JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 15
(Tien Kumalasari)
Bu Raji tertegun sampai beberapa saat lamanya. Ia terus memandangi sulaman berhiaskan kembang dengan tulisan yang sangat menyolok berwarna orange dikombinasi warna biru.
Sungguh seorang gadis pemberani. Pemberani karena dengan tanpa malu menyatakan cintanya kepada seorang teman laki-laki yang tidak menaruh perhatian padanya. Tapi benarkah Guntur tidak menaruh perhatian pada Wanda? Itulah yang dipikirkan bu Raji.
“Jangan-jangan hanya di belakangnya saja Guntur seakan menolak, tapi di depan gadis itu dia memberikan harapan,” gumam bu Raji sambil membawa jacket itu ke belakang, melipatnya rapi lalu memasukkan kembali ke dalam keresek seperti semula. Diletakkannya kemudian di meja belajar Guntur.
Sambil menyelesaikan memasak ala kadarnya, bu Raji terus bertanya-tanya tentang gadis bernama Wanda itu.
“Kalau benar Guntur menyukainya, aku akan memperingatkannya. Sepertinya Wanda bukan gadis yang baik. Perilakunya sangat berani, bahkan ia lancang menyebut diriku sebagai ibu mertua. Kapan ada pembicaraan tentang mertua dan menantu? Jangkahnya masih jauh. Sebuah rumah tangga tidak cukup dengan bekal rasa suka. Masih anak-anak pula. Menurutnya hidup ini begitu mudahkah? Barangkali karena dia anak orang kaya, jadi tidak bisa berpikir jauh. Menurutnya ketika uang itu ada, maka semuanya bisa diselesaikan.”
Bu Raji terus bergumam. Ada keinginan untuk tidak usah memberikan jacket itu kepada Guntur, tapi diurungkannya. Itu hak Guntur. Soal mau dipakai atau dibuang, terserah apa kata Guntur.
***
Pak Wita marah-marah ketika melihat Wanda baru saja datang, sementara mereka sudah mau berangkat pergi.
“Kamu ini dari mana? Semuanya sudah menunggu.”
“Dari … sekolahan.”
“Ada apa? Bukankah kita akan tahu bagaimana hasil ujian nanti, kalau wali kelas kamu mengabari. Aku sudah berpesan begitu kan?”
“Hanya pamit, apa tidak boleh?” sungut Wanda.
“Pamit pada teman miskinmu itu?”
“Mengapa Bapak begitu? Dia itu baik dan pintar.”
“Persetan dengan anak itu, bersiaplah, ibumu sudah menunggu.”
Wanda berjalan ke belakang. Ia senang bisa memberikan kenang-kenangan kepada Guntur. Sebuah jacket mahal yang sulamannya dibuatkan oleh sebuah penjahit terkenal. Tapi yang diakuinya sebagai sulamannya sendiri. Mana bisa seorang anak manja bisa menyulam? Memegang pekerjaan rumah saja tidak becus. Tapi Wanda berharap pemberiannya bisa menyentuh hati Guntur, laki-laki yang dikaguminya.
“Kamu dari mana?” tanya ibunya yang sedang menarik kopor keluar dari kamar.
“Dari_”
“Menemui Guntur?”
“Ah, ibu.”
“Menurut ibu, Guntur tidak begitu perhatian pada kamu. Ketika dia datang, apa dia mendekati kamu? Ia hanya menyapa dari jauh, sedangkan teman kamu yang bernama Ardi itulah yang mengobrol lama.”
“Wanda tidak menemui Guntur.”
“Baguslah, lebih baik kamu melupakannya. Ini masa kanak-kanak kamu. Belum saatnya memikirkan sebuah hubungan yang tidak jelas,” kata sang ibu sambil terus berlalu.
Namun sebenarnya dalam hati sang ibu, ia tahu bahwa Guntur bukan sekedar laki-laki dari keluarga miskin. Ada sesuatu yang kuat pada matanya, yang menunjukkan sebuah kemauan yang tak terhentikan. Ia juga tampak cerdas, walau wajahnya tidak ganteng-ganteng amat. Ia tidak terlalu menyalahkan Wanda. Tapi sang ibu hanya merasa bahwa belum saatnya Wanda memikirkan hal itu. Pada suatu hari nanti, entah kapan, kalau sampai Wanda bertemu lagi, dan Guntur sudah menjadi ‘orang’, semoga Wanda sudah bisa menundukkan hati sang ayah.
“Melupakannya? Mana bisa? Itu sangat sulit bagi Wanda,” gumam Wanda sendirian. Baginya, apa yang diinginkannya haruslah menjadi nyata.
Ia hanya masuk sebentar ke kamarnya, karena semua barang-barang sudah dikemas rapi, entah oleh ibunya, atau oleh pembantunya. Wanda melenggang keluar, menunggu aba-aba sang ayah kapan mau berangkat.
Ia harus mengikutinya, walau hatinya tertinggal di suatu tempat, di mana sang idola berada. Belum saatnya dia memberontak, karena ia masih sangat bergantung pada sang ayah.
***
Disekolah, para siswa masih berbincang ataupun bercanda. Fitria dan teman bandnya tiba-tiba mendekati Kinanti, dan memintanya nanti kalau saat perpisahan, dia mau menyanyi.
“Apa? Tidak, aku sudah tidak ingin lagi.”
“Hanya kali ini, untuk mengenang masa-masa terakhir kita di SMA. Kenapa sih kamu?”
“Lama nggak nyanyi, suaraku pasti jelek.”
“Nggaaaak, suara bagus itu sampai kapanpun juga bagus.”
“Nanti duet sama aku saja Kinan,” tiba-tiba Ardi nyelonong.
“Apaaa?” teman-temannya termasuk Kinanti berteriak.
“Ya ampuun, kompak amat sih. Memang kenapa kalau aku duet sama Kinanti?”
“Nggak kompak, nggak nyambung. Suara kamu sember kaya tong dipukul pakai pentungan.”
“Benar, kayak gitar kendur senarnya.”
“Astaga naga, kalian benar-benar tidak menghargai aku yang pintar nyanyi juga. Soalnya kalian belum pernah mendengar suaraku, kalau dengar, bisa pingsan karena terpesona,” balas Ardi dengan wajah cemberut.
“Cobain deh … cobain sekarang kamu nyanyi, kalau bagus nanti Kinanti pasti mau duet sama kamu,” kata Yuni.
“Oke, siapa takut?”
Lalu Ardi berdiri, menata napasnya dan bernyanyi.
“Please, release me let me go … For I don’t love you anymore …..“
“Stoooop…. stoooopppp,” teriak teman-temannya, bahkan Guntur kemudian membekap mulutnya dengan telapak tangan.
“Heeiii, kalian jahat ya, oo… pada ngiri karena suaraku sudah mirip dengan penyanyi aslinya kan?”
“Mimpiiiii!!”
“Sudahlah Ardi, sebenarnya suaramu itu bukannya jelek, tapi terlalu bagus malah,” kata Guntur sambil menepuk-nepuk punggung Ardi.
“Halaaaah, bilang saja kamu cemburu kalau aku nyanyi bareng Kinan, ya kan?” kata Ardi tanpa dosa.
“Ngawur !” kata Guntur yang kemudian meninju lengan Ardi sangat keras.
“Adduh, sakit tahu. Dari mana kepalan tangan kecilmu itu bisa menyakiti lenganku hah?” pekik Ardi sambil mengelus lengannya.
“Sudah, tidak usah ribut, nanti Kinanti jadi ketakutan menyanyi, padahal dia akan duet bersama orang lain,” kata Dhani.
“Orang lain? Maksudmu Guntur?” tanya Ardi.
“Eh, tidak … tidak … masa aku menyanyi?”
“Bukan Guntur, anak dari band luar, aku kan pernah bilang, dia suka sama Kinanti, namanya Zaki.”
“O, dia?”
“Tidak, kata siapa? Aku nggak kenal dia,” teriak Kinanti.
“Nggak apa-apa Kinan, dia ingin nyanyi bareng kamu,” kata Fitria.
“Ya ampun, tobat … Kinanti mau sama dia?” kata Ardi, sedangkan Guntur diam saja. Ia malah pergi menjauh, dari hiruk pikuk teman-temannya.
“Kinan, lihat, Guntur marah tuh. Apa benar, kamu tega mau meninggalkannya dan lebih memilih Zaket … eh … Zaki.”
“Ardi selalu begitu, omongan ke sana kemari nggak jelas,” kata salah seorang temannya, kemudian mereka bubar karena ada pengumuman dari wali kelas, yang membuat mereka berhamburan masuk ke kelas.
***
Guntur memasuki rumahnya setelah memarkir sepeda motornya di halaman. Ia masuk ke rumah, dan melihat ibunya sedang duduk di ruang tengah.
“Kamu sudah pulang?”
“Iya, Bu,” jawabnya sambil mencium tangan sang ibu.
“Ganti bajumu, ibu sudah menyiapkan makan siangmu.”
“Ibu masak?”
“Iya, hanya sambel goreng tahu sama kerupuk.”
“Itu enak sekali,” puji Guntur senang, sambil masuk ke dalam kamarnya.
Ia meletakkan tas sekolah di meja, lalu melihat sesuatu terletak di sana. Ia heran karena belum pernah melihat bungkusan itu sebelumnya. Tapi ia kaget, karena ketika dibukanya, ada sebuah jacket berwarna hitam di dalam bungkusan itu.
“Kok ada jacket? Ini bagus. Pasti harganya mahal.”
Guntur membukanya, lalu melihat sulaman indah di dada jacket itu. Matanya terbelalak.
“Apa-apaan ini? Pernyataan cinta yang terlukis begitu indah pada sulaman?” gumamnya sambil menatap sulaman itu. Tiba-tiba terlintas sebuah nama, Kinanti? Mengapa tadi diam saja ketika bertemu di sekolah? Masa Kinanti begitu?
Guntur membawa jacket itu dan mencari keberadaan ibunya, yang ternyata sudah menunggunya di ruang makan.
“Ibu, ini dari siapa?”
“Coba tebak dari siapa?” kata sang ibu.
“Kinanti?” nama itu terlontar begitu saja. Apakah sebenarnya Guntur berharap bahwa itu memang dari Kinanti? Tapi jawaban sang ibu membuatnya muram.
“Dari Wanda.”
Guntur menyampirkan jacket itu di kursi, lalu pergi ke kamar mandi.
Bu Raji menatapnya, dan merasa lega ketika menyadari bahwa Guntur tak menyukai pemberian itu. Dari sikapnya sudah kelihatan. Guntur memang tak kelihatan suka.
Ketika kemudian Guntur sudah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian rumah, bu Raji menyiapkan piring dan menaruh nasi di atasnya.
“Dari mana datangnya barang itu?” tanya Guntur masih dengan wajah muram.
“Dia datang kemari tadi, masih agak pagi. Kamu tidak ketemu di sekolah?”
“Tiga hari ini Guntur tak pernah melihatnya.”
“Tadi dia bilang, orang tuanya mau pindah rumah. Aku lupa, apakah tadi dia mengatakan kemana dia pindah atau tidak. Dia seperti tergesa-gesa. Tampaknya hari ini kepindahan itu.”
“Ya, Guntur juga mendengar dia akan mengikuti orang tuanya pindah.”
“Dia mengatakannya sendiri?”
“Tidak. Teman-temannya sudah tahu semua.”
“Tidak menunggu pengumuman kelulusan dulu ya?”
“Tampaknya tidak. Mengapa dia memberikan jacket itu?”
“Ibu juga tidak tahu. Dia datang hanya memberikan keresek berisi jacket. Lalu pergi. Ibu membukanya juga, karena jacketnya tidak terbungkus rapat.”
“Ibu juga membaca tulisan itu?”
“Ibu penasaran karena dia mengatakan bahwa telah menyulam tulisan di jacketnya dengan tangannya sendiri.”
“Kalau Guntur ada, pasti Guntur langsung mengembalikannya,” katanya sambil menyendok sayur tahu ke piringnya.
“Gadis itu suka sama kamu. Sangat suka.”
“Padahal Guntur tidak pernah bicara, sejak dia masuk setelah sakit. Guntur selalu menghindar. Dasar tidak tahu malu.”
Bu Raji tersenyum.
“Ya sudah, hargai perasaannya. Jangan membencinya. Barangkali menurutnya, susah menghilangkan sebuah rasa,” kata ibunya sambil menggenggam sebelah tangan Guntur.
“Harusnya, dia berhenti ketika menyadari bahwa bertepuk sebelah tangan.”
“Cinta itu kan butuh perjuangan,” kata bu Raji dengan tersenyum.
Guntur tertawa pelan.
“Bahkan Guntur tidak merasakan apa itu cinta,” gumamnya seperti kepada dirinya sendiri.
“Belum. Atau, bisa jadi kamu belum menyadari perasaan kamu sendiri.”
Guntur diam. Ada bayangan melintas, tapi dikibaskannya. Ia masih ingat ketika Kinanti marah gara-gara dia mengaku suka pada dirinya. Lalu Guntur sadar bahwa dia tak pantas mengharapkan apapun. Padahal Kinanti marah karena dia mengatakan bahwa yang dikatakannya hanya untuk menghentikan Wanda.
“Sudah, jangan memikirkan apapun. Makan yang banyak biar kenyang.”
Guntur tersenyum. Menikmati masakan sang ibu selalu terasa nikmat. Tak ada di dunia ini yang menyamai lezatnya masakan sang ibu.
“Ibu tidak capek, memasak setiap hari?”
“Tidak, hanya memasak, mengapa capek? Lagi pula ibu sudah benar-benar sehat. Sudah lama tidak meminum obat, dan ibu bersyukur merasa sehat.”
“Walau begitu jangan terlalu capek. Guntur sudah tidak sekolah lagi, jadi bisa sepenuhnya membantu ibu.”
“Apa rencanamu selanjutnya?”
“Entahlah. Guntur ingin mencari pekerjaan, tapi dilarang oleh pak Bono. Guntur harus bagaimana ya Bu? Sungkan menjadi beban orang lain, bukan?”
“Benar. Ibu juga sungkan. Tapi pak Bono selalu mengatakan bahwa ia merasa dititipi oleh almarhum ayahmu. Ia akan melakukan apa saja, bahkan menyekolahkanmu ke jenjang yang lebih tinggi.”
Belum selesai Guntur bicara, ponselnya terdengar berdering. Guntur bergegas berdiri untuk mengambil ponselnya.
Bu Raji mendengar Guntur berbicara sambil berjalan kembali ke arah ruang makan, lalu tak lama kemudian Guntur sudah menutup ponselnya.
“Dari pak Bono,” kata Guntur sambil kembali duduk. Ia belum selesai makan.
“Apa kata pak Bono?”
“Ia mengingatkan tentang permintaannya agar Guntur melanjutkan kuliah. Secepatnya Guntur dipanggil ke rumahnya.”
Bu Raji menatap anaknya.
“Ini sebuah beban, tapi kamu harus menjalaninya. Kalau tidak, pak Bono pasti akan kecewa.”
***
Pengumuman kelulusan itu menunjukkan bahwa Kinanti maupun Guntur dinyatakan lulus. Hanya ada dua orang yang dinyatakan gagal di kelas mereka.
Malam itu pak Bono bicara dengan Kinanti, menekankan keinginannya agar Guntur dan Kinanti mendaftar ke fakultas kedokteran.
“Beberapa bulan lagi bapak sudah pensiun. Tapi bapak ingin agar kalian bisa mewujudkan keinginan bapak ini. Apa kamu keberatan?”
“Tidak. Kinanti akan melakukan yang terbaik demi Bapak.”
“Jangan demi bapak, ini demi hidup kamu sendiri. Hidup kalian.”
“Iya, Kinan mengerti.”
“Besok ingatkan Guntur agar datang kemari, kita akan membicarakan langkah-langkah kalian selanjutnya.”
“Nanti Kinanti akan mengingatkan.”
Tiba-tiba ponsel Kinanti berdering, sebuah nomor tak dikenal terpampang, dan Kinanti enggan mengangkatnya.
“Kenapa tidak diangkat.”
“Nggak kenal,” jawab Kinanti singkat.
Tapi sebuah pesan singkat membuat Kinanti merasa gerah.
“Aku Wanda. Kamu tidak lupa kan? Aku sudah lulus, aku harap demikian juga kamu. Mau melanjutkan, atau langsung kawin? Ingat ya, Guntur milikku, sampai kapanpun dia milikku.”
Kinanti menghapus pesan itu, dan memblokir nomornya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
Delete🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Syukron..🙏
JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 15, sudah tayang.
Semoga Bu Tien selalu sehat dan berkarya. Aamiin 🤲 🤲 🤲
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
💝💐💝💐💝💐💝💐
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
JeBeBeeL_15 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam seroja😍🦋
💝💐💝💐💝💐💝💐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Matur suwun
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 15 sampun tayang, semoga bu Tien sll sehat, sll bahagia dan rizki melimpah aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu Sehat wal afiat Aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Hamdallah...sampun tayang
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Terimakasih bunda tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 15* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillaah, Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteWanda nekat juga ...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Alhamdulillah, matur nwn bu Tien..
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Sami2 pak Bam's
DeleteSalam sehat jugs
Wandaa.. wanda.. agresif banget mengutarakan perasaannya, jangan ladeni kinanti... Makasih bunda tayangannya
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteMks bun JBBL 15 nya.....selamat mlm smg bunda selalu sehat selalu bahagia bersama kelrg tercinta.....teriring salam hangat dari kota getuk goreng
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Salam hangat dari kota Bengawan
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 keng Susi
DeleteKinanti harus hati-hati, ancaman Wanda pasti serius. Tapi bagaimana kalau Wanda yang selalu mencari masalah, pasti sulit menghindar.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah..
ReplyDeleteNuwun pak Djodhi
DeleteGrênêngané Bu Raji, kayané luwih cêtha, mêrgå åpå² ånå dadi kebiasaan, yèn duwé pepinginan kudu bisa kecandhak.
ReplyDeletePadaké njaluk boneka waé
Malah bingung nulisé, kober²é awèh warning semu nyang nyangan, walah åpå kuwi, lha kuwi sajak nantang, nyang nyangan åpå anyang anyangan, ah yå sing bênêr sing endi, mung nulis waé bingung.
Yå kuwi rasah dipikir, tapi dadi sandungan besuké, wis bèn dipikir sésuk; wé lha sapa ngêrti, kaé paitan nyruduk jew, karo ngiwi-iwi biasané ngono, carané babon ngabruk på.
Nladhung barang, kok kåyå pitik.
Yå wis manut, anggêr kon kuliah yå manut waé, wong dikepenakaké lagi dadi lakon, ya kudu manut dalangé.
Ngugêmi janji.. wis anggêr ngono kuwi rawani nolak.
Dasaré ånå tanda² ceblok demen; demi bapak wis bakal ånå perjodohan terselubung.
Karepé bapak Bono ngono sajaké
ADUHAI
Maturnuwun Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu ingkang angka lima las sampun kagelar.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas crigis.
Marahi gayeng
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "JBBL~15" nya
ReplyDeleteSalam hangat, semoga sehat selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
akhirnya bisa masuk blogger...
ReplyDeleteUntuk menyapa Bu Tien....
Matur nuwun Bu Tien....
Semoga sehat selalu...
Aamiin....
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Apip
Selama ini kemana aja?
Matur nuwun ibu 🙏🏻
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya semoga bu tien selalu sehat² n dlm lindungan Allah SWT ..... AAMIIN YRA
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu selalu sehat bahagia....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 15 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala.
Aamiin.
Weleh...weleh.. Wanda.
..ucapan nya mirip Preman...Guntur milik ku...sampai kapan pun dia milik ku...terkesan ada.. nada ancaman kpd Kinan
Begitu ya..ulah anak manja...segala yang dia mau, harus keturutan semua..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSelalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin ..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Alhamdulillah.. Sehat selalu mbakyu... 🥰🌹
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun .. sami2 jeng Kun
Alhamdulillah "Jangan Biarkan Bungaku Layu-15" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, sem9ga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Bagus, Kinan...ga usah digubris itu si Wanda yang ga tahu malu.
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏🏻
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDelete