Sunday, March 30, 2025

MARI BERTAKBIR

MARI BERTAKBIR

(Tien Kumalasari)


Apa kamu tahu

Gema mengalun bertalu-talu

Adalah kidung-kidung dari atas sana

Mari bertakbir karena Allah Maha Besar

Mari bertakbir karena haus dan lapar telah tergantikan oleh anugerah indah

Mari bertakbir karena hari suci telah hadir

Allahu Akbar 

Allahu Akbar

Allahu Akbar

Walillahilhamd


-------




Saturday, March 29, 2025

ADA MAKNA 23

 ADA MAKNA  23

(Tien Kumalasari)

 

Emmi menatap wajah ayahnya, yang mengatakan sesuatu tanpa menatapnya. Tampak tanpa emosi, tanpa perasaan, dingin mencekam, terasa kejam, tanpa belas.

“Ba…pak mengusir Emmi?”

“Bukan mengusir, kamu pasti lelah,” lagi-lagi Guntur tidak menatap wajahnya.

“Emmi tidak lelah. Emmi sanggup melayani Bapak, sampai Bapak benar-benar sembuh,” kali ini Emmi terisak.

“Kamu punya kewajiban lain. Kamu harus kuliah,” katanya tandas. Bahkan setitik air mata yang keluar dari mata Emmi tidak bisa mengusiknya. Hati dan rasanya seperti batu, tak tergoyahkan.

“Bapak … sudah lama Emmi merindukan Bapak, sudah lama Emmi ingin bertemu Bapak, dan mengabdi seperti seorang anak berbakti kepada orang tuanya.”

“Kamu sudah melakukannya. Bapak harus berterima kasih.”

“Tidaaak, Emmi tidak ingin ucapan terima kasih. Katakan Pak, mengapa bapak marah pada Emmi? Salah Emmi apa Pak?” isak itu semakin keras. Susah payah Guntur meredakan gejolak perasaannya. Tapi ia tak akan tergoyahkan. Pertemuannya dengan sang anak membuatnya semakin tersiksa. Bukan karena tak cinta, tapi karena merasa menjadi orang tak berguna. Perlakuan Ardi yang baik kepada anak dan bekas istrinya, serasa seperti merajang-rajang hatinya. Harus berterima kasih? Dalam batin, ya. Tapi ia merasa tersakiti.

“Ya Tuhan, apa yang terjadi pada diriku? Mengapa harus bertemu anak-anakku yang sesungguhnya tidak lagi menjadi milikku?” kata batin Guntur.

“Bapak, apa salah Emmi? Katakan apa salah Emmi?” sekarang Emmi merangkul lutut sang ayah, lalu merebahkan kepalanya di pangkuan sang ayah.

Guntur tak kuasa berkata-kata. Ingin ia menjerit sekeras-kerasnya. Sungguh ia mencintai anak-anaknya, tapi ia tak berdaya. Ia tak berhak memilikinya, dan kalau diteruskan, hanya akan semakin menyakiti saja.

“Kamu tidak salah,” hanya itu yang mampu diucapkannya.

“Mengapa Bapak marah?”

“Bapak tidak marah.”

“Bapak bohong. Bapak tidak sayang pada Emmi.”

Tak urung tangan Guntur tergerak untuk memegang kepala Emmi lalu mengelusnya lembut.

Gerakan itu semakin membuat tangis Emmi menjadi-jadi.

“Sudah, jangan cengeng,” katanya sambil mengangkat kepala Emmi, lalu mendorongnya pelan.

Emmi duduk sambil mengusap air matanya. Guntur meraih ponselnya, sambil membaringkan tubuhnya.

***

Ardi sedang ada di kantornya ketika ponselnya berdering. Agak heran juga karena panggilan itu berasal dari Guntur.

“Ardi?”

“Ya, ini aku.”

“Apa kamu sibuk?”

“Tidak … tidak, katakan ada apa?”

"Kalau kamu tidak sibuk, jemput anakmu.”

“Emmi?”

“Ya, Emmi.”

“Tapi dia masih ingin menunggui ayahnya di sini.”

“Tidak, aku sudah mau pulang. Tak mungkin aku meninggalkannya di sini.”

“Kamu sudah sembuh?”

“Sudah. Kapan kamu datang menjemput?”

“Harus sekarangkah?”

“Begitu Emmi kamu jemput, aku pulang. Tapi segera ya, aku tidak bisa menunggu.”

“Baiklah, hari ini aku ke situ.”

***

Ardi meletakkan ponselnya, kemudian bergegas pulang. Kinanti terkejut melihat sang suami pulang jauh lebih awal.

“Tumben Bapak sudah pulang? Mau makan siang di rumah? Biar aku siapkan.”

“Tidak, aku sudah makan di kantor. Aku mau ke Semarang sekarang.”

“Ke Semarang? Apa yang terjadi?” tanya Kinanti terkejut, dan tentu saja cemas. Ia mengira hal buruk telah terjadi.

“Bukan apa-apa, Guntur meminta agar aku menjemput Emmi.”

“Emmi sudah mau pulang? Tidak apa-apa kan?”

“Entahlah, aku tidak sempat bicara banyak. Guntur mengatakan bahwa dia juga akan segera pulang, karenanya dia meminta aku agar menjemput Emmi.”

“Memangnya sudah diijinkan pulang?”

“Pastinya iya, buktinya dia bilang mau pulang.”

“Emmi tidak menelpon Bapak?”

“Tidak. Mungkin sedang bersiap-siap. Ibu mau ikut?”

“Nggak ah, biar anak-anak saja, terutama Emma. Nuri ada les matematika sore ini."

“Memangnya Emma sudah pulang?”

“Baru saja selesai makan. Biar ibu beri tahu dia.”

“Ya sudah. Bagaimana Nuri?”

“Kan ibu sudah bilang, Nuri ada les sore ini.”

“Baiklah, beri tahu Emma, aku ganti baju dulu,” kata Ardi sambil masuk ke kamarnya.

Meskipun heran, tapi Emma senang bapak Ardi mengajaknya. Ia masih belum puas ketemu ayah Guntur. Tapi agak kecewa karena ayah Guntur sudah mau pulang.

“Apa kita akan mengantar ayah Guntur pulang?” tanya Emma dalam perjalanan menjemput kakaknya.

“Kalau ayah Guntur mau. Dia itu agak sulit. Kalau bukan kemauannya, dia belum tentu mau. Tapi nanti coba bapak rayu dia,” kata Ardi sambil tersenyum.

“Hmm, pakai dirayu segala.”

“Soalnya tadi ayah Guntur justru meminta agar bapak menjemput mbak Emmi, berarti tidak minta agar mbak Emmi ikut ke rumahnya.”

“Bagaimana sebenarnya ayah Guntur?”

“Biasa saja.”

“Bapak bilang … susah … “

“Ya, agak susah. Nanti kamu saja yang minta agar boleh mengantar.”

“Akan Emma coba.”

***

Tapi ternyata memang Guntur tidak mau pulang dengan diantar.

“Aku bisa pulang sendiri,” kata Guntur.

“Sebenarnya tidak apa-apa kalau kamu mau diantar.”

“Bawa saja anak-anak pulang, nanti capek kalau harus muter-muter.”

Emma mendekati sang ayah, yang menyambutnya dengan kaku. Ia bersikap dingin dan tak peduli, untuk memberi kesan agar dia memang dingin kepada anak-anaknya. Agar mereka tidak menyukainya, lalu tidak ingin menemuinya lagi. Pemikiran yang aneh? Entahlah, Guntur merasa harus begitu.

“Guntur, Emma baru sekali ketemu, pastinya berharap bisa lebih lama bersamamu,” kata Ardi.

“Kalau keadaan memungkinkan,” jawab Guntur singkat.

“Baiklah kalau itu maumu. Tapi sebelum kita berpisah, aku ingin minta maaf sama kamu. Kemarin itu, ketika aku bilang pada Emmi bahwa ingin membantu, sama sekali aku tidak bermaksud_”

“Lupakan saja, aku mengerti kamu baik,” potong Guntur karena tak ingin Ardi melanjutkan kata-katanya.

“Baiklah, selamat jalan untuk kalian,” kata Guntur.

Ardi merasa, Guntur mengusir mereka secara halus. Ia melihat wajah Emmi yang kuyup oleh luka. Sejak dia mengatakan bahwa ayah Guntur memarahinya, Emmi tak pernah menelpon lagi. Ketika dia datang bersama Emma, sikap Emmi juga dingin dan tampak sedih.

“Guntur, kamu sengaja melukai hati anak-anak kalian?” tegur Ardi.

“Tidak. Jangan berpikir yang bukan-bukan. Mereka anak-anakmu, dan mereka pasti bahagia bersamamu.”

“Apa maksudmu Guntur? Apa aku bersalah sama kamu sehingga sikapmu berbeda?”

“Tidak ada yang bersalah. Takdir membuat keadaan menjadi seperti ini, dan itu karena aku.”

Ketika kemudian Ardi berpamit, Emmi merangkul sang ayah sambil menangis.

“Maafkan Emmi, maafkan ya Pak?”

“Tak ada yang perlu dimaafkan. Sekarang kamu harus pulang, belajar yang rajin.”

Ketika Emma kemudian juga ikutan merangkulnya, Guntur mengelus kepalanya.

***

Perpisahan itu sungguh terasa aneh. Emma yang tidak ikut tinggal waktu itu, hanya sedikit merasa ada ikatan diantara dia dan ayahnya. Berbeda dengan Emmi yang melayaninya selama berhari-hari, lalu  merasakan sesuatu yang berbeda saat ada wacana Ardi ingin membantu. Sampai saat ini dia masih bertanya-tanya, dan jawaban yang pasti belum juga ditemukannya.

“Mengapa ayah Guntur aneh? Dia tidak mencintai anak-anaknya?”

“Pasti dia mencintai anak-anaknya. Masa ada orang tua tidak mencintai anak-anaknya?”

“Emma tak merasakan apapun setelah bertemu. Kesannya, ayah Guntur itu sikapnya dingin, kaku. Pokoknya tidak menyenangkan,” keluh Emma berterus terang.

“Jangan berprasangka buruk. Barangkali ayah Guntur sedih karena penyakitnya, jadi sikapnya itu seperti orang yang tidak bersemangat.”

“Kalau belum sembuh mengapa mau pulang?”

“Mungkin sudah merasa baik, tapi sebenarnya penyakit ayah Guntur itu kan agak serius.”

“Maksudnya, sakit ayah Guntur itu keras? Susah diobati? Atau memang tidak ada obatnya?”

“Nanti kamu tanya pada ibu. Penyakit ayah Guntur itu bagaimana.”

“Mbak Emmi kenapa dari tadi diam saja?” kata Emma sambil menoleh ke arah belakang, di mana Emmi duduk sambil menyandarkan kepalanya.

“Mbak Emmi pusing,” jawab Emmi singkat, sambil memejamkan matanya.

“Beneran, kamu pusing?”

“Iya Pak.”

“Akhir-akhir ini kamu sering mengeluh pusing.”

“Entahlah, memang begini setiap saat.”

“Besok bapak antar ke dokter ya?”

“Minum obat pusing saja.”

“Jangan sembrono tentang penyakit. Kalau sering merasa pusing, itu tandanya ada sesuatu di tubuh kamu.”

“Mungkin karena banyak pikiran.”

“Pokoknya besok bapak antar ke dokter. Kamu mulai kuliah kapan?”

“Besok juga nggak apa-apa.”

“Kalau begitu nanti malam saja ke dokternya.”

“Bapak pasti capek. Biar Emmi sendiri saja. Dan tidak harus nanti atau besok pagi.”

“Jangan menyepelekan penyakit. Kalau sekali saja merasa pusing, mungkin hanya capek atau apa. Tapi kalau sering, berarti harus dipertanyakan.”

“Iya, tapi tidak harus sekarang kan?”

“Harus. Dan jangan membantah.”

***

Kinanti sudah mendengar semuanya ketika anak dan suaminya pulang.  Sore itu ketika Ardi mengantarkan Emmi ke dokter, Emma berkeluh kepada sang ibu tentang sikap ayah Guntur yang mengesalkan.

“Dia sedang sakit. Barangkali sedih memikirkan penyakitnya.”

“Apakah ayah Guntur sama sekali tidak ingin bertemu mbak Emmi dan Emma ya bu? Atau karena kami sudah punya ayah sambung, jadi ayah Guntur tak perlu memikirkannya.”

“Tidak persis seperti itu.”

“Maksudnya?”

“Yang jelas ada sesuatu yang kita tidak tahu. Tapi satu pesan ibu, kamu tidak boleh membenci ayah Guntur.  Barangkali ada sisi baik tersembunyi yang kita tidak atau belum mengerti, itu apa.”

“Emma bingung.”

“Jangan bingung, sekarang istirahatlah,” kata Kinanti yang belum ingin berbicara banyak tentang bekas suaminya itu.

***

Dokter Dian memasuki ruang rawat Guntur di sore hari itu. Setelah dia berterus terang pada Guntur tentang rasa sukanya kepada Emmi, maka dia sering kali datang hanya untuk mengobrol atau memeriksa sakitnya. Tapi kali itu dokter Dian heran, melihat Guntur sedang menangis di ruangannya.

“Apa yang terjadi Dok?”

Guntur menatap sang dokter muda, sambil mengusap air matanya.

“Emmi sudah pulang.”

“Sudah pulang? Begitu tiba-tiba?”

“Saya suruh ayahnya menjemput dia, dan sudah dijemput. Belum lama.”

“Mengapa Dokter ingin agar Emmi pulang?”

“Saya bingung pada apa yang saya lakukan. Apakah saya benar, apakah salah, saya tidak tahu. Saya tiba-tiba merasa tidak berharga. Saya tidak pantas berada di dekat anak-anak saya, saya tidak berharga.”

Lalu Guntur kembali meneteskan air mata.

Dokter Dian membiarkannya. Ada pemikiran kacau di hati dokter Guntur. Barangkali menangis adalah sesuatu untuk melepaskan segala beban yang menghimpit pundaknya.

Guntur sudah pernah mengatakan perihal kehidupannya kepada dokter Dian, sehingga dokter Dian bisa mengerti apa yang sebenarnya dirasakan oleh seniornya itu. Karena kesalahannya, dia kemudian merasa gagal dalam hidupnya. Gagal menjadi suami dan ayah, sementara suami dari bekas istrinya selalu tampil memukau, membantunya dalam berbagai hal, termasuk pengobatan untuk anak kandungnya dari istri yang lain, lalu ketika ia ingin membiayai kuliah anak laki-lakinya itu, lagi-lagi suami dari bekas istrinya itu mengatakan akan membantunya. . Lalu apa yang bisa dilakukannya? Begitu tak berhargakah dirinya. Begitu tak punya arti sehingga selalu suami bekas istrinya itu yang melakukannya?

“Dokter, sebenarnya apa yang Dokter rasakan itu bisa saya mengerti. Tapi saya rasa Dokter terlalu sensitif karena Dokter selalu merasa gagal dan tak berguna,” kata dokter Dian setelah tangis Guntur mereda.

“Padahal itu hanya perasaan Dokter saja, dan saya percaya bahwa suami dari ibu Kinanti itu sebenarnya bermaksud baik.”

“Karena dia menganggap saya lumpuh dan tidak bisa melakukan apa-apa.”

“Jangan begitu Dok. Itu hanya perasaan Dokter saja.”

“Dokter Dian tidak bisa mengerti apa yang saya rasakan.”

“Saya mengerti Dok. Sangat mengerti.”

“Saya ingin pulang hari ini.”

“Jangan dulu, Dok, dengarkan saya.”

“Bapak ….”

Pembicaraan Guntur dan dokter Dian berhenti ketika Reihan tiba-tiba muncul.

Guntur mengusap wajahnya dengan tissue.

 “Mengapa kamu datang kemari?”

“Reihan ingin bertemu Bapak.”

“Beri salam kepada Dokter Dian, dia yang merawat bapak.”

Reihan tersenyum, lalu membungkuk sambil mengulurkan tangannya, dan  menciumnya.

“Anak baik,” kata dokter Dian.

“Bapak, sebenarnya …. “ Reihan berhenti sejenak.

“Ada apa, katakan saja.”

“Tapi Reihan takut mengatakannya.”

“Ada apa? Bapak akan mendengarnya.”

“Sebenarnya, uang Reihan untuk membayar ujian … mm… bukan begitu, sebenarnya ibu sedang sakit, dan mas Wahyu ada di luar kota untuk wawancara, padahal .. besok saya … mm ..” Reihan berkata dengan gugup karena sebenarnya sungkan.

“Kamu butuh uang?”

“Kalau Bapak ada. Hanya kurang sedikit.”

“Berapa?”

“Hanya duaratus ribu, tapi tidak … Rei akan menelpon mas Wahyu saja. Maaf Pak.”

Tiba-tiba wajah Guntur berseri. Ternyata ada juga anak yang membutuhkan dirinya.

***

Besok lagi ya.

                                                                                               

Friday, March 28, 2025

ADA MAKNA 22

ADA MAKNA  22

(Tien Kumalasari)

 

Emmi sangat terkejut. Ada yang menyala pada wajah sang ayah, seperti bara, siap menghanguskan apapun yang ada di dekatnya. Apa dia salah? Dia hanya mengatakan tentang kebaikan hati Ardi yang bersedia membantu pendidikan Reihan. Mengapa ayah Guntur marah? Dan itu bukan kemarahan biasa. Kemarahan yang membuat Emmi gemetar ketakutan. Dan Emmi tidak mengerti, mengapa ayah Guntur marah? Apa yang membuatnya marah? Dia harusnya senang karena dibantu, mengapa marah? Emmi tidak mengerti, Emmi sama sekali tidak mengerti. Menurutnya, orang yang dibantu harusnya berterima kasih bukan? Tapi kenapa begini? Kenapa ayah Guntur marah?

“Bapak memang orang yang tak memiliki harga. Bapak tidak mampu berbuat apa-apa. Dan kamu telah membuat bapakmu semakin terpuruk, lemah, tak berharga. Kamu terlalu merendahkan bapakmu ini,” keras sekali suara Guntur, menggelegar seperti ledakan granat.

“Apa? Merendahkan? Bukankah bapak Ardi justru ingin membantu?” kata batin Emmi, tanpa mampu mengucapkan apapun.

Kemudian Emmi melihat sang ayah terengah-engah, lalu dari yang tadinya duduk di tepi ranjang, tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya untuk berbaring.

Emmi memburunya, walau kakinya masih gemetar.

“Bap .. pak…” gemetar Emmi ketika mengucapkannya.

Tapi Guntur diam, memejamkan matanya. Tangannya bergerak-gerak, memberi isyarat seperti menyuruhnya pergi.

Dari takut karena amarah, Emmi menjadi sangat khawatir melihat keadaan sang ayah. Ia segera memencet bel untuk memanggil perawat.

Seketika itu juga, bukan hanya perawat yang datang, tapi juga dokter Dian, karena begitu menerima panggilan, sang perawat langsung memanggil dokternya.

“Ada apa lagi ini?” kata dokter Dian sambil mendekati pasien.

“Entahlah, tadi bapak marah-marah.”

“Marah-marah? Kenapa?”

Emmi menggeleng, tapi air mata menggenangi pelupuk matanya.

“Tenanglah, bapak tidak apa-apa,” kata dokter Dian setelah memeriksa keadaan Guntur.

“Mengapa Bapak marah?” lirih suara Emmi ketika mengucapkannya.

Dokter Dian berbicara kepada perawat yang membantunya, seperti memerintahkan sesuatu, lalu dokter Dian mengajak Emmi keluar.

“Ikut aku.”

Emmi mengikuti dokter Dian ke ruang kerjanya, lalu mereka duduk berhadapan. Emmi mengusap air matanya, lalu dokter Dian mengulurkan selembar tissue yang ada di depannya.

“Ada sesuatu?” tiba-tiba dokter Dian mengira bahwa kemarahan Guntur adalah karena Emmi menolak dirinya, yang sudah berterus terang tentang rasa sukanya kepada Emmi.

“Jangan merasa terpaksa. Kalau memang hati tidak suka, ya tidak apa-apa. Tapi harus mengatakan kepada bapak dengan baik-baik. Ingat kesehatan bapak,” lanjut sang dokter, karena Emmi belum menjawab sepatah katapun.

“Apa maksud Dokter?”

“Aku ini dokter yang merawat dokter Guntur. Aku ingin dokter Guntur tidak menjadi parah karena banyak hal yang membuatnya kecewa, atau apalah, pokoknya yang tidak menyenangkannya.”

“Ya, saya tahu. Tapi saya melakukan apa? Saya merasa tidak membuat bapak marah. Saya justru ingin bapak senang karena bebannya terkurangi.”

“Aku tidak mengerti. Bisakah kamu mengatakan semuanya? Jangan ada yang disembunyikan. Kalau ada hal yang membuatnya marah, aku akan berusaha menenangkan hatinya. Apa bapak mengatakan sesuatu yang … mm … ada hubungannya dengan aku?” dokter Dian memancing.

“Tidak. Semua itu tidak ada hubungannya dengan Dokter.”

Dokter Dian menarik napas lega. Jadi bukan karena penolakan Emmi atas dirinya. Lalu dia memarahi dirinya sendiri yang begitu cepat berterus terang tentang perasaannya kepada dokter Guntur. Tapi kemudian dia bersyukur karena ternyata dokter Guntur marah-marah bukan karena dirinya.

“Mengapa aku memikirkan itu,” gumamnya pelan membuat Emmi heran.

“Memangnya Dokter memikirkan apa? Apa yang ingin Dokter katakan dengan mengajak saya ke ruangan Dokter? Tentang bapak kan?”

“Benar, tentang dokter Guntur. Apa sebenarnya yang terjadi?”

Emmi sebenarnya keberatan mengatakannya. Ini kan urusan keluarga? Lagipula dokter Dian kan tidak tahu bagaimana rumitnya keluarga orang tuanya?

“Tidak apa-apa, kalau memang sangat pribadi. Saya hanya berusaha membantu, siapa tahu bisa menenangkan.”

“Ceritanya panjang. Dan ini memang masalah keluarga.”

“Kalau memang membuat bapak marah, pastinya tidak usah menceritakan hal itu.”

“Sebenarnya saya tidak ingin membuat bapak marah. Saya hanya heran kenapa mendengar hal itu bapak jadi marah?”

“Kamu menyinggung perasaannya, barangkali?”

Emmi terdiam. Ia mencoba mengupas semuanya. Ia mengatakan bahwa bapak Ardi ingin membantu, lalu … ayah Guntur marah. Apakah itu namanya tersinggung?

“Ya Tuhan. Itukah yang membuat bapak tersinggung?” gumamnya.

“Ketemu jawabannya?”

“Mungkin,” jawab Emmi pelan, sambil masih berpikir.

“Baiklah, nanti aku akan bicara secara pribadi dengan bapak. Kamu tidak usah mengatakan apa-apa.”

Emmi mengangguk. Ia lega karena tidak harus mengatakan kerumitan keluarganya.

***

Esok paginya Ardi menelpon Emmi, menanyakan tentang Reihan dan semua kebutuhannya. Untunglah waktu itu Emmi tidak sedang di kamar sang ayah. Ia sedang berjalan-jalan untuk mencari sesuatu.

“Bapak jangan dulu memikirkan kebutuhan Reihan.”

“Kenapa? Ayah Guntur terlanjur mentransfer ke rekening Reihan?”

“Tidak, Emmi juga sedang bingung nih. Emmi ngomong pada ayah Guntur, tentang keinginan Bapak membantu. Tapi ayah Guntur marah-marah.”

“Marah? Kenapa? Bapak ini sahabatnya, ingin membantu, apa yang membuatnya marah?”

“Emmi juga tidak mengerti. Tapi kemudian Emmi berpikir, apakah ayah Guntur tersinggung?”

“Tersinggung?”

“Mungkin. Tapi entahlah, Emmi belum bicara banyak. Setelah Emmi bicara itu ayah Guntur tidak mau bicara. Emmi jadi sedih.”

Ardi termenung setelah menelpon Emmi. Perkataan tersinggung masih mengiang ditelinganya. Benarkah tersinggung?

“Kok Bapak belum siap-siap? Ini sudah jam delapan,” tiba-tiba Kinanti muncul di ruang kerjanya.

“Baru saja aku menelpon Emmi.”

“Apa kabar dia?” Kinanti memang selalu minta agar Ardi yang menelpon. Ada perasaan tak enak kalau nanti Guntur ada di dekat Emmi, atau Emmi  memintanya bicara dengan ayahnya.

“Kemarin aku bilang pada Emmi, ingin membantu biaya sekolah Reihan, adik tirinya.”

“Sudah Bapak lakukan?”

“Baru mau melakukan, tapi kata Emmi, begitu ia mengatakannya pada Guntur, Guntur marah-marah.”

“Marah?”

“Sejak kemarin tidak mau bicara. Emmi berpikir bahwa Guntur tersinggung. Tapi mungkin benar. Dia tersinggung karena aku sering membantu. Kemarin biaya operasi Reihan, dan sekarang aku ingin membantu biaya kuliahnya nanti.”

Kinanti terdiam. Banyak yang dipikirkannya.Tersinggung … tersinggung … layaknya orang dibantu pasti berterima kasih, tapi … tersinggung … bisa juga sih, kan sebelumnya Bapak tidak mengenal Reihan. Atau … mungkin dia merasa tidak berguna, karena kebutuhan anak kandungnya diberi oleh orang lain.”

”Nah, itu yang benar. Merasa direndahkan, atau merasa tidak berdaya, atau … sebangsanyalah.”

“Kalau begitu Bapak tidak usah ikut campur. Nanti dikira Bapak meremehkan dia.”

“Baiklah, tapi nanti kalau aku kesana, aku akan bicara. Aku tidak bermaksud merendahkan atau meremehkan dia. Nggak enak kalau dikira meremehkan. Barangkali dia ingin melakukan sesuatu untuk darah dagingnya, tidak mau diganggu dengan bantuan orang lain.”

“Terkadang seseorang ingin punya arti bagi darah dagingnya,” kata Kinanti pelan.

“Kamu benar, Bu. Baiklah, aku bisa mengerti.”

***

Dokter Dian datang ke ruangan Guntur, sebelum praktek. Jadi dia datang sendiri. Ia melihat Guntur duduk di tepi ranjang, tapi ia tak melihat Emmi di ruangan itu.

“Apa kabar Dokter hari ini?” sapanya kemudian duduk di depannya, di atas kursi yang selalu tersedia di situ, untuk memudahkan Emmi melayaninya.

“Saya jauh lebih baik. Kalau boleh saya ingin pulang segera.”

“Dokter belum begitu baik. Suasana hati masih naik turun. Benar kan? Dan itu membuat Dokter tidak baik-baik saja.”

“Saya tahu … saya tidak akan bisa sembuh.”

“Putus asa membuat kita menjadi lemah. Lebih baik dokter berjuang untuk melawan sakit, daripada merasa tidak punya harapan sembuh.”

“Seorang manusia yang gagal dalam kehidupan, tidak akan pernah bisa sembuh.”

“Tidak. Bukan begitu. Kegagalan itu lumrah, tapi gagal bukan berarti jatuh, bukan?”

“Bagi saya, itu adalah kejatuhan.”

“Sepertinya Dokter mengalami trauma yang amat parah.”

“Saya banyak dosa.”

“Bukankah bertobat adalah langkah untuk menghapus dosa?”

“Tidak semudah itu. Dosa, kemudian gagal.”

“Bukankah kegagalan membuat kita harus bangkit lalu mendandani mana yang gagal dan yang kurang? Memiliki putri cantik dan pintar, apakah tidak membuat Dokter bersemangat?”

“Saya baru beberapa hari ketemu anak saya.”

“Maksudnya?”

“Saya meninggalkan anak-anak saya ketika mereka masih balita. Baru beberapa hari ini ketemu.”

Dokter Dian terdiam. Ia tentu saja tidak tahu apa dan siapa dokter yang sekarang menjadi pasiennya.

“Saya akan menceritakan kisah hidup saya.”

Entah karena merasa bahwa dokter Dian adalah dokter yang baik, atau karena ingin agar suatu saat nanti bisa menjadi menantunya, maka kemudian dia menceritakan semua kisah hidupnya, dari awal dia mengenal Kinanti, sampai kemudian berpisah karena kesalahannya, lalu ketika dia sadar, sudah terlambat untuk mendandaninya, karena Kinanti sudah menjadi milik orang lain, dan seterusnya.

Dokter Dian mendengarkan dengan seksama, lalu ia bisa mengerti mengapa kemarin dia marah-marah kepada Emmi.

Rasa haru menyelimutinya. Sebagai sesama laki-laki, dia bisa merasakan apa yang dirasa oleh dokter seniornya itu. Ada harga diri yang ingin digenggamnya. Ada keinginan punya arti dalam sisa kehidupannya, lalu ia terhempas ketika keinginan untuk berbuat sesuatu dipatahkan oleh sebuah kekuatan yang lebih segala-galanya dan jauh sekali berada di atasnya. Dia merasa bukan siapa-siapa.

***

Hari itu Wahyu punya waktu luang setelah segala sesuatu yang menyangkut kelulusannya sudah diselesaikan. Dia juga sedang menunggu panggilan dari beberapa perusahaan dimana dia melamarnya.

Pemikiran atas kelakuan ibunya yang membuatnya selalu terganggu, kemudian membuatnya nekat menemui Suryawan di rumahnya.

Kedatangan Wahyu membuat Suryawan heran karena bukankah ketika Wanda datang dia sudah mengatakan secara halus bahwa dia menolak menjadikan Wahyu sebagai menantunya?

Walau begitu Suryawan berusaha menerimanya dengan ramah.

“Silakan duduk Nak. Bapak hanya sendirian, sama pembantu. Soalnya ini kan hari libur? Jadi semua pergi.”

“Iya Pak, saya tahu. Saya memang ingin menemui Bapak.”

“Oh ya? Beberapa hari yang lalu ibu Wanda juga datang kemari.”

“Iya. Dan kedatangan saya kemari juga ada hubungannya dengan kedatangan ibu beberapa hari yang lalu itu.”

Suryawan menatapnya tajam. Jadi rupanya Wahyu memang gigih untuk mendapatkan Tia?

“Nak Wahyu, waktu bu Wanda datang, saya sudah mengatakan bahwa Tia sudah ada yang punya.”

“Maaf Pak, kedatangan saya kemari ini bukan untuk melanjutkan pembicaraan ibu. Waktu itu ibu saya datang kemari tanpa sepengetahuan saya. Saya terkejut ketika ibu mengatakan semuanya, padahal saya tidak bermasud untuk melamar Tia.”

“O, jadi itu kemauan bu Wanda sendiri?”

“Saya ingin minta maaf atas apa yang sudah dibicarakan ibu saya. Itu bukan keinginan saya. Saya juga minta maaf apabila apa yang dikatakan ibu saya kurang berkenan.”

Suryawan tersenyum dan diam-diam merasa simpati atas sikap Wahyu yang meminta maaf atas kelakuan ibunya.

“Oh, begitu ya? Tidak apa-apa Nak, terkadang orang tua suka bertindak atas dasar keinginannya, yang belum tentu sesuai dengan keinginan anaknya. Nak Wahyu tidak usah memikirkannya, saya sudah melupakannya.”

“Terima kasih atas pengertiannya, Pak.”

“Kabarnya nak Wahyu sudah selesai kuliahnya?”

“Atas restu Bapak, saya tinggal menunggu wisuda, dan tentu saja menunggu saya diterima bekerja yang entah di mana nantinya.”

“Bapak doakan semoga segera mendapatkan pekerjaan itu.”

“Aamiin, terima kasih Pak.”

Ketika meninggalkan rumah Suryawan, Wahyu merasa lega karena telah diterima Suryawan dengan baik, dan Suryawan bersedia memaafkannya.

***

Emmi kembali memasuki ruang ayah Guntur, setelah membeli semua keperluannya sendiri. Sang ayah duduk sendirian, menatapnya tak berkedip.

“Maaf, Emmi agak lama perginya.”

“Tidak apa-apa. Bapak mau bilang, bahwa sebaiknya kamu segera pulang.”

Emmi terkejut mendengar perkataan sang ayah.

“Bapak mengusir saya?” tanyanya dengan suara bergetar. Ia merasa sang ayah masih marah padanya.

“Sudah berhari-hari kamu menemani Bapak. Sebaiknya kamu segera pulang, karena bapak juga mau pulang.”

“Apa?”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Thursday, March 27, 2025

ADA MAKNA 21

 ADA MAKNA  21

(Tien Kumalasari)

 

Suryawan pernah mengenalnya, satu kali, ketika wanita itu mengajak pergi Tia, untuk ziarah ke makam ayah temannya yang bernama Wahyu. Si ibu itu bernama Wanda. Tentu Suryawan masih ingat. Suryawan juga tahu bahwa Wanda adalah wanita yang membuat rumah tangga Kinanti berantakan. Kinanti yang tampak nelangsa ketika ia bertemu untuk pertama kalinya, yang kemudian membuatnya jatuh cinta, yang kemudian ….

“Selamat siaaang,” sapa Wanda dengan senyuman manis.

“Selamat siang.”

“Pak Suryawan tidak melupakan saya kan Saya ibunya Wahyu yang beberapa waktu yang lalu datang kemari.”

“Iya, saya ingat.”

“Boleh saya masuk?”

“Silakan Bu.”

Mau tak mau Suryawan menyambutnya ramah. Hanya saja dia tak mempersilakan tamunya masuk, karena dia hanya sendirian di rumah, hanya ada bibik yang bekerja di dapur.

“Sepi ya pak? Tia belum pulang?”

“O, belum, dia biasanya pulang sore, dan terkadang juga malam kalau pekerjaannya banyak.”

“Iya, saya tahu. Tapi tidak apa-apa, saya hanya mampir karena ada keperluan lain di sini. Yang penting bisa ketemu Bapak.”

Suryawan hanya mengangguk. Wanda bicara banyak tentang keluarganya. Ia juga menceritakan tentang suaminya yang diganggu wanita lain sehingga membuatnya bercerai. Suryawan tentu saja tahu kalau Wanda berbohong. Dan hal itu membuatnya semakin tidak menyukai wanita yang saat ini duduk di depannya.

“Oh iya Pak, saya membawa sesuatu dari Semarang. Ada bandeng presto, ada lumpia semarang yang sudah terkenal dimana-mana. Semoga Bapak suka.”

“Mengapa ibu repot-repot membawa oleh-oleh untuk kami?”

“Tidak apa-apa, hanya beberapa kilo bandeng presto dan sekotak lumpia. Saya harap Bapak suka dan jangan sungkan. Bukankah nantinya juga akan menjadi keluarga?” kata Wanda tanpa sungkan,

“Maksudnya …?”

“Pak, perlu Bapak ketahui, Wahyu sudah berhasil lulus, dan pastinya dengan nilai bagus, karena selama ini dia adalah anak yang pintar,” kata Wanda dengan bangga.

“Oh, syukurlah. Saya ikut senang,” kata Suryawan yang masih bertanya-tanya tentang ucapan ‘menjadi keluarga’ yang tadi didengarnya.

“Saat ini dia sedang mencari pekerjaan. Mohon doanya ya Pak, supaya Wahyu segera mendapat pekerjaan.”

“Ya, saya doakan.”

“Terima kasih Pak, karena kalau dia berhasil, bukankah semuanya nanti juga untuk Tia?”

“Maksudnya?” pak Suryawan sedikit menangkap arah perkataan Wanda, tapi dia terus saja bertanya.

“Pak Suryawan, kita sebagai orang tua, pastinya hanya mendoakan supaya anak-anak kita bahagia. Ya kan?”

Pak Suryawan mengangguk, sementara bibik kemudian keluar dengan menghidangkan minuman hangat.

Wanda meneguknya tanpa dipersilakan, karena dia merasa sangat haus.

“Maaf Pak, saya kok tergesa minum. Haus sih, udara sangat panas,” kata Wanda yang akhirnya punya rasa malu juga.

“Tidak apa-apa Bu, silakan dihabiskan.”

"Terima kasih ya Pak. Nah, sekarang akan saya lanjutkan. Eh, sampai mana tadi .. oh ya, tentang Wahyu, yang sekarang ini sudah sibuk mencarI pekerjaan. Sekali lagi saya mohon Bapak juga ikut mendoakan.”

“Ya, semoga berhasil.,” kata Suryawan singkat.

“Matur nuwun Pak, terima kasih. Nanti kalau sudah berhasil, dia pasti akan segera datang kemari.”

Suryawan masih menatap, pura-pura tak mengerti.

“Tentu saja dengan keluarga kami yang lain, nantinya.”

“Maksudnya?”

“Bapak ini bagaimana, tentu saja untuk melamar, karena kita kan sudah sama-sama merasa cocok, mereka juga sudah saling menyayangi satu sama lain. Ya kan Pak?” kata Wanda sok yakin, membuat Suryawan heran. Tapi ia tak ingin berbasa basi. Wanda harus segera mengerti tentang apa yang menjadi pemikirannya.

“Bu Wanda ini maksudnya apa ya?”

Wanda tertawa kecil. Sejauh ini dia masih menganggap bahwa Suryawan berpura-pura. Barangkali karena sungkan, karenanya ia harus mengatakannya dengan jelas.

“Bukankah mereka saling menyayangi? Dan saya kira mereka adalah pasangan yang cocok. Saya bahagia sekali kalau mereka kemudian berjodoh.”

“Sebentar Bu, maksud Ibu, ini tentang perjodohan?”

“Iya lah Pak, apa lagi? Orang tua yang melihat anak-anak mereka sudah saling mencintai, akan ke mana lagi kita membawanya kalau tidak langsung ke perjodohan?”

“Maaf Bu. Sungguh saya minta maaf. Sebenarnya saya, dan khususnya Tia, sama sekali belum memikirkan perjodohan.”

“Maksud Bapak apa?”

“Bukankah yang sebenarnya Ibu sedang berbicara tentang perjodohan antara Tia dan Wahyu.”

“Iya Pak. Siapa lagi?”

“Saya kira Ibu jangan berpikir dulu tentang perjodohan.”

“Maksudnya? Bukankah mereka sudah dewasa dan sudah saatnya untuk berumah tangga? Maaf kalau saya lancang mendahului, sementara Wahyu masih bersiap-siap, menunggu mendapatkan pekerjaan. Tapi percayalah bahwa nanti Wahyu pasti akan datang sendiri kemari untuk mengatakannya, tentu saja dengan diantar keluarganya yang lain.”

“Tidak Bu, maaf. Terus terang saya tidak setuju.”

“Apa?” Wanda terkejut bukan alang kepalang. Ungkapannya yang panjang lebar, ditanggapi dengan sebuah kata ‘tidak’?

“Tia tidak bisa menerima lamaran dari orang yang saya tidak menyetujuinya. Dan Tia tidak pernah mengatakan bahwa dia mencintai Wahyu, anak Ibu.”

“Apa?”

“Saya mohon maaf. Wahyu itu pintar, ganteng pula. Pasti tidak susah untuk mendapatkan gadis lain yang pantas. Tapi bukan Tia, pastinya.”

“Apa Bapak sudah mencalonkan Tia dengan orang lain?”

“Terus terang, iya,” kata Suryawan sekenanya.

“Jadi Bapak tidak mengijinkan Tia berjodoh dengan Wahyu, anak saya?” suara Wanda sudah mendekati tangis.

“Maaf Bu. Iya.”

Wanda segera berdiri.

“Kalau begitu saya mohon pamit,” katanya sambil membalikkan tubuhnya, dan yang membuat Suryawan geli adalah Wanda mengambil kembali bungkusan yang tadi diberikannya sebagai oleh-oleh.

“Orang aneh,” gumamnya sambil tersenyum. Dan semua itu membuatnya semakin mantap untuk menolak Wanda menjadi besannya.

***

Di sebuah tanah pemakaman, Wanda duduk di depan nisan Zaki sambil menangis, lalu memukul-mukul nisan itu dengan tangannya.

“Lihat Zaki, anakmu sunguh sial bukan? Apa kekurangan dia? Dia tampan, dia pintar, dia sudah tinggal mencari pekerjaan dan itu sebuah prestasi yang membanggakan bukan? Tapi kamu tahu? Dia ditolak oleh seorang laki-laki setengah tua, ketika aku menginginkan anak gadisnya menjadi pasangan Wahyu. Gadis itu cantik dan sudah bekerja, aku sudah mantap menjadikannya menantu, tapi kamu tahu, ayahnya menolak. Ia mengatakan bahwa anaknya tidak pernah mencintai Wahyu. Mengapa begitu, Zaki? Pasti dia terkena karma atas perbuatan kamu. Karena kamu tidak bertanggung jawab ketika menodai aku. Ketika dia terlahir dengan bapak yang bukan ayah kandungnya. Ini semua salahmu, ini semua dosamu! Laki-laki tak bertanggung jawab!”

Wanda terus memukul-mukul batu nisan itu sampai tangannya sakit, dan matanya bengkak karena menangis. Ia meninggalkan area pemakaman itu, tanpa mendoakan almarhum, apalagi menaburkan bunga. Ia datang hanya untuk mengumpat dan menyesalinya. Dan pulang ketika hari menjelang sore.

***

Emmi terkejut melihat Reihan tiba-tiba muncul, masih dengan seragam sekolah.

“Kamu baru pulang sekolah?”

“Iya. Apakah bapak masih tidur?”

“Tidak. Tuh, sedang minum jus buah.”

“Bapak sudah bisa duduk?” tanya Reihan sambil duduk di depan sang ayah.

“Bapak sudah sembuh.” kata Guntur sambil meletakkan gelas jus di meja.

“Syukurlah. Kapan boleh pulang?”

“Menunggu dokter.”

“Rumah Bapak di mana? Bapak belum memberi tahu sejak kemarin-kemarin.”

“Nanti bapak beritahu. Bagaimana sekolah kamu?”

“Baik. Rei sudah mau ujian.”

“Belajar yang rajin.”

“Ya. Rei pengin jadi dokter seperti Bapak.”

Guntur tersenyum. Apakah ia harus bangga kalau memiliki seorang anak yang memiliki keahlian seperti dirinya? Bukankah dia tak pernah melakukan apa-apa untuk semua anak-anaknya?

“Apa kamu punya tabungan di bank?”

“Tidak. Uang Rei hanya Rei simpan di dompet ini.”

“Bapak punya sedikit uang, kamu harus membuka rekening di bank, agar bapak bisa mentransfer uang ketika kamu membutuhkan.”

“Bapak punya uang?”

“Tentu saja punya.”

“Bapak mau memberi uang berapa untuk Reihan?” tanya Emmi.

“Kali ini biarkan bapak melakukannya. Bisakah kamu mengantarkan Reihan untuk membuka rekening di bank? Barangkali ini masih buka,” katanya kepada Emmi.

“Bisa, biar Emmi antarkan dia sekarang.”

***

Wahyu pulang ke rumah, dan mendapati Reihan makan seorang diri. Ia segera ikut duduk di depan sang adik.

“Kok sendiri?” tanyanya.

“Ibu pergi sejak pagi.”

“Sejak pagi?”

“Jangan Mas kira ibu arisan. Ibu bilang mau ke luar kota.”

“Ke luar kota? Ada urusan apa? Luar kota mana?”

“Aku nggak tahu, katanya tadi penting atau apa.”

“Jangan-jangan … “

“Jangan-jangan apa?”

“Aku khawatir ibu melakukan hal-hal yang aneh.”

“Ibu terkadang aneh. Makan dulu saja Mas, keburu aku habisin nanti lauknya,” kata Reihan sambil menambahkan nasi pada piringnya.

“Kenapa kamu juga baru makan sekarang? Ini hampir sore.”

“Aku mampir ke rumah sakit, ketemu bapak.”

“Bagaimana kabar bapak?”

“Tadi sudah bisa  duduk. Bapak menyuruh Rei agar membuka rekening di bank.”

“Oh ya?”

“Tadi sudah, aku diantarkan mbak Emmi.”

“Pasti bapak akan mengirimkan uang untuk kamu.”

“Kata bapak kalau butuh aku harus mengatakannya pada bapak. Tapi kasihan juga sih. Bukankah bapak sudah pensiun? Pasti uangnya tak banyak.”

“Pastinya. Tapi kamu tidak usah mengatakannya pada ibu. Kamu juga tidak usah sering-sering meminta uang pada bapak. Kalau mas sudah bekerja, mas akan membiayai kamu kuliah.”

“Rei malah tidak mau minta. Kasihan, bapak sakit, pasti membutuhkan uang banyak.”

Rupanya Wahyu juga sangat memprihatinkan keadaan Guntur yang pernah menjadi ayah sambungnya. Wahyu juga sangat memperhatikan adiknya.

“Terima kasih ya Mas. Tadi Rei bilang pada bapak kalau ingin menjadi dokter, bapak kelihatan senang. Setelah itu kemudian bapak menyuruh mbak Emmi agar aku membuka rekening di bank.”

“Semoga kamu berhasil.”

***

Wahyu sangat marah ketika Wanda datang dan mengatakan bahwa dia dari rumah Tia dan berbicara dengan Suryawan tentang perjodohan antara dirinya dan Tia, lalu ditolak. Ini sangat menyakitkan. Lebih sakit dari kalau dia mendengar penolakan dari Tia sendiri seandainya dia melamarnya.

“Mengapa ibu lancang pergi kesana dan bicara tentang perjodohan?” kata Wahyu emosi sehingga bicara kasar kepada sang ibu.”

“Apa kamu begitu bodoh sehingga tak tahu bahwa apa yang ibu lakukan itu untuk kebaikan kamu?”

“Apa maksud kebaikan yang ibu katakan? Belum tentu juga Wahyu mau melamar Tia. Ibu malah mendahului datang kesana seakan sudah berbesan."

"Maksudku baik. Kenapa kamu marah?"

"Bu, yang ibu lakukan itu tidak benar dan memalukan."

"Memalukan apa? Menjalin hubungan dengan calon besan.. apakah memalukan?"

"Siapa yang calon besan? Diantara Wahyu dan Tia belum pernah ada hubungan yang menjurus ke arah sana. Ibu tiba-tiba sudah merasa bahwa akan menjadi besan keluarga Suryawan, apa itu tidak memalukan? "

"Kamu  keterlaluan ."                                                                                                                                                                                                 

 "Aku tahu maksud ibu baik. Tapi baik untuk ibu sendiri. Dan apa yang ibu dapatkan. Malu kan? Aneh kalau ibu bilang tidak. Wahyu yang mendengar saja merasa malu. Sangat malu. Sekarang Wahyu sedang bingung harus melakukan apa untuk menebus malu itu."         

                                                                             Wanda yang tersinggung karena perkataan Wahyu, langsung masuk ke dalam kamarnya sambil membanting pintunya keras sekali.

Wahyu menghela napas panjang.

Angan-angan untuk merayu Emmi tidak berhasil.. sekarang hatinya tertindih rasa malu atas kelakuan sang ibu.

***          

                                                                                                                                                 


Ardi yang sedang berada di ruang kerjanya tiba-tiba mendengar dering ponselnya. Dari Emmi.

"Apa kabar Nak ?"

sapanya setelah saling mengirim dan membalas salam.

"Baik."  

 "Bagaimana keadaan ayah Guntur? 

 "Lebih baik. Tapi saya ingin mengatakan sesuatu."

"Uangnya kurang?"

"Bukan kurang. Tapi Emmi mempergunakannya untuk hal lain." 

"Tidak apa-apa kalau memang diperlukan."

Lalu Emmi bercerita tentang Reihan, di mana   ayahnya ingin memberikan uangnya untuk biaya kuliah Reihan. Tapi Emmi merasa tidak tega karena sang ayah hanya memiliki uang pensiun, dimana dengan keadaan sakit pasti juga membutuhkan biaya tidak terduga.

"Kamu ingin membantu kan? Tapi kamu belum punya uang. Ya kan? Bukankah ada bapak? Kamu lupa masih  punya bapak Ardi?"                                              

 "Emmi merasa malu. Selalu merepotkan Bapak,"

"Apa maksudmu? Adakah antara anak dan bapak harus ada rasa sungkan dan si bapak merasa direpotkan?"

"Bapak, benarkah Bapak bersedia membantu? Anggap saja Emmi berhutang. Besok kalau Emmi sudah bekerja, Emmi akan mengganti semuanya."

Ardi terbahak mendengar kata-kata Emmi.

"Memangnya seorang ayah harus menghutangkan sesuatu kepada anaknya lalu menuntut pengembalian hutang itu? Jadi kamu tidak menganggap bapak sebagai ayah kamu?"

"Aduh, maaf Bapak. Bukan begitu. Masalahnya Reihan adalah_"

"Reihan adalah anak ayah Guntur, dan kamu ....?"

"Maaf Bapak."

"Kalau begitu katakan kamu butuh berapa atau apa yang harus ayah Guntur lakukan, katakan kepada bapak. Bapak akan melakukannya."

***

Tapi apa yang terjadi? Ketika Emmi mengatakan niat baik Ardi, maka Guntur menerimanya dengan mata berapi-api.

"Jadi manusia seperti aku ini tidak berhak melakukan sesuatu untuk darah dagingku?"

***

 besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ADA MAKNA 30

  ADA MAKNA  30 (Tien Kumalasari)     Guntur sangat terkejut. Bukan hanya seorang yang berdiri di depan pintu, tapi dua orang. Emmi dan Reih...