JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 30
(Tien Kumalasari)
Ia mendengar sang suami bersiul di dalam kamar yang tidak tertutup rapat. Khawatir Wahyu terbangun, Wanda kemudian memasuki kamarnya. Wahyu memang tidur bersebelahan dengan kamar Arman, karena Wanda tidak punya pembantu, jadi Wahyu diawasinya sendiri.
Wahyu ternyata masih pulas. Ia melihat Arman keluar dari kamar mandi dan mengganti bajunya. Tak tahan untuk mendiamkannya, akhirnya Wanda menyapa.
“Baru pulang?”
“Iya, mendadak dapat berita ada saudara yang sakit, jadi aku mengantarkan ke rumah sakit sampai ia selesai ditangani.”
“Saudara yang mana? Apa aku mengenalnya?”
“Tidak. Dia saudara jauh yang baru datang. Ah ya, yang kemarin malam-malam menelpon itu.”
“Kamu bilang yang menelpon itu temanmu?”
“Aku salah ngomong. Memang saudara jauh, sudah seperti teman. Kamu mencurigai aku?” itu pertanyaan yang sama ketika dia menanyakan tentang dering telpon di tengah malam.
“Tidak. Hanya ingin bertanya saja. Soalnya di rapat siang tadi beberapa orang menanyakan kamu.”
“Aku pergi mendadak. Tidurlah, aku juga sangat lelah.”
Wanda meraih pakaian Arman yang masih berserakan, dan belum dimasukkan ke keranjang kotoran.
“Kamu beli parfum baru?”
“Apa? Tidak? Parfum apa sih?”
“Baju kamu ini baunya seperti parfum.”
“O, itu kan ulah penjaja parfum di jalanan. Asal semprot saja,” jawabnya enteng.
Wanda terdiam. Ia sudah tahu jawabannya, tapi dia masih mendiamkannya.
“Aku lelah, biarkan aku istirahat dan jangan banyak bertanya.”
“Kamu juga tidak menanyakan rapat siang tadi.”
“Aku sudah bertanya kepada stafku, katanya berjalan baik. Besok saja kita bicara, aku lelah sekali,” katanya sambil membaringkan tubuhnya di ranjang.
Wanda tidak ikut berbaring di sampingnya, tapi berbaring di ranjang Wahyu. Selalu begitu.
“Banyak kebohongan, sebentar lagi aku akan mengungkapkan dan mendepakmu dari sini,” kata batin Wanda.
***
Pagi hari itu Wanda ke kampus. Ia harus segera menyelesaikan kuliahnya, sebelum kemudian benar-benar fokus kepada usahanya yang kata pak Danu nyaris bangkrut.
Arman pergi ke kantor dan marah-marah pada pak Danu, karena ia tak berhasil mengambil uang dari bagian keuangan.
“Mengapa Bapak marah pada saya? Bukan saya yang bisa menghentikan pengeluaran uang.”
“Tapi mereka bilang, kamu yang memberikan perintah untuk melarang aku mengambil uang.”
“Saya hanya menjalankan perintah bu Wanda. Ada surat perintahnya. Bahwa uang keluar hanya bisa dilakukan kalau ada tanda tangan bu Wanda.”
“Itu karena kamu yang membujuknya bukan?”
“Mengapa saya? Siapa saya ini maka bisa mengatur apa yang harus dilakukan bu Wanda? Itu adalah kemauan bu Wanda sendiri.”
“Dia tidak akan melakukannya kalau tidak ada yang membujuknya.”
“Pak Arman harap tahu, ini sebuah perusahaan. Segala sesuatu yang ditentukan oleh pimpinan, tidak harus karena bujukan seseorang.”
“Kamu sudah pengalaman di sini, karenanya kamu pintar bicara. Mana Wanda?”
“Bu Wanda sedang ke kampus. Setelahnya baru akan datang kemari. Ada banyak yang harus dikerjakan.”
“Dia harus mengerjakan apa? Dia tidak tahu apa-apa. Akulah yang berkuasa. Sekarang aku mau dari keuangan mengeluarkan uang sebanyak yang aku minta. Catatan sudah aku taruh di sana.”
“Kalau begitu pak Arman harus menunggu bu Wanda datang. Saya sungguh tidak berani memberikan perintah yang menyangkal kemauan bu Wanda. Mohon maaf,” kata pak Danu yang kemudian berdiri dan meninggalkan ruangan Arman.
Arman menggebrak meja sekeras-kerasnya. Lalu ia mengambil ponselnya. Ditelponnya sang istri, tapi Wanda tidak mengangkatnya. Ia sedang sibuk menyiapkan bahan skripsi di ruang perpustakaan.
Berkali-kali Arman menelpon, tapi tetap tak ada tanggapan.
Kembali ia menggebrak meja, sehingga OB yang akan mengantarkan minuman undur dari pintu masuk.
Tak lama setelahnya, ponselnya berdering.
“Ada apa?”
“Aku sudah lama menunggu, tapi kamu belum juga mentransfer uangnya. Aku ini sedang di bank, berkali-kali menuju ATM tapi uangnya belum juga masuk.”
“Sabar dulu sayang, aku sedang menunggu uangnya dikeluarkan.”
“Apa maksudmu? Kamu bilang bahwa kamu adalah pimpinan, bisa mengambil berapa saja uang yang kamu inginkan.”
“Iya, tapi di kantor sedang ada masalah.”
“Masalah apa?”
“Itu … bagian keuangan … tidak masuk.”
“Apakah tidak ada yang menggantikan? Semua ada wakilnya bukan?” kekasih Arman malah ikut mengatur.
“Tidak semudah itu. Kamu harus bersabar.”
“Bukankah istri kamu bisa kamu kuasai?”
“Benar, tapi dia belum datang di kantor.”
“Apa tidak bisa ditelpon?”
Karena kesal, Arman menutup ponselnya begitu saja. Ia sedang kesal kepada bagian keuangan, ditambah Riska kekasihnya yang selalu rewel. Yang biasanya dia selalu menjawabnya dengan manis, kali ini ia merasa jengkel juga.
Berkali-kali Riska menelpon, tapi Arman tak mau mengangkatnya. Ia sudah berjanji akan mentransfer sejumlah uang untuk membeli perhiasan, tapi ia gagal mengambilnya di keuangan. Jadi ia tak punya jawaban kalau Riska lagi-lagi menanyakannya.
Ketika sebuah pesan masuk, ia membukanya. Riska marah-marah karena sudah lama menunggu transferan, bahkan menunggunya di depan ATM sebuah bank. Arman mendiamkannya, karena ia tak punya jawaban.
Bergantian pesan dan dering telpon mengganggunya, akhirnya dia mematikan ponselnya.
Tapi tanpa disangka, tiba-tiba tanpa mengenal malu, Riska sudah sampai di kantornya. Arman tentu saja sangat terkejut. Kalau semua orang tahu siapa Riska dan apa hubungannya dengan dirinya, maka tamatlah riwayatnya. Untunglah Wanda belum datang. Tanpa berkata apa-apa, begitu Riska masuk, Arman segera menariknya keluar, dan membawanya memasuki mobil lalu pergi begitu saja.
Kasak kusuk segera memenuhi kantor yang tadinya tenang. Satpam yang berada di depan sudah melarang Riska masuk, sebelum melaporkan kepada pak Arman terlebih dulu, tapi Riska tak peduli, dia nekat masuk dan langsung menanyakan di mana ruangan Arman. Satpam yang semula mengikutinya, kemudian merasa heran karena pak Arman segera mengajak pergi tamu wanita itu, tanpa dia sempat mengucapkan apapun.
Pak Danu yang kebetulan melihatnya, mendekati satpam yang berdiri kebingungan.
“Ada apa?”
“Itu Pak, tamu wanita pak Arman. Menyerobot masuk padahal saya sudah melarangnya. Tapi begitu masuk ke ruangan pak Arman, lalu pak Arman menariknya keluar, lalu mereka pergi dengan mobil tapi bukan mobil pak Arman.”
“Siapa wanita itu?”
“Entahlah, saya baru sekali melihat. Dia juga menolak ketika saya minta untuk menulis di buku tamu.”
“Ya sudah, biarkan saja. Berarti memang dia benar-benar tamu pak Arman.”
Pak Danu kembali ke ruangannya, dan merasa yakin bahwa wanita itu adalah Riska. Nama itu diketahuinya, ketika seseorang mengantarkan sebuah mobil atas nama Riska, yang katanya pesanan pak Arman. Sudah beberapa bulan yang lalu, dan pak Danu baru mengatakannya pada Wanda, beberapa hari ini.
***
Baru siang setelah jam makan siang Wanda datang ke kantor. Ia memerlukannya walau sedang sibuk mempersiapkan skripsinya, karena kemarin belum selesai memeriksa laporan keuangannya.
Begitu masuk ke ruangan, pak Danu segera memburunya.
“Selamat siang bu Wanda,” katanya setelah mengetuk pintu.
“Siang, pak Danu.”
“Tadi pak Arman marah-marah.”
“Dia di kantornya kan? Saya melihat mobilnya ada.”
“Dia pergi bersama seorang wanita yang datang ke mari. Saya kira dia yang bernama Riska.”
“Oh ya? Berani dia datang kemari?”
“Dia datang, pak Arman langsung mengajaknya pergi, rupanya dengan mobil wanita itu.”
“Ketakutan kalau ketahuan belangnya?”
“Sebelumnya dia marah-marah, karena bagian keuangan tidak mau mengeluarkan uang yang dia minta.”
“Dia mau mengambil uang lagi?”
“Benar. Tapi seperti perintah bu Wanda, saya sudah melarang bagian keuangan untuk tidak mengeluarkan uang tanpa persetujuan bu Wanda.”
Wanda tersenyum miris. Ia melanjutkan membaca semua laporan sampai hari menjelang sore. Pak Danu masih menemaninya.
***
Uang perusahaan hampir habis, sementara hutang di bank ada beberapa milyar. Ia sedang bingung mencarikan cara untuk mengembalikannya. Ia belum sempat bicara dengan Arman. Ketika melihat mobilnya ada, dia berharap bisa menanyakan perihal hutang itu, tapi ternyata Arman tidak ada. Investasi yang masuk tidak cukup untuk membayar hutang. Wanda hampir merasa yakin kalau perusahaan ayahnya nyaris hancur. Bagaimana tidak? Aset perusahaan dipergunakannya sebagai agunan, dan tidak jelas kemana larinya uang sebanyak itu. Wanda memegangi keningnya.
“Apakah saya harus menjual rumah peninggalan bapak? Lalu bagaimana saya harus mengatakannya pada ibu? Tapi apakah itu cukup?”
“Ini sebuah tantangan yang berat. Memang semuanya karena pak Arman, dan kalau dituntut, dia hanya masuk penjara, sedangkan hutang tetaplah menjadi hutang, dan perusahaan ini adalah taruhannya.”
“Kalaupun rumah peninggalan bapak dijual, tidak akan cukup untuk membayar hutang.”
Wanda meneteskan air mata. Ada seorang ibu yang harus dijaganya, agar tidak sakit dan terluka, sementara dia memendam sendiri luka itu.
Pak Danu menatapnya iba.
“Sebaiknya ibu menenangkan diri saja dulu, memikirkan mana yang terbaik.”
“Tampaknya saya merasa lelah. Saya tidak ingin melanjutkan usaha ini,” katanya lemah, sambil terus meneteskan air mata.
“Saya ikut prihatin bu Wanda, tapi kalau memang kita harus melepas perusahaan ini, apa boleh buat. Hanya saja bu Wanda harap memikirkannya dulu matang-matang.”
“Ya Pak, banyak yang harus saya pikirkan. Nanti saya akan bertanya dulu pada Arman, mengapa dia melakukan semua ini.”
“Kalau uang itu masih ada, Ibu minta agar dia mengembalikannya. Tapi tampaknya juga susah. Kalau dia masih memegang uangnya, pasti tadi tidak akan meminta lagi ke bagian keuangan.”
“Saya akan menyelesaikan memeriksa laporan ini, setelah saya menemukan bukti-bukti, saya akan bicara dengan mas Arman. Apa boleh buat kalau memang dia harus masuk penjara. Siapkan akuntan untuk mengaudit perusahaan ini.”
***
Wanda tidak menjemput Wahyu hari itu. Ia menitipkannya kepada ibunya, karena banyak urusan di perusahaan. Ia belum berani mengatakan apa-apa. Sungguh dia sangat takut kalau ibunya kecewa, bersedih, lalu menjadi sakit, lalu Wanda tak berani membayangkan kalau ia sampai kehilangan untuk kedua kalinya.
Arman pulang sebelum tengah malam, dan Wanda memang sedang menunggunya.
Seperti biasa Wanda tak banyak menanyakan kemana saja seharian ini. Tapi ia mengatakan bahwa ingin bicara sebelum tidur.
Arman sudah berganti pakaian rumah, menghampiri sang istri yang menunggunya di ruang tengah.
“Seharusnya aku yang ingin bicara sama kamu. Mengapa kamu tiba-tiba melarang bagian keuangan untuk mengeluarkan uang tanpa persetujuanmu.”
“Tadi aku sudah mendapat laporannya. Memang benar aku melarangnya. Memangnya masih ada banyak uang diperusahaan? Uang yang harus diputar menjadi tersendat karena beberapa kendala.”
“Kamu tahu apa? Jangan sok tahu kamu. Aku akan mengatur semuanya dan pasti bisa selesai.”
“Kamu hutang di bank sampai beberapa puluh milyar, untuk apa?”
“Dasar bodoh. Memangnya untuk sebuah usaha tidak harus mempergunakan modal?”
“Perusahaan ini sudah berjalan. Hutang sebanyak itu dengan apa membayarnya?”
“Kamu tidak usah banyak bicara. Ini semua urusanku.”
“Tidak. Aku ingin tahu, kemana sebenarnya larinya uang itu. Perusahaan tidak akan mampu membayarnya.”
“Pokoknya serahkan padaku, kamu tidak tahu apa-apa.”
“Aku pimpinan di perusahaan ini, aku harus tahu. Tidak ada laporan penggunaan uang yang dipinjam dari bank, kecuali cicilan yang bukan main banyaknya. Di mana uang itu?”
“Kamu diam saja, ini urusanku.”
“Tidak. Aku harus tahu semuanya. Mulai besok perusahaan akan bebenah. Hanya ada dua kemungkinan, kalau uang kembali, bisa terus jalan, kalau tidak, perusahaan akan ditutup.”
“Apa maksudmu?”
“Dan pelaku kejahatan akan dituntut.”
“Maksudmu siapa pelaku kejahatan itu?”
“Aku tidak tahu. Yang membuat kacau, membuat masalah, membuat rugi, adalah orang yang salah. Besok semuanya akan diaudit. Kamu jangan pergi ke mana-mana, karena aku juga akan ada di sana.”
Wanda berdiri lalu masuk ke kamar, mengunci diri di kamar yang lain.
Arman terpaku di tempatnya. Seharian dia bertengkar dengan Riska gara-gara tak jadi membeli perhiasan yang diinginkan. Ketika pulang ia mendengarkan keluhan dan umpatan dari istrinya yang biasanya pendiam dan dianggap tidak tahu apa-apa.
***
Pagi hari itu Wanda sudah mandi dan rapi. Ia melihat kamar Arman masih tertutup. Ia mengetuknya, mengingatkan bahwa mereka harus ada di kantor hari itu. Tapi tak ada suara di dalam.
Wanda mengetuk pintunya lagi, kemudian membukanya. Tapi tak ada Arman di sana. Tempat tidurnya masih rapi, seperti tak disentuh semalam ini. Ia melongok ke garasi, mobil Arman sudah tak ada.
“Dia kabur?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
Delete๐๐น๐ป๐๐๐ป๐น๐
ReplyDeleteAlhamdulillah๐ Syukron, Bu Tien... Salam SEROJA...๐ค๐ค
JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 30, sudah tayang.
Semoga Bu Tien selalu sehat dan sehat selalu. Aamiin....
๐คฒ ๐คฒ ๐คฒ
๐๐น๐ป๐๐๐ป๐น๐
Aamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun mas Kakek
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur sembah nuwun Mbak Tien
ReplyDeleteJeBeBeeL ._ 30.sudah tayang
Sehat selalu mbak Tien
Salam ADUHAI dari Bandung..๐๐ฅฐ๐๐๐น
Aamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun jeng Ning
Matur nuwun Bu Tien, JBBL nya
ReplyDeleteSehat sll Ibu …๐๐
Aamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun Mbah Wi
Alhamdulillah matur nuwun bunda Tien, sehat2 sllu njih
ReplyDelete๐๐๐๐๐๐๐๐
ReplyDeleteAlhamdulillah ๐๐
JeBeBeeL_30 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai๐ฆ๐
๐๐๐๐๐๐๐๐
Aamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun jeng Sari
Terima kasih bundaqu JBBL 30 sdh tayang..slmt mlm dan slmt istrhat..salam seroja dan tetap aduhai dri skbmi ๐๐๐น❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteAduhai deh
Hamdallah...sampun tayang
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteAlhamdulillah JBBL~30 telah hadir, semoga buTien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yRa.๐คฒ
Aamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun pak Djodhi
Alhamdulillaah JBBL- 30 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin๐คฒ
Salam Aduhai๐
Aamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun ibu Ting
Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 30 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Waduh...Arman yang biasa gebrak meja, sekarang gantian di gebrak Wanda...langsung kabur dari rumah..๐๐
Aamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun pak Munthoni
Alhamdulillah... Terimakasih mbakyu... Sehat selalu.. ๐น
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun dan sehat selalu juga
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun ๐ท๐น ๐๐๐Semoga Bunda selalu sehat wal afiat ๐คฒ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun mas Herry
Mks bun JBBL 30 sdh hadir....kasihan wanda ya dulu dia bikin greget, sekarang bikin iba.....selamat malam bun smg sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun ibu Supriyati
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun ibu Endah
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 30 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra ๐คฒ๐คฒ
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun ๐ฉท๐ฉท
Arman kaboooor๐๐
Aamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun ibu Sri
Aduhai 2xd
Wanda semakin pintar dan berani bertindak tegas. Akibatnya adalah Arman lari ketakutan. Tapi apakah lari untuk melarikan diri.. belum tentu juga. Jangan jangan mencari cara untuk menyelamatkan diri.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun pak Latief
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dari Yk....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),30 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun ibu Uchu
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron ngtih Mbak Tien๐น๐น๐น๐น๐น
Sami2 ibu Susi
DeleteWaah...Arman pengecut, ga berani bertanggung jawab. Langsung jadi DPO deh. Kasihan Wanda ya...☹️
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat dan bahagia.๐๐ป๐
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Tanda² melarikan diri, ramรฉ lagi kalau hari itu; Riska datang kekantor waw terus kรฅyรฅ pasar gedhe, ramรฉ.
ReplyDeleteYang punya perusahaan cuma mengheningkan cipta, pertanyaan yang belum dijawab Wanda, kenapa Wanda tidak jujur dan seperti merahasiakan, tidak berterus terang pada Bu Wita, ya gimana Bu mungkin masih dijaga relasi dalam kehidupan rumahtangganya walaupun akhirnya kebobolan juga.
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke tiga puluh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Aamiin Yaa Robbal'alamin
DeleteNuwun mas crigis
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
Delete