JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 03
(Tien Kumalasari)
Kinanti menggigil kedinginan, dan ketakutan. Akal sehatnya lenyap oleh ketakutan yang mencekam. Memang benar bayangan hitam itu adalah pohon besar yang tumbuh dihalaman, tapi itu dilihatnya seperti sosok hantu yang menakutkan. Dahan ranting yang melambai-lambai dirasa seperti seribu tangan yang siap menerkam.
Kinanti memejamkan matanya. Ia terus merangkul kedua lututnya dan menggigil kedinginan.
“Bapaaaak, maafkan Kinanti … Kinanti janji tak akan lagi menyanyi … Bapak, maaf Bapak, tolong … buka pintunya … Kinanti kedinginan,” rintihnya pelan dan gemetar.
Malam semakin larut, lalu Kinanti terdiam dan terlelap oleh letih yang mendera.
Berbagai mimpi buruk berkecamuk dalam tidur lelapnya. Tidur lelap tapi penuh kegelisahan.
Bu Bono terbangun ketika menjelang pagi. Ia menoleh ke samping, melihat sang suami masih nyenyak. Dengkuran perlahan terdengar. Lalu tiba-tiba bu Bono teringat sesuatu. Kinanti. Apakah semalam ayahnya memarahinya dengan hebat? Mengapa ia tak mendengarnya?
Bu Bono turun dari ranjang dan bergegas keluar dari kamar, menuju kamar anak gadisnya. Dengan terkejut ia melihat kamar itu kosong. Tempat tidurnya masih rapi, pertanda semalam Kinanti tak tidur di sana.
Ia bergegas pergi ke arah depan. Bukankah semalam KInanti pulang tapi ayahnya melarang untuk masuk ke rumah? Jadi semalaman Kinanti tak diijinkan masuk ke rumah? Semalaman? Hati bu Bono terasa seperti diremas-remas. Tiba-tiba ia mendengar suara rintihan. Rintihan? Suara itu seperti memanggil-manggil … Bapaak … Bapaaak…
Ia bergegas membuka pintunya dan melihat ke teras. Dilihatnya Kinanti meringkuk di kursi, mengigau pelan.
“Ya Tuhan. Kinanti … “
Bu Bono menghampiri Kinanti. Tubuhnya menggigil, dan terasa panas. Bu Bono meraihnya, membuat Kinanti membuka matanya.
“Kinanti … anakku ….”
“Ibu … “
“Mengapa tidur di sini nak? Ayo masuklah …”
Susah payah bu Bono menuntun Kinanti masuk ke dalam, langsung menuju kamarnya. Ia membantu Kinanti berbaring, lalu mencopot sepatunya.
“Ibu …. “ rintihnya.
Bu Bono menarik selimut, dan menutupi tubuh Kinanti sampai ke dada, lalu ke dapur, membuat minuman hangat, lalu membawanya kembali ke kamar.
“Kinan, minumlah ini, hangat.”
Bu Bono membantu Kinanti bangun, dan memaksanya minum beberapa teguk. Lalu Kinanti kembali membaringkan tubuhnya.
“Apa kamu sudah makan? Ibu ambilkan ya, ibu panaskan dulu sup ayam sisa semalam, biar kamu merasa lebih segar.”
Tapi Kinanti menggelengkan kepalanya.
“Kamu sudah makan semalam?”
Kinanti kembali menggelengkan kepalanya.
“Kalau begitu kamu harus makan. Biar tubuhmu hangat.”
Tanpa menunggu persetujuan, bu Bono bergegas ke dapur. Ia memanaskan sup, menyiapkan nasi dalam piring.
Ketika kembali ke kamar, Kinanti sudah tertidur.
“Kinan, makan dulu ya?”
Kinanti tak menjawab. Bu Bono meletakkan nasi dan sup ayam di meja, kemudian membetulkan letak selimut anaknya. Bu Bono mengelus kepalanya lembut. Tubuh Kinanti panas menyengat.
“Lain kali jangan bandel,” bisiknya sambil mencium pipi Kinanti. Kemudian dia mengambil lap yang dibasahkan, lalu dikompreskan di kening Kinanti.
Ia merasa sangat kesal kepada sang suami.
Ia kembali ke kamar, dan melihat suaminya terbangun karena mendengar adzan subuh.
“Dari mana?”
“Dari mana apanya? Bapak tega ya, membiarkan anak sendiri sengsara diluar rumah. Kedinginan dan ketakutan. Bagaimana ada seorang tua yang begitu tega terhadap anaknya? Berapapun besar kesalahan anak, tak ada orang tua setega Bapak. Ini kejam. Kalau Kinanti jatuh sakit bagaimana? Badannya sampai menggigil. Tubuhnya panas.”
Bu Bono mengomel panjang pendek. Pak Bono mengucek kedua matanya, seperti belum sadar akan apa yang sebenarnya terjadi. Baru bangun mendengar omelan sang istri? Ini tak biasa. Istrinya yang lembut dan penurut, berani mengomelinya sangat panjang dan dengan mata berkilat marah pula.
“Kamu bilang apa?”
Tapi bu Bono tak menjawab. Ia ke kamar mandi mengambil wudhu, meninggalkan pak Bono yang masih terbengong-bengong.
Tiba-tiba pak Bono ingat akan anaknya. Ia melompat dari ranjang dan bergegas ke arah depan. Pintu sudah tidak terkunci, dan ia tak melihat Kinanti di sana. Pak Bono baru sadar, sang istri memarahinya karena membiarkan Kinanti di luar semalaman. Ia bergegas ke kamar Kinanti, melihatnya terbaring pucat. Pak Bono terkesiap, ketika meraba kening anak gadisnya.
“Kinan,” panggilnya pelan.
Kinanti bergeming. Bibirnya yang pucat tampak bergetar. Benar, Kinanti menggigil, sementara tubuhnya panas.
“Kinan, maafkan bapak ya,” bisiknya sambil mencium kening Kinanti.
Ia bergegas menuju ke arah almari obat dan beberapa alat kedokteran. Sebuah ampul sudah terpotong dan isinya masuk ke dalam spuit injeksi.
“Bapak suntik ya, biar panasnya reda,” katanya lembut, sambil mengusap lengan sang anak dengan kapas beralkohol.
Kinanti bergerak.
“Disuntik ya.”
Kinanti meringis ketika jarum menusuk lengannya. Hanya sekejap, lalu pak Bono mengusap lengan anaknya lembut.
“Tidurlah.”
Tapi Kinanti malah membuka matanya.
“Maafkan Kinan.”
“Kinan, bapak bersalah. Besok kamu boleh menyanyi lagi. Lakukan, bapak tak akan melarang. Sembuh ya, jangan sakit,” bisiknya sambil mencium pipi Kinanti bertubi-tubi. Ia sangat menyesal.
Tapi Kinanti menggelengkan kepalanya.
“Tidak lagi ….”
“Kamu boleh kok, bapak tidak akan melarang.”
“Tidak mau, tidak lagi ….”
Saat itu bu Bono sudah berada kembali di kamar Kinanti. Ia melihat alat suntik di atas meja dan merasa lega, karena berarti Kinanti sudah ditangani. Tapi rasa kesalnya kepada sang suami belum juga reda. Ia mendekat dan sekali lagi menawarkan makan untuknya. Tapi Kinanti menggeleng, lalu memejamkan matanya.
Pak Bono keluar dari kamar, dan sang istri membiarkannya.
Bu Bono duduk di tepi pembaringan, menatap wajah pucat sang anak. Dipegangnya telapak tangannya, dan ia merasa lega.
“Sudah tak sepanas tadi. Tidurlah kalau belum mau makan. Ibu akan masak kesukaan kamu, soto dengan taburan keripik kentang ya?”
Bu Bono membetulkan lagi selimut sang anak, lalu keluar dari kamar perlahan.
Ia melangkah ke dapur, dan membukakan pintu untuk bibik pembantu yang datang pagi-pagi.
***
HILANGNYA SEBUAH PEGANGAN.
Pagi hari itu bu Bono melayani pak Bono makan pagi dengan berdiam diri. Ia tak ingin bicara kecuali sang suami mengajaknya bicara. Ia masih kesal pada tindakan sang suami yang dianggapnya kejam, sehingga membuat anaknya sakit.
Ia juga membiarkan ketika sang suami menelpon rumah sakit untuk mengontrol keadaan pak Suraji, yang masuk ke rumah sakit semalam.
“Baiklah kalau sudah ditangani. Kalau keadaan sudah stabil, pilihkan kamar inap terbaik. Ya … tentu, atas tanggungan saya, dia sahabat saya. Terima kasih banyak, saya akan segera ke rumah sakit.”
Bu Bono hanya mendengarkan dan tidak bertanya. Tapi mendengar ketika suaminya bertelpon, bu Bono merasa bahwa keadaan pak Suraji sudah membaik. Iapun merasa lega.
“Ibu marah sama saya?” tanya pak Bono yang melihat sikap tak acuh sang istri.
Bu Bono pura-pura tidak mendengar. Harusnya pak Bono tahu bahwa sikap seperti itu adalah sikap orang yang sedang marah.
“Maafkan bapak ya, bapak memang keterlaluan. Semalam karena terbakar kemarahan, bapak melakukan hal buruk yang tidak bapak pikirkan akibatnya. Sekarang bapak menyesal. Kinanti tidak apa-apa, dia gadis yang kuat. Tadi bapak lihat panasnya sudah menurun.”
Bu Bono masih diam, pura-pura sibuk menyendok makanannya.
“Bapak sudah bilang, kalau Kinanti ingin menyanyi, silakan saja. Bapak tidak akan melarang lagi,” lanjut pak Bono.
“Terlambat,” kata bu Bono, tapi hanya dalam hati.
“Jangan marah dong Bu, kan bapak sudah minta maaf.”
Walau kemarahannya sedikit mereda, tapi bu Bono masih enggan menjawab. Ketika sang suami mau berangkat ke kantor, bu Bono tetap mengantarkan sampai ke teras, tapi belum ingin mengucapkan sepatah katapun. Pak Bono melambaikan tangannya dan tersenyum. Bu Bono hanya tersenyum tipis, kemudian membalikkan tubuhnya masuk ke dalam rumah.
Bu Bono langsung masuk ke kamar Kinanti, memegangi keningnya, dan merasa lega ketika Kinanti mulai berkeringat.
“Bajunya dilepas ya? Ini baju kemarin, belum ganti kan?”
Kinanti bangkit.
“Jam berapa sekarang?”
“Jam delapan kurang.”
“Kinanti terlambat nih, keluhnya sambil turun dari tempat tidur."
“Ayahmu sudah menelpon sekolah dan memintakan ijin untuk kamu. Jadi kamu istirahat saja dulu di rumah.”
“Tapi Kinanti janji mau menjenguk ayah Guntur.”
“Ayah Guntur dibawa ke rumah sakit tadi malam. Bu Raji yang menelpon ayahmu.”
“Oh ya?”
“Mudah-mudahan keadaannya membaik.”
“Kinanti mau membezoek di rumah sakit. Nanti mau mengajak teman-teman Kinanti.”
“Sebaiknya jangan sekarang, kamu harus istirahat dulu.”
“Kinanti mau mandi.”
“Bibik sudah menyiapkan air hangat. Ibu siapkan baju ganti untuk kamu. Tapi sebaiknya tidak usah mandi. Dilap saja pakai air hangat. Tubuhmu berkeringat, tidak baik kalau langsung mandi.”
***
Di sekolah, Yuli dan kawan-kawannya ribut karena ketika kelas sudah akan dimulai, ia tak melihat Kinanti. Mereka merasa khawatir, teringat kejadian semalam, dimana pak Bono melihat Kinanti menyanyi. Pasti Kinanti terkena marah habis-habisan.
“Gawat, jangan-jangan Kinanti dikurung di dalam kamar dan tidak boleh keluar.”
“Kasihan banget deh.”
“Keterlaluan ayah Kinanti. Masa sebegitunya marah sama anak?”
Mereka bersahutan, ditambah lagi kedatangan Ardi yang tampaknya juga sudah sejak tadi mencari-cari.
“Mana Kinanti?”
“Kita juga sedang menunggunya.”
“Apa dia ke rumah Guntur pagi-pagi?”
“Ah, masa sih.”
“Iya, Guntur juga tidak masuk hari ini. Tapi nggak mungkin mereka kencan.”
“Mereka dalam kesedihannya masing-masing. Yang satu diomelin ayahnya, yang satu memikirkan sakit ayahnya.”
“Padahal aku sama Kinanti semalam sudah janjian mau ke rumah Guntur.”
“Kalau begitu ayuk kita ke rumah Guntur. Kasihan. Ada uang sedikit untuk membantu, ayuk patungan,” ajak Dhani.
“Siap, aku juga mau. Pulang sekolah kita ke sana.”
Mereka berhenti membicarakan Kinanti dan Guntur, ketika pelajaran sudah dimulai. Tapi ternyata ketidak hadiran Kinanti dan Guntur sudah sampai kepada pihak sekolah. Wali kelas meminta agar mereka berdoa untuk pak Suraji, ayah Guntur, yang sudah lama menderita sakit. Kecuali itu ia juga mengajak mereka untuk mendoakan Kinanti yang jatuh sakit sehingga tidak bisa hadir di kelas hari itu. Rupanya pihak keluarga sudah memintakan ijin atas anak-anak mereka dan kendalanya, sehingga tidak bisa masuk sekolah.
“Ya ampuun, Kinanti sakit?”
“Apa semalam dihajar ayahnya ya?”
“Paling disekap di dalam kamar dan tidak boleh keluar.”
“Nanti kita rame-rame ke rumahnya ya?”
“Setujuuu, setelah ke rumah Guntur, lalu ke rumah Kinanti.”
Rupanya mereka sekelas adalah teman-teman yang kompak dan saling perhatian. Ketika sakit, ketika sedang berduka, mereka tidak pernah lepas tangan. Sebuah persahabatan yang pantas diacungi jempol.
***
Kinanti terkejut, ketika teman-temannya datang. Mereka mengira dirinya sakit berat. Tapi Kinanti tidak ingin menceritakan soal dia dibiarkan hampir semalaman di teras. Jadi ia hanya mengatakan dirinya kelelahan.
“Tadi panas? Kata bu Bono kamu sakit panas.” tanya Yuli.
“Iya, hanya karena lelah.”
“Kamu dimarahi ayahmu?” tanya Fitria pelan.
Kinanti menggelengkan kepalanya.
“Benar? Tidak dimarahi?” sambung Dhani.
“Tidak.”
“Kami tadi ke rumah Guntur, tapi rumahnya kosong,” kata Ardi yang sedari tadi diam saja.
“Ayahnya masuk rumah sakit tadi malam,” terang Kinanti.
“Tuh, benar kan. Aku tadi juga sudah mengira begitu,” kata teman yang lain.
“Ayuk ke rumah sakit bareng-bareng,” ajak Dhani.
“Tapi KInanti masih sakit,” kata Ardi.
“Tidak, aku sudah tidak apa-apa. Kita akan ke sana bareng-bareng, ya,” sambung Kinanti.
“Kalau kamu belum sehat, besok saja,” usul yang lain.
“Nggak, sekarang saja tidak apa-apa, kita bisa memberi suport untuk Guntur, agar tidak sedih berlebihan.”
Karena bersama teman-temannya, bu Bono memberikan ijin kepada Kinanti untuk pergi ke rumah sakit.
***
Pak Bono sudah berada di kamar rawat, duduk di samping pak Raji, yang tubuhnya dipenuhi beberapa selang. Ada infus, ada bantuan oksigen, dan entah apa lagi. Mata pak Raji berkaca-kaca melihat kebaikan sahabatnya.
“Aku tidak kuat membayar,” katanya terbata.
“Jangan pikirkan itu. Semua adalah tanggungan aku. Bersemangatlah, dan harus kuat.”
“Tidak mungkin. Aku … hanya memikirkan Guntur. Aku tidak punya apa-apa lagi. Tapi … Guntur … “
“Jangan memikirkan itu. Guntur akan menjadi tanggunganku.”
“Benar … kah?”
Pak Bono mengangguk. Menggenggam tangan sahabatnya erat.
“Kalau begitu … aku titipkan Guntur kepadamu … agar perjalananku tidak tersendat.”
“Kamu jangan bicara begitu. Terus bersemangatlah. Jangan khawatirkan anakmu. Dia akan menjadi anakku.”
“Terima … kasih …”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ya wuk
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
Delete🌹🌼🌹🌼🌹🌼🌹🌼
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
JeBeBeeL_03 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam seroja😍🦋
🌹🌼🌹🌼🌹🌼🌹🌼
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Sari
Salam aduhai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Sari
Salam aduhai
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
ReplyDeleteSalam ADUHAI....
Alhamdulillah..🙏🙏🙏
*JANGAN BIARKAN*
*BUNGAKU LAYU 03.*
sudah ditayangkan.
Semoga Bu Tien tetap sehat dan selalu istiqomah menghibur para penyemangatnya. Aamiin yaa Robbal'alamiin 🤲 🤲
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas Kakek
Hamdallah. Sampun tayang
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteMatur suwun bu Tien.
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah, Suwun Bu Tien JBBL nya
ReplyDeleteSehat sll Bu Tien ….🤝🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun Mbah Wi
Alhamdullilah terima ksih bundaqu 🙏salam sehat dan aduhai selalu unk bunda sekeluarga🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur nuwun salam sehat selalu kagem jeng Tien.
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiiik
DeleteTrimakasih .... .... semoga bu Tien sehat selalu ...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endang
Alhamdulilah sudah tsyang, maturnuwun bu Tien, semoga ibu selalu sehat dan slm lindungan Allah SWT... salam sehat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Sri
Salam aduhai 2x
Alhamdulillah.Maturnuwun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Herry
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Salamah
Semoga suara Kinanti tetap menggelegar
ReplyDeletewalaupun habis kedinginan diteras.
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah, salam sehat selalu Bu Tien.
ReplyDeleteMatursuwun
Sami2 ibu Umi
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),03 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Uchu
Alhamdulillah
ReplyDeleteSehat Sehat Sehat ...
Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Susi
Maturnuwun mbakyu, alhamdulillah... Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Kun
Guntur akan dibiayai ayah Kinanti. Nah ... sekalian pdkt dengan Kinanti.
ReplyDeleteMungkin 'kisah masa remaja ' tidak perlu panjang lebar ya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Latief
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sudah sehat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Reni
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih tayangan cerbungnya bu tien
Semoga bu tien sehat² selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Arif
Bingung arep nggondeli sing endi iki, genah kacang ora ninggal lanjaran; Kinan lagi tersiksa kedinginan ketakutan campur aduk dapat bisikan sayang berusaha di lembut² kan, yå nggak masuk; lha wong pengalaman horor semalam masih kruntêlan di benaknya.
ReplyDeleteKeputusan sikap kekakuan itu kan juga dari dedinya, sampai trauma gitu..
Sekali tidak ya udah tidak, malah yang kepikiran gimana Guntur sang idola, bintang dikelasnya; betapa sedihnya, semalam bapaknya harus opname, rasa simpati itu ada.
Namanya juga remaja, di Kinan ada simpati, wau lama² bisa tumbuh rasa lebih.
Aja² rasa lebih itu bisa mengunci rasa sayang ke Guntur.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke tiga sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas Crigis
Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 03 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Nah gitu dong pak Bono, hrs bertindak obyektif, sama orang lain yang sakit ( pak Suraji ), di perhatiin. Tetapi terhadap anak nya sendiri bertindak kejam, dengan membiarkan Kinan tidur di teras rumah sampai kedinginan, akhir nya sakit. Itu tdk adil ya nama nya..😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Munthoni
Terima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏🏻
ReplyDeleteSami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillaah " Jangan Biarkan Bungaku Layu - 03" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bshagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Ting
Matur nuwun ibu 🙏🏻
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteSami2 ibu Windari
DeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat ya 🤗🥰
ReplyDeleteTernyata pak Bono , tidak sekejam itu hatinya
Sami2 ibu Ika
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteNuwun pak Djodhi
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
Delete