Tuesday, April 21, 2020

KEMBANG TITIPAN 04

KEMBANG TITIPAAN  04

(Tien Kumalasari)

mBah Kliwon tak bisa menjawab. Matanya memancarkan kemarahan. Bukan karena penolakan Darmin atas lamaran yang diutarakannya, tapi atas sikap menantunya yang tak menaruh hormat.

mBah Kliwon merasa dadanya sesak. Lalu nafasnya terengah-engah. Sri yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan itu dari balik pintu, melongok keluar, dan melihat wajah simbahnya pucat dan nafasnya terengah-engah. Si Sri mengambil air yang ada diatas meja, dituangkan kedalam gelas, lalu tergopoh menghampiri simbahnya.

"mBah, minum dulu mbah.."

mBah Kliwon minum seteguk air lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Nafasnya masih terengah-engah. Si Sri menatap bapaknya penuh kebencian.

Melihat keadaan mertuanya, Darmin mengendorkan suaranya.

"Pak, Si Sri itu anakku, biar aku yang mengurusnya. Bapak itu sudah tua, jangan banyak pikiran."

"Ya sudah, simbah mau pulang dulu Sri," kata mbah Kliwon yang kemudian berdiri.

"Saya antar pulang mbah," kata si Sri sambil menggandeng  lengan simbahnya.

Darmin memelototi anaknya, ingin melarang, tapi si Sri tak perduli, ia terus menggandeng mbah Kliwon keluar dari rumah.

"Sudah Sri, nanti kamu dimarahin bapakmu," kata mbah Kliwon masih dengan nafas tersengal.

"Biar saja bapak marah mbah. Si Sri tidak takut." 

"Heran.... dia nggak bisa diajak bicara.."

"Sri sudah menduganya mbah.. sabar ya mbah, dan jangan difikirkan. Nanti biar si Sri sendiri yang bicara, tak perduli bapak akan marah."

"Kasihan sekali hidupmu ini nduk, anak baik, dilahirkan di keluarga kasar seperti itu."

"Tidak apa-apa mbah. Sudah jangan difikirkan. Nanti sampai rumah, Sri akan membuatkan wedang jahe buat simbah."

"O alah nduk.. nduk.. semoga nanti kamu bisa mendapatkan hidup enak, bahagia, mulia, dunia dan akhirat ya nduk."

"Aamiin, mbah..

Mereka sudah sampai dirumah Lastri. Memang sejak Lastri kembali kekota, mbah Kliwon diminta untuk tinggal saja dirumah itu, daripada kosong.

Si Sri menuntun mbah  Kliwon kekamarnya.

"Simbah berbaring saja dulu, Sri akan membuat wedang jahe, dikasih sereh sama daun jeruk ya mbah?"

mBah Kliwon mengangguk angguk.  

Mata tuanya menyipit, berusaha menahan air mata yang mengambang disana. Mata tua yang penuh dengan derita, tapi selalu diterimanya dengan pasrah. 

"Aku boleh menderita, tapi janganlah cucuku juga merasakan derita yang begitu berat, ya Allah ya Tuhanku.. berilah kebahagiaan pada hidupnya, entaskanlah dari kehidupan yang membuatnya tersiksa.."

Tak urung air mata itu runtuh. mengaliri pipi yang mulai keriput dimakan usia.

"mBah, ini wedangnya sudah siap.. hm.. baunya sedap banget ya mbah, tadi si Sri kasih gula batu."

"Iya nduk, terimakasih ya nduk, taruh dulu disitu, biar dingin."

"Ini saya tuang di cawan saja ya mbah, biar cepat dingin, biar bisa segera diminum oleh simbah."

Si Sri kebelakang, mangambil cawan, lalu menuang sedikit wedang itu ke cawan. Si Sri menyendokkannya sedikit demi sedikit kemulut mbah Kliwon.

"Segar Sri, simbah mau duduk saja, seperti orang sakit kalau disuapi begini," kata mbah Kliwon sambil bangkit.

 Dia kemudian menyendokkan wedang jahe itu sendiri.

"Sudah nduk, nanti lagi."

"Sudah merasa enakan mbah?"

"Sudah nduk," kata mbah Kliwon sambil mengelus kepala cucunya. 

"Semoga kamu mendapatkan jodoh yang baik, yang bisa membahagiakanmu ya nduk. Jangan jodoh seperti bapakmu. Dulu simbokmu tergila-gila karena bapakmu tampan, dan menjadi pekerja dikebun milik tuan Cokro. Tapi ternyata semuanya tidak seperti yang diharapkan. Kehidupan itu, kamu menyaksikannya bukan>?"

Sri mengangguk, ia duduk ditepi pembaringan, kemudian menyandarkan kepalanya dibahu simbahnya. Hanya mbah Kliwon tempatnya bersandar, tempatnya mengadu, tempatnya mencari ketenangan.

"Ya sudah, kamu pulang saja, nanti bapakmu bertambah marah kalau kamu kelamaan disini."

"Saya ambilkan simbah makan dulu, baru pulang."

"Kalau begitu kita makan bersama saja ya nduk, tenang rasanya kalau ada kamu," kata mbah Kliwon sambil merosot turun. Rasa sesak didadanya sudah berkurang banyak. Ia menghirup lagi sisa wedang jahe yang ada digelas.

"Enak, nduk.."

"Rasanya bagaimana sekarang mbah, sudah lebih baik?"

"Sudah nduk, ayo kita makan, sebelum kamu pulang."

Sri menuntun mbah Kliwon keluar dari kamar. Menuju dapur.

"Aku sudah tidak apa-apa, mengapa harus dituntun-tuntun?"

Sri mengambil piring, meletakkan nasi dan sisa asem-asem buncis ddimeja. Ada dadar telur sisa tadi siang.

"Ayo mbah, makanlah,"

  Sri menyendokkan nasi dipiring simbahnya, dan asem-asem, serta seiris telur dadar.

Sesungguhnya mbah Kliwon tidak lapar. Ia hanya ingin si Sri ikut makan, karena belum tentu kalau dirumah bisa makan dengan rasa nyaman.

"Simbah sedikit saja nduk."

Si Sri ikut makan, juga bukan karena lapar. Ia ingin simbahnya makan walau hanya sedikit saja.

"Besok Sri akan masak sayur gori ya mbah."

"Iya, terserah kamu saja."

"Benarkah simbah sudah merasa enakan?"

"Sudah nduk, tadi simbah agak merasa sesak nafas, karena kaget. Simbah tidak mengira bapakmu bisa bersikap sekasar itu pada ayah mertuanya."

"Bapak itu sering kemasukan setan. Apalagi kalau sudah minum-minum. Entah berapa banyak laki-laki kurangajar itu memberi uang pada bapak, sehingga setiap hari bisa beli makanan enak dan minuman yang memabokkan itu.

"Sekarang simbah merasa khawatir nduk."

"Khawatir kenapa mbah?"

"Khawatir kalau bapakmu akan menjual kamu."

"Menjual saya bagaimana mbah?"

"Dia minta banyak uang pada Basuki, lalu memberikan kamu agar jadi isterinya."

Si Sri berhenti mengunyah nasinya. Kata-kata mbah Kliwon sangat membuatnya takut.

"Sudah, semoga saja tidak, ayo habiskan makananmu."

Sri meneguk air digelas yang sudh dipersiapkannya, karena nasi yang belum selesai dikunyahnya tak bisa tertelan olehnya. Terbayang lagi bagaimana Basuki menowel pipinya.

Wajah Sri mendadak muram.

"Kamu harus bersiap menerimanya kalau itu terjadi."

"Tidak mbah, Sri tidak sudi. Laki-laki itu sangat kurangajar. Sri benci sekali sama dia."

"Semoga Allah melindungi kamu nduk."

"Simbah tidak apa-apa kalau saya pulang?"

"Tidak nduk, simbah sudah merasa baik. Maklumlah orang tua, mendengar barang jatuh agak keras saja dada rasanya seperti ditendang, apalagi suara dari mulut, ditambah gebrakan meja. Untunglah ada kamu Sri, kamulah yang menguatkan simbah. Semoga simbah tidak akan mati dulu sebelum kamu hidup bahagia," kata mbah Kliwon sambil berlinang air mata.

"Jangan begitu mbah, simbah harus tetap menemani Sri, sampai kapanpun, kata si Sri sambil memeluk simbahnya.

 

***

 

"Si Sri pulang kerumah ketika hari sudah gelap. Ia membuka pintu, dan mendengar suara ayahnya terbatuk-batuk dengan sangat keras. Sebenarnya Sri tak ingin menemui ayahnya, ia ingin langsung masuk kekamar dan tidur. Tapi mendengar ayahnya terbatuk tak henti-hentinya, miris juga hati si Sri. Perlahan ia mendekati kamar ayahnya, membuka sedikit pintunya. Dilihatnya ayahnya duduk dipinggir ranjang, sambil memegangi botol minuman keras.

"Bapak sudah terbatuk batuk seperti itu, masih minum begituan juga," tegur Sri sambil masuk, lalu mengambil botol dari tangan ayahnya.

"Heeiii... mana botolku... kembalikaaan.." teriaknya marah.

"Jangan lagi pak, bapak sakit.."

Darmin kembali terbatuk-batuk, sampai terbungkuk-bungkuk

Sri masuk kebelakang dan mengambil air yang dicampurnya dengan air panas dari termos lalu masuk kedalam kamar bapaknya.

"Minum air hangat ini saja pak..  biar batuknya reda."

"Nggak mau, mana botolnya tadii?"

"Coba bapak minum ini dulu," kata Sri memaksa.

Darmin meneguk minuman yang setengah panas itu, dihabiskannya satu gelas besar yang diulurkan anaknya.

Batuk itu mereda. Sri keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Kesal dan marah kepada bapaknya, tapi dia adalah orang tuanya, yang mengukir jiwa raganya. Sri terbaring dikamarnya, dengan perasaan tak menentu.

***

Pagi itu bu lurah Marni seperti biasa menggendong Jarot, berjalan membawa rantang kerumah Lastri. Tapi dengan heran dia melihat beberapa keranjang sayuran menunmpuk diluar rumah, sementara rumah itu masih tertutup.

Marni mengetuk pintunya pelan.

"mBah, mbah Kliwon... mbah.."

Agak lama Marni mengetuk, lalu didengarnya langkah mendekat dibelakangnya.

"Yu Marni?"

"Oh, Sri.. kamu juga baru datang? Heran aku Sri,mengapa pintunya masih tertutup?"

"Iya, apa simbah sakit?"

Sri ikutan mengetuk pintu.

"mBah.. simbah..."

Diketuknya terus pintu itu. Ada rasa khawatir menyelinap dihatinya. Kemarin simbahnya tampak sakit, nafasnya terengah, lalu diketuknya pintu lebih keras. Terdengar langkah menyeret sandal, mendekati pintu, lalu pintu itu terbuka.

"mBah, sakitkah?" tegur bu lurah khawatir.

"Tidak, tidak, saya baik-baik saja. Hanya semalam nggak bisa tidur, jadi bangun kesiangan. Ma'af bu lurah. Sri.. masuklah.. benar-benar simbah kesiangan."

Bu lurah Marni masuk kedalam, diikuti Sri. Bau minyak gosok menyeruak. Tampaknya mbah Kliwon memakai obat gosok semalam.

"Simbah sakit?" tanya Sri meyakinkan.

"Tidak... aduh, tolong bantuin mengurus barang-baramg itu Sri.."

"Bau minyak gosok, mau dikerokin mbah?"

"Enggak, semalam simbah menggosok dada dan perut pakai minyak gosok, sekarang sudah baik kok."

"Baiklah mbah." jawab Sri sambil melangkah kedepan. Dilihatnya mobil pick up bertuliskan LASTRI sudah siap mengangkut sayuran.

"mBah, ini Marni bawakan nasi buat sarapan," kata bu lurah sambil meletakkan rantang dimeja.

"Setiap hari dikasih sarapan, duuh.. terimakasih lho .. "

"Itu nasi sama oseng sawi, ada tahu goreng sama kerupuk."

"Terimakasih banyak bu lurah.. nanti bisa buat sarapan sama si Sri. Rantangnya nanti saya titipkan sopir... kan lewat sana, seperti biasanya."

"Iya mbah, sekarang saya pamit dulu, mau memandikan thole," kata Marni sambil keluar dari rumah.

mBah Kliwon duduk di kursi bambu. Memang dirasanya badannya kurang enak. Mungkin karena semalam nggak bisa tidur, atau memang sedang masuk angin.

Ia pergi kebelakang, merebus jahe dan sereh yang selalu siap didapur, 

Sedikit segar ketika wedang jahe diteguknya, mbah Kliwon duduk menyandarkan tubuhnya dikursi bambu itu. Ingatan tentang penolakan Darmin atas lamaran yang diajukan Timan membuatnya sedih. Ia belum mengatakan siapa orangnya, Darmin sudah menolaknya dengan kasar. Memang benar Sri hanyalah cucunya, yang lebih berhak adalah bapaknya, tapi kalau bapaknya membuat cucunya menderita haruskah dia diam saja?

"mBah, Sri sudah selesai, lho simbah sudah buat wedang jare sendiri?" tanya Sri sambil mendekati simbahnya.

"Sudah, itu masih sisa kalau kamu mau, tinggal disaring saja."

"Simbah sarapan dulu ya.. saya tata dimeja saja."

"Ya, simbah mau mandi dulu, tadi sudah menjerang air."

"Baiklah.saya bersih-bersih rumah ya mbah."

 

***

 

Hari itu tak banyak yang dikerjakan mbah Kliwon. Sri melarangnya, karena mbah Kliwon tampak kurang sehat. Selesai mengurus barang-barang, Sri memasak didapur. Kemarin sudah bilang mau masak sayur gori. Ada balur yang dibelinya beberapa hari  lalu, yang kemudian digoreng. mBah Kliwon suka sekali sayur gori sama ikan asin.  

Ketika selesai memasak, dilihatnya mbah Kliwon duduk di kursi bambu. Sri mendekati lalu menawarkan makan siang.

"Nanti saja Sri, simbah belum lapar. Kalau kamu lapar, makan saja dulu."

Sri duduk didepan mbahnya. Ditatapnya wajah tua itu dengan rasa iba. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Pasti sikap ayahn ya sangat menyakiti  perasaannya. Ia sudah berbuat banyak untuk menantu yang sejatinya nyaris tak berguna. Tapi balasan yang diterimanya sungguh membuat sakit. Bukan hanya hatinya, tapi raganya ikut terguncang. Tubuh tua itu seharusnya sudah beristirahat, dilayani dan dituruti apa yang menjadi keinginannya. Tapi mbah Kliwon tidak merasakannya. Seakan ada beban berat yang disandangnya.

"mBah.." pelan Sri memanggil simbahnya. 

  mBah Kliwon menatap cucunya.

"Mengapa kamu tidak makan saja duluan?"

"Sri juga belum lapar mbah, nanti saja kita makan bersama-sama."

"Ya sudah.."

"Kalau simbah agak kurang enak badan, tiduran saja dahulu. Atau mau Sri kerokin?"

"Nggak usah, simbah baik-baik saja."

Tapi Sri tau bahwa simbahnya tidak sedang baik baik saja. Mungkin tubuhnya tidak merasakan sakit, tapi dari sorot matanya, ada yang terasa menyiksa. Sri sedih, ia tau ayahnya lah yang membuat semua ini.

"Apa yang dikatakan bapak, simbah nggak usah memikirkannya. Dia memang begitu, susah diajak bicara, tak pernah mau mendengar kata orang."

mBah Kliwon menatap cucunya dengan iba. Ssungguhnya bukan menantunya yang dia pikirkan, tapi justru cucunya. mBah Kliwon sangat menghawatirkan nasib si Sri. Kalau si Sri sengsara, mbah Kliwon tak akan terima. Anak perempuannya sudah meninggal dalam kehidupan yang tidak bahagia. Bagaimana kalau si Sri juga merasakannya?

"mBah, apa simbah memikirkan sesuatu?" tanya Sri karena mbah Kliwon tak mengatakan apa-apa, hanya memandanginya dengan perasaan yang tak dimengertinya.

"Simbah menghawartirkan kamu Sri.."

"Mengapa simbah menghawatirkan Sri? Sri tidak apa-apa."

"Kamu tak akan bisa melawan bapakmu."

Sri termenung. Selama ini dia selalu patuh pada bapaknya, tapi sejak mendengar bapaknya membentak simbahnya, sakit hati si Sri. Dia sangat menyayangi simbahnya. Dia membenci ayahnya karena kelakuannya yang sangat buruk.

"Kali ini Sri akan melakukannya. Sudah lama Sri memendam rasa kesal pada bapak."

"Sesungguhnya melawan orang tua itu dosa."

"Tapi bagaimana dengan kelakuan orang tua yang tidak benar?"

"Simbah berharap, kamu akan kuat Sri."

"Simbah jangan khawatir. Sri bisa menjaga diri. Simbah jangan menghawatirkan Sri. Sri akan kuat, percayalah mbah."

Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar rumah. 

"Srii!! Srii !!" itu suara Darmin. mbah Kliwon mengangkat kepalanya.

"Simbah tidak usah keluar, biar Sri saja."

Sri berdiri dan keluar, didepan pagar dilihatnya bapaknya sedang berdiri sambil berkacak pinggang.

"Ada apa?"

"Kamu harus pulang sekarang, bapak mau  bicara."

"Pekerjaanku belum selesai, bicara nanti sore saja," kata Sri dingin. Ia sudah membulatkan tekat, tidak semua perintah ayahnya harus dipatuhi.

"Sekarang kataku !!"

"Tidak, simbah sedang tak enak badan, Sri tak bisa meninggalkannya."

"Kamu mulai berani menentang bapakmu?" hardik Darmin sambil matanya melotot. Mata merah yang disebabkan oleh banyaknya minum minuman keras.

"Bukan menentang. Ini sa'atnya Sri masih bekerja."

"Ada hal penting yang kamu harus tau ! Pulang tidak??!

Sri menggeleng. Ia ingin kembali masuk kerumah, tapi kemudian Darmin mendekat dan menarik tangannya.

Sri menjerit.

"Tidak bapak, lepaskaaan!! Sri berteriak. Tapi Darmin terus saja menariknya.

mBah Kliwon yang mendengarnya segera berdiri dan melangkah keluar, tapi bersamaan dengan itu, sebuah mobil berhenti, tepat didepan pagar.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

**

23 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah kejutan sekali intip ketemu itu Darmin wlu baru marah2...tks bu Tien K ..

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun Bu Tien , smga Bu Tien selalu sehat.

    ReplyDelete
  5. jambi hadiiir u menyimaaak dgn seksama.... ini yg bener2 beda dan hanya ada d kejora... mantab mba Tien... salam sukses n luar biasa....

    ReplyDelete
  6. Sedihhhh...😭😭😭
    Salam sehat bu Tien , lanjuuutt 👍👍🙏

    ReplyDelete
  7. Selamat sore jeng Tien, ketemu lagi di KT_04. Semoga Mbah Kliwon diparingi seger kwarasan.

    Semoga mobil yang datang mobil Timan. Si Sri selamat dari tarikan ayahnya.
    Monggo lanjut.....
    Matur nuwun

    1. "Peketjaanku belum selesai, bicara nanti sore saja," kata Sri dingin. # "Pekerjaanku belum ..

    2. "Kamu mulai berani menentang bapakmu?" haridik Darmin sambil matanya melotot.
    # .....Hardik Darmin...

    3.

    ReplyDelete
  8. Wah blm sempat mandi malah si sri dateng... Yah baca dulu lah

    ReplyDelete
  9. Hallow... kakek Habi
    . Mb Jum.. Garut.. Jambi. Jogya. Pangkalpinang. Jakarta
    Bekasi
    Wonogiri. Solo. Sragen. Garut.. Salam sehat sejahtera dari Solo

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo jg bu Tien , sya orang Madiun domisili Tangerang 🙂🙂
      Salam hangat 🙏🙏

      Delete
  10. Hallow... kakek Habi
    . Mb Jum.. Garut.. Jambi. Jogya. Pangkalpinang. Jakarta
    Bekasi...
    Wonogiri. Solo. Sragen. Garut.. Salam sehat sejahtera dari Solo

    ReplyDelete
  11. Hallow... kakek Habi
    . Mb Jum.. Garut.. Jambi. Jogya. Pangkalpinang. Jakarta
    Bekasi...
    Wonogiri. Solo. Sragen. Garut.. Salam sehat sejahtera dari Solo

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah... smg yg dateng mas Timan yo si baik hati
    Bekasi hadir mb Tien. Salam sehat selalu... lanjutannya ditunggu

    ReplyDelete
  13. Pak Darmin...hadewh jadi pingin nabok... 😄Lanjut Bu Tien, salam sehat dari Yogya...

    ReplyDelete
  14. Semoga si Sri terlepas dari kekejaman bapaknya...

    ReplyDelete
  15. Siapa ya yg datang....Penasaran mba Tien .Lanjuut....

    ReplyDelete
  16. Terimakasih, seri 4 sudah terbut .... sedih , semoga mbah Kliwon sehat, panjang umur, Sri kuat, sabar ... Kang Timan juga gentel, berani memperjuangkan cintanya ..

    ReplyDelete
  17. garut garut jawabarat. usai membacanya. . lanjut embs

    ReplyDelete
  18. Tang Sel nyimak mbak Tien ....salam sehat buat mbak Tien sekeluarga dan para pembaca karya mbak Tien dimanapun berada ......

    ReplyDelete
  19. Singkat sj komentarnya
    Smg mas Timan yg dtg
    Klu perlu lgs nikah sj dg si Sri biar p Darmin tdk memaksa Sri menikah dg p Basuki.. Lanjut mb Tien.,.

    ReplyDelete
  20. Waduuhh...pa Darmin mau maksa si Sri...dduuhh gawaatt..
    Sri yg kuat...
    Hhee mba Tien...trims mulai seruu nihh

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 16

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  16 (Tien Kumalasari)   “Hamil?” pekiknya bersama an, dan kekagetan keduanya membuat dokter itu tersenyum. ...