Wednesday, February 5, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 29

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  29

(Tien Kumalasari)

 

Wahyu berusaha meronta ketika sang nenek menariknya menjauh.

“Eyang, katanya mau beliin baju…”

“Nanti saja … nenek lupa, sekarang mau beli sayur dulu …” kata bu Wita sambil terus menarik tangan Wahyu untuk menjauh dari counter baju, setelah melihat ada Arman di sana.

“Tapi eyang nggak bohong kan?”

“Ya enggak, eyang nggak pernah bohong. Nanti setelah belanja baru beli baju buat Wahyu.”

“Nggak papa … Wahyu juga nggak mau ketemu bapak. Nggak cukaaa.”

Bu Wita menatap cucunya yang mengerucutkan mulut mungilnya.

“Memangnya kenapa nggak suka bapak?”

“Nggak cukaa, bapak cuka mencubit cama menjewel. Lihat nih .. paha Wahyu campai hitam … “ kata Wahyu sambil menunjukkan pahanya yang biru kehitaman bekas cubitan.

Bu Wita terkejut. Baru sekali dia mendengar Wahyu mengeluh. Sudah sering Wahyu ikut bersamanya, tapi bekas luka dicubit itu baru sekarang dilihatnya.

“Biacanya tuh … jewel … di sini… kemalin … dicubit kelas cekali … “

Wanda tak pernah menceritakan tentang suaminya yang bersikap kasar kepada Wahyu.

“Mengapa kamu baru bilang sekarang pada eyang?”
”Nggak boleh cama ibu.”

“Nggak boleh apa?”

“Nggak boleh bilang ciapa-ciapa. Ups … Wahyu kok bilang cama eyang sih,” kata Wahyu yang kemudian menutup mulutnya dengan telapak tangan mungilnya.

“Tidak apa-apa kalau bilang sama eyang.”

“Wahyu nggak mau bilang lagi, nanti ibu malah cama Wahyu.”

Bu Wita menghela napas panjang.

“Ayo kita beli sayur dulu,” katanya kemudian.

“Eyang mau beli cayul apa?”

“Beli sayur yang sehat-sehat. Bayam, wortel, tomat … apa lagi ya, pokoknya yang sehat. Tuh, kita hampir sampai,” kata bu Wita sambil terus memegang tangan cucunya.

“Wahyu celing makan cayul … kata ibu bial pintal … “

“Bagus sekali. Karena sayur itu sehat. Ayuk kita pilih sayur yang masih segar.”

“Nanti Wahyu juga mau jeluk … beli ya Yang?”

“Iya, nanti kita juga mau beli buah-buahan.”

“Jangan lupa beli bajunya … “

Bu Wita tertawa geli. Wahyu terus mengingat-ingat baju yang akan dibelikannya.

“Iya, sayang, eyang tidak lupa beli baju untuk Wahyu.”

“Ibu dibeliin juga?”

“Gampang, kalau ada yang cocok buat ibu,” katanya sambil memilih sayuran.

Wahyu terus mengikuti neneknya sambil terus berceloteh.

“Cudah celecaii belanjanya?”

“Ayuk beli ikan dulu.”

Tapi ketika sampai di counter ikan dan daging, Wahyu menutup hidung dan mulutnya.

“Wahyu nggak cuka kecinii … bauuuu,” pekiknya.

“Ya sudah, tutup dulu hidungnya. Tapi lihat tuh, ada aquarium besar di sana, ada ikan besar-besar juga. Wahyu ke sana dulu.”

“Iya … ikan becal … ikan becaal …” Wahyu mendekat ke arah aquarium sambil melompat-lompat, sementara bu Wita memilih-milih ikan. Tidak banyak, hanya untuk sendiri dan pembantu, juga akan dikirimkan ke rumah Wanda setelah dimasak.

“Ayuk, kita sudah selesai … “ ajak bu Wita.

Wahyu berlarian mendekat.

“Kita beli baju kan?”

“Iya, ke kasir dulu. Ini harus dibayar. Semoga antrian tidak panjang.”

Tapi memang siang itu antrian tidak begitu panjang. Bu Wita segera membayar belanjaan dan menitipkannya di penitipan, sebelum berjalan ke counter pakaian.

“Semoga Arman dan perempuan itu sudah tidak di sana lagi,” kata batin bu Wita.

Sambil berjalan itu bu Wita kembali berpikir tentang menantunya. Siapa perempuan itu sehingga bersikap begitu manis terhadapnya? Apakah Wanda mengetahuinya? Mengapa Wanda tak pernah mengeluh sesuatu padanya? Apakah Arman berselingkuh?

“Nanti pasti aku menanyakannya pada Wanda,” kata batin bu Wita.

“Eyang, itu … baju-baju anak kecil … aku cukaaa … aku yang bilu … sama melaah, ada gambar bad man … bukaan … bukan … jangan itu, gambar bola cajaa … yang walna ijoo… jugaaa …” Wahyu terus memekik-mekik, sementara bu Wita merasa gelisah memikirkan apa yang tadi dilihatnya.

“Yang ini … yang ini … Yang, aku cukaaa … “

Bu Wita mengangguk, dan meminta agar pelayan toko melayaninya. Tiba-tiba ia merasa sangat lelah. Kemudian ia duduk di sebuah bangku, di dekat counter sepatu.

Pelayan toko dengan senang hati mengambilkan pilihan Wahyu, memilihkan yang pas untuk badannya. Setiap ditunjukkannya pilihan itu kepada bu Wita, bu Wita hanya mengangguk mengiyakan. Ada lima baju dan celana yang dipilih Wahyu, yang kemudian dibayarnya. Ia juga memilih dua baju rumahan untuk Wanda. Wahyu yang memintanya.

Wahyu melompat-lompat kesenangan ketika bu Wita mengajaknya pulang.

“Kita ke lumah eyang, apa pulang ke lumah ibu?”

“Sebentar, eyang telpon ibu dulu, apakah dia masih di kantor, atau sudah pulang. Kalau ibu masih di kantor, pulang ke rumah eyang dulu ya.”

Bu Wita segera menelpon anaknya.

“Maaf Bu, ini baru saja selesai rapat dengan relasi. Mungkin satu jam atau lebih Wanda baru akan pulang. Ibu mau pergikah?”

“Tidak, ini justru selesai belanja bersama Wahyu. Kalau kamu sudah pulang, ibu antar Wahyu pulang. Tapi sebenarnya ibu ingin agar Wahyu tinggal bersama ibu saja. Bagaimana menurutmu?”

“Mengapa Bu, Wanda kesepian dong.”

“Bukan apa-apa, barangkali kamu sibuk, lalu harus bolak balik menitipkan Wahyu di rumah ibu, jadi bagaimana kalau sekalian saja Wahyu tinggal bersama ibu. Kalau kamu kangen, ibu antar ke rumah.”

“Baiklah, nanti kita bicara lagi soal itu. Wanda masih mau berbincang sama pak Danu.”

“Dengan suami kamu juga kan?” pancing bu Wita.

“Tidak, mas Arman sedang keluar. Mungkin sebentar lagi datang.”

“Ooh.”

Tentu bu Wita sudah tahu kalau Arman tidak ada di kantor, karena dia sedang bersama seorang perempuan. Entah ke mana lagi mereka pergi.

Selesai menelpon, bu Wita segera mengajak Wahyu ke mobilnya.

“Kita pulang? Apa ibu sudah di lumah?

“Belum. Wahyu ke rumah eyang dulu ya.”

***

Di ruangan Wanda, pak Danu sedang berbincang tentang persetujuan kerja sama yang baru saja selesai. Saat makan siang sudah lewat, dan Arman belum tampak batang hidungnya.

“Padahal dia tahu akan ada pembicaraan penting. Mengapa dia malah pergi, bahkan sebelum tamu-tamu itu datang?”

“Tidak apa-apa Bu Wanda. Ibu jangan berkecil hati. Ternyata Ibu bisa menyelesaikan semuanya dengan sangat baik. Saya yakin Ibu sudah lebih menguasai bidang yang sebelumnya tidak Ibu mengerti.”

“Semuanya berkat pak Danu. Saya harus berterima kasih. Sekarang saya akan minta laporan dari bagian keuangan. Selama dua tahun ini saya belum pernah memeriksanya.”

“Saya minta maaf Bu, karena Ibu jarang datang ke kantor, maka semua dipegang pak Arman sendiri.”

“Benar. Dia selalu mengatakan bahwa perusahaan ini baik-baik saja.”

“Ada laporan hutang perusahaan yang tidak sedikit.”

“Hutang? Tidak sedikit?”

“Saya baru meminta bagian keuangan untuk membawa semua laporan kemari. Nanti Ibu bisa memeriksanya.”

“Baiklah. Saya minta pak Danu selalu mendampingi saya, karena mas Arman selalu menganggap saya tidak tahu apa-apa.”

“Benar. Maaf, pak Arman selalu mengatakannya begitu. Dia selalu memandang rendah saya, karena saya dianggap berbicara dengan pimpinan yang tidak tahu apa-apa. Tapi kenyataannya bu Wanda sudah pintar. Kita memerlukan kerja sama dengan perusahaan besar karena usaha ini mendekati bangkrut.”

“Ya Tuhan ….”

Wanda mengeluh. Sungguh ia merasa tertipu. Selama ini sang suami enggan menceraikannya karena masih memerlukan aliran dana untuk memperkaya diri.

“Ini tidak bisa dibiarkan. Ibu Wanda harus segera melihat semuanya, kemudian bertindak.”

***

Sampai sore hari Arman belum kembali ke kantor. Wanda belum selesai memeriksa laporan keuangan yang sudah sejak lama tidak diketahuinya. Ia pulang dengan jiwa dan raga yang terasa letih.

Wanda hampir lupa untuk mengambil Wahyu dari rumah sang ibu. Ia baru ingat ketika sang ibu menelponnya.

“Kalau kamu sibuk, biarlah Wahyu tidur di rumah ibu.”

“Tidak Bu, ini saya sudah pulang dan sedang dalam perjalanan ke rumah Ibu.”

Ketika sudah sampai di rumah ibunya, Wahyu menyambutnya dengan riang. Ia sudah mandi, dan sudah memakai baju baru yang tadi dibelikan oleh neneknya.

“Ibu, apakah Wahyu ganteng?” pekiknya riang.

“Aduuh, Wahyu ganteng sekali. Di mana Wahyu mendapat baju bagus ini?”

“Dibeli eyang. Ada banyak, segini bajunya …” katanya sambil membentangkan tangannya, untuk menggambarkan bahwa baju barunya ada banyak.

“Waduuh, senang sekali dong, bajunya banyak.”

“Eyang juga beli untuk Ibu. Ayo kita lihat …” kata Wahyu sambil menarik-narik tangan ibunya masuk ke dalam kamar.

Bu Wita tersenyum melihat ulah cucunya yang dengan girang memperlihatkan baju-baju baru untuk ibunya.

“Ini untuk Ibu, Wahyu yang pilih … Ibu cuka?”

”Aduuuh, ibu suka sekali. Bagus. Nanti setelah mandi mau ibu pakai.”

“Sebaiknya dicuci dulu, disetrika, baru dipakai. Tadi Wahyu buru-buru kepengin pakai.”

“Besok Wanda cuci dulu dan menyetrikanya.”

“Jangan buru-buru pulang, biar Wahyu bermain bersama bibik, ibu mau bicara,” kata bu Wita sambil menarik tangan anaknya.

Mereka duduk di ruang tengah.

“Kamu tidak pernah bicara tentang keluarga kamu selama ini.”

“Oh, iya Bu, tidak ada apa-apa, kami baik-baik saja.”

“Bagaimana sikap suami kamu terhadap kamu?”

“Baik. Dia sangat baik. Mengapa Ibu menanyakannya?”

“Apakah suami kamu juga baik kepada Wahyu?”

“Baik. O, tadi? Ketika di kantor, lalu Wahyu menangis karena mas Arman menjewernya? Terkadang Wahyu memang nakal, tadi dia mengotori pakaian kerjanya, jadi mas Arman marah.”

Bu Wita heran. Wanda menutupi keburukan suaminya? Mengapa itu dilakukannya? Apakah Wanda sudah tahu apa yang dilakukan suaminya di luar? Dia sedang bersama seorang wanita, dan sikap mereka menunjukkan adanya hubungan yang tidak biasa. Biasanya seorang istri sangat peka terhadap perubahan sikap suaminya. Apa benar Wanda tidak tahu kalau Arman bermain-main dengan perempuan di luaran?

“Ibu tidak usah khawatir. Mengapa kelihatannya Ibu mencurigai keluarga Wanda?”

“Tadi ibu melihat Arman.”

“Benarkah? Di mana?”

“Di sebuah supermarket, sedang mengantarkan seorang perempuan cantik. Mereka sedang memilih-milih baju di counter pakaian mahal.”

Wanda tercekat. Bukan karena cemburu. Ia ingat perkataan pak Danu tentang hubungan Arman dengan seorang wanita bernama Riska, yang baru saja dibelikan rumah dan mobil. Itukah wanita itu?

“Apa kamu tidak mencurigai suami kamu? Barangkali dia punya selingkuhan. Apa kamu tidak merasakannya? Sikapnya pasti berbeda kan?”

Wanda mengulaskan senyum, yang dengan susah payah dilakukannya.

“Jangan cepat-cepat mencurigai sesuatu Bu, mas Arman baru saja kedatangan tamu saudara jauh, itu sebabnya dia pamit dari kantor,” kata Wanda tanpa menampakkan rasa kecewa. Sungguh Wanda tak ingin mengatakan keburukan rumah tangganya, bahkan kemunduran usahanya, karena tak ingin membuat ibunya bersedih. Karena itulah ia selalu menutupi semuanya.

“Saudara jauh? Ada baiknya nanti kamu tanyakan. Kalau benar saudara jauh, pasti akan diperkenalkannya pada istrinya. Ya kan?”

“Iya, pastinya akan begitu. Ibu tidak usah khawatir. Sikap mas Arman selalu baik kok. Kami bahagia.”

Bu Wita hanya menatap mata Wanda, mencari apakah ada kebohongan di sana. Tapi Wanda menutupinya dengan senyuman yang selalu dikembangkannya. Kemudian dia berteriak memanggil Wahyu.

“Wahyu, ayo kita pulang.”

“Seperti aku katakan tadi di telpon, apakah tidak sebaiknya Wahyu tinggal bersama aku di sini?”

“Mengapa Bu, aku juga butuh Wahyu. Apakah Ibu masih memikirkan ketika ayahnya menjewer telinganya saat di kantor?”

“Bukan begitu. Kalau kamu sibuk, biar ibu yang merawatnya. Kita tinggal tidak berjauhan. Setiap saat bisa bertemu.”

“Baiklah, nanti Wanda pikirkan lagi,” kata Wanda sambil berdiri.

***

Sesampai di rumah, Arman masih saja belum pulang. Wanda menahan gejolak kesal yang memenuhi dadanya. Kalau saja Arman tidak menyukainya dan ingin menikahi wanita lain, dengan lapang dada dia akan merelakannya. Mengapa tidak? Tak pernah ada cinta diantara mereka. Tapi Arman justru menolak cerai, yang sekarang dia tahu, bahwa Arman bermaksud mengikis harta peninggalan ayahnya, sedikit demi sedikit. Hal ini yang membuatnya sakit.

Wahyu sudah lama tidur, tapi Wanda masih duduk di ruang tengah sambil menyandarkan kepalanya. Televisi di depannya tampak menyala, tapi Wanda tidak sedang memperhatikan acaranya.

Tengah malam, barulah terdengar mobil memasuki halaman. Wanda memejamkan matanya, pura-pura tidur. Arman tak akan mengetuk pintu karena masing-masing membawa kunci rumah. Wanda mendengar langkah kaki memasuki rumah, yang kemudian langsung memasuki kamarnya.

Wanda mencium parfum perempuan yang kemudian menguar memenuhi ruangan.

***

Besok lagi ya.

 

58 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  2. Matur sembah nuwun Mbak Tien
    JeBeBeeL_.29. Sudah tayang
    Sehat2 nggih Mbak
    Salam ADUHAI .dari Bandung..🙏💕🌹🤗🥰

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Ning
      ADUHAI dari Babar Layar

      Delete
  3. Terima kasih bunda Tien
    Semiga dalam kesehatan yang sehat walafiat bahagia bersama keluarga tercinta .
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah Probo

      Delete
  4. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 29 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    Arman semakin gak tau diri 🤮

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Salam hangat dan aduhai 2x

      Delete
  5. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun jeng Tien salam sehat

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....

    ReplyDelete
  9. Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 29 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Weleh...weleh.. Wanda kok nutupi aib suami nya, ya bu Wita tambah kepikiran no
    Cepat bertindak lho ya, sebelum perusahaan ayah mu, bangkrut krn banyak pengeluaran yang gak jelas ..he..he..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  10. 🍒🫐🍒🫐🍒🫐🍒🫐
    Alhamdulillah 🙏🤩
    JeBeBeeL_29 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat & bahagia.
    Aamiin.Salam seroja😍🦋
    🫐🍒🫐🍒🫐🍒🫐🍒

    ReplyDelete
  11. Oohalaah kasihan Wanda, semoga segera cerai dan ketemu jodohnya.

    ReplyDelete
  12. Terima ksih bundaqu JBBL 29 nya..slmt mlm dan salam sehat sll tetap aduhai..🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  13. Hebat Wanda... dulu emosinan sekarang sabar, bahkan menutupi keburukan orang lain/ suaminya. Meski 'hanya' lulusan SMA, tapi mampu mengurai masalah perusahaan yang besar, atas bimbingan pak Danu.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  14. Waah...sama aja, Wanda dan ibunya ga terus terang, ada yg ditutup2i. Kenapa bu Wita jg tdk cerita tentang paha Wahyu yg berbekas memar karena cubitan Arman?😬

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat selalu.🙏🏻

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),29 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah JBBL~29 telah hadir, maturnuwun bu Tien semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    Aamiin yRa.🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  17. Bikin greget, nyatanya bukan anaknya juga, tapi kok tega ya Arman sama anak kecil.
    Kadang kalau punya keinginan bahkan akan menghilangkan juga mungkin, rupanya sudah lupa dengan asli asalnya, begitu dipercaya, langsung dilibas semua.
    Sayang sekali si pemilik rupanya terlalu mantap, tanpa pertimbangan masak, namanya juga gengsi, sebegitu mahalnya gengsi itu.
    Semoga cepat sadar; menuruti keinginan tak akan ada habisnya, bahkan takabur.
    Bertahanlah Wanda, demi warisan tanggung jawab kelangsungan usaha, kehidupan karyawan mu yang kau pikul, ibu dan anakmu.

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke dua puluh sembilan sudah tayang.
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun mas crigis

      Delete
  18. Wandar menutupi semua keburukan Arman karena trauma kehilangan ayah nya.... Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, semoga Bu Tien bersama kelg sehat dan bahagia selalu. Aamiin

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah JBBL- 29 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu
    Aamiin Allahumma Aamiin🤲
    Salam Aduhai🙏

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Oh kejamnya kau Arman,,,🙄

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 29

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  29 (Tien Kumalasari)   Wahyu berusaha meronta ketika sang nenek menariknya menjauh. “Eyang, katanya mau belii...