ADA MAKNA 23
(Tien Kumalasari)
Emmi menatap wajah ayahnya, yang mengatakan sesuatu tanpa menatapnya. Tampak tanpa emosi, tanpa perasaan, dingin mencekam, terasa kejam, tanpa belas.
“Ba…pak mengusir Emmi?”
“Bukan mengusir, kamu pasti lelah,” lagi-lagi Guntur tidak menatap wajahnya.
“Emmi tidak lelah. Emmi sanggup melayani Bapak, sampai Bapak benar-benar sembuh,” kali ini Emmi terisak.
“Kamu punya kewajiban lain. Kamu harus kuliah,” katanya tandas. Bahkan setitik air mata yang keluar dari mata Emmi tidak bisa mengusiknya. Hati dan rasanya seperti batu, tak tergoyahkan.
“Bapak … sudah lama Emmi merindukan Bapak, sudah lama Emmi ingin bertemu Bapak, dan mengabdi seperti seorang anak berbakti kepada orang tuanya.”
“Kamu sudah melakukannya. Bapak harus berterima kasih.”
“Tidaaak, Emmi tidak ingin ucapan terima kasih. Katakan Pak, mengapa bapak marah pada Emmi? Salah Emmi apa Pak?” isak itu semakin keras. Susah payah Guntur meredakan gejolak perasaannya. Tapi ia tak akan tergoyahkan. Pertemuannya dengan sang anak membuatnya semakin tersiksa. Bukan karena tak cinta, tapi karena merasa menjadi orang tak berguna. Perlakuan Ardi yang baik kepada anak dan bekas istrinya, serasa seperti merajang-rajang hatinya. Harus berterima kasih? Dalam batin, ya. Tapi ia merasa tersakiti.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi pada diriku? Mengapa harus bertemu anak-anakku yang sesungguhnya tidak lagi menjadi milikku?” kata batin Guntur.
“Bapak, apa salah Emmi? Katakan apa salah Emmi?” sekarang Emmi merangkul lutut sang ayah, lalu merebahkan kepalanya di pangkuan sang ayah.
Guntur tak kuasa berkata-kata. Ingin ia menjerit sekeras-kerasnya. Sungguh ia mencintai anak-anaknya, tapi ia tak berdaya. Ia tak berhak memilikinya, dan kalau diteruskan, hanya akan semakin menyakiti saja.
“Kamu tidak salah,” hanya itu yang mampu diucapkannya.
“Mengapa Bapak marah?”
“Bapak tidak marah.”
“Bapak bohong. Bapak tidak sayang pada Emmi.”
Tak urung tangan Guntur tergerak untuk memegang kepala Emmi lalu mengelusnya lembut.
Gerakan itu semakin membuat tangis Emmi menjadi-jadi.
“Sudah, jangan cengeng,” katanya sambil mengangkat kepala Emmi, lalu mendorongnya pelan.
Emmi duduk sambil mengusap air matanya. Guntur meraih ponselnya, sambil membaringkan tubuhnya.
***
Ardi sedang ada di kantornya ketika ponselnya berdering. Agak heran juga karena panggilan itu berasal dari Guntur.
“Ardi?”
“Ya, ini aku.”
“Apa kamu sibuk?”
“Tidak … tidak, katakan ada apa?”
"Kalau kamu tidak sibuk, jemput anakmu.”
“Emmi?”
“Ya, Emmi.”
“Tapi dia masih ingin menunggui ayahnya di sini.”
“Tidak, aku sudah mau pulang. Tak mungkin aku meninggalkannya di sini.”
“Kamu sudah sembuh?”
“Sudah. Kapan kamu datang menjemput?”
“Harus sekarangkah?”
“Begitu Emmi kamu jemput, aku pulang. Tapi segera ya, aku tidak bisa menunggu.”
“Baiklah, hari ini aku ke situ.”
***
Ardi meletakkan ponselnya, kemudian bergegas pulang. Kinanti terkejut melihat sang suami pulang jauh lebih awal.
“Tumben Bapak sudah pulang? Mau makan siang di rumah? Biar aku siapkan.”
“Tidak, aku sudah makan di kantor. Aku mau ke Semarang sekarang.”
“Ke Semarang? Apa yang terjadi?” tanya Kinanti terkejut, dan tentu saja cemas. Ia mengira hal buruk telah terjadi.
“Bukan apa-apa, Guntur meminta agar aku menjemput Emmi.”
“Emmi sudah mau pulang? Tidak apa-apa kan?”
“Entahlah, aku tidak sempat bicara banyak. Guntur mengatakan bahwa dia juga akan segera pulang, karenanya dia meminta aku agar menjemput Emmi.”
“Memangnya sudah diijinkan pulang?”
“Pastinya iya, buktinya dia bilang mau pulang.”
“Emmi tidak menelpon Bapak?”
“Tidak. Mungkin sedang bersiap-siap. Ibu mau ikut?”
“Nggak ah, biar anak-anak saja, terutama Emma. Nuri ada les matematika sore ini."
“Memangnya Emma sudah pulang?”
“Baru saja selesai makan. Biar ibu beri tahu dia.”
“Ya sudah. Bagaimana Nuri?”
“Kan ibu sudah bilang, Nuri ada les sore ini.”
“Baiklah, beri tahu Emma, aku ganti baju dulu,” kata Ardi sambil masuk ke kamarnya.
Meskipun heran, tapi Emma senang bapak Ardi mengajaknya. Ia masih belum puas ketemu ayah Guntur. Tapi agak kecewa karena ayah Guntur sudah mau pulang.
“Apa kita akan mengantar ayah Guntur pulang?” tanya Emma dalam perjalanan menjemput kakaknya.
“Kalau ayah Guntur mau. Dia itu agak sulit. Kalau bukan kemauannya, dia belum tentu mau. Tapi nanti coba bapak rayu dia,” kata Ardi sambil tersenyum.
“Hmm, pakai dirayu segala.”
“Soalnya tadi ayah Guntur justru meminta agar bapak menjemput mbak Emmi, berarti tidak minta agar mbak Emmi ikut ke rumahnya.”
“Bagaimana sebenarnya ayah Guntur?”
“Biasa saja.”
“Bapak bilang … susah … “
“Ya, agak susah. Nanti kamu saja yang minta agar boleh mengantar.”
“Akan Emma coba.”
***
Tapi ternyata memang Guntur tidak mau pulang dengan diantar.
“Aku bisa pulang sendiri,” kata Guntur.
“Sebenarnya tidak apa-apa kalau kamu mau diantar.”
“Bawa saja anak-anak pulang, nanti capek kalau harus muter-muter.”
Emma mendekati sang ayah, yang menyambutnya dengan kaku. Ia bersikap dingin dan tak peduli, untuk memberi kesan agar dia memang dingin kepada anak-anaknya. Agar mereka tidak menyukainya, lalu tidak ingin menemuinya lagi. Pemikiran yang aneh? Entahlah, Guntur merasa harus begitu.
“Guntur, Emma baru sekali ketemu, pastinya berharap bisa lebih lama bersamamu,” kata Ardi.
“Kalau keadaan memungkinkan,” jawab Guntur singkat.
“Baiklah kalau itu maumu. Tapi sebelum kita berpisah, aku ingin minta maaf sama kamu. Kemarin itu, ketika aku bilang pada Emmi bahwa ingin membantu, sama sekali aku tidak bermaksud_”
“Lupakan saja, aku mengerti kamu baik,” potong Guntur karena tak ingin Ardi melanjutkan kata-katanya.
“Baiklah, selamat jalan untuk kalian,” kata Guntur.
Ardi merasa, Guntur mengusir mereka secara halus. Ia melihat wajah Emmi yang kuyup oleh luka. Sejak dia mengatakan bahwa ayah Guntur memarahinya, Emmi tak pernah menelpon lagi. Ketika dia datang bersama Emma, sikap Emmi juga dingin dan tampak sedih.
“Guntur, kamu sengaja melukai hati anak-anak kalian?” tegur Ardi.
“Tidak. Jangan berpikir yang bukan-bukan. Mereka anak-anakmu, dan mereka pasti bahagia bersamamu.”
“Apa maksudmu Guntur? Apa aku bersalah sama kamu sehingga sikapmu berbeda?”
“Tidak ada yang bersalah. Takdir membuat keadaan menjadi seperti ini, dan itu karena aku.”
Ketika kemudian Ardi berpamit, Emmi merangkul sang ayah sambil menangis.
“Maafkan Emmi, maafkan ya Pak?”
“Tak ada yang perlu dimaafkan. Sekarang kamu harus pulang, belajar yang rajin.”
Ketika Emma kemudian juga ikutan merangkulnya, Guntur mengelus kepalanya.
***
Perpisahan itu sungguh terasa aneh. Emma yang tidak ikut tinggal waktu itu, hanya sedikit merasa ada ikatan diantara dia dan ayahnya. Berbeda dengan Emmi yang melayaninya selama berhari-hari, lalu merasakan sesuatu yang berbeda saat ada wacana Ardi ingin membantu. Sampai saat ini dia masih bertanya-tanya, dan jawaban yang pasti belum juga ditemukannya.
“Mengapa ayah Guntur aneh? Dia tidak mencintai anak-anaknya?”
“Pasti dia mencintai anak-anaknya. Masa ada orang tua tidak mencintai anak-anaknya?”
“Emma tak merasakan apapun setelah bertemu. Kesannya, ayah Guntur itu sikapnya dingin, kaku. Pokoknya tidak menyenangkan,” keluh Emma berterus terang.
“Jangan berprasangka buruk. Barangkali ayah Guntur sedih karena penyakitnya, jadi sikapnya itu seperti orang yang tidak bersemangat.”
“Kalau belum sembuh mengapa mau pulang?”
“Mungkin sudah merasa baik, tapi sebenarnya penyakit ayah Guntur itu kan agak serius.”
“Maksudnya, sakit ayah Guntur itu keras? Susah diobati? Atau memang tidak ada obatnya?”
“Nanti kamu tanya pada ibu. Penyakit ayah Guntur itu bagaimana.”
“Mbak Emmi kenapa dari tadi diam saja?” kata Emma sambil menoleh ke arah belakang, di mana Emmi duduk sambil menyandarkan kepalanya.
“Mbak Emmi pusing,” jawab Emmi singkat, sambil memejamkan matanya.
“Beneran, kamu pusing?”
“Iya Pak.”
“Akhir-akhir ini kamu sering mengeluh pusing.”
“Entahlah, memang begini setiap saat.”
“Besok bapak antar ke dokter ya?”
“Minum obat pusing saja.”
“Jangan sembrono tentang penyakit. Kalau sering merasa pusing, itu tandanya ada sesuatu di tubuh kamu.”
“Mungkin karena banyak pikiran.”
“Pokoknya besok bapak antar ke dokter. Kamu mulai kuliah kapan?”
“Besok juga nggak apa-apa.”
“Kalau begitu nanti malam saja ke dokternya.”
“Bapak pasti capek. Biar Emmi sendiri saja. Dan tidak harus nanti atau besok pagi.”
“Jangan menyepelekan penyakit. Kalau sekali saja merasa pusing, mungkin hanya capek atau apa. Tapi kalau sering, berarti harus dipertanyakan.”
“Iya, tapi tidak harus sekarang kan?”
“Harus. Dan jangan membantah.”
***
Kinanti sudah mendengar semuanya ketika anak dan suaminya pulang. Sore itu ketika Ardi mengantarkan Emmi ke dokter, Emma berkeluh kepada sang ibu tentang sikap ayah Guntur yang mengesalkan.
“Dia sedang sakit. Barangkali sedih memikirkan penyakitnya.”
“Apakah ayah Guntur sama sekali tidak ingin bertemu mbak Emmi dan Emma ya bu? Atau karena kami sudah punya ayah sambung, jadi ayah Guntur tak perlu memikirkannya.”
“Tidak persis seperti itu.”
“Maksudnya?”
“Yang jelas ada sesuatu yang kita tidak tahu. Tapi satu pesan ibu, kamu tidak boleh membenci ayah Guntur. Barangkali ada sisi baik tersembunyi yang kita tidak atau belum mengerti, itu apa.”
“Emma bingung.”
“Jangan bingung, sekarang istirahatlah,” kata Kinanti yang belum ingin berbicara banyak tentang bekas suaminya itu.
***
Dokter Dian memasuki ruang rawat Guntur di sore hari itu. Setelah dia berterus terang pada Guntur tentang rasa sukanya kepada Emmi, maka dia sering kali datang hanya untuk mengobrol atau memeriksa sakitnya. Tapi kali itu dokter Dian heran, melihat Guntur sedang menangis di ruangannya.
“Apa yang terjadi Dok?”
Guntur menatap sang dokter muda, sambil mengusap air matanya.
“Emmi sudah pulang.”
“Sudah pulang? Begitu tiba-tiba?”
“Saya suruh ayahnya menjemput dia, dan sudah dijemput. Belum lama.”
“Mengapa Dokter ingin agar Emmi pulang?”
“Saya bingung pada apa yang saya lakukan. Apakah saya benar, apakah salah, saya tidak tahu. Saya tiba-tiba merasa tidak berharga. Saya tidak pantas berada di dekat anak-anak saya, saya tidak berharga.”
Lalu Guntur kembali meneteskan air mata.
Dokter Dian membiarkannya. Ada pemikiran kacau di hati dokter Guntur. Barangkali menangis adalah sesuatu untuk melepaskan segala beban yang menghimpit pundaknya.
Guntur sudah pernah mengatakan perihal kehidupannya kepada dokter Dian, sehingga dokter Dian bisa mengerti apa yang sebenarnya dirasakan oleh seniornya itu. Karena kesalahannya, dia kemudian merasa gagal dalam hidupnya. Gagal menjadi suami dan ayah, sementara suami dari bekas istrinya selalu tampil memukau, membantunya dalam berbagai hal, termasuk pengobatan untuk anak kandungnya dari istri yang lain, lalu ketika ia ingin membiayai kuliah anak laki-lakinya itu, lagi-lagi suami dari bekas istrinya itu mengatakan akan membantunya. . Lalu apa yang bisa dilakukannya? Begitu tak berhargakah dirinya. Begitu tak punya arti sehingga selalu suami bekas istrinya itu yang melakukannya?
“Dokter, sebenarnya apa yang Dokter rasakan itu bisa saya mengerti. Tapi saya rasa Dokter terlalu sensitif karena Dokter selalu merasa gagal dan tak berguna,” kata dokter Dian setelah tangis Guntur mereda.
“Padahal itu hanya perasaan Dokter saja, dan saya percaya bahwa suami dari ibu Kinanti itu sebenarnya bermaksud baik.”
“Karena dia menganggap saya lumpuh dan tidak bisa melakukan apa-apa.”
“Jangan begitu Dok. Itu hanya perasaan Dokter saja.”
“Dokter Dian tidak bisa mengerti apa yang saya rasakan.”
“Saya mengerti Dok. Sangat mengerti.”
“Saya ingin pulang hari ini.”
“Jangan dulu, Dok, dengarkan saya.”
“Bapak ….”
Pembicaraan Guntur dan dokter Dian berhenti ketika Reihan tiba-tiba muncul.
Guntur mengusap wajahnya dengan tissue.
“Mengapa kamu datang kemari?”
“Reihan ingin bertemu Bapak.”
“Beri salam kepada Dokter Dian, dia yang merawat bapak.”
Reihan tersenyum, lalu membungkuk sambil mengulurkan tangannya, dan menciumnya.
“Anak baik,” kata dokter Dian.
“Bapak, sebenarnya …. “ Reihan berhenti sejenak.
“Ada apa, katakan saja.”
“Tapi Reihan takut mengatakannya.”
“Ada apa? Bapak akan mendengarnya.”
“Sebenarnya, uang Reihan untuk membayar ujian … mm… bukan begitu, sebenarnya ibu sedang sakit, dan mas Wahyu ada di luar kota untuk wawancara, padahal .. besok saya … mm ..” Reihan berkata dengan gugup karena sebenarnya sungkan.
“Kamu butuh uang?”
“Kalau Bapak ada. Hanya kurang sedikit.”
“Berapa?”
“Hanya duaratus ribu, tapi tidak … Rei akan menelpon mas Wahyu saja. Maaf Pak.”
Tiba-tiba wajah Guntur berseri. Ternyata ada juga anak yang membutuhkan dirinya.
***
Besok lagi ya.