JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 28
(Tien Kumalasari)
Wanda terpana. Begitu kasarnya Arman ketika mengambil berkas laporan. Ada rasa kesal yang tak bisa dilontarkan karena Arman sudah keluar dari ruangannya begitu mengambil berkas tersebut.
“Siapa sebenarnya yang direktur?” gumamnya sambil geleng-geleng kepala.
“Baiklah, aku akan tetap bersabar menghadapi kamu, sampai segala borokmu terkuak. Bukan main kamu itu. Mengikis harta ayahku sedikit demi sedikit demi perempuan yang menjadi kekasihmu,” gumamnya lagi sambil membuka laptop. Ia bisa membuka laporan dari sana. Bukankah dia sudah banyak belajar?
Wanda mencoba bersabar. Memang sejak awal tak ada cinta diantara mereka. Mereka menikah dengan alasan yang berbeda. Yang satu untuk menutup aib, satunya lagi butuh uang, yang berkembang menjadi harta kekayaan yang akhirnya benar-benar didambakan.
Tiba-tiba melintas dibenaknya wajah Guntur yang sederhana, yang pintar dan baik kepada siapa saja. Sejauh gapai tangannya, ternyata dia tak pernah berhasil meraih cintanya.
“Guntur, benarkah kamu tak akan pernah menyukaiku? Saat ini kamu pasti sudah hampir menyelesaikan kuliah doktermu. Apakah kamu bahagia bersama Kinanti? Ada pikiran yang ada padaku, kamu menyukai Kinanti karena orang tuanya yang membiayai kamu kuliah. Kamu tidak benar-benar cinta kan? Karena balas budi, bukan? Entah mengapa aku tak pernah bisa melupakanmu. Masih ada didalam angan-anganku, agar suatu saat aku bisa merebutmu,” kata batin Wanda, yang kemudian melanjutkan membuka-buka laptopnya. Pemikiran itu tanpa sadar telah meracuni kebaikan yang sedang ingin dijalaninya. Mengotori pemikiran buruk yang ingin disapunya bersih. Salahkah kalau rasa cinta sudah menguasai? Bukankah cinta sejati tidak harus memiliki? Tapi Wanda masih manusia. Keinginan mengejar sesuatu masih tetap menghantuinya, disamping ingin menyingkirkan duri yang menancap di dalam dagingnya.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, dan pak Danu masuk setelah dipersilakan.
“Bu Wanda, ini draf perjanjian kerja sama yang sebaiknya dibaca bu Wanda, sebelum nanti membicarakannya. Kalau ada yang perlu dirubah, saya akan merubahnya,” kata pak Danu sambil meletakkan map berwarna biru di meja kerja Wanda.
“Baiklah, nanti saya akan membacanya.”
Pak Danu keluar dari ruangan Wanda, menuju ke ruangannya sendiri. Tapi ditengah perjalanan, Arman mencegatnya.
“Pak Danu, mana rancangan surat perjanjian kerja sama itu?”
“Oh, sudah saya serahkan ke bu Wanda.”
“Lancang kamu, Wanda tidak tahu apa-apa.”
“Maaf Pak, bukankah bu Wanda yang lebih_”
“Diam, aku sudah bilang dia tidak tahu apa-apa, harusnya ke aku dulu,” katanya sambil melotot ke arah pak Danu.
Pak Danu hanya mengangguk, kemudian berlalu.
“Sungguh tak tahu diri. Diangkat dari comberan, lalu merasa berkuasa. Sangat menjijikkan. Tunggu saja nanti. Ada saatnya kamu hancur menjadi serpihan sampah,” omelnya pelan.
***
Memasuki ruangan Wanda, Arman melihat Wanda sedang membaca berkas yang baru saja diserahkan pak Danu.
“Apa kamu mengerti?” kata Arman tiba-tiba.
Wanda mengangkat wajahnya.
“Apa maksudmu?”
“Itu, apa kamu mengerti? Serahkan saja padaku, aku yang akan mengoreksinya. Pak Danu kerjanya serampangan. Harusnya sudah pensiun dia, diganti yang muda- muda saja.”
“Arman, selama ini aku sudah bersabar menghadapi kamu. Kamu selalu merendahkan aku, dan menganggap aku ini bodoh. Baiklah, seandainya benar aku ini bodoh, harusnya kamu … yang duduk sebagai pendamping, memberi aku pelajaran, mana yang harus aku lakukan, mana yang salah, mana yang benar. Tapi apakah kamu melakukannya? Sejauh ini pak Danu yang kamu anggap tua itulah yang membimbing aku, sehingga aku bisa mengerti semuanya. Jangan merendahkan pak Danu. Dia cerdas dan pintar. Sejak bapak masih ada, dia adalah orang kepercayaannya, dan itulah sebabnya maka dia selalu membimbing aku.”
Mata Arman menyala karena marahnya. Ia tak menyangka, istri yang biasanya diam dan menjadi istri patuh … sekarang berani mengomelinya.
“Kamu bisa bicara begitu? Apa pak Danu yang mengajari kamu?”
“Melakukan hal benar tidak butuh pengajaran dari orang lain.”
“Sudah, jangan banyak bicara, mana surat itu.”
“Biar aku membacanya dulu, nanti aku berikan padamu,” kata Wanda yang kali ini memegang map itu erat-erat.
Arman berdiri, menggebrak meja, kemudian berlalu.
Wanda menghela napas panjang. Ia harus bersabar, sampai waktu yang akan menentukan kapan berakhirnya rasa sok kuasa pada sang suami. Suami yang sebenarnya tidak pernah diharapkan.
***
Guntur dan Kinanti sudah semakin dekat. Mereka sudah sama-sama kuliah di fakultas kedokteran. Tapi beda jurusan. Kinanti memilih menjadi dokter gigi, sementara Guntur adalah dokter umum. Pak Bono sudah lama pensiun, dan kedua anaknya tak mau terlalu bergantung kepada orang tuanya. Mereka bekerja apa saja. Terkadang ada yang meminta Kinanti untuk bernyanyi, dan berapapun imbalannya ia terima dengan senang hati. Mereka juga bekerja sebagai detailer obat, yang mendatangi dokter-dokter, baik di tempat praktek, maupun di rumah sakit-rumah sakit, untuk mempromosikan sebuah produk obat yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan farmasi.
“Anak-anak tidak pernah minta uang saku lagi ya Bu?”
“Tidak. Mereka bahkan sering memberi oleh-oleh. Katanya hasil dari pekerjaan mereka.”
“Bersyukur sekali kita, mendapatkan anak-anak yang baik. Walaupun Guntur bukan anak kandung kita, tapi dia selalu bersikap baik, dan tak pernah meminta apapun dari kita. Tampaknya penghasilan mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Padahal sekolah dokter itu tidak murah. Aku pernah mengalaminya kan? Ketika ingin menyekolahkan mereka, aku sudah membayangkan untuk hidup berhemat dari uang pensiun yang aku terima. Kenyataannya mereka tidak pernah menyusahkan kita.”
“Benar. Uang belanja yang Bapak berikan cukup untuk semua kebutuhan. Itu juga membuat kita harus bersyukur bukan?”
“Kecuali itu, aku melihat kedekatan mereka. Apakah ibu keberatan apabila mereka berjodoh?”
“Menurut ibu, mereka itu sebenarnya saling suka sejak awal menjalani perkuliahan. Tapi mereka menjaga hubungan itu dengan baik. Mana mungkin ibu keberatan? Kalau memang mereka ingin berjodoh, ibu akan mendukung. Apakah Bapak juga setuju?”
“Guntur laki-laki yang baik, aku sangat setuju. Begitu mereka lulus, kita akan menikahkan mereka.”
“Tapi kan mereka belum mengatakan apapun tentang hubungan itu.”
“Tentu saja belum. Mereka baru akan mengatakan nanti, kalau benar-benar sudah bisa menghidupi diri mereka dan sama sekali tidak membutuhkan bantuan orang tua. Bukankah sebuah keluarga bisa berdiri kalau mereka sudah bisa mencukupi kebutuhan mereka? Mana pantas, sudah berkeluarga masih harus bergantung kepada orang tua.”
“Benar. Tapi walau belum mengatakan apapun, sudah kelihatan bahwa mereka saling mengasihi. Guntur yang rendah diri, sudah bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya.”
“Anak itu memang terkadang merasa tidak pantas sejajar dengan keluarga kita. Biarpun aku berkali-kali mengatakan bahwa dia adalah anakku, tapi tetap saja dia merasa sungkan. Tapi dengan berjalannya waktu, dia sudah bisa mengerti, bahwa akhirnya kehidupan mereka akan sejajar ketika cita-cita mereka tercapai.”
“Sudah lama aku tidak mengunjungi bu Raji. Besok aku mau ke sana. Apakah Bapak mau ikut?”
“Tidak usah Bu, nanti dia malah sungkan kalau ada aku. Ibu saja sendiri. Bawa mobil bapak. Tidak apa-apa kan?”
“Tidak apa-apa. Biasanya ibu juga kemana-mana sendiri. Belanja juga sendiri.”
“Besok mobil itu akan bapak berikan untuk Kinanti. Kalau butuh, bapak yang pinjam.”
“Benar. Kita tidak begitu membutuhkan. Kalau mau biar mobilnya mereka bawa setiap kali kuliah atau bekerja.”
“Mana mau, mereka lebih suka bersepeda motor. Tapi ya sudah, terserah mereka saja. Sebentar lagi kalau mereka selesai, pasti membutuhkannya. Oh iya, besok ibu akan bapak ajak melihat rumah yang aku pilihkan untuk Kinanti kalau dia berumah tangga nanti.”
“Iya, Bapak pernah memberi tahu, tapi aku belum pernah melihatnya.”
“Sekarang ini masih dibangun. Besok kalau pulang dari rumah bu Raji, kita akan melihatnya bersama-sama.”
“Sangat melegakan, kita sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk anak kita.”
“Harus kita syukuri, karena kita bisa melakukannya.”
***
Kinanti dan Guntur pulang kuliah bersama-sama dengan berboncengan. Selalu begitu, dan kalau jam kuliah mereka berbeda, Guntur mengalah untuk mengantar dan menjemputnya.
Hari itu panas terik, Kinanti mengajak Guntur pergi ke suatu tempat. Ada sebuah rumah dengan halaman yang tidak begitu luas, tapi sedang dibangun.
“Mengapa kamu mengajak aku kemari?”
“Ini rumah yang diberikan bapak untuk kita, kalau kita sudah menikah nanti,” kata Kinanti.
Guntur tersipu.
“Sungguh memalukan, harusnya aku yang memberikan rumah untuk kamu.”
“Mengapa kamu berkata begitu? Orang tua memberi sesuatu untuk anaknya itu kan wajar?”
Guntur mengangguk.
“Nanti aku akan memberikan untuk kamu kebahagiaan. Melindungi kamu dan menjaga kamu selamanya.”
“Akan aku pegang kata-kata itu. Itu adalah janjimu bukan?”
“Itu adalah janjiku.”
“Ayo kita lihat ke dalam, selagi pekerja bangunan itu sedang beristirahat.”
Keduanya memasuki rumah yang belum selesai dibangun itu dengan wajah berbinar. Rumah yang tidak begitu besar, hanya ada tiga kamar yang masing-masing ada kamar mandinya. Ada dapur, ruang makan, ruang keluarga.
“Dibelakang itu masih ada halaman. Untuk menjemur pakaian dan membuat sebuah taman kecil.”
“Sangat menakjubkan. Bapak selalu memberikan yang terbaik untuk kita,” kata Guntur terharu. Ditatapnya wajah Kinanti, gadis yang sebelumnya disukainya hanya di dalam hati, tapi akhirnya semuanya terbuka, ketika seberkas sinar cinta memancar dari mata mereka. Tanpa ucapan apapun, tapi mata mereka sudah banyak berbicara.
“Baru kali ini kamu mengatakan tentang rumah ini.”
“Bapak tidak mengatakan sebelumnya. Begitu sudah mulai dibangun, barulah bapak mengatakannya. Bapak pasti juga belum tahu kalau kita sudah melihatnya.”
“Kamu lancang ya,” gurau Guntur.
“Bapak sudah mengatakan alamatnya. Jadi aku ingin tahu.”
“Ayuk kita pulang,” ajak Guntur.
“Ke rumahku dulu ya, nanti makan siang di sana.”
“Terserah kamu saja.”
***
Ketika bu Bono sampai di rumah bu Raji, ia melihat bu Raji sedang berbaring di kursi panjang yang terletak di ruang tamu, sambil melihat televisi. Ia terkejut melihat bu Bono datang.
“Assalamu’alaikum,” sapa bu Bono sambil tersenyum.
"Wa'alaikumussalam ...."
Bu Raji bangkit dan tersipu, membetulkan hijabnya lalu berdiri menyambut.
“Keasyikan melihat sinetron, jadi tidak mendengar bu Bono datang,” katanya kemudian mempersilakan bu Bono duduk.
“Apa kabar? Lama sekali kita tidak bertemu,” kata bu Bono.
“Benar, tapi Guntur sering menceritakan keadaan Ibu.”
“Kalau Guntur, setiap hari bertemu, karena dia selalu berangkat kuliah bersama Kinanti.”
“Saya bersyukur sekali. Guntur bisa melanjutkan kuliahnya. Tadinya saya tidak pernah berharap bisa menjadikannya orang.”
“Mereka mencari uang sendiri, dan tidak merepotkan. Pasti melelahkan, tapi mereka akan segera memetik hasilnya.”
“Semua itu berkat kebaikan keluarga Ibu.”
“Bukan. Mereka tidak memberatkan kok. Bukankah mereka juga bekerja di samping kuliah?”
“Tapi pak Bono yang mengangkatnya sehingga dia bisa melakukannya.”
“Lupakanlah. Guntur sudah menjadi anak kami juga.”
“Sebentar, saya buatkan minum.”
“Tidak usah. Sungguh, jangan repot. Tapi kok bu Raji kelihatan agak pucat? Apa ibu sakit?”
“Tidak, saya baik-baik saja. Mungkin hanya capek,” jawab bu Raji.
“Sungguh? Kalau benar sakit, ibu harus ke dokter, supaya tidak terlanjur sakit.”
“Sungguh saya baik-baik saja. Mungkin saya hanya kecapekan. Tadi bersih-bersih rumah lalu memasak untuk Guntur kalau dia pulang nanti.”
“Syukurlah, tapi nanti saya akan berpesan pada Guntur untuk membawa ibu periksa ke dokter.”
“Jangan Bu, tidak usah. Saya baik-baik saja.”
Walau begitu, bu Bono merasa bahwa bu Raji sedang menyembunyikan rasa sakitnya.
***
Wahyu sedang berlarian di sebuah supermarket, ketika nenek Wita mengajaknya belanja. Wahyu yang lincah berlarian ke sana kemari, karena waktu itu supermarket sedang tidak begitu ramai.
“Wahyu, sini. Jangan kemana-mana, eyang mau beli baju baru untuk kamu.”
“Horeeee, baju baru? Wahyu cukaaa… Wahyu cukaaaaa… “
Bu Wita menggandengnya ke counter pakaian, mencari cari dimana digelar pajangan baju anak-anak.
Tapi di sebelum menemukannya, ia melihat sesuatu. Seorang wanita cantik sedang memilih-milih baju, dan sebentar-sebentar menunjukkannya pilihan baju itu kepada seorang laki-laki yang berdiri sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana. Bu Wita terkejut, laki-laki itu adalah Arman, menantunya.
“Itu bapaaaak,” tiba-tiba Wahyu berteriak, lalu bu Wita menutup mulutnya dengan telapak tangan.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
Delete🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Syukron..🙏
JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 28, sudah tayang.
Semoga Bu Tien selalu sehat dan berkarya. Aamiin 🤲 🤲 🤲
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete🌷🍀🌷🍀🌷🍀🌷🍀
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
JeBeBeeL_28 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai🦋😍
🌷🍀🌷🍀🌷🍀🌷🍀
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Hamdallah...sampun tayang
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih sudah tayang
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 28 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Wah Arman makin ngelunjak..tunggulah kehancuranmu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun Bu Tien, JBBL Eps 28 sampun tayang.
ReplyDeleteSami2 pak Sis
DeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga tetap sehat wal'afiat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 28 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Sip..Guntur dan Kinanti, hati nya telah menyatu, tinggal tunggu tgl main nya..he..he..
Arman sdh ketangkap basah oleh ibu mertua nya. Tinggal nunggu Wanda, yang menggugat cerai dan melaporkan Arman ke Polisi, krn memakai uang perusahaan secara ilegal.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdullilah..terima ksih bunndaqu JBBL 28 nya..salamat mlm dan istrhat salam seroja dan hangat..aduhai unk bunda sekeluarga🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Farida
Aduhai
Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat selalu 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Bam
O o..Arman ketauan...
ReplyDeleteDasarnya memang dari awal tidak saling suka. Jadi kalau ditengah jalan belok kiri belok kanan ya bisa dimaklumi. Cuma kalau 'makan terlalu banyak' itu yang harus dicegah.
Guntur ambil Dokter Umum tentunya lebih cepat selesai ya, kalau Kinanti tambah beberapa tahun lagi.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah
ReplyDeleteKamu keatahuan ... rasakno
Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),28 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Oo kamu ketahuan pacaran lagi dengan si dia.... Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai
Dasar laki"tak berguna, bisanya cuma menghambur"kan uang istrinya,...mks bun JBBL 28 nya....selamat mlm smg bunda sehat" ya bun ....salam hangat dari Sokaraja
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Rupanya Arman takut juga, kehilangan kesempatan memainkan dana yang ada didepan mata.
ReplyDeleteDemi janji sang kekasih hati Riska.
Tentu karena janji itu tentang kekayaan, tentu menggiurkan entah besok atau suatu ketika; bukan tidak mungkin kalau itu juga bakal menjadikan Arman didepak Riska.
Karena Riska sudah mendapatkan semuanya.
Guntur pun berjanji akan dengan setia bersama Kinanti, mudah mudahan tidak seperti yang biasa dijanjikan calon eksekutip, dinegeri konoha kata orang begitu; saling mengguncang bila sudah mendapatkan.
Wahyu pun terpaksa dibungkam Bu Wita; demi keselamatannya, akankah kasus Arman dan Riska diceritakan Bu Wita kepada ibunya Wahyu.
Perhatian Bu Bono; walau demi kesehatan Bu Raji yang nyata-nyata berwajah pucat menampik untuk memeriksa kan untuk kontrol kedokter, bisakah Guntur merayu ibunya.
Terimakasih Bu Tien;
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke dua puluh delapan sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas crigis
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerimakasih Mbak Tien..
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteMtr nwn Bu Tien, sehat sll.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah.... Terimakasih mbakyu, sehat selalu njih... 🥰
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Kun
Sehat slalu juga
Alhamdulillah.. maturnuwun Bu Tien.
ReplyDeleteSami2 pak Djodhi
DeleteAlhamdulillah.. matursuwun Bu Tien "JBBL-28"nya
ReplyDeleteSehat selalu nggih Bu Tien
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi