JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 04
(Tien Kumalasari)
Pak Bono menghampiri Guntur yang terduduk lesu di samping ibunya. Ketika hati sedang gundah, kamar terbaik yang dipilihkan pak Bono ternyata tidak membuatnya gembira. Keadaan pak Suraji seperti sudah terlampau parah. Wajahnya yang pucat dan sorot matanya yang tidak bercahaya, tidak menjanjikan kehidupan yang diharapkan keluarga itu.
Pak Bono duduk di dekat Guntur, menepuk punggungnya pelan.
“Kamu harus kuat, tidak boleh patah semangat.”
“Apa bapak tidak akan tertolong?” tanya Guntur lemah.
“Aku tidak berani mengatakan apa-apa. Hidup dan mati bukan kita yang menentukannya.”
Dan perkataan pak Bono sama sekali bukan menggambarkan sebuah harapan baik. Pak Bono seorang dokter senior. Ia sudah bisa meraba apa yang terjadi, tapi tidak berani mengungkapkan apapun.
“Selalulah berdoa. Mohon yang terbaik untuk ayahmu.”
Guntur mengangguk. Air matanya mengambang. Bu Raji sudah sejak tadi terisak.
“Bu Raji tenang ya, doa terbaik untuk mas Raji. Jangan khawatirkan Guntur. Dia akan menjadi anak saya.”
Bu Raji dan Guntur mengangkat wajahnya. Ucapan pak Bono mengejutkannya. Menjadi anak pak Bono?
“Selepas SMA saya akan bekerja," kata Guntur pelan.
“Kamu masih muda. Kabarnya kamu punya prestasi yang baik di sekolah. Sayang kalau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.”
“Mana mungkin Pak, selagi ayahnya masih sehat, kami sudah terengah-engah untuk biaya sekolah Guntur," sambung bu Raji sambil mengusap air matanya.
“Bu Raji bagaimana, kan saya sudah bilang bahwa Guntur akan menjadi anak saya?”
“Maksudnya?”
“Semuanya saya yang tanggung. Kamu harus menjadi orang, jangan mengecewakan ayahmu,” kata pak Bono sambil sekali lagi menepuk punggung Guntur. Air mata anak muda itu meleleh, membasahi pipi.
Ketika terdengar ketukan di pintu, Guntur mempersilakan masuk. Ia terkejut ketika beberapa teman sekelasnya datang. Ia berdiri menyambut, mereka menyalami satu persatu. Ardi memeluknya erat.
Pak Bono menatap Kinanti.
“Kamu sudah sampai di sini? Apa kamu sudah sembuh?”
“Sudah Pak.”
“Baiklah, kalian di sini dulu tapi jangan berisik. Bicara pelan, supaya tidak mengganggu,” kata pak Bono sambil berdiri. Ia menghampiri Kinanti, memegang keningnya.
“Sudah tidak panas, tapi jangan lama-lama, segera pulang dan istirahat.”
Kinanti megangguk.
Begitu pak Bono keluar, teman-teman band nya kelihatan senang. Rupanya Kinanti tidak benar-benar kena marah. Tapi saat itu bukan saatnya mengganggu Kinanti. Mereka fokus berbincang dengan bu Raji dan Guntur, yang menceritakan kondisi pak Raji, dengan suara pelan.
Guntur juga menjadi agak terhibur melihat perhatian teman-temannya yang begitu besar. Bu Raji terharu ketika menerima amplop dari teman-teman Guntur, yang semula ditolaknya.
“Tidak Nak, jangan begini. Kami tidak apa-apa.”
“Jangan menolak Bu, ini tulus dari teman-teman. Tidak seberapa, barangkali hanya sedikit meringankan. Tolong diterima,” kata Ardi sambil menggenggamkan amplop itu lagi ke tangan bu Raji, setelah tadinya ditolak.
Bu Raji terpaksa menerimanya dengan linangan air mata.
Pada saat itu Guntur melihat ke atas ranjang ayahnya, dan seperti melihat tangan sang ayah melambai lemah.
Guntur bergegas mendekat, diikuti ibunya. Teman-temannya tidak berani mendekat, hanya melihatnya dari kejauhan. Takut mengganggu.
Guntur melihat napas ayahnya tersengal. Ia segera memanggil suster perawat yang kemudian menghubungi dokter.
Guntur menggenggam tangan ayahnya erat.
“Jadilah … anak … baik,” bisikan lemah terdengar, semakin jauh.
“Pak, kuat ya Pak,” tangis Guntur tersendat.
Bu Raji memeluk kaki suaminya.
Dan ketika dokter datang, bersama pak Bono, semuanya segera berakhir. Pak Bono menepuk bahu Guntur, yang kemudian menangis di dadanya.
Hanya air mata yang menetes, tak sepatah katapun terucap, bahkan dari teman-teman Guntur yang semuanya tampak berduka.
“Anakmu akan menjadi anakku,” bisik pak Bono pilu, ketika mengantarkan napas terakhir yang berembus pelan dari jasad kurus tanpa daya, sebelum selembar kain menutupi seluruh tubuhnya.
***
ANAK ANGKAT.
“Bu, mulai saat ini, Guntur akan menjadi tanggungan kita. Baik semua kebutuhan hidup dan sekolahnya,” kata pak Bono di rumah, ketika acara pemakaman pak Suraji selesai.
“Iya. Baguslah Pak, aku mendukung kemauan Bapak yang mulia ini,” jawab bu Bono yang mulai bersedia berbicara dengan suaminya.
“Apakah kita akan menyuruhnya tinggal di rumah kita ini saja?”
“Terserah Bapak. Tapi menurutku, biarlah dia tinggal di rumahnya sendiri saja, soalnya kita punya anak gadis sepantaran dia, takutnya ada sesuatu yang akan menjadi perbincangan orang, dan menganggap hal itu adalah sesuatu yang tidak pantas.”
“Ya sudah, tidak apa-apa, yang penting biayanya tercukupi. Aku sudah janji pada almarhum mas Raji.”
“Tidak apa-apa. Aku ikut senang bisa meringankan beban orang lain. Dengan keadaan begini, takutnya ia tidak bisa menyelesaikan SMA nya.”
“Sudah kelas tiga, harus selesai. Tapi sebenarnya Guntur pernah bilang kalau setelah lulus ingin bekerja saja.”
“Kabarnya dia itu pintar.”
“Benar, maksudku, semampuku, aku juga ingin membiayainya ke jenjang yang lebih tinggi. Sayang, anak pintar harus berhenti di tengah jalan.”
“Iya Pak, terserah Bapak saja, aku selalu mendukung keinginan Bapak, demi membantu orang yang kekurangan.”
“Mana Kinanti? Dia belum kembali?”
“Belum. Pasti masih di rumah keluarga Raji bersama teman-temannya.”
“Ya sudah, biarkan saja. Aku sekarang tidak ingin terlalu mengekang keinginan Kinanti. Bahkan kalau ingin melanjutkan hobinya itu, ya terserah dia saja. Kejadian kemarin malam benar-benar membuatku khawatir kalau dia benar-benar sakit.”
“Bapak terlalu keras mengekang anak.”
“Kamu juga harus mengerti, dia kan anak gadis. Kecuali itu dia harus fokus pada sekolahnya.”
“Karena Bapak terlalu mengekang, dia jadi banyak berbohong. Ya kan?”
“Ya, aku sekarang tahu. Kinanti juga anak pintar dan ternyata tidak melupakan pelajaran sekolahnya. Jadi biarlah dia menyalurkan hobinya.”
“Sudah terlambat. Kinanti bilang tidak mau lagi main band.”
“Dia pernah mengatakan itu, tapi apa dia serius?”
“Sangat serius Pak.”
Pak Bono dan bu Bono terkejut, karena tiba-tiba Kinanti sudah pulang dan mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya.
“Tentang hobi kamu itu, Kinan ….”
“Saya tidak akan lagi menjadi penyanyi.”
“Kamu marah pada bapak?”
”Tidak Pak, pengalaman malam itu membuat saya merasa sudah keterlaluan. Biar saja saya menekuni sekolah, seperti keinginan Bapak.”
“Tapi sekarang bapak sudah belajar dari pengalaman malam itu. Kamu tahu, bapak takut sekali. Kalau sampai kamu keterusan sakit, bapak tidak akan bisa memaafkan kesalahan bapak itu.”
“Bapak tidak usah khawatir. Kinanti tidak menyesal meninggalkan kesenangan itu.”
“Baiklah, sekarang istirahat saja sana, kamu sudah terlalu capek.”
“Bapak bilang akan menganggap Guntur sebagai anak. Apakah dia akan tinggal di sini?”
“Tidak. Ibumu tidak setuju. Kita tetap akan membiayai dia, tapi biarlah dia tinggal bersama ibunya saja. Memangnya kenapa?”
“Tidak apa-apa, hanya ingin tahu saja.”
Walau begitu Kinanti cukup merasa senang, karena akan lebih sering dekat dengan Guntur, yang sudah lama dikaguminya.
***
Beberapa minggu telah berlalu, keadaan Guntur sudah perlahan membaik, dan bisa mengendapkan kesedihan yang melandanya.
Dengan dalih menghibur, atau menanyakan pelajaran, Kinanti menjadi sering berbincang dengan saudara angkatnya, yang pasti tak akan membuat orang curiga karena mereka kan sudah menjadi saudara angkat?
Tapi ternyata pengagum Guntur bukan hanya Kinanti seorang. Ketika saat istirahat tiba, dan Kinanti ingin mengajak Guntur makan siang di kantin sekolah, dilihatnya Wanda, sedang berbagi sekotak nasi di sebuah bangku dibawah pohon asam.
Kinanti surut melangkah. Ia segera berbalik dan menuju kantin sendirian. Tapi kemudian tiba-tiba saja Ardi sudah berjalan di sampingnya.
“Kinanti, aku juga lapar. Mau ke kantin kan?”
Kinanti mencoba tersenyum, demi menyembunyikan rasa kecewa yang berkecamuk di dadanya.
“Wanda itu anak IPS,” kata Ardi tanpa ditanya, membuat Kinanti merasa kesal.
“Aku sudah tahu,” jawabnya singkat.
“Ya sudah, tidak usah marah.”
“Siapa yang marah? Hanya soal begitu saja, marah?”
Mereka sampai di kantin, duduk berhadapan dan memesan dua mangkok soto ayam. Itu makanan kesukaan Kinanti. Soto yang ditaburi keripik kentang.
“Kentangnya yang banyak ya Bu,” pesannya kepada pemilik kantin.
“Oke siap, Kinan, ibu sudah tahu apa yang kamu inginkan,” jawab ibu kantin dengan wajah berseri.
“Kamu tahu, Kinan? Wanda itu sudah lama suka pada Guntur," kata Ardi.
“Ih, kenapa sih, kamu cerita tentang dia terus?”
“Kamu cemburu?”
“Ngarang,” kesal Kinanti sambil menyeruput es teh yang sudah disajikan.
“Kamu sepertinya marah.”
“Aku tuh marahnya sama kamu.”
“Memangnya kenapa aku ini? Dosa apa sehingga kamu marah sama aku?”
“Karena kamu cerewet.”
Ardi tertawa keras. Ada rasa senang ketika dia tahu bahwa Guntur ada yang menyukai selain Kinanti. Ia berharap Kinanti mau berpaling kepadanya setelah tahu ia punya saingan.
"Guntur itu kelihatannya pendiam, tapi dia seperti membalas cinta Wanda.”
“Biarkan saja, aku tidak peduli.”
“Benarkah kamu tidak peduli?”
“Kamu lupa? Guntur itu saudara angkatku, jadi mana mungkin aku suka pada dia? Nggak ya. Silakan saja dia mau suka sama siapa.”
Ardi meraih mangkuk soto yang baru dihidangkan. Ia tersenyum, tapi dia tahu, bukan itu yang dirasakan Kinanti. Kinanti kecewa berat mengetahui bahwa Wanda juga suka pada Guntur. Saudara angkat? Memang salah, menyukai saudara angkat? Asal bukan saudara kandung saja, siapa melarang?
Kinanti asyik menyendok sotonya. Ia menikmati keripik kentang yang ditaburkan begitu banyak, sebelum melempem terkena kuah soto.
Ia seakan tak peduli mendengar Ardi terus memanas-manasinya dengan mengatakan beberapa gadis lain yang suka pada Guntur.
“Soalnya Guntur terkenal pintar, dan baik kepada semua orang, jadi tidak aneh kalau banyak yang suka.”
Itulah yang tidak disukai Kinanti pada Ardi. Mulutnya agak bawel, seperti perempuan. Banyak ngomong, tak pernah bisa mengerti perasaan orang. Sudah tahu kalau Kinanti suka sama Guntur, dia malah asyik bercerita tentang gadis-gadis yang suka sama laki-laki yang dikaguminya itu.
Tapi Kinanti berusaha menenangkan pikirannya. Ardi sebenarnya baik, tapi mulutnya itu lhoh.
Sedang mereka asyik menikmati soto ayam sambil ngobrol, tiba-tiba Wanda dan Guntur masuk ke dalam kantin.
“Padahal tadi keduanya sudah makan, masih kelaparan juga?” kata batin Kinanti sambil pura-pura tak melihat kedatangan mereka, yang kemudian duduk tak jauh dari bangku tempat dia duduk bersama Ardi.
“Eh, ya ampuun, itu kan Guntur?” pekik Ardi. Kinanti kesal karena Ardi justru menyapanya.
“Eh, ada Kinan dan Ardi. Pasangan serasi nih,” teriak Wanda yang tampaknya sengaja memasangkan Kinanti dan Ardi.
Mulut Kinanti cemberut seketika.
“Bu Kantin, minta es dawet dua porsi ya,” teriak Wanda.
Rupanya mereka hanya ingin minum es dawet, bukan pesan makan.
Kinan segera menyelesaikan makannya, lalu menghirup es teh nya sampai habis, kemudian berdiri menuju kasir.
“Eh, biar aku saja yang bayar, Kinan,” Ardi berdiri mengejar.
“Biar aku saja,” kata Kinan.
“Nggak pantas, laki-laki yang traktir,” kata Ardi yang lebih dulu mengeluarkan selembar ratusan ribu ke arah kasir.
Kinan membalikkan tubuhnya dan mendahului meninggalkan kantin.
“Kinaaan, mengapa buru-buru, es dawetnya enak lho,” teriak Wanda ketika Kinanti sudah sampai di pintu kantin. Kinanti menoleh dan mencoba tersenyum ramah. Malu dong memperlihatkan rasa cemburu di depan saingannya.
“Perutku sudah nggak muat,” katanya sambil berlalu.
“Kinaaan,” tiba-tiba Guntur berteriak memanggil. Kinan menghentikan langkahnya.
“Pulangnya tungguin aku ya, ada yang ingin aku sampaikan.”
Kinan hanya mengangguk, tapi ia tak pernah meninggalkan senyumnya.
Wanda menyendok es dawetnya sambil menatap Guntur.
“Dia kelihatan nggak suka melihat kita ya?” kata Wanda.
“Kamu jangan mengada-ada. Sepertinya nggak apa-apa,” jawab Guntur.
“Syukurlah. Tapi Kinan itu terkadang terlihat sombong. Mentang-mentang anak orang kaya.”
“Masa sih? Dia baik tuh.”
“Baik, kalau sama kamu, karena dia suka sama kamu,” cemberut Wanda.
“Ah, ngarang,” sahut Guntur sambil tersenyum.
“Oh ya Guntur, besok kamu mau dibawakan lauk apa? Ibuku selalu membawakan bekal makan, karena aku tak suka makan di kantin.”
“Mengapa repot-repot untuk aku?”
“Tidak repot, kebetulan saja ada. Ibu selalu membawakan nasi kelewat banyak, takut aku kelaparan, jadi aku bagi saja sama kamu.”
“Besok nggak usah membawakan untuk aku.”
“Kenapa?”
“Pokoknya jangan. Nggak enak. Lagipula aku punya uang saku yang cukup kalau hanya ingin makan.”
“Tidak apa-apa, uang sakunya ditabung saja, jadi ibu kamu juga akan senang.”
“Bukan ibu yang memberi aku uang saku.”
“Bukan?”
“Dari pak Bono.”
“Siapa pak Bono?”
“Ayah Kinan, aku kan anak angkatnya.”
“Oo, begitu? Barangkali kamu akan diambil menantu,” kata Wanda seenaknya.
“Tidak juga. Hanya anak angkat, karena aku anak yatim, ibuku miskin.”
***
Besok lagi ya.
ππΉπ»πππ»πΉπ
ReplyDeleteSalam ADUHAI....
Alhamdulillah..πππ
*JANGAN BIARKAN*
*BUNGAKU LAYU 04.*
sudah ditayangkan.
Terima kasih bu Tien, semoga Bu Tien tetap sehat dan selalu istiqomah menghibur para penyemangatnya. Aamiin yaa Robbal'alamiin
π€² π€²
ππΉπ»πππ»πΉπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas Kakek
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
Deleteπ₯ππ₯ππ₯ππ₯π
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
JeBeBeeL_04 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhaiπ¦π
π₯ππ₯ππ₯ππ₯π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Sari
Matur nuwun
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiik
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteSuwun Bu Tien, JBBL nya
ReplyDeletesmoga Alloh SWT sll melingkupi klg bsr Bu Tien
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun Mbah Wi
Hamdallah...sampun tayang
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteAlhamduliah ...JBBL sudah tayang, terima kasih bu Tien, semoga ibu sekwluarga selalu sehat ...salam sehat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Sri
Aduhai 2x
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 04* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Wedeye
Trm ksh bunda Tien, sdh tayang... salam.sehat selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Wiwik
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah.Maturnuwun π·πΉ πππSemoga Bunda selalu sehat wal afiat π€²
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Arif
Terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteSehat walafiat nggeh
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endah
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Salamah
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu semakin sehat...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Reni
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),04 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Uchu
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "JBBL~4" sdh tayang. Salam hangat semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Umi
Wa da saingan ngedeketin Guntur nich..
ReplyDeleteMulai Kinan kremut² mecucu diem² lihat tanda² Guntur menyambut simpati Wanda, jadi kaya pak Tarno; 'prok prok prok mau jadi apa, prok prok prok', hΓ¨h ,kan dapat bΓ©a siswa dari pak Bono, sampai perguruan tinggi kalau mampu paska sarjana sangat mungkin lho..
Pak & Bu Bono seeh iklas, tapi nggak tau Kinan; siapa tau dia tidak berkenan.
Kan itu duit babΓ© guwΓ©, bisa juga pak Bono karena begitu percayanya sama Guntur ikutan sekalian nitip Kinan atau ah nggak tau dah, si babΓ© juga kalau udah ada maunya; suka sembarangan bikin keputusan tanpa minta pertimbangan sama istrinya.
Begitulah bunyinya..
ih sudah jangan diterusin itukan lirik lagu anak-anak jaman simbah..
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke empat sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Nanang atas kecrigisannya
Ternyata ada pesaing Kinanti yaitu Wanda. Tapi Kinanti juga didekati Ardi. Bagaimana kalau Ardi dengan Wanda, Guntur untuk Kinanti saja...
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Arif
Terima kasih, ibu Tien...semoga sehat selalu.ππ»π
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Nana
Alhamdulillaah, Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak TienπΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Ika
DeleteSami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat², senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT
AAMIIN YRA
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Arif
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 04 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Kinanti sdh lama naksir Guntur, Guntur tahu nggak ya.
Skrng Kinanti bersaing dengan Wanda yng juga naksir Guntur...mulai gayeng nih cerita nya.
Klu Ardi jelas naksir Kinanti, tapi Kinanti tdk mau, krn Ardi suka bawel..cerewet ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Munthoni
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteTerima ksih bunda..slm adihai dri skbmiππ₯°πΉ
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 05* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...