KEMBANG CANTIKKU 37
(Tien Kumalasari)
Wahyudi menghentikan motornya. Kantuknya hilang
seketika. Ia teringat ketika Harso melakukan kejahatan dengan mencelakainya.
Tiga orang dihadapannya tak tampak wajahnya, tapi gerakan tangan dan tubuhnya
tidak menunjukkan iktikat baik. Karena itu Wahyudi bersiap untuk menghadapi
segala kemungkinan. Yang jelas, mereka butuh perlawanan. Walau satu lawan tiga,
Wahyudi tak sudi menyerah. Dia adalah laki-laki sejati, ia akan melawan
siapapun yang menentangnya, termasuk yang menghadang di hadapannya, entah dengan
maksud apa. Wahyudi tak membawa banyak uang, tapi ada surat-surat berharga
didalam dompetnya.
Ia berdiri tegak, menunggu apa yang akan mereka
lakukan.
“Hanya seorang laki-laki yang kelelahan, biar aku
sendiri menghabisinya. Kalian boleh maju kalau aku membutuhkan bantuan,” kata
seseorang, yang kemudian Wahyudi mengingat-ingat, seperti pernah mengenal suara
itu. Tapi ingatan itu belum tersampai di otaknya ketika tiba-tiba laki-laki
yang bersuara itu maju kedepan dan melayangkan sebuah pukulan. Wahyudi sudah
siaga menghadapi, karenanya ia berhasil mengelak, pukulan itu luput, dan
membuat si penyerang terhuyung kedepan. Wahyudi mempergunakan kesempatan itu
untuk menendang dari arah samping,
tepat mengenai pinggangnya. Si penyerang terguling ke arah samping. Tapi tanpa
di duga salah seorang temannya maju ke depan, ketika melihat Wahyudi akan
melanjutkan serangannya.
Kesempatan itu dipergunakan penyerang pertama untuk
bangkit, lalu mencabut sebilah belati yang semula diselipkan di pinggangnya.
Wahyudi berdiri waspada, karena ia harus menghadapi dua orang yang tampaknya
sangat ganas dan kejam. Belum lagi kalau salah seorang temannya yang belum
melakukan apa-apa di pinggir sana, ikut menyerangnya.
Pertarungan tak seimbang itu membuat beberapa kali
Wahyudi melompat mundur, untuk menghindari serangan belati yang mengarah ke
dadanya.
“Apa sebenarnya mau kalian?” teriak Wahyudi pada
akhirnya dengan napas tersengal.
“Merampok?” lanjutnya sambil memiringkan tubuhnya
ketika penyerang pertama kembali menyerangnya.
“Aku mau nyawamu!” teriak penyerang ke dua.
Wahyudi merasa tak mempunyai musuh. Ia berdamai dengan
siapapun, ia selalu memaafkan setiap kesalahan yang ditujukan kepadanya. Masih juga ada
yang mengincar nyawanya?
Dalam keadaan berpikir itu, tiba-tiba sebuah serangan
menyentaknya, dan sebuah irisan tipis menggores lengannya.
Wahyudi melompat ke samping, darah mulai membasahi
bajunya. Namun tiba-tiba sebuah sinar lampu sepeda motor mendekat, dan
seseorang turun dari atas kendaraannya.
Salah seorang yang semula berdiri diam kemudian maju
ke depan, karena yakin bahwa yang datang akan membantu korbannya.
“Pak Yudi? Siapa mereka?”
Laki-laki yang datang adalah Barjo, salah seorang
stafnya, yang entah bagaimana, bisa sampai ke tempat itu. Barjo bertubuh
tinggi tegap. Ia melihat ada darah di
lengan atasannya. Kemarahannya memuncak. Tanpa aba-apa ia menyerang si pembawa
belati, yang karena tak menduga datangnya serangan, kemudian ia terhuyung
kebelakang dan belati yang digenggamnya terlempar. Barjo mengejarnya. Salah
seorang yang ingin memukul Barjo dari belakang, mendapat perlawanan dari
Wahyudi, sehingga ia mengurungkan serangannya.
Satu orang yang ingin membantunya, terkejut ketika
mendengar teriakan penyerang pertama. Ternyata Barjo berhasil meringkusnya,
menelikung kedua tangannya membuatnya tak bisa bergerak.
“Menyerah, atau aku habisi temanmu ini?” ancam Barjo.
Tak disangka, dua orang temannya kemudian lari,
mengambil salah satu sepeda motornya dan kabur.
Barjo dan Wahyudi membiarkannya, laki-laki yang
ditelikung tangannya masih mengaduh-aduh kesakitan.
Wahyudi membuka topeng kain hitam yang menutupi wajahnya,
dan betapa terkejutnya ketika melihat wajah itu, yang ternyata adalah Sartono.
“Kamu ?”
“Tolong lepaskan.”
“Orang jahat. Permintaan maaf yang palsu, dasar
penjahat. Laporkan polisi saja.”
***
Wahyudi dan Barjo keluar dari kantor polisi setelah
selesai memberikan keterangan. Tapi Wahyudi masih belum mengerti, mengapa Barjo
bisa berada ditempat itu, sementara arah rumah Barjo berlawanan dengan
rumahnya.
“Saya ingin mengantarkan ini Pak,” kata Barjo sambil
menyerahkan sebuah ponsel.
“Ini? Ponsel saya?”
“Ponsel Bapak ketinggalan di meja satpam ketika Bapak
berpesan sesuatu pada satpam. Saya kebetulan pulang beberapa menit setelah
Bapak, dan satpam mengatakan bahwa ponsel Bapak ketinggalan.”
“Ya ampun, iya. Saya lupa membawa ponsel saya.”
“Saya mengejar Bapak, dan heran ketika Bapak berbelok
ke arah kiri, dan Bapak mengendarai sepeda motor sangat kencang. Saya terus
mengikutinya walau tertinggal jauh.”
“Dan karena itulah Pak Barjo bisa menolong saya.”
“Entahlah, ada yang menuntun saya untuk terus mengejar
Bapak, tak tahunya Bapak berada dalam bahaya.”
“Terima kasih telah menyelamatkan saya,” kata Wahyudi.
“Bapak perlu ke rumah sakit? Lengan Bapak berdarah.”
“Tidak apa-apa, hanya luka ringan. Tadi sudah diobati
di kantor polisi.”
“Baiklah, saya antar Bapak pulang saja.”
“Tidak usah, ini sudah malam, dan Pak Barjo harus
segera beristirahat bukan?”
“Tidak apa-apa, pulang sendiri?”
“Tidak, rumah saya sudah dekat. Sekali lagi terima
kasih.”
“Sama-sama Pak. Hati-hati di jalan.”
***
Kejadian bahwa Sartono ditangkap polisi sudah tersebar
di seluruh desa. Tapi Murti dan Murni tidak tahu secara jelas apa yang terjadi.
Katanya, Sartono dan teman-temannya terlibat dalam peristiwa pengeroyokan.
Baru ketika Wahyudi datang dan menceritakan kejadian
itu, mereka mengerti bahwa Sartono berusaha mencelakai Wahyudi.
“Aku kira dia benar-benar menyesal saat menemui ibu
itu,” kata Murni.
“Orang seperti dia itu sombongnya bukan main. Biasanya
orang sombong itu enggan mengeluarkan kata ‘minta maaf’. Aku heran ketika dia
datang kemari dan menyatakan menyesal. Ternyata dia masih dendam sama mas
Wahyudi,” sambung Murti.
“Namanya manusia kan bermacam-macam. Ada yang pemaaf,
ada yang enggan minta maaf, ada yang mudah melupakan kebenciannya kepada
seseorang, tapi ada yang dendam sampai tega berbuat kejam.”
“Untunglah mas Wahyudi tidak kenapa-kenapa.”
“Hanya luka gores sedikit, nih, sudah mengering,” kata
Wahyudi sambil menunjukkan bekas lukanya.”
“Ya ampun Mas, entah bagaimana kalau terjadi apa-apa
sama mas Yudi,” kata Murni sambil menutup mulutnya.
“Bagaimana kalau aku sampai celaka?” pancing Wahyudi.
“Jangan ngomong yang enggak-enggak Mas, nggak baik
itu.”
“Hanya seandainya kok. Pasti kamu senang dong, nggak
ada yang ngegangguin?”
“Nggak ah, jangan sampai hal itu terjadi.”
“Iya, Mas Wahyudi nggak boleh berandai-andai tentang
sesuatu yang buruk. Kita harus bersyukur, tidak terjadi apa-apa pada mas Yudi,”
timpal Murti.
“Iya benar.”
“Tentu, aku harus bersyukur karena Allah melindungi
aku dari kejahatan seseorang. Sudah dua kali aku dicelakakan, dan aku
masih berada dalam lindunganNya,” kata Wahyudi.
“Orang baik akan selalu terlindungi,” kata Murni.
“Haa, ternyata aku baik menurutmu, bukan?”
“Kalau Mas tidak baik, mana aku mau dekat-dekat sama
Mas. Padahal Mas kan sudah jauh lebih tua dari aku,” kata Murni sambil
tersenyum.
“Yaaah, masalah ‘tua’ lagi?”
“Ya nggak apa-apa, kan Mas memang sudah tua?”
Wahyudi pura-pura merengut, tapi Murni terkekeh
melihatnya.
“Mas lucu deh kalau lagi merengut.”
“Jelek ya?” kata Wahyudi.
“Nggak sih.”
“Tetap ganteng berarti.”
“Idiiih, siapa bilang ganteng?” kata Murni walau dalam
hati mengakuinya.
“Lha kalau nggak jelek berarti ganteng kan?”
Wahyudi terkekeh senang. Setiap menghadapi Murni dia
selalu teringat Wuri. Murni ini mirip sekali Wuri. Suka mengejak bahwa dia tua,
cerewet dan selalu tidak mau kalah dalam berdebat, walau hanya dalam gurauan.
Itu sebabnya Wahyudi begitu bersemangat mendekati Murni, yang dianggapnya akan
selalu bisa membuatnya bahagia. Ia ingat ketika dirinya limbung saat putus dari
Retno. Ia hampir putus asa, tapi Wuri selalu membangkitkan semangatnya.
Seandainya Wuri tidak mencintai Budi, maka akan begitu mudah bagi Wahyudi untuk
jatuh cinta padanya. Tapi ternyata rasa cinta itu adalah cinta kepada adiknya
sendiri, karena kalau benar-benar cinta, maka pasti hatinya akan terluka ketika
menyadari bahwa Wuri mencintai pria lain.
“Kok ngelamun sih Mas?” tanya Murti.
“Mas marah ya, aku bilang tua?”
“Tidak, mengapa harus marah, aku kan memang sudah tua?”
“Nggak apa-apa tua. Tua itu bukan halangan untuk
bersahabat,” tiba-tiba bu Lasminah keluar sambil membawa sepiring makanan.
“Wah, rupanya Ibu mendengarkan pembicaraan kami,” kata
Wahyudi.
“Kebetulan saja mendengar, ketika mau keluar
menghidangkan ini. Nak Yudi ini sudah cukup umur, bukan terlalu tua, dan Murni
ini terkadang masih kekanak-kanakan. Kalau menurut ibu, sebaiknya memang Murni
berjodoh dengan pria yang jauh lebih tua, supaya bisa berpikiran lebih dewasa.”
“Nah, ternyata Ibu sudah tahu maksudku,” celetuk
Wahyudi yang kemudian mengambil makanan terbungkus daun pisang yang terhidang
di meja.
“Nak Marno sudah mengatakan sama ibu, bahwa nak Wahyudi
ingin mempersunting Murni,” kata bu Lasminah terus terang.
Murni menundukkan wajahnya. Malu.
“Itu benar Nak?”
“Benar Bu, hanya saya belum berani mengatakannya pada
Ibu sekarang, karena Ibu masih sibuk mempersiapkan pernikahan Murti dan Nano.”
“Kalau memang Nak Yudi benar-benar bisa mencintai dan
menjaga Murni, saya akan senang menerimanya.”
“Benarkah?” mata Wahyudi berbinar, lalu melirik ke
arah Murni yang masih saja menundukkan wajahnya, mempermainkan kuku-kuku jari
tangannya.
“Saya berjanji akan mencintai dan menjaga Murni.”
“Ya sudah, nanti kita bicara lagi, sekarang habiskan
makanannya.”
“Ini namanya apa Bu?”
“Itu namanya UTRI. Dibuat dari parutan ketela pohon
dan kelapa serta gula jawa, kemudian dibungkus daun pisang lalu dikukus.”
“Enak,” kata Wahyudi setelah menggigit utrinya.
“Makanan orang desa, Nak.”
“Makanan ini tidak akan membuat bosan, legit dan enak,
saya suka Bu.”
“Syukurlah Nak, sekarang lanjutkan berbincang, ibu mau
ke belakang lagi.”
***
“Budi, bapak ingin tahu, mengapa kamu memilih
membangun rumah mertua kamu, dan bukan membenahi rumah kamu sendiri yang sudah
bapak persiapkan sejak lama?” tanya pak Siswanto ketika Budi ke rumahnya.
“Budi bermaksud membesarkan warungnya bu Mantri Pak,
supaya lebih menarik sehingga lebih banyak di datangi pelanggan.”
“Bukankah dia bisa membuka warung di rumah kamu sana?
Tempatnya lebih strategis karena di dekat jalan besar?”
“Barangkali nanti Pak, siapa tahu bu Mantri ingin membuka
cabang, nanti Budi persiapkan di rumah Budi sana, supaya Wuri juga punya
kesibukan. Tapi saat ini biarlah memperbesar yang sudah ada dulu.”
“Kamu tidak suka, rumah yang bapak persiapkan untuk kamu?”
tanya pak Siswanto kecewa.
“Bukan Pak. Bapak jangan kecewa, Budi akan tetap
menempatinya, barangkali Budi juga akan sering tidur disana, kadang-kadang di
rumah mertua. Supaya bu Mantri terbiasa berpisah dengan anaknya.”
“Namanya anak yang sudah dewasa, pastilah nantinya
juga akan ikut suaminya.”
“Bapak benar, tapi bu Mantri kan sendirian, nanti
pelan-pelan dia akan terbiasa tanpa Wuri. Sekarang biarlah dia senang karena
akan mengelola warungnya yang akan Budi perbesar ruangannya, dan mungkin akan
ada pembantu yang akan menemani dan membantunya juga. Kalau sudah terbiasa,
pasti dengan mudah dia bisa melepaskan anaknya. Bapak harus mengerti, karena
dia kan sendiri.”
“Seperti ibunya Retno itu, dia juga sendiri kan?”
“Ibunya mbak Retno punya pembantu dalam mengelola
toko sembakonya kan Pak, dan mbak Retno sudah lebih dulu berada di sini waktu
itu. Pokoknya Bapak jangan khawatir, rumah pemberian Bapak pasti akan Budi
tempati. Sekarang juga Budi sudah mengisinya dengan perabot, sehingga setiap
saat Budi dan Wuri bisa tidur di sana,” kata Budi menghibur hati ayahnya yang
agak kecewa ketika dia memilih tinggal bersama mertuanya.
“Ya sudah, terserah kamu saja. Yang penting bapak
sudah mempersiapkan semuanya untuk anak-anak bapak, jangan sampai tidak
berguna.”
“Berguna dong Pak, mengapa Bapak berkata begitu. Rumah
itu sudah mulai Budi isi dengan perabot, kapan-kapan Bapak bisa melihatnya,”
kata Budi sambil merangkul ayahnya.
“Ya … ya, bapak hanya ingin kalian hidup tenang dan
bahagia,” kata pak Siswanto sambil menepuk-nepuk bahu anak bungsunya.
***
Hari itu Wahyudi sedang berbincang dengan Barjo
tentang banyak hal mengenai perusahaannya. Wahyudi akan
cuti selama dua hari, bersamaan dengan menikahnya Nano dan Murti.
“Baik Pak, saya sudah mengerti. Semuanya akan saya urus dengan sebaik-baiknya.
Bapak kan harus fokus pada pernikahan itu, karena ada gadis yang akan segera
Bapak nikahi juga kan?” kata Barjo yang sudah mengerti tentang gadis yang
dicintainya, dan menyebabkan dia hampir celaka dikeroyok oleh pesaingnya.
“Doakan saya ya Pak.”
“Tentu. Paling tidak setahun lagi Bapak akan menikah
juga.”
“Kenapa pak Barjo yakin kalau setahun lagi?”
“Orang jawa tidak akan menikahkan anaknya dua kali
dalam setahun. Harus berganti tahun baru mau melaksanakannya lagi.”
“Oh, begitu ya.”
“Iya dong Pak, Bapak masih harus bersabar setahun
lagi.”
Keduanya sedang tertawa-tawa karena Barjo sedang
menggoda Wahyudi, ketika tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Sekretaris
mengatakan bahwa ada seorang wanita ingin menemui Wahyudi.
***
Besok lagi ya.
Yess
ReplyDeleteAkhirnya bisa juga...hihi. maturnuwun mbak Tien
DeleteMb Iyeng juara 1
DeleteSelamat jeng Iyeng Juara 1
DeleteAkhirnya....pada episode 37 baru bisa mbalap 😆
DeleteTerimakasih bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah berkunjung.
ReplyDeleteTernyata Sartono di-k.o dan dibawa ke kantor polisi.
DeleteSiapa ya yang datang untuk menemui Wahyudi... besuk lagi ya....
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdullilah..KC 37 sdh tayang..terima kasih bundaTien..slmt mom dan slmt strhat..🙏🥰🌹
ReplyDeleteSugeng dalu, sembah nuwun mbakyu. Salam taklim katur mas Tom Widayat
ReplyDeleteSalam kembali dari mas Tom
DeleteYess,,,,,,
ReplyDeleteAlhamdulillah KaCe_37 sdh ditayangkan. Matur nuwun Tien,
Sugeng dalu, salam SEROJA dan tetap ADUHAI.
Alhamdulillah... Cerbungnya sdh datang...
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien.. Semoga sehat selalu..
Aduh wahyudi ngantuk lagi semoga gpp..Aduh bu Tien ehhh...nuhun buat sport jantung
ReplyDeleteAlhamdulillah.... maturnuwun bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien..
ReplyDeleteAlhamdulilah..Wahyudi sdh datang.
Semoga bunda sehat selalu..
Salam aduhai dari Sukabumi
Matur nuwun bunda Tien..KC 37 sudah tayang 🙏🙏
ReplyDeleteLooo aku ketinggalan
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteWahyudi sdh hadir
Matur nuwun bu Tien
Soga sehat selalu
Alhamdulillah KC37 sdh tayang. Matur nuwun mbak Tien, salam sehat dan bahagia selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah KC 37 sudah hadir , terimakasih bunda Tien ,semoga sehat selalu
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteMakasih bunda tayangannya
ReplyDeleteWaaah ada seorang wanita dtg ke kntor Wahyudi...
ReplyDeleteSiapa ya???
Jangan" qila tua nyusul lg..
Tunggu bsk aah.. Apa kt bunda Tien..
Tks bunda..
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemakin seru nih mba.
Salam sehat selalu dan aduhai
Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 37 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU~37 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteKeduanya sedang tertawa-tawa karena Barjo sedang menggoda Wahyudi, ketika tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Sekretaris mengatakan bahwa ada seorang wanita ingin menemui Wahyudi.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteQila datang lagi?...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah sudah tayamg KC episode 37
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien cerbungnya Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat walafiat bersama keluarga tercinta aamiin
Trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, Kembang Cantikku Eps 37 sudah tayang. Terima kasih bu Tien Kumalasari. Semoga kita tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal 'Alamiin.
ReplyDeleteAlhamdulillah, Kembang Cantikku Eps 37 sudah tayang. Terima kasih bu Tien Kumalasari. Semoga kita tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal 'Alamiin....
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tienku
ReplyDeleteSenangnya Wahyudi sdh diterima kel Murni,,,,😊
Salam sehat wal'afiat bu Tienku sekeluarga 🤗🥰🌸
Wednesday tayang nopo mboten?
ReplyDelete