Monday, April 20, 2020

KEMBANG TITIPAN 03

KEMBANG TITIPAN  03

(Tien Kumalasari)

mBah Kliwon yang juga mendengar bergegas keluar. Wajahnya berseri begitu melihat siapa yang datang.

"Sri.. tuh ada tamu.. kamu malah bengong disitu?" tegur mbah Kliwon.

Sri tiba-tiba merasa gugup. Bukannya jalan kearah depan, malah menuju kebelakang.

"mBah Kliwon, apa kabar?" sapa Timan yang kemudian lebih suka memanggil 'mbah',

"Aduh nak Timan, iya.. kabar baik. Sendirian saja?"

"Iya mbah, sekaian cari dagangan, trus mampir kemari."

"Ayo masuk nak.. silahkan.."

"Kangen sama ketela rebusnya," kata Timan sambil duduk di kursi bambu, kursi yang pernah didudukinya, bahkan pernah tidur disitu ketika mencari Lastri.

"Ketela rebus, ada.. jangan khawatir nak, nanti juga boleh membawa ketika pulang, yang masih mentah juga banyak."

"Kursi ini masih seperti dulu."

"Iya nak, tidak berubah sejak setahun lalu. Ingat ketika nak Timan tiduran diisitu sa'at mencari Lastri."

"Benar mbah," jawab Timan, sambil matanya mencari-cari.

"Sriiii.. ada tamu kok malah sembunyi," teriak mbah Kliwon.

Si Sri bukan sembunyi. Ia sedang menata batinnya sambil membuat minuman.

"Sriiii.." mbah Kliwon mengulangi teriakannya.

"Yaaa.. " jawab si Sri dari arah belakang.

Berdebar hati Timan mendengar suaranya. Hm, kalau orang lagi jatuh cinta tuh ya, baru mendengar suaranya saja sudah dag dig dug.

Tak lama kemudian si Sri keluar sambil membawa nampan berisi dua gelas teh.

"Apa kabar Sri?" sapa Timan sambil terus menatap kearah si Sri.

"Kabar baik mas Timan," jawab Sri sambil meletakkan gelasnya dimeja. Tersipu dipandangi Timan seperti itu. Pandangan yang membuatnya berdebar, bukan pandangan kurangajar seperti Basuki melakukannya.

"Masih ada ketela rebus didalam?"

"Ada mbah, sedikit, mas Timan mau?"

"Ya mau, kan aku kesini karena kangen ketela rebusnya mbah Kliwon," kata Timan sambil tersenyum.

Aduh, si Sri kecewa berat nih, ternyata datang hanya untuk ketela, bukan untuk dirinya,  Sri melangkah kebelakang, dan mengambil ketela rebus yang hanya tinggal beberapa potong.

"Ini, tinggal sedikit mas," kata Sri ketika kembali dengan membawa ketela rebus.

"Sudah dingin nak..ayo silahkan diminum dulu."

"Terimakasih, ketelanya dingin nggak apa-apa mbah, yang penting sambutan dirumah ini begitu hangat," kata Timan sambil menghirup tehnya. 

"Benarkah?"

"Iya mbah, saya makan ketelanya ya.."

"Silahkan nak, tinggal beberapa potong, nanti kalau pulang boleh membawa, masih ada sekarung kecil yang masih mentah."

"Waduh.. terimakasih banyak ya mbah."

"Sri, duduk disini, kamu itu gimana, lagi ada tamu.. main kabur aja.." tegur mbah Kliwon ketika Si Sri mau beranjak kebelakang.

"Iya ta Sri, aku jauh-jauh kemari kok malah ditinggal pergi," sambung Timan.

 Si Sri membalikkan tubuhnya, lalu duduk dikursi didepan Timan. Baguslah, pikir Timan, sehingga aku bisa puas memandangi kamu.

Tapi si Sri itu gadis pemalu, setidaknya itulah yang ditangkap Timan dari sikapnya. Iya lah  malu, orang siapa-siapa mengatakan kalau dia suka sama dirinya. Jadi deg-degan kan.

"Sri, kok diam sih.. ngomong dong.."

Si Sri tersenyum. Timan menelan ludah.. alangkah manis gadis ini pikirnya. Dulu ketika melihat pertama kali, hari sudah malam. Temaram lampu memantulkan wajah cantik yang hanya sekilas. Sekarang, sa'at siang, Timan bisa menikmati wajah itu sepuasnya. Lalu batinnya berkata, aku jatuh cinta sama gadis ini. Akankah bersambut?

"Sri... kamu tuh biasanya cerewet, kok tiba-tiba jadi pendiam?" tegur mbah Kliwon lagi. Kemudian mbah Kliwon berdiri.

"Aku mau memilihkan ketela yang bagus dulu, temani mas Timan ya nduk," kata mbah Kliwon sambil berlalu.

"Ayo ngomong dong Sri." kata Timan sambil mengupas ketela yang dicomotnya lagi, bukan karena lapar, tapi karena ingin menenangkan debar jantungnya.

"Nggak tau mau ngomong apa.." kata Sri  pelan sambil mengangkat wajahnya yang semula menunduk. 

"Ngomong aja tentang diri kamu.. kesukaan kamu..." kata Timan.

"Nggak ada yang pantas diceritakan tentang diri saya."

"Masak sih?"

"Saya hanya gadis dusun yang bodoh. Tidak berpendidikan," katanya masih dengan suara pelan. Matanya menatap kearah Timan, dan Timan juga sedang menatapnya. Ada getar dihati masing-masing kedua insan itu ketika mata mereka bertatapan.

"Terus.. mengapa kalau gadis dusun.. mengapa kalau tidak berpendidikan?" 

"Apa yang pantas diceritakan?"

"Bahwa kamu pemalu, pendiam, suka merendahkan diri.."

"Saya kan memang  dari kalangan rendah."

"Wadouww.. coba berdiri deh, serendah apa kamu? Kalau berdiri sejajar sama aku, ya jelas lebih rendah kamu.  Tapi kalau aku duduk, lalu kamu berdiri, nah. baru rendah aku."

Si Sri tertawa, menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Timan suka melihat tawa itu, sederet gigi putih kelihatan, menambah manis sang pemilik wajah lugu itu."

"Kenapa ditutup pakai tangan? Bukankah tawa itu indah?"

"Mas Timan lucu."

"Iya, aku memang pelawak."

Sri masih tertawa. 

"Dengar Sri, aku juga orang desa. Hanya kebetulan saja kemudian aku tinggal dikota, karena  pekerjaanku kan penjual buah dipasar. Apa hebatnya seorang penjual buah? Bukan kalangan orang yang punya derajat. Aku orang biasa saja."

"Apakah penjual buah itu pekerjaan rendah? Kalau saja saya punya modal, saya mau jadi penjual sayur dipasar."

"Benar?"

Sri mengangguk.

"Kalau begitu kamu harus ikut aku."

"Apa?" Sri membesarkan bola matanya. Sepasang mata bening yang membuat Timan terpana.

"Ikut bersama aku, atau menjadi isteri aku." kata Timan tiba-tiba. Entah darimana datangnya keberanian itu, Timan terkejut sendiri, tapi kata itu sudah terlanjur terlontar dan tentu saja Si Sri mendengarnya. 

Mata bulat itu bertambah membulat. 

"Ap...apa?"

"Ah, ma'af.. "

"Jangan bercanda dong mas."

Aduh, mengapa Sri mengira bahwa dirinya bercanda?

"Kalau itu benar, apa kamu marah?" 

"Marah? Saya.. "

"Barangkali kamu sudah punya pacar, atau calon.. saya lancang bukan?"

"Tidak.."

"Tidak apa?"

"Tidak punya itu.."

"Itu apa?"

"Itu.. calon.. siapa mau ?"

"Jangan suka merendah, jangan merasa jadi orang rendah. Bukankah derajat seseorang dilihat dari kelakuan dan budi yang disandangnya?"

Si Sri terdiam. Keberanian Timan mengatakan hal yang mendebarkannya membuatnya kagum.

"Sri, kamu tidak marah saya mengatakan hal itu?"

"Hal apa..?" ah,, si Sri kan sudah tau, pakai nanya lagi.

 "Maukah kamu menjadi isteriku,,:" sudah kepalang tangung, dan Timan juga nggak ingin kelamaan memendam rasa. Dia sudah bukan anak muda lagi.

"Begitu cepat? Mas Timan belum tau siapa saya."

"Kamu si Sri kan? Siapa kepanjangan nama kamu?"

"Bukan itu, mas Timan belum tau keluarga saya."

"Kamu kan cucunya mbah Kliwon ?

"Bapak saya?"

"Iya, lain kali aku akan menemui bapak kamu."

"Dia bukan orang baik."

"Maksudnya?"

"Nanti mas Timan bisa bertanya pada simbah."

mBah Kliwon sebenarnya sudah selesai memilih ketela yang akan dibawakannya pada Timan, tapi dia memang memberi kesempatan pada Timan untuk bicara. Laki-laki tua itu mendengar bagaimana Timan mengutarakan isi hatinya. Lega rasanya, karena Timan tidak berlama-lama mengatakannya.

"Buat aku, yang penting kamu. Apa kamu menolak aku?"

"Mas Timan tanya pada simbah."

"Ini kan perasaan kamu, masa aku tanyanya sama simbah?"

"Simbah sudah tau bagaimana jawaban saya."

"Oh ya?"

Timan menatap lagi wajah itu, mata bening itu, hidung mancung dan bibir tipis itu. Semuanya indah dalam kesederhanaan. Dia mirip Lastri yang pernah dikaguminya. Semuanya mirip. Ia lugu, ia sedikit malu disa'at pertama berbincang, Lalu bisa banyak bicara ketika ada yang memulainya.

"Minggu depan aku akan datang lagi, dan aku harap sudah ada jawaban yang pasti dari kamu. Setelah itu aku akan menemui bapak kamu."

Si Sri menunduk. Laki-laki baik ini sudah lama singgah dihatinya. Tak mungkin dia menolaknya, tapi ketika Timan bilang mau menemui bapaknya, Sri jadi ragu. Maukah bapaknya menerima Timan sebagai menantu?  Tak mudah menjajagi hati Darmin.

 

***

 

  Pagi itu Lastri pergi kepasar. Ia sudah membeli beberapa sayur dan daging yang tadi sudah dicatatnya. Tiba-tiba dilihatnya Timan melambaikan tangannya. Lastri jadi ingat, ia harus membeli buah. Didekatinya Timan.

"Aku mau jeruknya saja mas, tapi janji ya, aku nggak mau gratis, nanti mas Bayu marah."

Timan tertawa.

"Iya.. iya, aku kasih harga mahal kamu nanti."

"Boleh memilih ya mas."

"Iya, pilih aja. Masih baru semuanya."

"Pisangnya mas, tapi aku mau pisang kepok kuning yang sudah matang. Ibu mau membuat kolak."

"Beres, ini matang dipohon semuanya."

"Tapi ngomong-ngomong wajah mas Timan kok tampak beda dari biasanya ya?"

"Wajahku kenapa sih? Berlepotan angus? Padahal aku tidak memasakpakai kuali yang banyak angusnya."

"Bukan, kelihatan berseri-seri. Lagi bahagia ya?"

"Kemarin aku ketemu si Sri."

"Haaa... sudah berani berangkat sendiri ya?"

"Iya lah, nungguin kamu, kelamaan."

"Baiklah, aku senang mendengarnya, terus.. gimana mas, sekalian melamarnya? Harusnya begitu, keburu tua mas."

"Iya, aku sudah melamarnya."

"Waaauuuw... hebat mas... lalu kapan peresmiannya?"

"Belum-belum peresmian..."

"Katanya sudah melamar.."

 "Baru ngomong sama Sri. "

"Sudah dijawab kan? Beres kalau begitu, ayo cepet mas.."

"Aku baru mau kesana seminggu lagi. Sri jawabnya belum jelas. Tapi dia tidak menolak."

"Ya udah, itu sudah 90 persen mau."

"Do'akan ya Tri.."

"Iyalah.. aku do'akan, nanti pas melamar aku sama mas Bayu akan mengantar kamu."

"Ya, siip lah. Ini pisangnya, langsung enak buat kolak."

"Sama jeruknya jadi berapa?"

"Berapa lah terserah."

"Gimana sih, orang jualan kok nggak mau kasih harga. Ya sudah, ini saja, mana, saya bawa sekalian."

"Kamu sama siapa?"

"Sendiri lah, biasanya kan juga sendiri."

"Pengantin baru kan kemana-mana harus berdua."

"Ya enggak, mas Bayu sudah harus bekerja. Saya dirumah sama ibu saja. Ya sudah mas, terimakasih banyak," kata Lastri sambil berlalu.

"Eit.. kembaliannya.." teriak Timan.

"Nggak usaaah.." dan Lastri mempercepat langkahnya, takut Timan mengejarnya.

 

***

 

"Hayo, ngelamun saja dari tadi," tegur mbah Kliwon ketika melihat  si Sri  banyak melamun pagi itu.

"Enggak mbah.."

"Simbah mendengar apa yang dikatakan mas Timan kemarin. Kamu bagaimana?"

"Itu mbah.. so'al......"

"Dia ingin menjadikan kamu isterinya.. kamu suka kan?"

"mBah.. saya takut bapak menolaknya.."

"Nanti aku mau bicara sama bapakmu. Dia tak bisa memaksakan kehendak. Ini demi hidup kamu Sri, simbah tau kamu sangat menderita, apalagi setelah mbokmu meninggal," kata mbah Kliwon sendu.

Berlinang air mata si Sri. Ingatan akan ibunya membuatnya sangat membenci ayahnya.  Kalau saja waktu itu ayahnya mau membawanya kerumah sakit, barangkali ibunya masih ada sampai sekarang.

"Tapi ya sudah nduk, nggak ada yang perlu disesali, karena  manusia hidup itu kan hanya bisa berpasrah diri. Jadi ya memang harus beginilah jalannya, kita harus ikhlas menerimanya."

"Iya mbah."

Nanti aku akan ikut kamu sa'at pulang, aku akan bicara sama bapakmu."

Si Sri hanya mengangguk,

***

Namun sore itu Darmin tampak sedang mabuk. Ketika mbah Kliwon datang bersama si Sri, dia sama sekali tak berdiri untuk menyambutnya.

"Sri.. mengapa kamu belum juga memakai baju-baju bagus itu? Nanti bapak akan bakar semua baju kumal kamu!!" hardik Darmin begitu melihat si Sri pulang. Si Sri tak menjawab, langsung melangkah kebelakang.

"Min, ini aku Min.." kata mbah Kliwon/

"O.. bapak.."

Tanpa menunggu dipersilahkan mbah Kliwon langsung duduk dikursi.

"Jangan teriak-teriak begitu. Apa nggak malu didengar tetangga?"

"Ada apa, tumben bapak datang kemari," kata Darmin tanpa mengacuhkan apa yang dikatakan mertuanya.

"Ada perlu, duduklah disini, dedekatku," kata mbah Kliwon karena melihat Darmin masih duduk didepan kamarnya sambil merokok, tanpa perduli pada kedatangan mertuanya.

Kemudian Darmin mendekat, duduk dihadapan mbah Kliwon.

"Aku mau bicara penting."

"Ya, ada apa?" tanya Darmin dingin.. Tak ada rasa hormat sedikitpun walau mbah Kliwon adalah mertuanya, bahkan yang memberinya tempat bernaung, dan juga berbagi makanan kalau mbah Kliwon punya lebih.

"Ini tentang anakmu."

"Kenapa dia?"

"Anakmu kan sudah dewasa, sudah sa'atnya berkeluarga."

Mata Darmin menyala kemerahan, terbawa oleh minuman keras yang belum lama diminumnya, dan rasa kesal karena merasa terganggu oleh kedatangan mbah Kliwon.

"Ada seorang laki-laki, baik, mapan, mau mengambilnya sebagai isteri."

"Apa? Ada yang mau memperisteri si Sri? 

Tangan Darmin terkepal, lalu dipukulkannya ke meja.

"Tidaaaakkk! Tidak boleh !!""

mBah Kliwon terkejut. Ia sudah tua, dan suara keras membuat dadanya sakit.

 

***

 

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

26 comments:

  1. Masalah dan konflik dataang niih ... gk pp .. untuk menguji keaetiaan . Yg penting happy ending ya mbak Tin .. walau sampai seri 100 .. hehehehee

    ReplyDelete
  2. Mas Timan maju terus.... nambah seru. Lanjut.....
    Terima kasih Mbak Tien yg selalu menghibur penggemar.

    ReplyDelete
  3. Met sore Bu Tien , Bu Tien memang hebat mmbuat crita , saya ikut kaget , Pak Darmin gebrak meja. mtr nuwun Bu Tien.

    ReplyDelete
  4. Hallow... Bekasi. Jambi. Lampung. Pangkalpinang. Bandung. Garut. Jogya. Solo. Wonogiri...
    Yerimakadih perhatiannya.. salam paling manis buat semuanya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. 🙂🙂🙂 Bandung hadir, bu.

      1. mBak Kliwon yang juga mendengar bergegas keluar. # mBah Kliwon

      2. "Iya mbah, sekaian cari dagangan, trus mampir kemari." # sekalian cari

      3. Ada perlu, duduklah disini, dedekatku," # didekatku, "

      Selamat malam jeng Tien, terimakasih
      lanjutan Kembang Titipan, episode 3
      Hanya 3 yang saya dapatkan, lainnya (kurang spasi) dan ada bbrl huruf dobel.

      Ditunggu keberanian mas Timan mengadapi Darmin, bapake si Sri.

      Delete
  5. Hallow... Bekasi. Jambi. Lampung. Pangkalpinang. Bandung. Garut. Jogya. Solo. Wonogiri...
    Yerimakadih perhatiannya.. salam paling manis buat semuanya..

    ReplyDelete
  6. Hallow... Bekasi. Jambi. Lampung. Pangkalpinang. Bandung. Garut. Jogya. Solo. Wonogiri...
    Yerimakadih perhatiannya.. salam paling manis buat semuanya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Matur nuwun Mbak Tien salamnya, salam sejahtera utk Mbak Tien dari Pangkalpinang.

      Delete
  7. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih jeng tien salam sehat
      Dari jakarta

      Delete
  8. Maunya iya sampai ke seri 100 lebih malah, sehat2 selalu ibu

    ReplyDelete
  9. Lanjut mb Tien kapan nih bs jagong di perhelatannya mas Timan dan Sri... Tdk perlu smp part 100 kelamaan... Bgtu sdh happy ganti cerbung yg baru lg....slm

    ReplyDelete
  10. Astaghfirullah kaget...Pak Darmin kenceng amat gebrak mejanya...😆 lanjut Bu Tien...salam sehat dari Yogya...

    ReplyDelete
  11. ini yg tak suka dari Mba Tien...
    selalu ada kejutan... dari Jambi menyimak terussss... sukses n selalu ya mva....

    ReplyDelete
  12. Dari madiun selalu hadir Bu Tien

    ReplyDelete
  13. Seruu nih mba Tien . Apa sih maunya Darmin. Lanjut mba. Makasih

    ReplyDelete
  14. Lanjuut mba.....slalu ditunggu nih

    ReplyDelete
  15. Hallow.. Madiun...
    Salam sehat sejahtera dari Solo..

    ReplyDelete
  16. Terimakasih bu. Obatnya laukdaun dah keluar. Dan berbeda dari 3 cerita yg terdahulu. Yang ini langsung nggass.... lhebgodhek pokokmen...

    ReplyDelete
  17. Terimakasih ibu Tien ditunggu kelanjutannya jadi penasaran...

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah walaupun terlambat ... bekasi sll hadir mb Tien. Salam sehat sll

    ReplyDelete
  19. Si Darmin itu tukang mabuk gk punya rasa terima kasih sama mbah Kliwon.
    Lanjuut terus . ... .

    ReplyDelete
  20. Banyak salah typo error mbak Tien... mbah kliwon seringctertulis, mbak kliwon

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 33

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  33 (Tien Kumalasari)   Si Yu segera memasukkan belanjaannya ke dalam keresek, hanya sayur untuk sayur beni...