JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 26
(Tien Kumalasari)
Wanda hampir berteriak senang. Lupa bahwa dirinya sedang membuat kedua orang tuanya sedih dan kacau. Ia hanya bisa membayangkan bahwa Guntur akhirnya akan menjadi suaminya. Itu adalah impiannya bukan?
“Di mana alamatnya?” hardik sang ayah yang sebenarnya sangat tidak suka kalau Guntur menjadi menantunya.
“Iya, sebentar, Wanda lihat di ponsel Wanda. Nama jalannya tidak tahu, tapi ancar-ancarnya Wanda tahu. Rumahnya dekat sekolah Wanda. Agak ke Selatan, sampai pasar, lalu perempatan ke_”
“Katakan nama jalannya, repot amat!”
“Tidak tahu nama jalannya. Tapi Bapak bisa menelponnya dulu.”
“Kamu saja yang menelpon.”
“Tidak bisa Pak, nomor Wanda sudah diblokir.”
“Apa? Nomor kamu diblokir? Berarti dia tidak suka pada kamu. Mengapa kamu ingin dia jadi suami kamu? Tidak mungkin dia mau.”
“Bapak kan punya uang banyak,” kata Wanda enteng.
“Tidak … tidak, aku tidak mau dia,” kata pak Wita yang tiba-tiba berubah pikiran, gara-gara mengetahui bahwa sesungguhnya Guntur tidak menyukai anaknya.
“Kenapa Pak? Dia pasti mau.”
“Dia sudah jelas tidak suka kamu, mengapa masih nekat? Kamu ini benar-benar tidak tahu malu ya?”
“Kita bisa memberinya uang. Mengapa Bapak tidak mencobanya?”
“Dengar. Pertama, dia tidak suka kamu. Ke dua, kalau dia kita paksa juga, kamu akan selalu direndahkan. Kamu tidak akan mendapat perhatiannya, dan itu akan membuat kamu menderita. Tidak … tidak.”
Wajah Wanda berangsur redup. Kalau sang ayah berkata tidak, maka berarti juga tidak.
“Lalu apa yang harus kita lakukan Pak?” tanya bu Wita.
“Harus seseorang yang belum pernah mengenal Wanda.”
“Pak ….” Wanda benar-benar tak tahu malu. Ia masih saja merengek-rengek.
“Tidak!! Aku bilang tidak, ya tidak!!”
Lalu pak Wita masuk ke dalam kamarnya. Tampaknya dia menelpon seseorang.
Wanda duduk sambil menundukkan wajahnya. Air matanya menetes deras. Sang ibu yang masih ada di dekatnya menegurnya.
“Mengapa kamu berharap dia bisa mengentaskan rasa malu keluarga ini? Jelas-jelas dia tidak suka kamu. Ibu sebenarnya sudah tahu, ketika membezoekmu, dia sama sekali tidak mengatakan apapun, kecuali hanya menyalami kamu bersama temannya yang lain. Kamu menyapanya, tapi dia tidak menjawabnya dengan baik. Wajah yang ditampilkan sama sekali tidak menunjukkan rasa simpati terhadap kamu, apalagi prihatin melihat kamu sakit. Dan ketika kamu mengatakan bahwa nomormu diblokir, sudah jelas dia tidak suka kamu. Bagaimana kamu ini? Walaupun dia mau uang ayahmu, tapi dia tidak akan pernah menjadi pelindungmu. Kamu akan terus menerus dihina dan direndahkan. Mengapa hal itu tidak terpikir oleh kamu? Jadi jangan membantah, dan menurutlah apa kata ayahmu. Kalau kamu membuatnya kesal, ibu sudah tidak tahu lagi bagaimana melindungi kamu dari kemarahan ayahmu,” kata sang ibu panjang lebar, yang kemudian juga pergi meninggalkan anaknya, lalu menyusul sang suami ke dalam kamar.
Wandapun kemudian masuk ke dalam kamar dan menuntaskan tangisnya di sana. Dalam keadaan terpurukpun dia masih berharap Guntur bisa menjadi penolongnya? Wanda itu bodoh atau apa? Bukankah seharusnya dia malu dengan keadaannya yang hamil sebelum menikah?
***
Di dalam kamar, pak Wita sedang menelpon seseorang, bu Wita hanya mendengarkan, dan tidak begitu mengerti karena tampaknya suaminya menelpon sudah sejak tadi. Ia hanya mendengar sekilas, yang tampaknya dia mengharap kedatangan seseorang.
“Ya benar, aku menunggu di kantor. Baiklah, terima kasih.”
Pak Wita meletakkan ponselnya dan bernapas lega. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa lalu meletakkan ponselnya di meja begitu saja.
“Bagaimana Pak?” tanya bu Wita sambil ikut duduk di depan suaminya.
“Sudah aku dapatkan. Ada yang mau. Anak buahku sendiri.”
“Dia lajang?”
“Lajang, dia sedang butuh uang untuk ibunya yang sakit. Besok aku mau bicara dengan lebih jelas.”
“Bapak harus menjelaskan keadaan Wanda yang sebenarnya, jangan sampai dia merasa tertipu.”
“Sudah. Pasti dia juga berpikir, kalau tidak ada apa-apa masa aku mau mengambilnya sebagai menantu. Tapi aku sudah mengatakannya secara gamblang. Pokoknya ibu tenang saja. Semuanya akan baik-baik saja. Bulan depan Wanda sudah harus punya suami. Keburu kandungannya semakin besar dan akan lebih membuat malu.”
“Apakah akan diadakan pesta meriah?”
“Tidak usah meriah. Ala kadarnya saja. Yang penting saudara, dan beberapa orang tetangga di sini. Yang penting resmi dan sah.”
Bu Wita hanya mengangguk. Tak ada yang bisa diucapkannya. Hanya ada satu-satunya jalan dan sang suami sudah menemukannya.
Bagi Wanda, mau atau tidak, tetap saja dia harus mau.
“Padahal akan aku suruh melanjutkan sekolah, malah ada kejadian seperti ini,” pak Wita masih saja berkeluh.
“Nanti, kalau anaknya lahir, dia masih bisa melanjutkan kuliah. Biarlah sekarang ini, kita lakukan apa yang sebaiknya kita lakukan.”
“Tolong ambilkan obatku Bu, dadaku tiba-tiba rasanya sesak.”
“Bapak marah-marah terus, ditambah beban pikiran berat,” kata bu Wita sambil mengambilkan obat untuk pak Wita, yang memang harus diminum rutin untuk kesehatan jantungnya. Tensinya juga bermasalah.
“Ini obatnya, lalu Bapak istirahat ya, permasalahan sudah selesai, jangan dijadikan pikiran berat lagi. Memang ini yang harus kita jalani,” kata bu Wita sambil menyerahkan obat yang harus diminum suaminya.
Pak Wita hanya mengangguk. Tampaknya dia juga kelelahan karena tak berhenti marah-marah.
***
Bu Raji sedang memasak di dapur, Guntur yang sudah selesai membersihkan rumah mendekati sang ibu.
“Mana yang harus dibantu, Bu. Wah, sepertinya sudah selesai. Bau masakan Ibu selalu harum dan merangsang selera.”
“Hanya oseng daun pepaya dan pepes teri.”
“Itu pasti menghabiskan nasi sebakul Bu, tiba-tiba Guntur sudah merasa lapar.”
“Mau makan sekarang? Biar ibu tata dulu di meja makan.”
“Baiklah, biar Guntur membantu mencuci perabot yang kotor.”
Bu Raji menata piring dan lauk yang sudah jadi. Selalu hanya makanan sederhana, tapi selalu menggugah selera. Ia tersenyum setiap kali melihat sang buah hati makan dengan sangat lahap.
Guntur anak yang baik. Ia selalu membuat ibunya gembira, dan tak ingin membuatnya kecewa. Guntur juga menerima apa adanya, karena memaklumi bagaimana keadaan keluarganya setelah ditinggalkan oleh ayahnya.
“Sudah selesai Bu, dapur sudah bersih,” kata Guntur sambil duduk di ruang makan.
“Anak baik. Silakan makan,” kata sang ibu sambil duduk, kemudian mengambilkan nasi untuk anaknya.
“Baunya sedap sekali. Nanti kalau nasinya Guntur habiskan bagaimana?”
“Habiskan saja. Ibu malah senang kalau kamu makan lahap.”
“Tidak Bu, mana mungkin perut Guntur muat menampung nasi sebakul. Pokoknya Guntur akan makan banyak.”
“Makanlah banyak, ibu selalu masak sayur. Tidak usah sering-sering makan daging dan ayam, karena sayuran itu lebih sehat. Tahu tempe juga bisa mengganti daging, kan?”
“Ibu benar,” kata Guntur sambil menyendok makanannya dengan wajah berseri.
“Ibu juga harus makan banyak,” lanjutnya.
“Ibu itu sudah tua, lambungnya sudah sempit. Mana muat makan banyak? Yang penting itu bukan banyaknya, tapi cukupnya.”
“Yang penting itu Ibu sehat selalu.”
“Iya, pasti. Ibu kan sudah berjanji akan menunggui Guntur terus sampai Guntur menjadi orang.”
“Guntur janji, tidak akan mengecewakan Ibu dan almarhum bapak.”
“Terima kasih, Nak. Oh ya, pengumuman penerimaan mahasiswa baru kapan nih? Lumayan lama ya.”
“Iya Bu, kan harus melalui seleksi yang ketat. Sabar ya Bu, mudah-mudahan pengumumannya segera keluar.”
Tiba-tiba ponsel Guntur berdering. Guntur cepat-cepat mengambil ponselnya sebelum menghabiskan makannya. Ia berharap Kinanti yang menelponnya. Tapi ternyata dari Ardi.
“Kamu sudah mendengar berita?” kata Ardi dari seberang tanpa ungkapan ba bi bu sebelumnya.
“Berita apa? Pengumuman tentang ….”
“Wanda menikah Minggu ini.”
“Oh ya? Cepat benar buru-buru menikah?”
“Udah lama kebelet,” canda Ardi.
“Kamu mau datang? Awas ya, jangan bunuh diri karena kabar ini.”
“Dasar kamu nih. Masa harus bunuh diri. Bunuh nyamuk saja lah.”
Ardi terkekeh.
“Kamu mau datang enggak?”
“Dari mana kamu dapat beritanya?”
“Dari sahabat dekat Wanda. Katanya Wanda sebenarnya tidak suka, tapi dipaksa oleh orang tuanya.”
“Oh ya? Aku ikut bahagia saja. Kalau untuk datang, enggak lah ya. Masa tidak diundang mau datang?”
“Barangkali saja. Supaya kelihatan bahwa kamu tidak sakit hati.”
“Memangnya kenapa aku harus sakit hati? Aku malah senang dia sudah punya pendamping.”
“Ya sudah, kamu lagi ngapain, jalan-jalan yuk.”
“Aku lagi makan, gara-gara kamu makanku tertunda.”
“Oh, maaf. Untungnya jauh, coba dekat aku langsung meluncur ke situ. Kangen masakan bu Raji nih.”
“Datang saja, masih banyak kok.”
“Baiklah, tungguin ya. Habis itu jalan-jalan, kita ajak Kinanti juga.”
Guntur meletakkan ponselnya.
“Siapa mau menikah? Wanda?” tanya bu Raji.
“Iya, kata Ardi tadi.”
“Syukurlah. Supaya dia tidak mengganggu kamu terus menerus. Anak orang kaya, tidak butuh pendidikan tinggi. Menikah muda tidak menjadi soal. Semoga dia bahagia. Bagaimanapun dia pernah baik pada ibu, entah kebaikan itu karena punya pamrih, atau tidak. Tapi mendoakan itu adalah hal mulia. Ya kan? Doa itu kan seperti bola, ketika dia dilemparkan ke suatu benda, maka dia akan memantul kembali kepada kita.”
“Iya, Guntur juga mendoakan, semoga dia bahagia.”
“Aamiin.”
***
Rupanya pernikahan Wanda sudah tersebar di mana-mana. Bukan karena kehamilannya lalu dia dinikahkan dengan seseorang, tapi memang Wanda benar-benar menikah, entah karena apa, tak seorangpun tahu dan juga tak ingin tahu.
Setelah menikah, Wanda diberikan sebuah rumah oleh orang tuanya. Ia tinggal hanya bersama suaminya, yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Arman, nama suami Wanda tersebut, adalah seorang laki-laki muda yang sebenarnya sudah punya calon istri. Keadaan ibunya yang sakit dan membutuhkan biaya pengobatan, membuat Arman kemudian menerima tawaran pak Wita untuk menikahi Wanda. Arman, pegawai di bagian pemasaran itu segera naik jabatan menjadi manager pemasaran. Kehidupannya menjadi membaik, tapi ia tak begitu baik terhadap istrinya. Mengetahui penyebab dirinya harus menikahi Wanda, membuatnya tidak bisa mencintai istrinya dengan sebenar-benarnya cinta. Semua dijalaninya karena uang. Ia hanya baik ketika ada kedua mertuanya.
Walau Wanda sudah mendapat petuah dari sang ibu, bagaimana melayani suami dengan baik, tapi dengan kebaikan sikap Wanda tidak membuat hati Arman menjadi luluh lalu perlahan tumbuhlah rasa cinta. Arman tidak bisa melupakan pacar lamanya, yang ditinggalkan karena terpaksa.
Pada suatu hari, pak Wita yang sedang berkeliling di area kantor, melihat Arman sedang bertelpon dengan seseorang. Ucapan yang didengarnya, membuatnya sangat kecewa.
“Tidak, percayalah padaku, aku tetap mencintai kamu … jangan berprasangka buruk, kamu kan tahu aku melakukannya karena terpaksa….Yakiin, ini karena uang, dan uang itu untuk kamu juga kan? …Tidak pernah, aku tidak pernah menyentuhnya, dan tidak akan…Yakiiin, sumpaaaah.”
Ketika pak Wita berdehem dari jendela ruangan kantor Arman, Arman sangat terkejut, lalu buru-buru menutup ponselnya, sebelum dia mengucapkan selamat tinggal yang dibuat-buat.
“Sudah ya Mas, nanti kalau aku pulang, aku telpon kamu lagi. Sekarang sedang sibuk. Mas harus mengerti, lain kali jangan menelpon ke kantor di jam sibuk ya?”
Wajah pak Wita muram. Ia memasuki ruangan Arman dengan wajah gelap.
“Kamu telpon dengan siapa tadi?”
“Itu, kakak saya, minta uang untuk beli obat,” katanya yang tentu saja berbohong.
“Rupanya kamu sangat mencintai kakak kamu,” katanya sambil menahan amarah, karena tiba-tiba dadanya terasa sakit dan ia merasa sesak napas.
Bergegas pak Wita keluar, menuju ke ruangannya, untuk mengambil obat, tapi dia ternyata tidak membawa obatnya. Diambilnya air minum, diteguknya perlahan. Tubuhnya lemas, bahkan marahpun dia tak mampu. Ia sangat menyesali kehidupan anak gadisnya, yang ternyata tidak menemukan kebahagiaan. Dia hamil, pria yang menghamili meninggal, lalu suami yang dipilihkannya ternyata mau melakukannya hanya karena uang. Perasaan yang sangat tertekan akibat kegagalannya menutupi aib sehingga membuat anaknya sengsara, menjadikannya sangat tertekan.
“Mengapa Wanda tak pernah menceritakan keadaan rumah tangganya?” kata batin pak Wita.
Diambilnya ponselnya, ia menelpon sang istri. Tapi ia mengucapkan kata-kata yang tidak bisa dimengerti sang istri, karena ucapan itu disertai napas tersengal dan terbata-bata.
“Cer … cerai … tol…tolong … obb..bat,” lalu pak Wita tak sadarkan diri, dan ambruk diatas meja kerjanya.
Sekretaris yang kebetulan melihatnya, segera berteriak minta tolong.
***
Besok lagi ya.
🪸🐚🪸🐚🪸🐚🪸🐚
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
JeBeBeeL_26 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai🦋😍
🪸🐚🪸🐚🪸🐚🪸🐚
Selamat jeng Sari....
DeleteMalit ya.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 26 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun wuk
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Hamdallah. Sampun tayang
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteAlhamdulillak
ReplyDeleteNuwun jeng Isti
DeleteAlhamdullilah..terima ksih bunda JBBL 26 nya..slmt mpm dan slmt istrht..salam dehat selalu dan afuhai unk bunda sekel 🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibi Anik
Alhamdulillah JaBiBuLa 26 sdh hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien🙏
Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Sis
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMaturnuwun Bu Tien ... semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Aneh juga...kenapa pak Wita kecewa dengan Arman? Padahal sejak awal kan sudah jelas bahwa dia menikahi Wanda karena uang, dia biaya pengobatan ibunya?
ReplyDeletePak Wita kena serangan jantung kah?Tragis sekali...belum sempat bahagia walaupun kaya raya.😔
Terima kasih, ibu Tien...salam sehat selalu.🙏🏻🙏🏻🙏🏻🌷
Sami2 ibu Nana.
DeleteSoalnya uangnya juga diberikan pada pacarnya. Begitu barangkali yang membuat kecewa.
Apakah nyawa pak Wita bisa tertolong? Terimakasih bunda Tien, selamat berlibur dan berkumpul dengan keluarga tercinta.
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteNuwun perhatiannya
Kasihan ya ortu Wanda.
ReplyDeleteMembesarkan dan mendidik anak memang tidak mudah. Telanjur memanjakan, sama dengan menjerumuskan. Orang Jawa bilang "welas tanpo alis". Setelah tahu anaknya suka membangkang, dikerasi. Malah berontak jadinya.
Mendidik anak, memang butuh ridho, berkah dan petunjuk Allah.
Itu yang selalu kita mohon padaNYA, agar keturunan kita menjadi penyejuk hati.
Kisah ini banyak hikmahnya.
Manusang mbak Tien sayang
Matur nuwun jeng Iyeng
DeleteSelalu perhatiannya.
Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 26 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala.
Selamat berakhir pekan Bunda.
Tobat...tobat...tobat...Jagad Dewa Bathara...Bojleng...bojleng.....itu kata pak Dalang klu salah satu lakon wayang nya ada yang mengalami musibah...😁😁
Kenapa ya...kel pak Wita selalu di rundung malang, ada apakah gerangan.. adakah secercah harapan untuk hari esok.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Ternyata pak Wita mengambil anak buahnya sebagai menantunya. Bisa diperkirakan menantunya tidak akan setia.
ReplyDeleteTapi kok tiba-tiba kambuh ya sakit jantungnya. Jangan jangan...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Buyar;
ReplyDeleteSianak mengandalkan kekayaan ortu, dan semua akan mudah, ternyata tidak, berusaha patuh dan nurut mengingat merasa bersalah, ternyata; kepentingan itu lebih menguasai.
Mana keburu sang menantu di beri rumah dan jabatan, Wanda sendiri tersiksa, tidak berani mengadu, diancam ngkali.
Ndean,
repote; acarané kontrak sampai sang cucu lahir, lihat Arman sudah kelihatan melakukan sesuai rencana, terlanjur dapat bonus. ternyata jadi amburadul, penuh siksa.
Nggak protes, ya enggak beranilah, diancam? barangkali kalau mengadu sama boos, mau pergi.
Wani på, wani pirå..
Yå memang gitu hasil srudak sruduk, dapatnya srudak.
Pak Wita ngedrop, ini juga hasil nguping.
Sakit dan hancur rencananya, dengar sendiri pembicaraan Arman, menegaskan ini hanya tentang kawin kontrak paska bayar.
Hi hi
Mudah mudahan, pak Wita tertolong, nggak jadi nyusul Zaki.
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke dua puluh enam sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas crigis
Maturnuwun bu Tien.. si miskin akan sukses dan bahagia bersama pujaan hatinya.
ReplyDeleteSami2 ibu Ratna
DeleteSemakin rumit.....bikin penasaran.
ReplyDeleteMtr nwn Bu Tien, sehat sll.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),26 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "JBBL-26"nya. Semoga sehat selalu nggih Bu. Aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu
Matur nuwun Bu Tien, selamat berakhir pekan. Tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteHangat
ReplyDeleteDingin hawa nya
ReplyDelete