ADA MAKNA 33
(Tien Kumalasari)
Bu Simah mana tahu kertas seperti kwitansi yang bisa di jadikan uang? Seperti apa nanti cara menjadikannya? Dijual, begitu. Mana laku kertas selembar kecil dijual? Ia masih melongo sambil menatap Guntur yang kemudian menyimpan kertas yang seperti kwitansi itu.
“Dokter, orang itu tidak menipu bukan?”
“Tidak Bu, ini bisa diuangkan. Tapi kita harus pergi ke bank. Kalaupun dia menipu, bagaimana cara menipunya? Dia belum menempati rumah ini. Harusnya juga dia meminta tanda terima. Tapi itu nggak masalah. Besok mau kemari kan?”
“Iya, katanya begitu.”
“Saya sudah memintanya, kalau dia mau memberikan tanda jadi, bisa diberikan kepada bu Simah. Itu saya yang meminta, karena saya percaya kepada bu Simah.”
“Tadinya saya juga heran, kok mau memberi uang atas pesan pak dokter, tapi kok yang diberikan malah kertas kwitansi. Sampai dia pergi kan saya masih bertanya-tanya. Makanya saya menunggu pak dokter di sini, takut dia itu orang yang mau menipu.”
“Tidak Bu, sekarang bu Simah boleh pulang, saya juga mau beristirahat.”
“Baik Dokter. Istirahatlah, Dokter kelihatan sangat lelah,” kata bu Simah sambil bangkit, lalu keluar dari pintu samping.
“Pak Dokter, pintunya dikunci dulu,” pesan bu Simah sambil keluar.
Guntur menuju ke pintu samping, menguncinya kemudian langsung membaringkan tubuhnya setelah melepas jas dan pecinya. Ia sudah merasa sangat lelah, sehingga berjalan ke kamar mandipun rasanya enggan.
***
Emmi keluar dari kamarnya, untuk menemui sang ayah, yang waktu itu sedang duduk di ruang tengah bersama ibunya.
“Kok pengantin baru keluar sendiri, mana suaminya?” ledek sang ayah, membuat Emmi tersipu.
“Masih di kamar, Emmi ingin bertanya pada Bapak, kok dari semalam nggak melihat ayah Guntur ya? Kalau masih ada di hotel, Emmi mau ke sana sama mas Dian.”
Ardi saling pandang dengan Kinanti. Mereka menyembunyikan kepergian Guntur karena tak ingin mengganggu kebahagiaan Emmi dan Dian.
“Masih di hotel?” ulang Emmi.
“Bapak sudah pulang,” sela Emma yang juga ikut duduk di sana.
“Pulang? Kok aku nggak tahu?” kata Emmi dengan nada kecewa.
“Begini, ayah Guntur kemarin mungkin karena kelelahan, setelah ijab qobul, langsung pulang.”
“Setelah ijab qobul?”
“Pulang dengan siapa?”
“Sendiri.”
“Ya Allah. Jangan-jangan bapak sakit. Waktu Emmi ke sana sama Reihan, badan bapak terasa panas. Tapi kata bapak itu sudah biasa.”
“Mungkin ayah Guntur menyembunyikan sakitnya. Nanti kalau sudah istirahat, kita ramai-ramai ke sana,” kata Ardi.
“Aku sama Reihan mau ke sana duluan ya Pak,” rengek Emma.
“Jangan sekarang. Nanti kalau capek kita sudah hilang, kita ke sana beramai-ramai.”
“Tapi Reihan mau ikut.”
“Nggak apa-apa Reihan ikut. Barangkali ayah Guntur lebih senang kalau kita datang beramai-ramai.”
“Kalau begitu Emma ngabarin Reihan dulu.”
“Semalam Reihan tidur di hotel, kalau nggak salah dia mengajak kakaknya. Barangkali Reihan takut kepikiran tentang ayah Guntur, karena sedianya kan ayah Guntur tidur di hotel sama dia.” kata Ardi.
“Kenapa ya bapak?” gumam Emmi sambil berlalu. Tampak sekali dia mengkhawatirkan ayah Guntur.
Kinanti tak berkomentar. Ia tampak juga merasa iba, tapi tak mampu mengeluarkan suara. Bagaimanapun ia adalah ayah dari kedua anaknya. Walau baru tahun ketiga kemudian mereka sudah berpisah, tapi kenangan saat mereka bersama masih tersisa. Hidup yang dilalui Guntur yang ternyata penuh derita, menimbulkan perasaan miris dan tentu saja iba. Tak elok rasanya kalau dia mensyukuri penderitaan bekas suaminya itu. Ia sudah memaafkannya dan berharap Guntur bisa menerima apa yang sekarang dirasakannya.
Apakah derita yang dirasakannya adalah penebusan dosa atas semua yang dilakukannya? Tidak harus begitu. Kinanti adalah manusia biasa. Ia tak berhak memvonis dosa manusia. Barangkali juga dia ikut berperan dalam perpisahan itu, entahlah. Semuanya serba tak terduga. Suasana memanas sudah pasti ada. Kalau saja … kalau saja … Tak ada kalau saja, hari-hari sudah berlalu, tak mungkin semuanya diulang kembali. Semuanya sudah terjadi, dan Kinanti merasa, ini adalah garis hidup mereka.
“Bapak, Reihan setuju menunggu Bapak, dia mau ikut bersama kita,” kata Emma yang rupanya sudah bicara dengan Reihan.
“Baiklah. Bapak akan mencari waktu luang Minggu depan. Kita ikut semua? Ibu juga ikut?” tanya Ardi kemudian kepada istrinya.
“Entahlah, aku harus melihat jadwal di hari kapan kalian mau pergi,” kata Kinanti yang sebenarnya masih harus menata batinnya kalau harus ketemu Guntur, walau sebenarnya dia juga ingin ikut.
“Mengapa juga aku harus seperti ketakutan kalau harus bertemu dia? Sudah puluhan tahun berlalu, aku harus bisa melupakan kejadian itu,” kata batin Kinanti walau ia belum memutuskannya.
***
Pembeli itu kelihatannya memang orang berada. Ia tertarik lokasi rumahnya, tapi tampaknya ingin merenovasi seutuhnya untuk menjadi peristirahatannya yang dianggapnya akan lebih menenangkan. Dia bilang akan menempati rumah itu nanti, hanya bersama istrinya.
Guntur merasa senang ketika transaksi jual beli itu selesai. Tapi ia minta beberapa hari untuk bebenah.
Bu Simah sibuk merayu Guntur agar mau tinggal di rumahnya, tapi Guntur hanya menanggapinya sambil tertawa.
“Bu Simah, saya sangat berterima kasih atas kebaikan Ibu, tapi saya tidak mungkin bisa merepotkan ibu terus menerus. Jadi biarkanlah saya pergi.”
“Jangan Dokter. Saya sudah menyiapkan kamar untuk Dokter. Ada serambi yang walau tidak begitu luas, untuk menjadi ruang praktek Dokter, sekaligus ruang tunggu.”
“Bu Simah, bukankah ada pertemuan juga ada perpisahan?”
“Dokter selalu mengucapkan itu, saya tidak suka,” rengek bu Simah, mirip rengekan anak kecil. Guntur menepuk-nepuk bahunya, yang justru membuat bu Simah berlinangan air mata.
“Jangan menangis Bu, kalau masih ada waktu, saya akan datang kemari menengok Ibu.”
“Mengapa harus pergi pak Dokter?”
“Kepergian bukanlah sebuah perpisahan. Walau tidak pergi, perpisahan itu tetap akan ada,” kata Guntur pelan.
“Apa maksud Dokter?”
“Bu, dengarkan saya. Saya minta tolong pada Ibu. Ada tas berwarna hitam yang mirip koper, tolong nanti kalau anak laki-laki saya datang, Ibu berikan tas itu pada dia. Terus terang, itu adalah uang hasil penjualan rumah ini, yang akan saya berikan untuk anak saya. Saya ingin dalam hidup saya ini, bisa melakukan sesuatu yang berarti,” kata Guntur dengan suara tersekat di tenggorokan.
“Tolong Ibu bantu saya,” lanjutnya pelan.
“Mengapa, pak Dokter mempercayakan uang sebanyak itu pada saya? Mengapa pak Dokter tidak memanggilnya saja untuk memberikannya sendiri pada dia?”
“Saya harus segera pergi, dan saya tidak tahu kapan anak saya Reihan bisa datang kemari. Tolong ya Bu.”
“Uang sebanyak itu, tidak takut saya melarikannya, atau mengurangi jumlahnya? Saya kan orang miskin.”
“Bukan. Bu Simah orang kaya. Sangat kaya. Bukan masalah harta, tapi jiwa dan nuraninya. Bu Simah seperti pengganti ibu saya. Bu Simah sangat tulus dan mulia, saya tidak percaya bu Simah akan melakukan hal buruk dan tercela.”
“Jadi, pak dokter sungguh-sungguh akan pergi?”
“Maafkan saya, bu Simah,” kata Guntur sambil memeluk bu Simah, bagai pelukan seorang anak kepada ibunya. Tangis bu Simah tak terbendung. Ia tahu, hidup sang dokter tidak bahagia. Ia tahu, yang dipendam dalam hati dokter itu, adalah sebuah penderitaan. Ia tak berani menanyakannya. Ia hanya tahu, tapi apa yang bisa diperbuatnya? Canda yang terkadang terjadi diantara mereka, tak mampu menciptakan binar-binar cerah pada wajahnya yang kuyup oleh papa.
Bu Simah tak berdaya. Ia bukan siapa-siapa. Ia hanyalah tetangga baik yang karena kebaikan sang dokter juga, lalu menjadi seperti keluarga.
***
Pagi-pagi sekali, ketika bu Simah terbangun, ia segera membuatkan wedang jahe kesukaan sang dokter. Tertatih karena udara masih remang, ia berjalan ke arah rumah sang dokter. Pintu belakang masih terkunci. Bu Simah berjalan memutar lewat pintu depan. Ia heran, kunci rumah tergantung di lobang kunci. Bu Simah memutar kunci, dan berhasil membukanya.
Agak gelap di ruangan itu, bu Simah meletakkan nampan berisi wedang jahe, lalu memutar kenop lampu. Penerangan di ruangan itu menampakkan pemandangan yang aneh. Tas hitam yang kemarin dikatakan Guntur agar diberikan kepada Reihan anak laki-lakinya, terletak di depan kamar. Perasaan bu Simah menjadi tak enak. Ia mendorong pintu kamar yang ternyata tidak terkunci. Ia berharap dokter yang dikaguminya itu masih tertidur. Lampu kamar masih menyala terang, sehingga ia melihat tempat tidur itu kosong dan tampak rapi.
“Dokter … Dokter …” bu Simah memanggil-manggil, tapi tak ada sahutan.
Ia membuka almari dan melihat almari itu kosong.
“Dokteeeer,” bu Simah ambruk di lantai. Ia yakin sang dokter telah pergi. Rasa nyeri membuat dadanya sesak oleh tangis yang tak bisa ditahannya.
“Setidaknya minumlah dulu wedang jahe yang saya buat, pak Dokter. Lihatlah, masih panas, pasti menyegarkan. Ia akan menghangatkan tubuh. Dokter juga bilang kalau jahe bisa melancarkan peredaran darah. Dokter bilang bahwa banyak khasiat di dalam empu jahe itu. Harusnya Dokter minum dulu, mengapa pergi begitu saja?” rintih bu Simah dalam tangisnya. Dan itulah yang sebenarnya ditakutkan Guntur. Ketika dia berpamit, ia akan melihat bu Simah menangis, lalu tangis itu pasti akan menghambat langkahnya untuk pergi. Ia tak ingin bertemu siapa-siapa lagi, yang hanya akan menggores luka menjadi semakin berdarah-darah. Ia tahu bahwa keluarga Ardi pasti akan mencarinya, terutama Emmi dan Emma, jadi lebih baik ia segera pergi. Ia yakin akan ada Ardi dan pastinya Kinanti.
***
Malam hari itu Reihan tidur dengan gelisah. Tempat tidur susun yang memang dibuat Wahyu agar ia bisa sekamar dengan Reihan, bergoyang tak henti-hentinya.
Wahyu yang tidur di bawah tak bisa tidur karenanya.
“Rei … kamu itu tidur apa olah raga?” teriak Wahyu gemas.
“Aku mimpi buruk Mas, aku turun saja … “
“Mimpi buruk apa?”
Reihan turun lalu menggelar tikar yang memang disediakan di kamar itu, kemudian merebahkan tubuhnya di sana.
“Mimpi apa?”
“Buruk, aku nggak bisa tidur.”
“Mimpi itu kan bunga tidur?”
“Ini bukan sekedar mimpi. Seperti sebuah firasat buruk.”
“Kamu percaya bahwa mimpi adalah firasat?”
“Tak pernah senyata ini.”
“Ada-ada saja. Mimpi apa sih? Ketemu gadis cantik, kamu jatuh cinta tapi dia ogah?” canda Wahyu.
“Bukan gadis, tapi bapak.”
“Bapak kenapa?”
“Bapak tiba-tiba pergi, aku panggil tapi tak mau kembali.”
“Ya ampun. Itu karena kamu masih kebawa perasaan ketika bapak tidak mau tidur di hotel setelah menikahkan Emmi. Mengapa kamu memikirkannya terus? Bukankah kamu mau menemui bapak nanti bersama keluarga Emmi?”
“Iya sih, tapi aku ingin secepatnya ketemu bapak. Karena mimpi itu.”
“Jangan mengada-ada.”
“Kalau keluarga mbak Emmi belum pasti kapan akan pergi ke sana, aku mau berangkat sendiri.”
“Rei, jangan karena mimpi lalu kamu terburu-buru. Kamu bilang menuju ke rumah bapak itu jalannya susah, bukankah lebih baik kamu menunggu mereka?”
“Masalah jalan itu kan gampang. Sekarang cari kendaraan juga gampang. Besok aku mau menelpon mbak Emma.”
“Ya sudah, sekarang tidurlah. Balik ke atas, tidur di lantai dingin, nanti kamu masuk angin.”
“Nanti Mas marah, mengatai aku olah raga.”
“Tenangkan pikiran dan tidur, pasti tidak membuat kamu gelisah dalam tidur kamu.”
***
Tapi ketika pagi hari Reihan menelpon, Emma mengatakan bahwa esok paginya mereka akan berangkat, dengan dua mobil.
Reihan merasa lega.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteAda makna 33 sudah hadir.....
Terima kasih Bu Tien.
Semoga Bu Tien sehat selalu dan selalu sehat...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
🎋🎍🎋🎍🎋🎍🎋🎍
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung ADA MAKNA 33
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
🎋🎍🎋🎍🎋🎍🎋🎍
Mulai sediiih niih... 😢
DeleteGuntur mau 'pergi' selamanya kah...? Duuuh kasihannya Guntur... 😭😭
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah ADA MAKNA~33 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 33" sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri Maryani
Aduhai 2x
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien... cerbung Ada Makna 33..sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Guntur mbalelo untuk menenangkan hati dan pikirannya.
Ayo...Guntur...maknai semua anak mu, sebelum engkau pergi di ujung waktu.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Hatur nuhun bundaqu Ada Maknanya 🙏Slamat malam dan salam seroja sll unk bunda sekeluarga🥰❤️🌹
ReplyDeleteSalam aduhai ibu Farida
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA 33 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *ADA
MAKNA 33* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah, ADA MAKNA (AM),33 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteKerennn mbak Tien...
ReplyDeleteNuwun ibu Anie
DeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap sehat wal'afiat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteAda makna sudah tayang
Semoga bunda sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah.... terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 Mas MERa
DeletePendek amat
DeleteAlhamdulillaah,matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🙏🤗🥰💖
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Ternyata Guntur bersembunyi, menghindar dari orang-orang yang dia kenal. Separah itukah...
ReplyDeleteDengan biaya yang sudah ditangan, Reihan tentunya sukses jadi dokter.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
DeleteGuntur sangat rapuh jiwa dan raganya, kemanakah dia pergi, hanya bunda Tien yang tau. Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai