Monday, February 3, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 27

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  27

(Tien Kumalasari)

 

Raungan mobil ambulans terdengar seperti pisau tajam yang menyayat. Sebuah mobil mengikutinya dengan isak tangis memilukan. Bu Wita dan Wanda, serta Arman ada di dalamnya.

Arman tampak memeluk pundak Wanda. Seperti seorang suami yang sangat menyayangi istrinya.

Ambulans yang memasuki halaman rumah sakit, langsung diparkir di depan lobi, dimana sebuah brankar sudah disiapkan.

Ketika tubuh diam itu dilarikan ke ruangan IGD, bu Wita dan anak serta menantunya mengikutinya. Petugas menyarankan agar mereka duduk menunggu, karena pak Wita akan segera ditangani.

“Mengapa Bapak tiba-tiba sakit Bu?”

“Bapakmu terlalu capek, terlalu banyak pikiran. Ibu sudah sejak lama mengkhawatirkan keadaan bapak, yang setiap kali mengatakan napasnya sesak. Ibu suruh ke dokter, katanya belum saatnya kontrol. Susah sekali diatur, kalau bukan kemauannya sendiri.

“Wanda, sabar ya. Bapak pasti tertolong,” kata Arman lembut, selembut sutra dari negeri Cina.

Wanda hanya bisa terisak, sambil bersandar ke dada Arman. Dada yang seharusnya benar-benar mmenjadi sandaran baginya.

“Berdoa saja, ya,” lagi-lagi ucapan itu begitu lembut terdengar, seperti suara kidung dari angkasa.

“Apakah Bapak sudah lama menderita sakit begini Bu, maksudnya … jantung atau tekanan darah tinggi?” tanya Arman sok penuh perhatian.

“Ya, begitulah, sebulan sekali harusnya kontrol, tapi bapak sering malas, katanya badannya tak merasakan apa-apa. Beberapa hari ini sering merasa sesak napas tapi saya ajak ke dokter tidak mau. Katanya belum saatnya kontrol. Bapak kalau sudah punya keinginan begini atau begitu, susah di hentikan. Kalau mau ya berangkat, kalau tidak mau ya sudah, tetap tidak mau.”

“Tenang saja Bu, kalau sudah di rumah sakit, pasti akan tertangani dengan baik. Kamu juga Wanda, tenang saja ya, dan jangan khawatir.”

Tiba-tiba seorang petugas keluar dari ruangan itu. Bu Wita menghambur mendekat.

“Bagaimana suami saya?”

“Ibu sabar ya, kami sudah berusaha sekuat tenaga, tapi pak Suwita ternyata tidak bisa diselamatkan.”

Bu Wita meraung sekuat-kuatnya. Wanda menghampiri, lalu mereka dipersilakan masuk. Bu Wita dan Wanda mendekati jasad pak Wita yang sudah terbujur kaku. Mereka memeluk raga tak bernyawa itu dengan tangis yang mengharu biru. Arman berdiri di dekat mereka, lalu dengan lembut meraih tubuh istrinya, memeluknya lalu mengelus kepalanya, seperti seorang suami yang sangat mengasihi istrinya.

“Sepertinya pak Suwita sudah meninggal sebelum sampai di rumah sakit,” kata dokter yang menangani.

“Bapaaak, maafkan Wanda … Wanda banyak salah …” tangis Wanda tak kunjung henti.

Arman segera mengajak Wanda keluar dari ruangan, dan menghiburnya dengan kata-kata manis.

***

Hari-hari terus berlari.

Sudah bertahun-tahun kemudian sejak pak Wita meninggal. Tapi Arman masih tetap menjadi suami Wanda. Ketika diingatkan oleh bu Wita, setelah Wanda melahirkan, apakah Arman akan menceraikan Wanda, tapi Arman menolaknya.

“Tidak apa-apa Bu, biarlah kami melanjutkan pernikahan ini, karena pernikahan itu bukan mainan. Kalau bisa harus dijalani seumur hidup,” kata Arman dengan manisnya.

Tentu saja, karena dengan menjadi suami Wanda, maka harta tak pernah berhenti menyelimuti hidupnya. Ia masih merasa sayang meninggalkannya, sebelum tercapai apa yang menjadi keinginannya, yaitu menguasai semua usaha pak Wita, kemudian menikahi kekasihnya.

Malam hari itu, di tengah malam, Wanda yang tidur di samping Wahyu, anaknya yang sudah berumur tiga tahunan, mendengar Arman sedang bertelpon.

“Sabarlah dulu, ini semua untuk kebahagiaan kamu juga.”

Wanda sudah menjadi istrinya selama tiga tahun lebih, tapi Arman tak pernah menyentuhnya.

Wanda yang benar-benar menjadi istri yang baik, menerima saja apapun sikap Arman kepadanya. Ia mulai menyadari, betapa sulitnya menjalani hidup. Ia mulai menyadari semua kesalahannya, dan ingin menebusnya dengan kebaikan. Walau Guntur tak pernah dilupakannya, tapi kesehariannya, Wanda adalah istri yang baik. Ia tak pernah mengeluh, walau Arman selalu menunjukkan sikap yang biasa saja, seolah mereka adalah teman yang tinggal seatap, bukan sebagai suami istri.

Hanya di depan bu Wita Arman bersikap baik. Walau begitu, Wanda tak pernah mengeluhkan semua deritanya kepada sang ibu. Ia tak ingin sang ibu bersedih, lalu menjadi sakit, lalu terulang kembali kepedihan ketika sang ayah meninggalkannya.

Wanda tahu, sang ayah meninggal karena memikirkan dirinya. Kecewa atas kelakuannya, yang akhirnya membuat dirinya hamil tanpa suami, dan menikahkannya dengan anak buahnya yang kebetulan mau menjadikannya istri.

Setelah ayahnya meninggal, Wanda bersekolah lagi. Kata ibunya, sang ayah ingin dia kuliah dan menjadi sarjana. Wanda tiba-tiba ingin menjadi guru, walau oleh sang ibu, kemudian dia diminta agar bertanggung jawab atas perusahaan ayahnya.

Arman kemudian dilantik menjadi wakilnya, dan hampir sepenuhnya ikut mengatur bisnis itu, karena Wanda pada awalnya masih harus belajar.

Wanda yang pada dasarnya tidak pernah belajar tentang bisnis, hanya menyerahkan sepenuhnya kepada sang suami.

“Telpon dengan siapa? Malam-malam begini?” tanya Wanda karena kemudian Arman keluar dari kamar untuk melanjutkan pembicaraannya.

“Oh, dari teman lama. Dia baru datang dari luar negri. Begitu sampai di bandara, dia langsung menelpon.

Tapi Wanda merasa curiga, karena pembicaraan yang didengarnya adalah tentang kesabaran dan janji kebahagiaan. Apakah itu pembicaraan dengan teman yang masih berada di bandara?

”Apa kamu mencurigai aku?” tiba-tiba tanya Arman, sambil merebahkan tubuhnya di ranjang yang berbeda, karena Wanda tidur di ranjang anaknya.

“Curiga … tentang apa?”

“Pertanyaan kamu tadi kelihatan aneh, seperti mencurigai aku.”

“Bukankah kamu yang aneh? Telponan tengah malam, apa tidak boleh aku bertanya? Ini saatnya orang tidur bukan?”

“Kan aku sudah bilang, temanku baru saja tiba di bandara dan menelpon.”

Wanda tidak ingin bersikukuh dengan pendapatnya. Sudah lewat tengah malam, dan besok dia harus kuliah pagi.

Ia memejamkan matanya sambil memeluk si kecil.

Arman membiarkannya, karena besok dia berjanji akan bertemu sang kekasih saat makan siang.

***

Wanda sudah memandikan si kecil, dan siap pergi ke rumah ibunya untuk menitipkan anaknya. Sekarang dia sedang melayani sang suami sarapan.

“Kamu ke kantor pagi ini?” tanya Arman.

“Aku ke kantor siang. Ada kuliah pagi ini.”

“Berapa lama lagi kamu menyelesaikan kuliah kamu?”

“Tahun depan. Kalau tidak ada halangan.”

“Lalu akan menjadi guru?”

“Aku ingin menjadi guru. Tapi aku akan tetap ikut mengendalikan bisnis bapak. Aku sudah belajar banyak, dan tahu apa yang harus aku lakukan.”

“Serahkan saja padaku, aku lebih tahu dari kamu.”

Wanda terdiam. Ia ingat telpon tadi malam. Salahkah kalau ia mencurigai suaminya?

Tiba-tiba telpon Wanda berdering. Dari pak Danu, pembantu setia almarhum ayahnya, yang sekarang menjadi orang kepercayaannya.

“Bu Wanda, hari ini ada tamu yang akan membicarakan soal kontrak kerja. Bu Wanda siap jam berapa?”

“Pagi ini saya ada kuliah. Jam 11 nanti saya bisa sampai di kantor.”

“Ada apa?” tanya Arman menyela.

“Ada tamu yang akan membicarakan kontrak kerja.”

“O, itu dari perusahaan Anugrah. Aku sudah tahu, biar nanti aku tangani. Kamu tidak usah tergesa datang ke kantor. Kuliah saja sampai selesai.”

“Ya, nanti gampang lah, sekarang aku mau kuliah dulu.”

“Halloo,” ternyata pak Danu belum selesai bicara.

“Oh iya Pak, baiklah, nanti bisa diatur.”

“Sebetulnya saya ingin bicara banyak dengan ibu. Tapi nanti saja kalau kita ketemu.”

“Baiklah. Selamat pagi, Pak Danu.”

“Pagi, bu Wanda.”

“Orang aneh. Punya perusahaan, tapi cita-citanya ingin menjadi guru,” gumam Arman yang belum selesai sarapan, sementara Wanda sudah lebih dulu berdiri.

“Aku berangkat dulu, karena harus mampir menitipkan Wahyu pada ibu,” kata Wanda yang sudah menggendong Wahyu.

Tak ada kata pamit dari Wahyu untuk ayah sambungnya. Sudah biasa begitu, karena Arman juga tidak pernah berakrab-akrab dengan si anak.

“Aku nanti akan ke dokter gigi dulu, kontrol,” Arman masih sempat berteriak ketika Wanda sudah mau masuk ke dalam mobilnya.

Wanda tak menjawab. Dalam hati ia mengeluh. Sudah tahu akan ada tamu, bukannya datang pagi-pagi malah mampir ke dokter segala.

Tiba-tiba Wanda urung pergi ke kampus. Perkataan pak Danu yang ingin berbicara dengannya membuatnya penasaran. Karenanya dia langsung menuju kantor, lalu menelpon sang ibu agar menjemput Wahyu ke kantor saja. Ia juga menelpon pak Danu agar datang sekarang, karena dirinya tidak jadi ke kampus.

***

Ketika sampai di kantor, tampak kantor masih sepi. Jam kerja masih satu jam lagi, tapi dia melihat pak Danu sudah menunggu di lobi.

“Selamat pagi Bu Wanda,” sapa pak Danu.

“Selamat pagi Pak, langsung ke ruangan saya,” kata Wanda.

Pak Danu duduk di depan Wanda, yang kemudian membiarkan Wahyu bermain mobil-mobilan di ruangannya, yang merasa senang karena sang ibu juga memberinya sebungkus coklat.

“Apa yang ingin pak Danu sampaikan?”

“Bu Wanda, apakah Ibu tahu bahwa perusahaan ini sudah semakin menurun sejak meninggalnya pak Wita?”

“Saya baru akan memeriksa semua laporan. Biasanya pak Arman yang menangani, dan katanya baik-baik saja.”

“Maaf Bu, sebaiknya Ibu menanganinya sendiri. Selama ini perusahaan sudah semakin banyak mundurnya. Sebentar lagi kalau tidak ditangani maka akan habislah semuanya.”

“Bagaimana bisa?”

“Semuanya pak Arman, Bu. Banyak uang keluar yang tidak jelas penggunaannya.”

Wanda mengeluh kesal. Ia tentu tak menyangka Arman ternyata tidak bisa menangani perusahaan dengan baik.

“Maaf Bu, ada desas desus yang seharusnya Ibu tahu, tentang pak Arman.”

“Desas desus?”

“Pak Arman baru saja membeli rumah dan mobil, atas nama seorang wanita bernama Riska, atau entah jelasnya saya lupa, tapi ada di catatan saya.”

Wanda tertegun.

“Kemungkinan besar uang itu dipergunakannya untuk membiayai kehidupan wanita itu. Banyak karyawan yang sudah tahu, tapi tidak berani mengatakannya pada Ibu. Tapi mengingat keadaan perusahaan yang semakin buruk, saya harus mengatakannya pada bu Wanda. Semoga bu Wanda mengambil tindakan secepatnya, untuk menghentikan tindakan yang tidak pada tempatnya itu.”

Wanda tertegun. Ternyata tidak sesederhana itu Arman mempergunakan uang perusahaan. Dulu ketika almarhum ayahnya meminta agar dia mau menikahinya, imbalan yang diterimanya adalah untuk merawat ibunya yang sedang sakit. Tapi ternyata bukan hanya ibunya yang menjadi beban Arman. Wanita itu pasti kekasih gelap Arman. Dan ketika bertelpon itu, pasti Arman sedang menjanjikan sesuatu untuk kekasihnya.

“Saya mohon maaf kalau dianggap lancang,” kata pak Danu sambil merangkapkan tangannya, sedikit takut.

“Tidak Pak, sebenarnya mengapa selama ini Arman aku percaya, adalah karena saya belum begitu memahami bisnis bapak ini. Saya akan banyak belajar dari pak Danu mulai sekarang.”

“Barangkali saya juga agak terlambat melaporkan semua ini.”

“Baiklah, mari kita tangani semuanya, dan perlahan tapi pasti semua keburukan akan kita kuliti. Tapi untuk sementara ini kita pura-pura tidak tahu saja.”

Tiba-tiba terdengar suara tangisan dari luar ruangan. Wanda terkejut, menyadari bahwa Wahyu sudah tidak ada lagi di dalam ruangan.

Wanda berlari keluar dan melihat Wahyu sedang menangis, sedangkan Arman berdiri sambil menudingkan jarinya ke arah Wahyu.

“Wahyu?”

“Ibu, bapak menjewer kuping Wahyu … cakit cekaliiii … “ tangisnya.

“Ada apa? Mengapa menyakiti Wahyu?”

“Apa kamu tidak melihat, lihat ini, tiba-tiba dia menubrukku, sementara tangannya belepotan coklat,” katanya marah.

“Ya ampuun, hanya terkena sedikit, sini aku bersihkan.”

“Tidak usah. Ajari anakmu agar tidak lari-lari di area kantor. Lagi pula kamu bilang mau ke kampus, tapi mengapa ada di sini?”

“Iya, ternyata ada buku yang ketinggalan di ruangan, jadi aku memerlukan mengambilnya terlebih dulu.”

Arman berlalu, lalu masuk ke ruangannya sendiri dengan wajah masam.

Wanda menggendong Wahyu, lalu membawanya masuk ke ruangan direksi, di mana tadi dia berbincang dengan pak Danu.

“Ini cakit, Bu… “

“Tidak apa-apa, anak laki-laki pantang menangis.”

Tiba-tiba bu Wita mengetuk pintu dan memasuki ruangan. Wahyu melonjak kegirangan.

“Eyang .. ayo kita jalan-jalan.”

“Iya, baiklah. Tadi kamu bilang mau mengantar Wahyu ke rumah, lalu mau ke kampus dulu. Kok ternyata kamu ada di kantor?”

“Ada yang harus Wanda urus Bu. Sekarang nitip Wahyu dulu ya.”

“Baiklah. Ayo sayang, pergi bersama Eyang.”

“Tadi Wahyu dijewer sama bapak, cakit nih …” celoteh Wahyu. Tapi tiba-tiba Wanda ingin menutupinya.

“Itu karena Wahyu nakal. Sudah, sana jalan-jalan sama eyang.”

Ketika sang ibu dan Wahyu sudah pergi, Wanda kembali duduk di meja kerjanya. Ada setumpuk laporan yang diletakkan pak Danu di meja. Ia ingin memeriksanya.

Tapi tiba-tiba Arman masuk, lalu melihat map besar di depan sang istri.

“Ini biar aku tangani. Katanya mau ke kampus?"

"Sudah terlambat, nggak jadi saja."

"Sini, biar aku saja."

“Arman … “

“Kamu tidak biasa berpikir berat. Ini masalah perusahaan. Aku yang biasa menangani,” katanya sambil mengambil berkas di meja, lalu beranjak pergi.

***

Besok lagi ya.

49 comments:

  1. πŸŒ»πŸƒπŸŒ»πŸƒπŸŒ»πŸƒπŸŒ»πŸƒ
    Alhamdulillah πŸ™πŸ€©
    JeBeBeeL_27 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat & bahagia.
    Aamiin.Salam serojaπŸ˜πŸ¦‹
    πŸŒ»πŸƒπŸŒ»πŸƒπŸŒ»πŸƒπŸŒ»πŸƒ

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  3. πŸƒπŸŒΉπŸŒ»πŸ’”πŸ’”πŸŒ»πŸŒΉπŸƒ

    Alhamdulillah.. Syukron..πŸ™

    JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 27, sudah tayang.

    Semoga Bu Tien selalu sehat dan berkarya. Aamiin 🀲 🀲 🀲

    πŸƒπŸŒΉπŸŒ»πŸ’”πŸ’”πŸŒ»πŸŒΉπŸƒ

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 πŸ™πŸ™πŸ™Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🀲

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah..maturnuwun bu Tien.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),27 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah JaBiBuLa 27 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu TienπŸ™
    Sugeng ndalu, mugi Ibu & kelg tansah pinaringan sehat 🀲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun mas Sis Gunarto

      Delete
  9. Alhdulillah matur nuwun bunda Tien, smg sehat2 selalu

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillaah,matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya

    Rame nih ceritanya,
    Arman yg rakus , Wanda mulai menjadi dewasa ,. Keren πŸ‘ aduhaiii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Ika
      Aduhai

      Delete
  11. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "JBBL-27"nya. Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  12. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 27 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🀲🀲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wow arman ternyata jahat dan rakus ya.. syukurlah wanda semakin pintar...

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai 2x

      Delete
  13. Alhamdulillaah JBBL- 27 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien
    sem9gaxsehat dan bahagia selalu
    Aamiin🀲
    Salsm Aduhai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Ting
      Aduhai

      Delete
  14. Alhamfulillah
    Syukron nggih Mbak Tien🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  15. Mks bun JBBL 27 sdh tayang,....selamat malam.....salam sehat tetap semangat berkarya bun...jaga kesehatan jangan terlalu capai

    ReplyDelete
  16. Kaann...sudah nampak dari awal bahwa Arman ingin menguasai harta warisan Wanda, lalu menikahi kekasihnya...makanya dia ga jadi menceraikan Wanda seperti perjanjian awal dgn pak Wita. Kasihan juga nasib Wanda ya...πŸ˜”

    Terima kasih, ibu Tien...salam sehat.πŸ™πŸ»

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun Bu Tien, ceritanya tambah seru lagi. Semoga Ibu tetap sehat wal'afiat njih.....

    ReplyDelete
  18. Alhamdullilah bundaaa jbbl 27 sdh tayang..terima kasiih bunda dan slmt mlm..slmt istrht..slm seroja unk bunda sekeluargaπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  19. Kekhawatiranku terbukti, ayah Wanda tidak tertolong. Nah... jadilah Wanda sebagai Pemeran utama. Dan lawannya adalah suaminya sendiri.
    Hallo Kinanti dan Guntur, baik baik saja kan kuliah kalian. Sudah jadi dokterkah..
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  20. Sebuah tantangan, bagi Wanda menghadapi kemunduran warisan usaha, yang di percayakan ortunya kepada suami dadakan; semoga tanda tanda yang dilaporkan pak Danu sebagai orang kepercayaan pak Wita segera bisa diatasi.
    Bakal ada pithing²an antara pak Danu dan Arman suami dadakan Wanda, bisa² minta petunjuk² dari Guntur nich, lho kok, ya karena dekatnya membikin hati tenang. Kan perlu suport dikala ketemu bundet ruwet, iya kalau mau bisa aja, Bu Wita pasti bisa mengerti kenapa sekejam itu, Arman kepada si kecil Wahyu, bila Bu Wita tahu ada dana siluman menguap dan balik nama atas nama Riska, mungkin segera rencana awal bakal terlaksana setelah Wahyu lahir cerai.
    Itukah yang terdengar di ponsel sewaktu pak Wita meneriakan di sisa sisa nafasnya?
    Berharap mempertahankan harta buat hari tua anak dan istri.
    Semoga

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke dua puluh tujuh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
  21. Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 27 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Wanda ayuk bangkit dari keterpurukan, semangat memimpin perusahaan. Ingat Arman adalah benalu di perusahaan ayah mu, gugat cerai dia.

    Lho aku kok ngajari elek ta, menyuruh pisahan..😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 27

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  27 (Tien Kumalasari)   Raungan mobil ambulans terdengar seperti pisau tajam yang menyayat. Sebuah mobil mengi...