orang desa itu apa? Saya tahu semua
masakan orang desa, dan sudah menjadi santapan orang kota lho. Misalnya sayur
lodeh, sayur oseng daun pepaya, sayur gulai bonggol pisang juga ada lho, terus …
apa lagi tuh, sayur bobor daun ketela. Ah, masakan desa itu justru enak,
sekali-sekali suruh simbok masak sayur bobor. Lauknya rempeyek teri, sama
sambal terasi. Wah. Besok, ikutlah simbok belanja ke pasar, suruh dia masak
sayur bobor.”
“Baiklah Bu, saya juga belum pernah ke pasar, setiap
hari belanja di warung situ saja.”
“Mbok, besok suruh Nano mengantar kamu belanja, ajak
istri Nano, aku ingin masak sayur bobor,” perintahnya kepada simbok.
***
Murti belum pernah belanja ke sebuah supermarket. Ia
heran dengan lengkapnya bahan sayur dan bumbu yang berjajar dalam sebuah area
perbelanjaan. Tapi Murti terkejut melihat harganya.
“Ya ampun, ini mahal sekali,” celetuknya berkali-kali.
Simbok hanya tersenyum.
“Jangan bandingkan harga sayuran di pasar tradisional.
Jauuuh sekali bedanya, tapi di sini barang-barangnya bagus.”
“Di pasar juga kalau kita datang pagi-pagi, pasti
barangnya bagus.”
“Orang kaya mana mau belanja di sana. Di sini bukan
hanya sayuran yang ada. Pakaian, sepatu, tas, bahkan rumah makan juga ada di
satu tempat ini.”
“Iya. Jadi sekalian belanja macam-macam ya Mbok.”
Mereka melanjutkan memilih sayuran, sedangkan Nano
hanya mengikuti di belakangnya sambil mendorong troli. Ia hanya tersenyum
melihat istrinya heran dengan apa yang baru saja ditemuinya.
Ketika sedang memilih itu tiba-tiba seorang wanita
menabraknya, dan Murti hampir saja terjatuh. Bukannya minta maaf, wanita itu
malah memukulkan tas tangan yang dibawanya ke arah Murti.
***
Besok lagi ya.
Hoorreee....
ReplyDeleteSelamat jeng Nani ora mbleset maneh .. juara 1
Delete🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩
ReplyDeleteAlhamdulillah dihari ketiga bulan Agustus, kita masih diberikan kesehatan yang prima.
Terima kasih bu Tien, KaCe_38 sdh tayang.
Semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat.
Salam merah putih
🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩
Alhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah, maturnuwun bunda
ReplyDeleteMtrnwn bu Tien
ReplyDeleteHoreeeee
ReplyDeleteAlhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 38 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah KC~38 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteYess.. Tks bunda Tienku..
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteLumayan,
ReplyDeleteAlhamdulillah...suwun ibu
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Sllu juara.....👍👍👍. Terima ksh mbu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah..nuhun bu Tien ..sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah berkunjung.
ReplyDeleteSiapa lagi ini, menabrak malah marah. Jawabannya besuk lagi ya..
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Wanita yg nabrak Murti pasti Aqila nih mau cari gara2 apa lagi.Besok lagi bikin penasaran nih mbak Tien.
ReplyDeleteSalam Aduhai mbak Tien.
Alhamdulillah KC38 sudah tayang.. matur nuwun mbak Tien, salam sehat dan bahagia bersama keluarga🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayamg KC episode 38
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien cerbungnya Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat walafiat bersama keluarga tercinta aamiin
Ketika sedang memilih itu tiba-tiba seorang wanita menabraknya, dan Murti hampir saja terjatuh. Bukannya minta maaf, wanita itu malah memukulkan tas tangan yang dibawanya ke arah Murti.
ReplyDeleteWah ...... jangan² yang biyayakan kuwi Qila.
Kok ana ya,..ya....menungsa sing salah kaprah.,.... salah urus,..
Bu Tien gitu loh...... Manusia yang bagaimanapun bisa tampil disini.
Bu Tien dulu juga suka "gelut" ya'e, buktinya bisa mengekspresikan bgmn Yudi dikroyok 3 orang malam itu ....
Laannnjoooot bunda.
Selamat malam bunda dan selamat beristirahat.
Rahayu,..rahayu,..rahayu.
Matur nuwun bunda Tien..🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah Kembang Cantik Eps 38 sudah hadir. Terima kasih banyak but Tien Kumalasari. Salam sehat dan salam hangat dari Karang Tengah, Tangerang.
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteMatur nuwun , bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina,
Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....
Makasih mba Tien
ReplyDeleteTerima ksih KC nya bunda Tien..slmt mlm🙏😍
ReplyDelete