KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 16
(Tien Kumalasari)
Wahyuni berlari-lari membawakan bungkusan tetangganya yang jatuh, sambil tersenyum cerah, lalu mengulurkannya.
“Tadi nggak mau,” gerutu si tetangga.
“Eh, bukan nggak mau, tadi saya sedang melamun, nggak sadar kalau ada yang minta tolong. Setelah sadar langsung aku ambilkan. Maaf ya lik,” katanya sambil memegangi lengan tetangganya yang sedang memegangi sepedanya, lalu menggantungkan lagi bungkusan yang dibawa Wahyuni ke stang sepedanya.
“Terima kasih ya.”
“Eh, lik, apa kabarnya mas Miran? Lama nggak pernah ketemu.”
“Dia mengajar di kota, jarang pulang. Nanti sebentar lagi pasti ketemu.”
“Benar? Kabari saya kalau dia pulang ya lik. Nanti aku bawakan buah nangka, dirumah sudah tua-tua.”
“Ya, nanti pasti aku kabari. Bahkan pak Carik dan bu Carik juga.”
“Lho, kok bapak sama ibuku juga?”
“Sambil memberikan undangan. Miran mau menikah dengan teman sesama gurunya.”
Wahyuni terbelalak. Ia merasa jatuh dari ketinggian, dan senyumnya menjadi surut.
“Ya sudah, aku langsung pulang ya Yun,” kata sang tetangga tanpa mempedulikan apa yang dirasakan Wahyuni.
Lalu kebaikan untuk menemukan jodoh itu terbang entah ke mana. Sangat naif Wahyuni, karena ternyata mau berbuat baik karena ingin mendapatkan jodoh. Pengertian yang diterima dari sang ibu hanya berhenti pada berbuatlah baik, lalu diteruskan olehnya sendiri, agar mendapatkan jodoh.
Wahyuni melanjutkan langkah kakinya, ketika matahari terasa menyengat kulitnya yang hitam manis.
Harapan untuk menggaet Miran luruh lalu jatuh berkeping.
Wahyuni mencari-cari, apa yang salah pada dirinya. Ia mencoba mengingat-ingat lagi apa kata ibunya, sambil berjalan bak menghitung langkah.
Wahyuni menyadari bahwa wajahnya tidak mendukung. Dan seperti kata ibunya, dia juga memiliki tabiat yang kurang baik. Karena itu dia jauh dari jodoh. Lalu ia berusaha melakukan hal baik. Tapi kata ibunya pula, melakukan hal baik itu bukan berarti lalu akan mendapatkan jodoh. Wahyuni menepuk kepalanya. Padahal dia kan ingin menemukan jodoh? Kalau sudah melakukan hal baik, tapi tidak mendapatkan jodoh? Baru saja dia juga kecewa. Hal baik yang dilakukan, bukan mendapatkan Miran yang diharapkan bisa menjadi jodohnya, justru kekecewaan.
Karena sambil melamun, ia terus berjalan walau telah melewati rumah pak Truno. Ia terkejut ketika mendengar Arumi berteriak memanggilnya.
Wahyuni berhenti, menunggu Arumi yang mengejarnya.
“Mbak Yuni mau ke mana?”
Wahyuni kembali menepuk kepalanya.
“Aku ingin main ke rumahmu, kok jadi kebablasan.”
“Sambil melamun pasti. Ya kan?”
Bukannya kembali, Wahyuni malah ngelesot di rerumputan yang tumbuh rimbun di bawah pohon sukun. Arumi mengikutinya, ngelesot di depannya. Semilir angin menghilangkan rasa gerah akibat terik yang menyengat.
“Kamu kok kelihatan seperti orang bingung sih Mbak.”
“Iya, aku seperti orang linglung.”
“Ada apa? Nggak jadi ke rumahku? Ada perlu?”
“Hanya ingin main saja. Tapi di sini enak, udaranya sejuk.”
Tapi Arumi menatap wajah yang penuh gelisah pada gadis di depannya.
“Katakan saja, barangkali dengan berbagi, akan bisa mengurangi beban yang Mbak rasakan.”
“Bukan beban. Apa ya, entahlah. Susah mengatakannya.”
Karena didera oleh perasaannya yang galau, Wahyuni lupa bahwa kedatangannya membawa pesan Sutris untuk menanyakan apakah Arumi suka pada adiknya itu.
“Kok susah sih. Kalau memang itu rahasia, aku berjanji tidak akan mengatakannya pada orang lain.”
“Aku sebenarnya sedang menyesali diriku ini.”
“Memangnya kenapa?”
“Kamu itu cantik, pasti banyak yang suka. Sedangkan aku, wajahku jelek, tidak ada manis-manisnya. Karenanya tak ada yang suka,” katanya sambil menundukkan wajahnya. Tapi Arumi menanggapinya sambil tertawa.
“Mengapa Mbak Yuni merasa bahwa tak ada yang suka?”
“Mbak Yuni bukannya jelek kok. MBak Yuni itu manis. Coba senyum … senyum … jangan dibuat-buat. Senyum lepas, nah … itu manis.”
“Bohong.”
“Sungguh.”
Wahyuni mengusap wajahnya. Benarkah kalau dia tersenyum maka wajahnya menjadi manis?
“Disukai itu bukan karena wajah yang cantik, tapi karena perilaku yang cantik, yang baik, yang manis.”
Lhoh, Arumi yang jauh lebih muda kok bisa berkata seperti ibunya? Tidak persis, tapi artinya sama kan?
“Apakah kalau aku berbuat baik, maka akan mendapat jodoh?”
“Jodoh itu kan Allah yang memberi. Bukan melakukan hal baik karena ingin mendapat jodoh. Kalau ingin berbuat baik, ya berbuatlah baik, dengan sungguh-sungguh, lahir batin baik. Jangan karena ingin mendapat jodoh. Lha nanti kalau sudah mendapat jodoh, apa Mbak akan berhenti berbuat baik?”
Wahyuni menatap Arumi, yang baru beberapa saat dekat dengan dirinya, saat dirinya ingin memulai berbuat baik, tapi ragu karena bukan berbuat baik lalu mendapat jodoh. Arumi jauh lebih muda darinya, mengapa bisa mengatakan hal seperti itu? Wahyuni tidak tahu, karena sudah lama menjadi orang yang tidak punya, mbok Truno selalu membekalinya dengan nasehat-nasehat yang selalu diingat oleh Arumi, bahwa orang miskin itu bukan sesuatu yang hina. Justru perbuatan baik itu adalah hal yang mulia.
“Jadi aku harus bagaimana?”
“Teruslah berbuat baik, jangan pernah berhenti. Karena perbuatan baik itu lebih cantik dari wajah yang cantik.”
“Yang aku sedih Rumi, aku sudah tua, tapi belum ada yang mau mengambilku menjadi istri.”
“Selalu mohon kepada Allah Yang Maha Kuasa. Permohonan yang bersungguh-sungguh, insyaaAllah akan dikabulkan olehNya.”
Lhoh, Arumi bisa bicara begitu, seperti ibunya mengatakannya. Apa Arumi menguping ketika ibunya berkata-kata? Ya tidak mungkin.
“Kamu seperti ibuku.”
“Ya ampuuun, aku sudah setua bu Carik ya?”
“Bukan, kamu bisa berkata-kata begitu, seperti apa yang dikatakan ibuku.”
“Lakukan apa yang ibu katakan.”
“Arumi, kamu bukan hanya cantik, tapi juga baik. Aku sekarang mengerti. Berbuat baik tidak boleh berhenti. Teruslah berbuat baik, begitu kan?”
“Betul, Mbak. Allah akan mengasihi orang yang berbuat baik, dan selalu memohon kepadaNya, apa yang Mbak inginkan.”
“Ya sudah, aku mau pulang. Aku harus ke toko,” katanya sambil berdiri.
“Tidak jadi ke rumahku?”
“Tidak, kita sudah bertemu dan bicara,”tanya sambil menjauh. Tapi beberapa puluh langkah sudah berlalu, Wahyuni baru teringat pesan adiknya. Lalu ia kembali mendekati Arumi yang masih berdiri di depan pagar rumahnya.
“Ada yang lupa,” kata Wahyuni.
“Apa?” kata Arumi sambil menoleh ke arah di mana tadi keduanya duduk, barangkali ada barang Wahyuni yang tertinggal.
“Ada satu pertanyaan untuk kamu. Apakah kamu mau seandainya Sutris melamar kamu?”
Arumi terbelalak. Ia tak pernah suka pada Sutris. Kecuali itu ia tak pernah membayangkan akan dilamar seseorang.
Dengan wajah aneh, Arumi menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kamu tidak mau menjadi iparku? Tidak suka pada adikku?”
Arumi kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Oh, ya sudah. Aku hanya ingin tahu.”
Lalu Wahyuni membalikkan tubuhnya. Sedikit lega bisa menyampaikan pesan Sutris yang nyaris terlupa.
***
Ia tampak kelelahan ketika sampai di toko ayahnya, yang kemudian menegurnya karena terlalu lama datang menyusulnya.
“Kenapa baru datang? Aku mau pergi karena ada perlu,” kesal sang ayah.
“Tadi mampir ke rumah Arumi.”
“Mampir ke rumah Arumi? Ada apa sebenarnya kamu itu?”
“Wahyuni bertanya pada Arumi, apa dia suka pada Sutris.”
“Bodoh. Hal itu tidak usah ditanyakan. Siapa yang akan menolak anakku? Tapi aku tidak akan mengijinkan anakku menjadikan Arumi sebagai istri. Suruh dia bermimpi,” kata pak Carik dengan congkaknya.
“Bapak salah. Arumi tidak suka pada Sutris.”
Pak Carik yang sudah sampai di luar toko berhenti melangkah. Mendengar sang anak ditolak, tiba-tiba perasaan marah bergemuruh di dadanya.
“Dia mengatakan itu?”
“Iya. Dua kali Yuni bertanya, dua kali dia menggelengkan kepalanya.”
“Kurangajar.”
“Mengapa Bapak marah? Dia tidak suka, ya sudah. Suruh Sutris berhenti memikirkannya.”
”Tidak tahu diri. Masa anak pak Carik ditolak?”
“Bukankah Bapak memang tidak suka pada Arumi? Mengapa marah? Bapak kan tidak akan melamarnya?”
”Arumi itu merendahkan kita. Dia hanya anak orang miskin, berani menolak anak orang kaya?”
“Aku tidak mengerti, mengapa Bapak marah? Barangkali Arumi sudah ada yang punya,” kata Wahyuni yang kemudian membiarkan sang ayah pergi dengan tergesa-gesa, yang pastinya tidak mendengar sepenuhnya apa yang dia katakan. Lalu ia teringat pada perhatian Bachtiar yang sangat besar kepada Arumi. Mungkin Arumi lebih suka kalau Bachtiar yang melamarnya.
Wahyuni duduk sambil melayani pembeli. Ia tak mempedulikan lagi tentang ayahnya yang marah mendengar Arumi menolak adiknya. Ia justru teringat akan apa yang dikatakan Arumi, yang kembali terngiang di telinganya. Berbuat baik tidak boleh berhenti. Selamanya harus menjadi orang baik. Dia akan memohon saat bersujud, agar Allah memberikan jodoh yang baik pula untuk dirinya. Ibunya juga mengatakan itu kan?
“Rokok.”
Wahyuni menatap laki-laki tinggi besar yang menyodorkan selembar uang untuk membeli rokok.
“Masih merokok terus sih Mas, ingat paru-parunya,” katanya sambil meminta pegawai mengambilkan rokok pesanan Suyono.
“Aku sudah menguranginya. Biasanya habis dua pak. Sekarang tinggal satu pak sehari.”
“Benar lhoh, lama-lama harus dihilangkan sama sekali.”
Suyono menatap Wahyuni. Ia melihatnya seperti berbeda. Lalu ia pergi sambil meninggalkan sebuah senyuman. Barangkali untuk mengucapkan terima kasih karena Wahyuni sudah mengingatkannya.
Wahyuni heran. Mengapa Suyono tersenyum kepadanya?
***
Sutris yang masih betah meringkuk di dalam kamar, terkejut ketika pintu kamarnya dibuka dengan keras, sehingga mengeluarkan suara bergedubrak karena ujung pintu menyentuh meja di dekatnya.
Serta merta Sutris duduk, dan menatap sang ayah yang berdiri di depannya dengan mata merah menyala.
“Kamu sudah tahu? Si miskin itu menolak kamu?”
“Bapak mengatakan apa?”
“Susah payah kamu menentang ayahmu ini, tapi gadis miskin itu menolak kamu. Kamu mau berkata apa?”
“Maksud Bapak, Arumi menolak Sutris? Bapak sudah berbicara dengan keluarganya?”
“Apa? Mana sudi aku berbicara dengan mereka.”
“Mengapa Bapak mengatakan bahwa Arumi menolak Sutris?”
“Kakakmu sudah kesana.”
“Bapak sudah bertemu mbak Yuni?”
“Dasar tidak tahu diri. Beraninya menolak orang kaya seperti kita.”
“Bapak belum melamarnya, kok marah-marah? Itu kan baru kata mbak Yuni. Harusnya bicara dengan orang tuanya.”
“Tidak sudi aku bicara dengan orang tuanya.”
“Lalu maksud Bapak apa?”
“Dia sudah menghina kita, harus diberi pelajaran,” kata pak Carik sambil berlalu.
Sutris menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia keluar dari kamar, ingin mengejar sang ayah, tapi ayahnya sudah pergi.
“Ada apa? Mengapa ayahmu berteriak-teriak?” tanya bu Carik dari arah belakang.
“Bapak marah, karena tahu bahwa Arumi menolak Sutris.”
“Jadi kakakmu sudah ketemu Arumi? Ya sudah. Kamu sudah tahu jawabannya, jadi hentikan keinginanmu yang tidak pada tempatnya itu.”
“Kenapa tidak pada tempatnya? Orang cinta itu kan tidak salah.”
“Kalau cinta ditolak, apa yang ingin kamu katakan? Nggak bisa kan memaksa anak orang?”
Bu Carik tidak tahu, kalau suaminya tidak terima mendengar anak laki-lakinya ditolak gadis miskin seperti Arumi.
***
Bachtiar membeli beberapa galon air untuk keluarga pak Truno, sambil mengatakan kalau ia akan sibuk selama beberapa hari, dan tidak sempat mampir karena dia akan memulai membangun saluran air dari sumber, yang akan di salurkan ke beberapa tempat, di mana kekurangan air bersih.
“Sebenarnya mas Tiar tidak perlu membawakan air bergalon-galon begini, aku sudah biasa mengambil di sumber,” kata Arumi.
“Tidak apa-apa, badan kecil begini mengangkut air enam literan setiap hari, nanti kamu tidak bisa tumbuh besar lhoh,” canda Bachtiar.
“Masa, buktinya aku sudah lama mengambil air hampir setiap hari, tapi aku sudah lebih tinggi dari simbok lhoh.”
“Benarkah?”
“Iya.”
“Ya sudah, sambil menunggu tandon-tandon air itu jadi, biar saja aku membawakan air dalam galon ini untuk keluarga ini.”
“Mengapa Mas Tiar baik kepada kami?”
“Karena kalian juga orang-orang baik.”
“Banyak orang baik di dunia ini, apa Mas juga akan melakukan hal yang sama?”
“Kalau mereka membutuhkan aku, dan aku bisa melakukannya, mengapa tidak?”
Arumi tersenyum manis, ia mengantarkan Bachtiar sampai laki-laki tampan itu masuk ke mobilnya, tapi ia tidak mendengar ketika Bachtiar berbisik pelan.
“Karena kamu istimewa buat aku.”
Arumi hanya melambaikan tangannya sambil tersenyum, dan lagi-lagi Bachtiar seperti melihat matahari terbit di ufuk timur.
***
Pagi hari itu mbok Truno sudah menyiapkan sarapan untuk sang suami, karena ia sudah dua hari ini mulai bekerja lagi di sawah.
Pak Truno makan dengan lahap, dan selalu bersemangat setiap kali bekerja, karena ia adalah tulang punggung keluarga. Sang istri hanya kadang-kadang menjual sayuran ke pasar, kalau tanaman sayur yang bermacam-macam di kebun belakang sudah siap dipanen.
Ketika pak Truno berangkat ke sawah, mbok Truno baru menyadari bahwa sejak bangun tidur ia tak melihat Arumi.
“Arumiiii!” teriakan demi teriakan terdengar memenuhi rumah, tapi Arumi tak tampak batang hidungnya.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteAlhamdulillah
DeleteMatur sembah nuwun mbak Tien
Salam sehat
Tetap ADUHAI .π₯°πͺπ
Sami2 jeng Ning
DeleteADUHAI dari Solo
π΄π·πππππ·π΄
ReplyDelete***************************
Alhamdulillah, KaBeTeeS_16 sudah tayang.
Terima kasih
Bu Tien, tetap berkarya.
.....
***************************
π΄π·πππππ·π΄
Sami2 mas Kakek
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteHore
ReplyDeleteSuwun mb Tien, smg sht sll
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun Yangtie
Horeeeee sepasang malit
ReplyDeleteSepasang merpati
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteHamdallah
ReplyDeleteAlhandulillah.Maturnuwun semoga Bunda selalu sehat wal afiat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Maturnuwun bu Tien, salam sehat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteSami2 ibu Sri
DeleteAduhai aduhai deh
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda
Sami2 ibu Endah
Delete
ReplyDeleteAlhamdulillah KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH~16 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..π€²⁶
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun Bu Tien. Duh....Arumi ke mana ya Bu......
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeletePak Carik lg kebakaran jenggot,, anaknya ditolak cintanya oleh Arumi,
ReplyDeleteTrs knp mbok Truno mencari Arumi
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Kenapa pula, anaknya tidak dimaui orang kok marah. Kekayaan kalau tidak barokah bisa menjadi petaka..
ReplyDeleteArumi pergi kemana ya. Semoga tidak terjadi hal hal yang membahayakan.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah, suwun bu Tien.. Apakah Arumi diculik ya...
ReplyDeleteSami2 ibu Handayaningsih
DeleteLama nggak komen
Waduh jangan2 Arumi di culik pak Carik ...
ReplyDeleteSabaarrrr ..biasanya happy end
Alhamdulillah ..
Syukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteHamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 16 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Waduh...Arumi menghilang. Apa ini gara2 cinta di tolak, dukun bertindak ya.
Pak Carik yang arogan, seperti nya terlibat dalam hilang nya Arumi.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Arumi ke manakah gerangan? Mungkinkah ada yang menulis? Tunggu besok ya...
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien, sehat selalu dan aduhaiii
Sami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai deh
Aduh Arumi menghilang pasti diculik oleh penculik bayaran yg di bayar pak carik.
ReplyDeleteSemoga Arumi baik2 saja.
Salam seroja mbak Tien dari Neni Tegal.
Salam seroja juga ibu Neni
DeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteSmg Arumi baik2 saja
Terima kasih ibu Umi
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Hihihi...pak Carik dilematis ya...di satu sisi dia ga setuju Sutris suka dengan Arumi, tapi di sisi lain dia tersinggung karena Arumi menolak Sutris.π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat selalu.ππ»πππ
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Kesopanan Wahyuni hanya lamis ya...
ReplyDeleteNggih pak Wid
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Sari
ADuhai selalu
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami MasMERa
DeleteHoreee...
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak TienπΉπΉπΉπΉ
Horeeee pada kecelek.....
ReplyDeleteEpisode 17 belum tayang ...