ADA MAKNA 10
(Tien Kumalasari)
Ardi menatap sahabatnya tak berkedip. Seakan tak percaya pada apa yang didengarnya.
“Maaf Ardi, aku tidak bisa.”
“Memangnya kenapa Guntur? Kamu tidak rindu pada anak-anakmu? Kamu tidak ingin melihatnya saat mereka tumbuh menjadi dewasa? Mereka sudah menjadi gadis-gadis remaja yang cantik. Seandainya bunga, mereka sedang mekar-mekarnya. Mereka sudah kuliah dan Emma sudah kelas tiga SMA. Temui mereka, walau hanya sebentar saja.”
Guntur menundukkan wajahnya. Lalu ia menengadahkan kepalanya, menahan air mata yang hampir runtuh melalui pelupuknya. Hatinya tergetar mendengar Ardi menggambarkan keadaan anak-anaknya. Ia yakin bahwa Ardi telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Ia yakin bahwa Ardi mencintai mereka dengan sepenuh jiwa. Lalu untuk apa ia datang menemui mereka? Masihkah dirinya punya makna bagi anak-anak yang ditinggalkannya saat mereka tidak mengerti tentang hitam dan putihnya keluarga orang tuanya?
“Mereka sudah cukup mendapatkan curahan kasih sayang dari kamu, mereka tumbuh besar dengan penuh cinta dan kasih sayang. Aku tidak ingin merusaknya,” katanya sendu.
“Apa maksudmu merusaknya? Mereka mendambakan ayah kandung yang mengukir jiwa raganya. Mereka merindukan kamu, Guntur.”
“Kamu adalah ayahnya. Kamu adalah tempat bernaung yang teduh bagi mereka. Kamu tahu, aku sangat berterima kasih untuk kamu. Anakku tidak terlantar walau tanpa ayah kandungnya. Anakku hidup nyaman dan kamu telah mempersiapkan mereka untuk menjadi orang yang benar benar orang. Tidak Ardi, aku tidak mau ikut bersamamu.”
“Sehari saja, nanti aku antarkan lagi kamu ke rumah kamu.”
“Tolong mengertilah,” katanya sambil mengusap air matanya.
“Aku tidak bisa mengerti,” kesal Ardi sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia kehabisan kata-kata untuk membujuknya. Guntur benar-benar tidak mau ikut bersamanya. Hatinya keras seperti batu karang di lautan.
“Ada lagi yang kamu perlu tahu. Anak Wanda, darah dagingmu, juga sedang mencari-cari keberadaanmu.”
Guntur menatap Ardi dengan mata basah.
“Anakku?”
“Kamu merasa punya anak kan?”
“Itu anak Zaki.”
“Bukan, dia punya adik. Bayi baru lahir yang kamu tinggalkan.”
Guntur diam. Dia hampir melupakannya, karena Wanda memang tak pernah ada di hatinya. Semenjak mereka berpisah, Guntur menganggap semuanya sudah selesai. Perempuan bernama Wanda tak pernah lagi diingatnya.
Tapi kemudian dia ingat bayi itu. Bayi laki-laki yang diberinya nama Reihan, kemudian ditinggalkannya.
“Apa aku harus mengabarkan pada mereka tentang keberadaanmu?”
“Jangan. Aku mohon.”
“Sebenarnya apa yang kamu cari dalam hidup ini? Kamu tetap menyendiri, tanpa teman, ditempat yang sepi, jauh dari keramaian, jauh dari sanak saudara ….”
“Aku tidak mencari apapun. Semua tak ada artinya.”
“Guntur, kamu bener-benar tak mau ikut bersamaku? Walau sehari saja?”
Guntur diam. Hidupnya tak punya makna. Tak ada artinya bagi siapapun juga, bahkan bagi anak kandungnya. Ia juga tak ingin bertemu Kinanti. Bayang-bayang cinta yang tampak maya, terasa mengiris-iris jiwanya menjadi serpihan luka yang terasa perih dan berdarah-darah. Dan itu adalah karena kesalahannya.
Ardi pulang tanpa hasil. Ia hanya mendapat nomor kontak Guntur yang untunglah mau memberikannya. Hari sudah sore ketika Ardi dalam perjalanan pulang ke penginapan. Guntur tak mengantarnya sampai keluar ruangan. Ia tetap duduk di kursinya, menatap punggung laki-laki gagah yang telah menggantikannya menjadi suami dan bapak, bagi istri dan anak-anaknya.
Guntur menelungkupkan wajahnya, melepaskan tangisnya dengan isak yang sejak tadi ditahannya.
***
Ardi mengendarai mobilnya dengan perasaan sedih dan kesal. Ia mencoba mengerti atas penolakan Guntur. Mungkin dia malu. Mungkin dia merasa tak berharga. Ada sakit, ada luka, tapi ada cinta yang masih tersisa. Mampukah Guntur menatap wajah Kinanti yang penuh dengan bias-bias cinta yang masih terpateri dalam jiwanya? Tapi tangan Guntur tak lagi mampu meraihnya? Kinanti hanya tinggal angan-angan. Kalaupun bertemu, pasti hanya akan menguak kembali luka lama yang membuatnya semakin berdarah-darah. Ardi mencoba mengerti. Ardi mencoba memaafkan Guntur yang sebenarnya membuatnya kecewa.
Dering ponsel membuat lamunannya buyar seketika. Rupanya Kinanti menunggu berita darinya. Apakah Kinanti masih memikirkan Guntur. Pasti tidak. Kinanti lebih memikirkan tangis anaknya yang bertanya di mana bapaknya berada. Ucapan salam sampai dihiraukannya sehingga Kinanti agak berteriak ketika menanyakan keberadaannya.
“Bapak ada di mana?” tanya Kinanti dari seberang, yang agak khawatir karena Ardi tidak membalas salamnya tadi.
“Dalam perjalanan, mau kembali ke penginapan.”
“Sudah mau kembali? Berarti sudah ketemu dia?”
“Sudah.”
“Bagus sekali, apa dia mau menemui anaknya?”
“Tidak.”
“Tidak? Ada apa Pak? Bapak juga kelihatan lesu ketika menjawab pertanyaanku.”
“Pokoknya Guntur tidak mau aku ajak ke rumah untuk menemui anak-anaknya.”
“Dia mengatakan alasannya?”
“Ibu pasti tahu lah, apa alasannya.”
“Maksudnya?”
“Dia laki-laki. Dia merasa tak berharga. Tiba-tiba datang dan menyaksikan kebahagiaan mereka yang bukan oleh dirinya, pasti sangat membuatnya sakit.”
“Ah, mengapa dia berpikir begitu?”
“Kamu harus mengerti, seperti aku juga mencoba mengerti.”
“Apa yang harus kita katakan kepada anak-anak?”
“Suruh mereka yang menemuinya.”
“Ah, begitukah?”
“Harus begitu. Kita tidak bisa memaksanya. Nanti kalau pulang akan aku ceritakan semuanya.”
“Aku tidak boleh mengatakan apapun kepada mereka sebelum Bapak pulang?”
“Terserah saja. Kalau jelasnya nanti aku yang akan mengatakannya. Nanti aku antarkan mereka menemuinya.”
“Baiklah, tentu kalau Bapak ada waktu luang. Jadi kapan Bapak pulang?”
“Besok siang, barangkali sudah bisa pulang. Pagi besok aku bisa mengadakan rapat karena sudah bertemu Guntur, lalu tinggal memikirkan perusahaan. Semoga permasalahan segera selesai.”
“Baiklah, Bapak harus hati-hati ya.”
Hanya itu yang bisa dikatakan Ardi. Memang Guntur tak banyak bicara. Ia hanya mengatakan tentang kepergiannya ke luar Jawa yang dijalaninya beberapa tahun, kemudian merasa tak nyaman, lalu meminta pensiun dini untuk kembali ke Jawa. Entah mengapa ketika kemudian memilih Wonosobo sebagai kota tempatnya tinggal. Barangkali udaranya yang dingin, menyejukkan, atau barangkali juga karena tidak terlalu ramai sehingga ia bisa hidup tenang.
***
Wahyu yang berkali-kali menelpon Emmi tidak pernah mendapat tanggapan, menulis panjang lebar di pesan WA nya, Emmi juga mendiamkannya tanpa jawaban. Barangkali Emmi masih mencari kata-kata yang tepat dan tidak menyakiti, agar Wahyu tidak lagi menghubunginya. Wahyu terus saja mengirim pesan. Isinya hanya berkutat tentang mengapa sikapnya berubah, mengapa tidak menerima telponnya, mengapa tidak pernah mengatakan kangen seperti sebelumnya. Emmi hanya mengamatinya, sampai ketika sang ibu mendekatinya.
“Sedang sibuk dengan seseorang?” tanya sang ibu tiba-tiba.
“Tidak, hanya menanyakan jadwal kuliah karena tadi tidak mengikutinya,” jawabnya berbohong.
“Tadi ibu sudah menelpon ayahmu.”
“Pulangnya masih lama?”
“Besok siang dari sana.”
“Syukurlah.”
“Bapak bertemu seseorang. Kamu pasti senang mendengarnya.”
Emmi mengangkat wajahnya.
“Ayahmu.”
Emmi sedikit bingung. Kenapa ayahnya?
“Bapak bertemu ayahmu.”
Emmi menegakkan tubuhnya, menatap sang ibu lebih lama.
“Bertemu … ayah Guntur?”
Kinanti mengangguk, membuat wajah Emmi berseri.
“Itu benar? Apakah sebenarnya bapak memang mencari keberadaan ayah Guntur?”
“Tidak, hanya kebetulan saja, ketika dia mengantarkan seseorang yang terluka di jalan.”
“Lalu diantarkannya ke seorang dokter yang ternyata ayah Emmi?”
“Benar.”
“Besok bapak akan mengajaknya datang kemari?”
“Tampaknya tidak.”
“Yaah, mengapa tidak?”
“Kamu yang harus menemuinya.”
Emmi berdiri, lalu bergegas ke dalam, mencari sang adik.
“Emmaaaaa,” teriaknya.
Emma yang sedang belajar di kamarnya terkejut ketika Emmi tiba-tiba masuk.
“Ada apa sih? Membuat orang terkejut saja.”
“Minggu ini kamu ada liburan tidak?”
“Libur ya Minggu. Ada apa? Mau mengajak Emma jalan-jalan?”
“Ya, kita akan jalan-jalan.”
“Asyiiik, ke mana?”
“Bapak ketemu ayah kandung kita.”
“Apa?”
“Ayah kandung kita, ayah Guntur.”
“Benarkah?”
“Bersiap-siaplah, hari Minggu kita ke sana.”
“Di mana ayah Guntur tinggal?”
“Aduh, di mana ya, Emmi lupa menanyakan pada ibu.”
“Informasi nggak jelas.”
“Pokoknya nanti kita akan tahu, menunggu bapak pulang.”
“Ada apa sih, teriak-teriak?” tiba-tiba Nuri langsung saja nongol.
“Besok Minggu mbak Emmi akan mengajak kita jalan-jalan. Kamu mau ikut?”
“Jalan-jalan? Ikut dong. Sama bapak sama ibu kan?”
“Pastinya iya. Ayuk keluar, biar mbak Emma belajar lagi,” kata Emmi sambil menggandeng tangan adiknya keluar dari ruangan.
Kinanti hanya tersenyum melihat ulah anak-anaknya. Tapi dia tidak akan ikut. Kinanti tahu kalau kedatangannya nanti akan membuat perasaan Guntur tidak nyaman. Biarlah mereka diantar Ardi, tanpa dirinya.
***
Wahyu sedang mandi ketika ponselnya berdering.
Wanda mendekat, dan wajahnya berseri ketika melihat siapa yang menelpon. Tanpa sungkan ia segera menerima panggilan itu.
“Wahyu, apa kabar?”
“Aku ibu Wanda, bukan Wahyu Nak.”
“Oh, Ibu? Maaf.”
“Wahyu sedang mandi.”
“Oh, baiklah.”
“Apa kabarmu Nak?” tanya Wanda ramah.
“Baik Bu, Ibu juga baik kan?”
“Ya. Kapan mau main ke Semarang?”
“Belum ada waktu Bu. Ibu saja yang main ke sini?”
“Senang sekali, seandainya ibu bisa. Nanti sambil mau ziarah ke makam ayahnya Wahyu.”
“Benarkah?”
“Iya, dalam waktu dekat ini. Tapi Wahyu kan mau ujian skripsi dulu Minggu ini. Setelah dia ujian. Mudah-mudahan semuanya lancar. Doakan ya.”
“Iya Bu, pasti Tia doakan.”
“Tapi tidak, sebaiknya sebelum dia ujian saja ibu mengajaknya ke makam ayahnya. Kata orang Jawa, kalau berharap sesuatu, ada baiknya mengingat untuk ziarah ke makam orang tua, agar doa atau keinginan kita dikabulkan.”
“Masa Bu?”
“Kata orang Jawa kuna. Bukan minta doa di pemakaman, hanya mengingat yang sudah meninggal saja, dengan mengirimkan doa.”
“Telpon dari siapa?” tiba-tiba Wahyu muncul.
“Ini, Wahyu sudah selesai,” kata Wanda sambil menyerahkan ponselnya kepada Wahyu, lalu ia keluar dan membiarkan keduanya berbincang.
***
Ardi bercerita panjang lebar tentang pertemuannya dengan Guntur. Istri dan anak-anaknya mendengarnya dengan penuh perhatian. Nuri yang tidak mengerti siapa sebenarnya yang diperbincangkan, tak tahan untuk tidak bertanya.
“Siapa sih, ayah Guntur itu?”
Kinantilah yang kemudian mengatakan kepada Nuri, siapa sebenarnya ayah Guntur yang diperbincangkan.
“O, jadi bapak ini bukan ayahnya mbak Emmi dan mbak Emma?”
“Bapak juga ayahnya mbak Emmi dan mbak Emma, tak ada bedanya dengan dirimu. Tapi ada ayah yang sebenarnya ayah kandung mbak Emmi dan mbak Emma, yang bercerai dengan ibumu ketika mereka masih kecil,” terang Ardi dengan hati-hati.
Nuri mengangguk-angguk mengerti, sambil merasa heran karena baru sekarang dia mengetahuinya.
“Tapi Bapak menyayangi kalian seperti anak bapak sendiri. Tak ada yang berbeda, sekarang, atau nanti. Nuri harus tetap menyayangi kakak-kakaknya, dan kakak-kakaknya juga akan menyayangi Nuri, sampai kapanpun. Bukankah begitu?”
“Tentu saja Pak,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Baiklah, sekarang kalian istirahat ya, jangan lupa besok Minggu kita temui ayah Guntur.”
“Apa Nuri boleh ikut?” tanya Nuri yang kemudian merasa bahwa ayah Guntur bukanlah ayahnya.
“Tentu saja ikut. Kan kita juga mau jalan-jalan.”
“Tapi ibu tidak ikut. Minggu itu ada acara dengan dokter-dokter teman ibu,” kata Kinanti.
Ardi menatapnya lalu tersenyum mengerti.
***
Hari itu Emmi sedang mengendarai sepeda motornya sepulang kuliah. Di sebuah jalan yang berlobang, Emmi teringat bahwa dia pernah jatuh di situ. Di dekatnya adalah tanah pemakaman, di mana dia pernah jatuh dan ketemu Wahyu. Ia jadi teringat Wahyu, yang akhir-akhir ini diperlakukannya dengan sangat tidak menyenangkan. Emmi merasa harus bertemu Wahyu dan mengatakan alasan mengapa dia tak lagi pernah menanggapi telpon maupun pesan singkatnya.
Dan seperti mendapat firasat baik, tiba-tiba ia melihat mobil diparkir di depan tanah pemakaman itu. Emmi masih ingat, itu mobil Wahyu.
“Kebetulan. Sebaiknya aku menemuinya sekarang, agar Wahyu tidak selalu menggangguku. Sedih melihat wajah ibu masam setiap kali Wahyu menelpon. Dan aku juga bingung harus mengatakan apa. Sebaiknya aku berterus terang saja, agar Wahyu bisa mengerti,” gumamnya sambil menstandartkan sepeda motor dan menguncinya.
Perlahan dia masuk ke dalam, lalu langsung menuju ke tempat di mana ayah Wahyu dimakamkan.
Tiba-tiba ia melihat bayangan Wahyu, hanya saja Wahyu tidak sendiri. Ada seorang wanita cantik yang sudah tidak lagi muda, dan seorang gadis cantik yang berdiri sambil membawa keranjang berisi bunga. Wahyu berdiri di sampingnya, sebelah tangannya merangkul wanita itu.
Emmi berhenti melangkah. Ia ingin membalikkan tubuhnya, tapi Wahyu keburu melihatnya, lalu berteriak memanggil namanya.
“Emmi!”
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun bu Tien Eps 10 sdh tayang..,🙏🙏
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteWah, tayang awal nih, bu Tien...terima kasih. Salam sehat.🙏🏻😀
ReplyDeleteSami2 ibu Nana
DeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien.... Salam SEROJA
dan..... Tetap ADUHAI.....🌹🌹🌹
Sani2 mas Kakek
DeleteADUHAI
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 10 " sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, selamat berbuka puasa dan selamat menjalankan ibadah Teraweh. aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Alhamdulillah "Ada Makna 10" sdh hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien 🙏
Sami2 pak Sis
DeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteMks bun AM 10 sdh tayang.....selamat malam salam sehat
ReplyDeleteSami2 ibu Supriyati
DeleteSelamat malam
Alhamdulillah ADA MAKNA~10 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda
Ada Makna 10 dah tayang
Semoga bunda Tien sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA 10 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *ADA
MAKNA 10* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillaah " Ada Makna-10" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap sehat wal'afiat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Hatur nuhun Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulillah, ADA MAKNA (AM),10 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Makin sedih aja baca cerbung bunda, kasian guntur tekanan batin itu akibat ulahnya... Makasih bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteAlhamdullilah bundaqu AM 10 sdh hadir .Yerima ksih dan slmt mlm slm seroja unk bunda sekeluarga🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam hangat
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰💖
ReplyDeleteWaduh dadak manggil,,,apa yg akan terjadi , seru nih kl Wanda tahu Emmi anak Kinanti,,, lanjut
Sami2 ibu Ika
ReplyDeleteSalam sehat
Akan tampak MAKNA nya bila nanti anak akan menikah. Jadi penting juga Emmi dan Emma mencari ayah kandungnya. Guntur jangan berkecil hati karena kesalahanmu yang lalu.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Allahumma Aamiin.
DeleteMatur nuwun pak Latief
Mengapa Mbak Tien selalu menggunakan kata 'kuna' pengganti kata 'kuno'? Bunyinya tak enak di telinga meskipun dibaca tanpa suara.
ReplyDeleteAgar pertemuan Emmi dan Emma dengan Guntur betul-betul bermakna, maka Ardi jangan sampai ikut dalam pertemuan itu. Ardi cukup mengantarkan Emmi dan Emma (tanpa Nurry) sampai pagar rumah Guntur saja. Hati Guntur terlalu perih menahan luka. Seandainya Ardi tak menikahi Kinanti, mungkin hati Guntur tak seperih ini. Bahkan Guntur mungkin masih mau menemui anak-anaknya di rumah Kinanti. Karena Ardi telah menikahi Kinanti, rasanya semuanya sudah disegel rapat untuk diri Guntur. Kalau seandainya Ardi meninggal, segel itu belum terbuka untuk Guntur. Ardi seharusnya bisa memahami konsensus bahwa janda teman itu boleh dinikahi kalau teman itu sudah meninggal. Kalau untuk Nabi, larangan menikahi janda beliau malah berlaku selama-lamanya. Ardi itu seharusnya tahu, kalau ingin membahagiakan janda teman, seharusnya tak dinikahi, karena bukan bahagia yang akan timbul tapi luka baru. Luka baru itu bukan pada Guntur saja, tapi Kinanti merasakan efeknya. Dasar Kinanti mencintai Guntur itu bukan karena Guntur ganteng, bukan pula karena Guntur suka melontarkan kata-kata maut yang mempesona, tapi karena Kinanti kasihan pada Guntur. Inilah cinta yang paling aman dan paling kekal. Demikian kata Buya Hamka dalam novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck". Akibat rumitnya kisah ini karena Hayati melanggar takdir, Buya Hamka terpaksa mematikan mereka semua secara tragis. Kalau percintaan antara Bintang dan Bulan bubar karena direnggut Matahari, Bulan masih bisa bertemu Bintang di pintu syurga. Ini yang disebut dengan "Malang Bacinto" (Malang Bercinta) https://www.youtube.com/watch?v=lizoNAw0y5Q
Terimakasih Mbak Tien...
Wouuwww.. indah sekali.
DeleteApakah Anda tahu bahwa kisah ini adalah kisah nyata?
Saya hanya mengolahnya sedangkan alur cerita adalah apa adanya.
Akan ada yang .meninggal. saya sering terbawa dalam cerita saya. Dan kata kasihan selalu muncul dihati saya.
Terima kasih Mas MERa.
Mbak Tien adalah tipe yang kedua (bisa jadi tipe pertama juga he he he), karena punya pengalaman batin yang kuat. Namun kisah itu harus sejalan dengan kisah di lapangan. Meskipun cinta bisa menembus segalanya, namun cinta tak seharusnya melabrak norma yang hidup di lingkungannya. Kalau itu dilanggar, makna cinta akan hambar karena tak didukung oleh lingkungannya.
Delete🌸💐🌸💐🌸💐🌸💐
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung ADA MAKNA_10
sudah tayang
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam seroja 😍💞
🌸💐🌸💐🌸💐🌸💐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteAduhai jeng Sari
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSelamat menjalankan ibadah shoum Romadhon 1446 H hari ke 15
Sami2 ibu Umi.
DeleteSalam Ramadhan ugi
Alhamdulillah saya terkedan cerbung mbsk ini. Bagus alur ceruta nya, halus bahasa nya . Bravo. Lanjut terus menulis karya2 gemilang mbak salam Farmasi saya juga alumni SAA jadul he he
ReplyDeleteTerima kasih ibu Ita
DeleteSalam Farmasi juga.
Lulusan tahun berapa dan di SAA mana?
Saya lulus th 1068. Sudah tuwirr 🤩
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai