ADA MAKNA 26
(Tien Kumalasari)
Wanda tertegun. Panggilan sudah sempat dijawab, tapi kemudian terputus. Lalu mencoba lagi, tidak tersambung. Berkali-kali Wanda mencoba tapi benar-benar tak bisa nyambung.
“Ada apa ini? Apa benar, Guntur tidak mau lagi berhubungan denganku? Apa dia lupa bahwa Reihan terlahir dari rahimku?"
Karena kesal ia mengirimkan pesan panjang lebar, yang isinya mengumpat Guntur yang tidak tahu berterima kasih karena darah dagingnya dia sendiri yang membesarkannya. Uang pemberiannya sebelum pergi, sudah habis untuk menyekolahkan dan membiayai semua kebutuhan Reihan. Ia juga menyatakan kemarahannya karena kedatangannya diterima dingin, bahkan dengan menahan sakit hati mendengar Guntur mengatakan bahwa dia tidak mencintainya. Wanda menambahkan lagi, bahwa semua itu karena ada kehadiran gadis sombong yang bernama Emmi. Banyak yang ditulisnya, tapi ternyata nomornya telah diblokir.
Wanda membanting ponselnya, kemudian bersiap pergi bekerja. Sudah berhari-hari dia meninggalkan kewajibannya sebagai pengajar.
Walau dengan pikiran kacau, Wanda tetap berangkat, agar tidak terkena sanksi karena kenyataannya, alasan kalau Reihan sakit sudah tidak berlaku lagi. Bukankah Reihan sudah masuk sekolah setelah dia selesai dioperasi?
***
Wahyu pulang setelah selesai mengantarkan Reihan, dan mendapati ibunya tak ada, berarti sang ibu sudah mulai masuk bekerja. Begitu memasuki kamar, ponselnya berdering.
Wahyu sangat bersyukur, telpon itu adalah sebuah panggilan kerja di sebuah perusahaan. Tapi letaknya di kota Solo. Berdebar hatinya, karena kota itu mengingatkannya pada dua orang gadis yang pernah merajai hatinya. Tia dan Emmi. Apakah pada suatu saat ia akan bertemu mereka?
Wahyu mengibaskan pemikiran tentang mereka. Ia bersiap, karena besok pagi-pagi sekali ia sudah harus berangkat. Tapi Wahyu merasa bahwa berangkat nanti sore lebih nyaman. Ia akan menginap di hotel dan ia tidak perlu tergesa-gesa untuk memulai langkahnya ke arah pekerjaan yang akan digelutinya.
Reihan terkejut karena merasa keberangkatan sang kakak begitu terkesan mendadak.
“Mengapa tiba-tiba sudah mau pergi Mas?”
“Bukan tiba-tiba, Sudah beberapa waktu yang lalu mas melamar, dan menjalani wawancara beberapa hari yang lalu. Besok pagi sudah mulai bekerja. Jadi lebih baik nanti sore mas berangkat.”
“Sepi kalau Mas nggak ada di rumah.”
Wahyu tersenyum sambil menepuk bahu adiknya.
“Mas kan tidak bekerja di tempat yang jauh. Seperti ke luar negri saja. Kalau kamu kangen, atau mas yang kangen, hanya beberapa jam perjalanan sudah bisa saling bertemu.”
“Iya sih.”
“Kamu jangan seperti anak kecil dong Rei. Sudah hampir lulus dan jadi mahasiswa, masa harus selalu dekat dengan mas? Bukankah ada ibu?”
“Ibu sering bepergian.”
“Tidak apa-apa. Dan kamu tidak usah khawatir. Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa menelpon mas. Kita bisa selalu berkomunikasi kan?”
Tiba-tiba ponsel Reihan berdering. Reihan gembira karena nomor itu adalah nomor ayahnya.
“Bapak ….”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam, Pak.”
“Biasakan mengucapkan salam kalau bapak menelpon.”
“Maaf Pak.”
“Kamu masih di sekolah?”
“Sudah di rumah. Kalau di sekolah mana bisa menerima telpon?”
“Syukurlah.”
“Rei baru akan menelpon Bapak sepulang sekolah ini tadi. Mengapa Bapak pulang?”
“Tidak apa-apa, bapak bisa merawat diri sendiri. Bapak menelpon juga hanya ingin mengatakan kalau bapak sudah pulang, jadi kamu tidak usah mencari bapak di rumah sakit.”
“Bapak harus cepat sehat ya.”
“Teruslah mendoakan bapak. Kamu belajar yang rajin, dan gapai cita-cita kamu. Semoga bapak masih hidup ketika kamu menjadi dokter.”
“Bapak jangan begitu. Bapak akan berumur sangat panjang.”
“Aamiin. Ya sudah, kabari bapak kalau butuh sesuatu.”
“Katakan, Bapak ada di mana sekarang?”
“Kamu tidak perlu tahu, yang penting bapak selalu ada untuk kamu.”
Reihan ingin memprotes tapi Guntur sudah menutup ponselnya. Reihan menelponnya, tapi ponsel sang ayah sudah tidak aktif lagi.
Berlinang air mata Reihan karena sedih dan kecewa.
“Kenapa?” tanya Wahyu.
“Bapak tidak mau mengatakan dia ada di mana,” katanya pilu.
“Barangkali bapak memang tak ingin diganggu. Yang penting bapak masih mau berkomunikasi sama kamu.”
Reihan mengangguk.
"Bapak memberi uang banyak di tabungan Reihan. Bapak mendukung keinginan Reihan untuk menjadi dokter."
“Baguslah, kita tidak usah membebani ibu untuk biaya sekolah, seperti mas yang kuliah sambil bekerja. Kamu tidak usah khawatir, nanti mas juga akan membantu biaya kamu kuliah.”
“Terima kasih Mas. Ibu juga sering tidak punya uang. Kalau bisa Rei juga akan kuliah sambil bekerja."
“Tidak apa-apa. Ibu juga punya kebutuhan, dan kita sudah bukan anak kecil lagi.”
***
Ketika keduanya sedang makan siang, sang ibu pulang, lalu ikut makan bersama kedua anaknya.
“Mas Wahyu nanti sore mau ke Solo,” kata Reihan tiba-tiba.
“Ke Solo? Kamu sudah bisa berkomunikasi dengan Tia, Wahyu?” kata Wanda dengan wajah berbinar.
“Kok Tia sih Bu?”
“Ke Solo, kalau bukan Tia siapa lagi? Jangan bilang kamu mendekati gadis sombong itu,” sungut Wanda.
“Wahyu ke sana karena mendapat panggilan kerja, bukan karena siapa-siapa.”
“Oh, kerja di sana? Mengapa di sana?”
“Kantornya ada di sana, mau bagaimana lagi?”
“Tapi pesan ibu wanti-wanti, jangan sekali-sekali kamu mendekati gadis galak itu lagi. Tia gadis yang pantas menjadi menantu ibu. Barangkali kalau kamu sudah bekerja, dia dan orang tuanya mau menerima kamu.”
“Bukankah ayahnya mengatakan bahwa Tia sudah punya calon?”
“Ah, ibu kira itu hanya alasan saja. Yang jelas adalah karena kamu belum bekerja.”
“Ibu suka sekali bermimpi.”
“Wahyu, ibu serius. Dia gadis yang baik.”
Wahyu merasa kesal. Ia tak menjawab agar tidak bertambah panjang perkataan ibunya tentang Tia.
“Mas Wahyu sudah tidak memikirkan mbak Tia lagi,” kata Reihan menimpali.
“Kamu tahu apa?”
“Gadis cantik bukan hanya satu. Ya kan Mas?”
Wahyu mengangguk sambil tersenyum.
“Awas saja kalau kamu mendekati gadis sombong itu.”
“Maksud Ibu, mbak Emmi?” Reihan masih membuat sang ibu bicara banyak. Padahal Wahyu sudah memelototinya.
“Iya. Siapa lagi?”
“Mbak Emmi itu sangat baik.”
“Karena kamu diberinya uang?” sergah sang ibu.
“Bukan itu. Dia memang baik dan cantik.”
“Sudah, diam. Kamu juga, besok kalau cari istri jangan yang seperti dia.”
“Wahyu duluan, mau berkemas,” kata Wahyu sambil berdiri, lalu beranjak ke kamarnya.
“Bagus sekali Wahyu sudah bekerja. Dia bisa membantu mencukupi kebutuhan ibu.”
“Mas Wahyu akan membiayai kuliah Reihan nanti.”
“Ibu juga butuh uang, tidak tergantung gaji ibu saja.”
“Untuk arisan? Dan kumpul-kumpul dengan teman-teman Ibu?”
“Eh, kamu tidak boleh mencela apa yang ibu lakukan. Kalau ibu tidak pergi-pergi mencari hiburan, ibu bisa pikun, bagaimana?”
Reihan diam. Ia tak berani menjawab karena kalau sang ibu marah, ia bisa melihat api di matanya.
***
Hari itu Emmi jadi dioperasi. Ardi dan Kinanti menungguinya. Ada dokter Dian juga di sana, yang kemudian mengenal ibu dan ayah sambung Emmi dengan baik. Dari sikap dan perhatian dokter Dian kepada Emmi, Kinanti dan Ardi tahu bahwa sang dokter muda jatuh cinta kepada anak gadisnya. Mereka senang, karena dokter Dian sangat baik dan sudah mapan.
Emma dan Nuri duduk di dekat dokter Dian, setelah dokter muda itu menemui dokter yang menangani operasi untuk Emmi. Nuri yang suka ceplas-ceplos, tak sungkan mengganggu dokter muda itu dengan celotehnya yang lucu.
“Saya baru tahu, mas Dokter adalah pacar mbak Emmi,” kata Nuri.
Dokter Dian tertawa pelan.
“Dari mana Nuri tahu?” tanya dokter Dian.
“Jauh-jauh datang kemari dan beberapa kali nyamperin mbak Emmi, sudah kelihatan kalau mas Dokter bukan teman biasa,” kata Nuri lagi, yang walaupun Emma mencubit lengannya tetap saja nyerocos.
“Ih, mbak Emma, kenapa sih mencubit Nuri, sakit tahu,” sungut Nuri.
“Kamu bicara yang enggak-enggak. Semua orang sedang prihatin menunggui mbak Emmi operasi,” kata Emma.
“Nuri tuh ngomong untuk mengurangi ketegangan. Kalau semuanya diam, jadi tegang terus menerus. Deg-degan itu nggak enak lhoh, ya kan mas Dokter?”
“Kamu benar,” kata dokter Dian sambil tersenyum.
“Tuh, benar kan? Nuri juga pengin jadi dokter lhoh.”
“Benarkah?” kata dokter Dian.
“Iya. Susahkah sekolah dokter?”
“Yang susah akan menjadi mudah kalau kita mau belajar.”
“Bagus sekali. Nuri akan rajin belajar mulai sekarang.”
Dokter Dian tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.
Ia tahu, keluarga Emmi adalah keluarga yang kompak dan bahagia. Ia juga tahu bahwa ayah sambung Emmi sangat mencintai istri dan anak-anaknya, tidak pilih kasih antara mereka yang anak kandung dan yang bukan.
Diam-diam ia merasa iba mengingat dokter Guntur, yang karena sebuah langkah keliru, membuat hidupnya nelangsa dan nyaris putus asa. Ia juga merasa rendah diri dan merasa tak berarti. Kebahagiaan anak-anak dan bekas istrinya justru mencabik-cabik batinnya, karena rasa ketidak berdayaannya. Tanpa terasa dokter Dian menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah lama dia tidak menjenguk dokter Guntur seperti janjinya, karena mendengar Emmi mau operasi.
“Mengapa mas Dokter menggeleng-gelengkan kepala? Mas dokter tidak percaya saya akan sungguh-sungguh belajar?” kata Nuri tiba-tiba.
“Eh, apa katamu? Bukan … bukan apa-apa, mas hanya sedang memikirkan sesuatu yang lain.”
“Bukan memikirkan ucapan Nuri?”
“Bukan. Mas senang mendengar Nuri bertekad bisa mencapai cita-cita. Mas akan mendukung kamu.”
“Sungguh?”
Lagi-lagi dokter Dian mengacungkan kedua jempolnya sambil tersenyum.
Ketegangan itu berakhir, ketika ruang operasi terbuka, dan seorang dokter keluar dari dalamnya. Dian bergegas mendekat.
Ardi dan Kinanti mengikutinya, dan merasa lega ketika dokter mengatakan bahwa operasi itu berhasil dengan baik.
***
Guntur tidak lagi berpraktek di rumahnya yang lama. Ia tak ingin lagi ada keluarga Kinanti yang mendatanginya, yang walau sebenarnya ia tahu bahwa maksudnya baik, tapi hatinya sendiri selalu merasa sakit.
Hanya dokter Dian yang tahu keberadaannya, itupun dengan janji agar tetap merahasiakan keberadaan itu.
Rumah kecil yang dihuni itu berada di dekat rumah bu Simah. Entah bagaimana, Guntur memilih tempat itu, yang dirasa lebih jauh dari keramaian. Ia mengurus tempat praktek yang baru, bukan untuk mencari uang semata, tapi untuk membunuh sepi yang seringkali melanda. Untunglah bu Simah yang merasa senang karena berdekatan dengan dokter Guntur, sering mengunjunginya, dan mengoceh yang terkadang bisa membuatnya tertawa. Mereka sangat akrab seperti keluarga.
Guntur juga dimanjakan dengan berbagai buah-buahan hasil kebun bu Simah, yang hampir setiap hari ada.
Hari itu bu Simah tergopoh-gopoh mendekati sebuah mobil yang berhenti di depan rumah dokter Guntur.
“Pak, mau ketemu pak dokter?” katanya setelah pengemudinya, yang ternyata dokter Dian, turun dari dalam mobil.
“Mau periksa ke dokter Guntur?” tanyanya lagi.
“Tidak, saya temannya.”
“Oh, teman?”
“Iya. Benar ini kan rumahnya?”
“Iya, benar. Sebentar. Biasanya jam segini pak dokter masih tidur, akan saya bangunkan dulu,” kata bu Simah sambil bergegas mendekati rumah Guntur, langsung ke arah belakang melewati samping, karena pintu depannya tertutup.
“Dokter … dokter … ada tamu,” katanya langsung masuk melewati pintu belakang.
Guntur tidak sedang tidur. Ia sedang membaca-baca buku di ruang tengah.
“Tamu?”
“Iya, naik mobil, katanya bukan mau periksa. Apa benar dia teman dokter? Masih muda, ganteng pula.”
Guntur bergegas keluar, dan melihat dokter Dian sudah berdiri di depan pintu.
“Dokter Dian, silakan masuk.”
Bu Simah merasa senang ada tamu untuk dokter Guntur yang dikaguminya.
“Dokter, saya buatkan minum, dan ada pepaya masak, boleh saya hidangkan?” kata bu Simah.
“Baik Bu, terima kasih,” jawab Guntur.
“Dokter punya pembantu?” tanya dokter Dian.
“Eh, bukan. Dia tetangga sebelah.”
“Oh, maaf.”
Keduanya berbincang tentang keadaan masing-masing, lalu bu Simah datang membawa nampan berisi minuman hangat dan irisan pepaya jingga di atas piring.
“Silakan, ini hasil kebun saya.”
“Terima kasih, Bu.”
“Bu Simah, ini juga dokter, dokter Dian namanya. Beliau yang merawat saya ketika sakit di Semarang.”
“O, ya ampuun, sama-sama dokter. Saya Simah, tetangga sebelah,” kata bu Simah memperkenalkan diri.
“Terima kasih sudah disuguhin pepaya segar.”
“Silakan dinikmati,” kata bu Simah sambil berlalu ke belakang.
“Sebenarnya sudah lama saya ingin menengok keadaan Dokter, tapi terhambat karena mendampingi Emmi operasi,” kata dokter Dian.
“Emmi? Operasi apa?” tak urung Guntur terkejut mendengarnya.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteasiikkk... matur nuwun Mbak Tien
DeleteSami2 jeng Ira
DeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Matur suwun sanget bu Tien
ReplyDeleteSani2 pak Indriyanto
Delete🍒🌿🍒🌿🍒🌿🍒🌿
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏 💞
Cerbung ADA MAKNA_26
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam seroja🌸🦋
🍒🌿🍒🌿🍒🌿🍒🌿
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Terima ksih bundaqu AM 26 nya..slmt mlm dan slmt istrhat..salam seroja dan aduhai unk bunda sekel🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteAduhai
Alhamdulillah ADA MAKNA~26 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 26" sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri Maryani
Aduhai 2x
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap sehat wal'afiat....
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Aduuh...jadi deg2an, takut Reihan keceplos cerita ibunya kalau dikasih uang banyak ayahnya untuk persediaan kuliah kelak....sudah cerita ke Wahyu.🤭
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...koreksi sedikit: "sanksi"=hukuman, beda arti dengan "sangsi"=ragu/keraguan. Salam sehat, bu...🙏🏻
Matur nuwun koreksinya
DeleteSalam hangat ibu Nana
Sami2, ibu.😘😘
DeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteMks bun AM 26 sdh tayang....selamat mlm bun salam sehat tetap semangat
ReplyDeleteSamif2 ibu Supriyati
DeleteSalam sehat juga
Wahyu akan berdekatan dengan Tia dan Emmi. Akan ada affair kah...
ReplyDeleteGuntur memilih milih orang untuk dijadikan orang-dekat. Orang yang bisa menghargai pendapatnya. Bukan orang kaya yang pamer dan mengobral
kekayaan .
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah, ADA MAKNA (AM),26 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah, sehat selalu mbakyu 🙏
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Kun
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda
Sami2 ibu Endah
DeleteAamiin Ya Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun mas Kakek
Alhamdulillah... terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete