ADA MAKNA 22
(Tien Kumalasari)
Emmi sangat terkejut. Ada yang menyala pada wajah sang ayah, seperti bara, siap menghanguskan apapun yang ada di dekatnya. Apa dia salah? Dia hanya mengatakan tentang kebaikan hati Ardi yang bersedia membantu pendidikan Reihan. Mengapa ayah Guntur marah? Dan itu bukan kemarahan biasa. Kemarahan yang membuat Emmi gemetar ketakutan. Dan Emmi tidak mengerti, mengapa ayah Guntur marah? Apa yang membuatnya marah? Dia harusnya senang karena dibantu, mengapa marah? Emmi tidak mengerti, Emmi sama sekali tidak mengerti. Menurutnya, orang yang dibantu harusnya berterima kasih bukan? Tapi kenapa begini? Kenapa ayah Guntur marah?
“Bapak memang orang yang tak memiliki harga. Bapak tidak mampu berbuat apa-apa. Dan kamu telah membuat bapakmu semakin terpuruk, lemah, tak berharga. Kamu terlalu merendahkan bapakmu ini,” keras sekali suara Guntur, menggelegar seperti ledakan granat.
“Apa? Merendahkan? Bukankah bapak Ardi justru ingin membantu?” kata batin Emmi, tanpa mampu mengucapkan apapun.
Kemudian Emmi melihat sang ayah terengah-engah, lalu dari yang tadinya duduk di tepi ranjang, tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya untuk berbaring.
Emmi memburunya, walau kakinya masih gemetar.
“Bap .. pak…” gemetar Emmi ketika mengucapkannya.
Tapi Guntur diam, memejamkan matanya. Tangannya bergerak-gerak, memberi isyarat seperti menyuruhnya pergi.
Dari takut karena amarah, Emmi menjadi sangat khawatir melihat keadaan sang ayah. Ia segera memencet bel untuk memanggil perawat.
Seketika itu juga, bukan hanya perawat yang datang, tapi juga dokter Dian, karena begitu menerima panggilan, sang perawat langsung memanggil dokternya.
“Ada apa lagi ini?” kata dokter Dian sambil mendekati pasien.
“Entahlah, tadi bapak marah-marah.”
“Marah-marah? Kenapa?”
Emmi menggeleng, tapi air mata menggenangi pelupuk matanya.
“Tenanglah, bapak tidak apa-apa,” kata dokter Dian setelah memeriksa keadaan Guntur.
“Mengapa Bapak marah?” lirih suara Emmi ketika mengucapkannya.
Dokter Dian berbicara kepada perawat yang membantunya, seperti memerintahkan sesuatu, lalu dokter Dian mengajak Emmi keluar.
“Ikut aku.”
Emmi mengikuti dokter Dian ke ruang kerjanya, lalu mereka duduk berhadapan. Emmi mengusap air matanya, lalu dokter Dian mengulurkan selembar tissue yang ada di depannya.
“Ada sesuatu?” tiba-tiba dokter Dian mengira bahwa kemarahan Guntur adalah karena Emmi menolak dirinya, yang sudah berterus terang tentang rasa sukanya kepada Emmi.
“Jangan merasa terpaksa. Kalau memang hati tidak suka, ya tidak apa-apa. Tapi harus mengatakan kepada bapak dengan baik-baik. Ingat kesehatan bapak,” lanjut sang dokter, karena Emmi belum menjawab sepatah katapun.
“Apa maksud Dokter?”
“Aku ini dokter yang merawat dokter Guntur. Aku ingin dokter Guntur tidak menjadi parah karena banyak hal yang membuatnya kecewa, atau apalah, pokoknya yang tidak menyenangkannya.”
“Ya, saya tahu. Tapi saya melakukan apa? Saya merasa tidak membuat bapak marah. Saya justru ingin bapak senang karena bebannya terkurangi.”
“Aku tidak mengerti. Bisakah kamu mengatakan semuanya? Jangan ada yang disembunyikan. Kalau ada hal yang membuatnya marah, aku akan berusaha menenangkan hatinya. Apa bapak mengatakan sesuatu yang … mm … ada hubungannya dengan aku?” dokter Dian memancing.
“Tidak. Semua itu tidak ada hubungannya dengan Dokter.”
Dokter Dian menarik napas lega. Jadi bukan karena penolakan Emmi atas dirinya. Lalu dia memarahi dirinya sendiri yang begitu cepat berterus terang tentang perasaannya kepada dokter Guntur. Tapi kemudian dia bersyukur karena ternyata dokter Guntur marah-marah bukan karena dirinya.
“Mengapa aku memikirkan itu,” gumamnya pelan membuat Emmi heran.
“Memangnya Dokter memikirkan apa? Apa yang ingin Dokter katakan dengan mengajak saya ke ruangan Dokter? Tentang bapak kan?”
“Benar, tentang dokter Guntur. Apa sebenarnya yang terjadi?”
Emmi sebenarnya keberatan mengatakannya. Ini kan urusan keluarga? Lagipula dokter Dian kan tidak tahu bagaimana rumitnya keluarga orang tuanya?
“Tidak apa-apa, kalau memang sangat pribadi. Saya hanya berusaha membantu, siapa tahu bisa menenangkan.”
“Ceritanya panjang. Dan ini memang masalah keluarga.”
“Kalau memang membuat bapak marah, pastinya tidak usah menceritakan hal itu.”
“Sebenarnya saya tidak ingin membuat bapak marah. Saya hanya heran kenapa mendengar hal itu bapak jadi marah?”
“Kamu menyinggung perasaannya, barangkali?”
Emmi terdiam. Ia mencoba mengupas semuanya. Ia mengatakan bahwa bapak Ardi ingin membantu, lalu … ayah Guntur marah. Apakah itu namanya tersinggung?
“Ya Tuhan. Itukah yang membuat bapak tersinggung?” gumamnya.
“Ketemu jawabannya?”
“Mungkin,” jawab Emmi pelan, sambil masih berpikir.
“Baiklah, nanti aku akan bicara secara pribadi dengan bapak. Kamu tidak usah mengatakan apa-apa.”
Emmi mengangguk. Ia lega karena tidak harus mengatakan kerumitan keluarganya.
***
Esok paginya Ardi menelpon Emmi, menanyakan tentang Reihan dan semua kebutuhannya. Untunglah waktu itu Emmi tidak sedang di kamar sang ayah. Ia sedang berjalan-jalan untuk mencari sesuatu.
“Bapak jangan dulu memikirkan kebutuhan Reihan.”
“Kenapa? Ayah Guntur terlanjur mentransfer ke rekening Reihan?”
“Tidak, Emmi juga sedang bingung nih. Emmi ngomong pada ayah Guntur, tentang keinginan Bapak membantu. Tapi ayah Guntur marah-marah.”
“Marah? Kenapa? Bapak ini sahabatnya, ingin membantu, apa yang membuatnya marah?”
“Emmi juga tidak mengerti. Tapi kemudian Emmi berpikir, apakah ayah Guntur tersinggung?”
“Tersinggung?”
“Mungkin. Tapi entahlah, Emmi belum bicara banyak. Setelah Emmi bicara itu ayah Guntur tidak mau bicara. Emmi jadi sedih.”
Ardi termenung setelah menelpon Emmi. Perkataan tersinggung masih mengiang ditelinganya. Benarkah tersinggung?
“Kok Bapak belum siap-siap? Ini sudah jam delapan,” tiba-tiba Kinanti muncul di ruang kerjanya.
“Baru saja aku menelpon Emmi.”
“Apa kabar dia?” Kinanti memang selalu minta agar Ardi yang menelpon. Ada perasaan tak enak kalau nanti Guntur ada di dekat Emmi, atau Emmi memintanya bicara dengan ayahnya.
“Kemarin aku bilang pada Emmi, ingin membantu biaya sekolah Reihan, adik tirinya.”
“Sudah Bapak lakukan?”
“Baru mau melakukan, tapi kata Emmi, begitu ia mengatakannya pada Guntur, Guntur marah-marah.”
“Marah?”
“Sejak kemarin tidak mau bicara. Emmi berpikir bahwa Guntur tersinggung. Tapi mungkin benar. Dia tersinggung karena aku sering membantu. Kemarin biaya operasi Reihan, dan sekarang aku ingin membantu biaya kuliahnya nanti.”
Kinanti terdiam. Banyak yang dipikirkannya.Tersinggung … tersinggung … layaknya orang dibantu pasti berterima kasih, tapi … tersinggung … bisa juga sih, kan sebelumnya Bapak tidak mengenal Reihan. Atau … mungkin dia merasa tidak berguna, karena kebutuhan anak kandungnya diberi oleh orang lain.”
”Nah, itu yang benar. Merasa direndahkan, atau merasa tidak berdaya, atau … sebangsanyalah.”
“Kalau begitu Bapak tidak usah ikut campur. Nanti dikira Bapak meremehkan dia.”
“Baiklah, tapi nanti kalau aku kesana, aku akan bicara. Aku tidak bermaksud merendahkan atau meremehkan dia. Nggak enak kalau dikira meremehkan. Barangkali dia ingin melakukan sesuatu untuk darah dagingnya, tidak mau diganggu dengan bantuan orang lain.”
“Terkadang seseorang ingin punya arti bagi darah dagingnya,” kata Kinanti pelan.
“Kamu benar, Bu. Baiklah, aku bisa mengerti.”
***
Dokter Dian datang ke ruangan Guntur, sebelum praktek. Jadi dia datang sendiri. Ia melihat Guntur duduk di tepi ranjang, tapi ia tak melihat Emmi di ruangan itu.
“Apa kabar Dokter hari ini?” sapanya kemudian duduk di depannya, di atas kursi yang selalu tersedia di situ, untuk memudahkan Emmi melayaninya.
“Saya jauh lebih baik. Kalau boleh saya ingin pulang segera.”
“Dokter belum begitu baik. Suasana hati masih naik turun. Benar kan? Dan itu membuat Dokter tidak baik-baik saja.”
“Saya tahu … saya tidak akan bisa sembuh.”
“Putus asa membuat kita menjadi lemah. Lebih baik dokter berjuang untuk melawan sakit, daripada merasa tidak punya harapan sembuh.”
“Seorang manusia yang gagal dalam kehidupan, tidak akan pernah bisa sembuh.”
“Tidak. Bukan begitu. Kegagalan itu lumrah, tapi gagal bukan berarti jatuh, bukan?”
“Bagi saya, itu adalah kejatuhan.”
“Sepertinya Dokter mengalami trauma yang amat parah.”
“Saya banyak dosa.”
“Bukankah bertobat adalah langkah untuk menghapus dosa?”
“Tidak semudah itu. Dosa, kemudian gagal.”
“Bukankah kegagalan membuat kita harus bangkit lalu mendandani mana yang gagal dan yang kurang? Memiliki putri cantik dan pintar, apakah tidak membuat Dokter bersemangat?”
“Saya baru beberapa hari ketemu anak saya.”
“Maksudnya?”
“Saya meninggalkan anak-anak saya ketika mereka masih balita. Baru beberapa hari ini ketemu.”
Dokter Dian terdiam. Ia tentu saja tidak tahu apa dan siapa dokter yang sekarang menjadi pasiennya.
“Saya akan menceritakan kisah hidup saya.”
Entah karena merasa bahwa dokter Dian adalah dokter yang baik, atau karena ingin agar suatu saat nanti bisa menjadi menantunya, maka kemudian dia menceritakan semua kisah hidupnya, dari awal dia mengenal Kinanti, sampai kemudian berpisah karena kesalahannya, lalu ketika dia sadar, sudah terlambat untuk mendandaninya, karena Kinanti sudah menjadi milik orang lain, dan seterusnya.
Dokter Dian mendengarkan dengan seksama, lalu ia bisa mengerti mengapa kemarin dia marah-marah kepada Emmi.
Rasa haru menyelimutinya. Sebagai sesama laki-laki, dia bisa merasakan apa yang dirasa oleh dokter seniornya itu. Ada harga diri yang ingin digenggamnya. Ada keinginan punya arti dalam sisa kehidupannya, lalu ia terhempas ketika keinginan untuk berbuat sesuatu dipatahkan oleh sebuah kekuatan yang lebih segala-galanya dan jauh sekali berada di atasnya. Dia merasa bukan siapa-siapa.
***
Hari itu Wahyu punya waktu luang setelah segala sesuatu yang menyangkut kelulusannya sudah diselesaikan. Dia juga sedang menunggu panggilan dari beberapa perusahaan dimana dia melamarnya.
Pemikiran atas kelakuan ibunya yang membuatnya selalu terganggu, kemudian membuatnya nekat menemui Suryawan di rumahnya.
Kedatangan Wahyu membuat Suryawan heran karena bukankah ketika Wanda datang dia sudah mengatakan secara halus bahwa dia menolak menjadikan Wahyu sebagai menantunya?
Walau begitu Suryawan berusaha menerimanya dengan ramah.
“Silakan duduk Nak. Bapak hanya sendirian, sama pembantu. Soalnya ini kan hari libur? Jadi semua pergi.”
“Iya Pak, saya tahu. Saya memang ingin menemui Bapak.”
“Oh ya? Beberapa hari yang lalu ibu Wanda juga datang kemari.”
“Iya. Dan kedatangan saya kemari juga ada hubungannya dengan kedatangan ibu beberapa hari yang lalu itu.”
Suryawan menatapnya tajam. Jadi rupanya Wahyu memang gigih untuk mendapatkan Tia?
“Nak Wahyu, waktu bu Wanda datang, saya sudah mengatakan bahwa Tia sudah ada yang punya.”
“Maaf Pak, kedatangan saya kemari ini bukan untuk melanjutkan pembicaraan ibu. Waktu itu ibu saya datang kemari tanpa sepengetahuan saya. Saya terkejut ketika ibu mengatakan semuanya, padahal saya tidak bermasud untuk melamar Tia.”
“O, jadi itu kemauan bu Wanda sendiri?”
“Saya ingin minta maaf atas apa yang sudah dibicarakan ibu saya. Itu bukan keinginan saya. Saya juga minta maaf apabila apa yang dikatakan ibu saya kurang berkenan.”
Suryawan tersenyum dan diam-diam merasa simpati atas sikap Wahyu yang meminta maaf atas kelakuan ibunya.
“Oh, begitu ya? Tidak apa-apa Nak, terkadang orang tua suka bertindak atas dasar keinginannya, yang belum tentu sesuai dengan keinginan anaknya. Nak Wahyu tidak usah memikirkannya, saya sudah melupakannya.”
“Terima kasih atas pengertiannya, Pak.”
“Kabarnya nak Wahyu sudah selesai kuliahnya?”
“Atas restu Bapak, saya tinggal menunggu wisuda, dan tentu saja menunggu saya diterima bekerja yang entah di mana nantinya.”
“Bapak doakan semoga segera mendapatkan pekerjaan itu.”
“Aamiin, terima kasih Pak.”
Ketika meninggalkan rumah Suryawan, Wahyu merasa lega karena telah diterima Suryawan dengan baik, dan Suryawan bersedia memaafkannya.
***
Emmi kembali memasuki ruang ayah Guntur, setelah membeli semua keperluannya sendiri. Sang ayah duduk sendirian, menatapnya tak berkedip.
“Maaf, Emmi agak lama perginya.”
“Tidak apa-apa. Bapak mau bilang, bahwa sebaiknya kamu segera pulang.”
Emmi terkejut mendengar perkataan sang ayah.
“Bapak mengusir saya?” tanyanya dengan suara bergetar. Ia merasa sang ayah masih marah padanya.
“Sudah berhari-hari kamu menemani Bapak. Sebaiknya kamu segera pulang, karena bapak juga mau pulang.”
“Apa?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah Ada Makna 22 sudah hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien.
Semoga Bu Tien sehat selalu dan selalu sehat.
Tetap ADUHAI dan terus berkarya.
Selamat berbuka puasa.
🤝🤝🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda tien
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Hanupis(hatur nuhun pisan) bundaqu AM ke 22 nya..slm sehat sll dan tetap aduhai unk bundaqu sekel 🙏🥰❤️🌹
ReplyDelete🫑🫛🫑🫛🫑🫛🫑🫛
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏 💞
Cerbung ADA MAKNA_22
sudah tayang
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam seroja🌹🦋
🫑🫛🫑🫛🫑🫛🫑🫛
Wanda sdh kelihatan betapa bodohnya dia. Untung anak2 nya pinter semua.
ReplyDeleteKasihan Dr Guntur ug terus di kejar2 rasa bersalahnya di masa lalu.
Saya yakin ibu Tien akan mengulasnya secara gamblang.
Salam persahabatan selalu.
Alhamdulillah ADA MAKNA~22 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Matur Nuwun mbak Tien. ...
ReplyDeleteSyukurlah kalau Guntur sudah sembuh. Tapi apa sudah sehat benar atau sehat sehatan saja.. Mungkin karena semangat ingin mengijabkan Emmi dengan dokter Dian.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Matur nuwun Mbak Tien. Salam sehat selalu.
ReplyDeleteWaah...Tia sudah ada yang punya? Hmm...🤔
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam damai sejahtera.🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA 22 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Alhamdulillah mtr bu Tien, salam sehat dari mbantul
ReplyDeleteTerima kasih sdh tayang.... sllu luar biasa... semoga Mbu Tien sllu sehat bersama keluarga trcnta
ReplyDeleteAlhamdulillah, ADA MAKNA (AM),22 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAlhamdulilah , Am 22 sdh tayang, maturnuwun bu Tien ...semoga bu Tien sll sehat wal afiat ... salam sehat dan aduhai aduhai bun 😍😍❤️❤️
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSetelah membaca episode ini, rasanya hari berikutnya harus tiba lebih segera agar saya bisa membaca episode berikutnya...
ReplyDeleteMbak Tien memang penutur cerita yang ulung...
Terimakasih Mbak Tien...
Terimakasih bunda Tien,salam sehat dan aduhai selalu
ReplyDeleteTerima kasih, ibu. Rasanya sudah tidak sabar untuk mendengarkan cerita selanjutnya.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSelamat bepuasa di hari ke 29, semoga kita semua mendapatkan "la'alakum tattaqun"
Top
ReplyDeleteMARKOTOP
ReplyDelete