Thursday, October 31, 2024

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH

(Tien Kumalasari)


Awan tipis menyelimuti langit

Lalu semua jadi kelabu

Aku tengadah mencari-cari

Dimana bulan penyinar alam

Seberkas sinar memercik di kejauhan

Aku memekik melihatnya

Bulan hanya separuh

Karena awan menutupinya

Baiklah.. kutunggu angin menyibakkannya.. sehingga rembulan penuh binar memandikan tubuh dan jiwaku.

Haiii

Selamat malaaaam..

-----




Wednesday, October 30, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 42

 MASIH ADAKAH MAKNA  42

(Tien Kumalasari)

 

 

Rohana masih berdiri tegak, menunggu wanita tua yang melenggang mendekat, tapi sama sekali tak merasa bahwa ada yang sedang memperhatikannya. Ia berjalan sendiri, tampak gelisah. Lalu ia terkejut ketika ada yang memanggil namanya.

“Birah?”

Wanita itu memang Birah. Ia berhenti menatap orang yang memanggilnya. Rasanya seperti kenal, tapi lupa siapa, dan kenal di mana.

“Birah kan?” Rohana mengulangnya. Menyapa manis, tidak seperti biasanya yang menganggap Birah adalah musuh, saingan, dan kebenciannya.

Birah mengejapkan mata, mencoba mengingat.

“Siapa ya?” tanyanya tanpa bisa menemukan jawabannya.

“Aku Rohana. Kamu sudah lupa pada saudarimu?”

Birah tertegun. Ia benar. Wanita dihadapannya sudah diingatnya. Wajah itu memang wajah Rohana. Tapi ada yang berubah. Penampilannya dengan memakai hijab, tatapan matanya ramah dan mulutnya menyapa manis. Birah terpana. Saudarimu? Sejak kapan Rohana mengakuinya sebagai saudara? Apakah dia sedang bermimpi? Penampilan Rohana yang semula gemerlap dan mentereng, tak lagi tampak. Ia memakai hijab sederhana, tanpa gemerlap permata seperti dulu.

“Hei… kenapa bengong? Apa tiba-tiba kamu menjadi bisu?”

Tapi omelan itu memang gaya Rohana sejak dulu. Hanya saja saat mengomel kali ini ada senyum tersungging di bibirnya yang mulai keriput.

“Roh … hana?”

“Kamu benar-benar lupa pada saudarimu?”

“Ti … tidak, aku hanya sedikit lupa. Kamu … berubah.”

Rohana tertawa. Berubah menjadi tua, maksudmu? Ya iyalah, berapa puluh tahun tidak pernah berjumpa, dan aku sudah berubah menjadi nenek-nenek. Tapi kamu masih kelihatan cantik.

“Jangan mengejekku.”

Rohana menarik tangan Birah, diajaknya duduk di kursi yang ada di lobi.

“Aku senang bertemu kamu. Aku sedang berpikir untuk menemui kamu, dan berbicara banyak.”

“Oh ya? Tapi kenapa tanganmu itu?”

“Hanya kecelakaan kecil. Sedikit retak. Kemarin yang kanan juga sakit digerakkan, sekarang sudah tidak. Dokter memberiku obat. Apa yang kamu lakukan di sini? Ini rumah sakit, apa kamu nyasar?”

“Nyasar bagaimana? Iya aku tahu, ini rumah sakit. Aku memang mau datang kemari.”

“Kamu sakit?”

“Mas Murtono yang sakit.”

“Mas Murtono sakit di sini? Eh, kamu akhirnya menikah dengan dia?”

“Jangan konyol. Aku tidak memikirkan pernikahan sejak lama. Mas Murtono itu majikanku.”

“Dia sakit di sini?”

“Ya. Mas Murtono ke Jakarta, ingin ketemu anaknya. Katanya rindu pada Tegar, cucunya. Aku ikut karena aku juga ingin ketemu anakku. Kami mengendarai mobil, tapi begitu masuk Jakarta, mas Murtono merasa sakit. Dia memang sering sakit-sakitan akhir-akhir ini. Lalu sopir membawanya ke rumah sakit ini.”

“Sejak kapan kalian datang?”

“Baru pagi tadi. Aku juga sudah mengabari Minar, tapi entah mengapa panggilanku tidak diangkat. Sedangkan aku tidak tahu nomor ponsel Satria.”

“Minar baru saja pulang. Ia bersama Monik, istri Tomy. Ayah mertuanya juga dirawat, tapi sore ini sudah mau pulang.”

“Kenapa dia tidak menjawab panggilanku ya.”

“Coba aku telpon Satria. Jadi kalian belum bertemu Satria ataupun Minar?”

“Belum.”

Birah terus saja menatap Rohana. Banyak yang berubah. Tapi Birah bersyukur, tak ada rasa permusuhan yang tersirat di wajah itu. Sebenarnya sudah sejak lama dia ingin berbaikan dengan Rohana, tapi Rohana selalu memusuhinya.

“Sudah aku kabari Satria. Dia akan segera datang, setelah nyamperin Minar di rumahnya.”

“Terima kasih, sekarang aku mau melihat keadaan mas Murtono, tadi sopir yang menungguinya, aku baru saja membelikan makanan untuk sopir. Kasihan sejak tadi dia belum makan.”

“Tunggu dulu Birah, aku ingin mengatakan sesuatu pada kamu.”

“Katakanlah, ada apa?”

Tiba-tiba Rohana merangkul Birah dengan sebelah tangannya. Ia membisikkan kata maaf di telinganya.

“Maafkan aku, Birah. Aku selalu jahat sama kamu.”

Birah membalas rangkulan itu dengan erat.

“Aku juga pernah jahat sama kamu. Aku senang kamu mau mengakui aku sebagai saudarimu.”

“Banyak cobaan di hari-hari terakhir ini, yang kemudian menyadarkan aku bahwa langkahku adalah tidak benar. Banyak sekali dosa yang aku lakukan. Tak bisa aku ceritakan secara rinci. Yang jelas aku sudah bertobat.”

“Syukur Alhamdulillah, bahagia aku mendengarnya. Sekarang aku tidak sendiri, karena aku punya saudari,” kata Birah penuh haru.

“Ayo kita temui mas Murtono,” lanjut Birah sambil menggandeng tangan Rohana.

“Apa kabar mas Sutar, bekas suami kamu?” tanya Rohana sambil berjalan.

“Mas Sutar sudah hidup bahagia dengan istrinya yang cantik. Mereka tidak punya anak kandung, tapi memiliki beberapa anak asuh. Perbuatan yang sangat mulia, mengangkat anak-anak yatim piatu, disekolahkan dan dipenuhi semua kebutuhannya.”

“Kekayaan yang menjadi barokah karena dipergunakan untuk perbuatan mulia,” kata Rohana.

***

Murtono terbaring pucat, tampak tua dan lelah. Ia terkejut melihat Rohana dengan penampilannya sekarang.

“Aku hampir tidak mengenali kamu,” lemah kata Murtono.

“Sudah puluhan tahun tidak ketemu, tentu saja kamu tidak mengenali aku. Kamu tampak kurus dan pucat. Sakit apa kamu ini?”

“Aku kan sudah tua, jadinya ya sakit tua. Aku tidak sekuat dulu, sering jatuh sakit, badanku lemah.”

“Kalau badanmu lemah, mengapa ke Jakarta naik mobil? Di perjalanan kan lama, lelah kamu jadinya.”

“Katanya dia sedang merasa sehat, ingin memberi kejutan pada Satria, jadi tidak mengabari kalau mau datang,” sela Birah setelah memberikan bungkusan makanan kepada sopirnya.

“Sudah tua, harus tahu diri dan bisa mengukur kekuatan, jangan merasa gagah, ternyata sudah loyo,” omel Rohana.

“Lama sekali Tegar tidak menengok kakeknya ini,” keluh Murtono.

“Tegar sedang menggarap skripsi. Kalau liburan dia pasti aku suruh datang menengok kamu.”

“Mengapa mereka juga belum datang?”

“Aku sudah mengabari Satria, ini Jakarta, kemana-mana jauh. Bukan di Solo, bisa naik becak, lalu sampai di tujuan.”

“Kamu benar.”

“Sebenarnya apa yang kamu rasakan?”

“Badanku lemas, gula darah tinggi. Tensiku juga naik turun. Tapi sebenarnya aku sudah merasa sehat, karenanya aku kemari naik mobil. Sambil jalan-jalan. Birah jarang sekali pergi ke mana-mana.”

“Jangan aku kamu jadikan alasan. Aku memang tidak suka jalan-jalan. Kamu sendiri yang ingin naik mobil,” gerutu Birah.

“Maksudku biar kamu tidak duduk bengong saja di toko.”

“Tapi kalau karena ini kamu jadi sakit, aku ikut memikirkannya.”

“Ya sudah, lagi sakit diomelin, nanti tambah sakit dia.”

“Dokter tadi bilang, aku hanya kelelahan.”

***

Ketika Satria datang bersama Minar dan Tegar, Tomy juga baru datang untuk menjemput ayahnya. Tomy yang tadinya mengira Satria akan ikut menjemput ayahnya, terkejut ketika mendengar bahwa ayah Satria juga sakit.

Pak Drajat menengok sebentar, karena Satria juga dianggap sebagai putranya sendiri. Tapi karena pak Drajat juga sudah lelah menunggu, maka ia hanya mampir sebentar, sekedar menunjukkan rasa simpati dan mendoakan kesembuhannya.

Satria terkejut melihat ayahnya yang tampak kurus dan pucat.

"Ponselku tertinggal di rumah, jadi tidak tahu kalau ibu menelpon," kata Minar.

“Bapak kalau kangen sama kami, cukup menelpon saja, kami yang akan datang menemui Bapak.”

“Bapak hanya lelah, kata dokter. Bapak pulang saja ke rumah kamu,” kata Murtono.

“Satria menemui dokternya dulu, kalau benar bahwa Bapak tidak apa-apa, maka Bapak akan saya bawa pulang.”

“Saat ini aku juga menginap di rumah Satria, nanti aku mau sekamar dengan Birah,” kata Rohana dengan wajah berseri.

Birah mengangguk dan tak kalah senangnya. Ini luar biasa, seperti mimpi bisa berdamai dengan Rohana yang tadinya begitu kasar dan kejam terhadapnya. Satria juga senang melihat kedekatan mereka.

Benar-benar pertemuan yang tak disangka-sangka, yang menuntun sebuah niat baik sehingga benar-benar menjadi kebaikan.

***

Beberapa hari Murtono di rumah Satria, sehingga rumah Satria terlihat ramai meriah.

Diam-diam Tegar mendekati sang kakek dan membisikkan sesuatu.

“Kakek, sebentar lagi akan ada penganten lhoh.”

“Kamu?”

“Bukan Kek, anaknya om Tomy. Boy. Kakek harus mendoakan supaya Tegar juga segera menikah ya,” kata Tegar seenaknya.

“Kamu sudah ingin menikah?”

“Tapi Tegar harus lulus dulu, lalu bekerja, baru boleh menikah.”

“Kelihatannya kamu sudah punya pacar ya?”

“Belum jadi pacar sih Kek, tapi sudah lama Tegar naksirnya.”

“Dia cantik?”

“Cantik Kek, tapi katanya dia ingin jadi dokter. Nanti kalau Kakek sakit, biar dia yang merawat Kakek.”

“Kamu mendoakan kakek sakit?”

“Bukan Kek, namanya orang kan kadang-kadang juga sakit, masuk angin, misalnya.”

“Dia sudah sekolah dokter?”

“Baru mau Kek, dia baru hampir setahun lulus SMA.”

“Masih kecil dong.”

“Memangnya kenapa kalau masih kecil? Lama-lama juga akan menjadi besar kan?”

Murtono terkekeh.

“Kakek jangan hanya tertawa. Doakan bisa jadian ya Kek, soalnya kata ibu kalau belum lulus Tegar belum boleh pacaran. Takutnya belum-belum sudah kedahuluan orang.”

Murtono semakin terbahak-bahak.

“Kakek tuh.”

“Iya … iya, kakek doakan.”

“Besok, kalau Boy menikah, Kakek Tegar jemput ya, biar nanti bisa mengenal gadis yang Tegar sukai.”

“Iya, gampang. Masih lama kan? Doakan kakek sehat,” kata Murtono yang diam-diam ingat pada dirinya, yang jatuh cinta ketika masih sangat muda.

***

Sebulan telah berlalu. Rohana sudah bisa melepas gipsnya, walau masih harus berhati-hati. Di rumah Tomy sudah ada kesibukan, karena Boy akan menikah bulan depan. Kakek Drajat pulang sebentar, tapi kemudian kembali untuk mengawasi pernikahan cucunya yang diharapkan akan menjadi sebuah pesta yang meriah. Maklum, pak Drajat seorang pebisnis yang terkenal sukses sejak masih di usia muda. Banyak yang diundang, dan semuanya harus dijamu dengan hidangan yang sangat luar biasa. Tapi ada menu tradisional yang diusulkan Tegar dan disambut gembira oleh semua orang, karena menu itu adalah menu yang istimewa. Nasi Liwet Pak Trimo

Tegar hanya cengar cengir ketika sang ibu meledeknya atas usulan itu. Tapi itu usulan bagus. Diantara menu yang luar biasa mewah dan nikmat, ada menu tradisional yang jarang ada.

***

Disebuah tanah pemakaman, Rohana sedang menabur bunga. Itu makam Sofia, salah seorang teman yang meninggal setelah bertemu dengan dirinya.

Setelah berkomat kamit memanjatkan doa, Rohana berbisik lirih.

“Sofia, uang darimu tidak aku anggap sebagai pengembalian hutang. Hutangmu sudah aku anggap lunas. Uang itu aku sumbangkan ke beberapa rumah yatim piatu, semoga menjadi amal jariahmu,” kata Rohana bergetar.

Rasa haru kembali menyengat, atas sebuah langkah baik yang dilakukannya.

“Katakan Sofia, apakah semua yang aku lakukan ini, menandakan bahwa aku masih punya makna dalam hidup ini?”

Semilir angin siang menghembus lembut, terik yang semula menguasai alam sekitar, terasa lembut, ketika segumpal awan menutupi sang matahari. Ada kesejukan yang terus mengelus jiwanya, ketika Rohana meninggalkan tanah pemakaman itu.

***

Hingar bingar jamuan di resepsi pernikahan Boy dan Mia sedang berlangsung. Wajah-wajah penuh seri menghiasi setiap yang hadir di sana.

Tegar tiba-tiba mendekati kakek Murtono, dan menarik tangannya, ketika para tamu sedang mengelilingi meja-meja penuh hidangan lezat yang tersaji.

“Kakek, itu dia,” kata Tegar sambil menuding ke arah Binari yang sibuk melayani tamu yang memilih makan nasi liwetnya.

“Gadis itu?”

“Iya. Bukankah dia cantik?”

“Dia gadis penjual nasi liwet, atau pelayan restoran nasi liwet, atau apa?”

“Ayahnya punya warung nasi liwet yang terkenal. Ayo kakek nyobain.”

“Kakek sudah sering makan nasi liwet. Hampir setiap pagi kakek sarapan nasi liwet.”

“Tapi yang ini beda Kek. Ayolah.”

Pak Murtono tak berdaya ketika Tegar mengajaknya mengantre untuk mengambil nasi liwet karena peminatnya berjubel.

“Binari,” Tegar memanggilnya pelan.

Binari mengangkat wajahnya, dan tersenyum manis. Ia memakai hijab, karenanya ekor kuda yang menggemaskan itu tak lagi tampak.

“Ini kakekku,” katanya sambil mengambilkan sepiring nasi liwet yang sudah diracik.

“Oh, silakan kakek,” katanya lembut.

Kakek Murtono tersenyum. Tidak salah Tegar jatuh cinta padanya. Gadis itu cantik, lembut dan ramah.

“Bagaimana Kek?” kata Tegar sambil membawa sang kakek duduk kembali.

“Siip. Kakek suka.”

Tegar merangkul kakeknya dengan sebelah tangannya dengan riang.

Ketika itu pak Drajat sedang duduk, tak jauh dari Rohana dan Birah yang ikut diundang.

Sambil makan, pak Drajat mengatakan sesuatu.

“Rohana, besok aku sudah harus pulang karena ada urusan yang tidak bisa aku tinggalkan. Aku suka mendengar jiwa sosialmu yang sangat besar. Anak-anak menceritakan polah terjangmu. Setelah urusanku selesai, aku akan membuat sebuah panti asuhan untuk anak-anak yatim. Kamu aku serahi untuk mengelolanya.”

“Aku?”

“Ya, kamu. Siapa lagi? Aku yakin kamu bisa mengelolanya. Kamu bersiaplah, setelah aku kembali lagi kesini, kita atur semuanya.”

“Masih adakah makna untuk hidupku?”

“Buat hidup ini penuh makna, karena di usia senja, kita sudah harus bersiap untuk menabung bekal untuk kita kembali menghadapNya.

Tergetar hati Rohana mendengarnya. Makna itu ada.

***

T A M A T

 

 

Rumi menatap wajah suaminya tak berkedip. Seperti mimpi ia mendengar kata-kata suaminya.

“Rumi, aku mencintaimu dan akan tetap mencintaimu, tapi ijinkanlah aku menikah lagi.”

Mencintai, tapi mencarikan madu untuknya?

 

Tungguin ceritanya di KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH.

Seru nggak yaaaa?

 

 ‐‐‐

AMPUNI AKU

AMPUNI AKU

(Tien Kumalasari)


Terjaga oleh kidung dari surga

Tersadar oleh genderang dari nirwana

Terduduk aku kibaskan kantuk

Melangkah tertatih lenyapkan letih

Lalu gemercik air terdengar nyaring

Membasuh noda membasuh luka

Ya Allah aku bersujud kepadamu

Sejatinya dosa telah melumuri jiwaku

Ampunilah aku, sucikan oleh sujudku

Tuntun aku disetiap langkahku

Penuh damba setiap ujung dahiku terantuk kebumiMu. Aamiin


Haii.. selamat siaaang


-----





Tuesday, October 29, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 41

 MASIH ADAKAH MAKNA  41

(Tien Kumalasari)

 

Rohana menatap tajam kedua menantunya. Kesal karena akan dipaksa berobat. Ia melepaskan cekalan Monik.

“Aku hanya ingin makan gado-gado, kenapa menghalangi aku?” sergahnya.

“Oh ya, Bu. Baiklah ayo makan gado-gado dulu,” kata Minar yang gantian meraih lengan sang ibu mertua. Tapi lagi-lagi Rohana berteriak kesakitan.

“Kamu mencengkeram sangat erat, Minar. Sakit, tahu.”

“Maaf Bu, baiklah, ayo pelan-pelan saja,” kata Minar yang kemudian menarik kursi untuk tempat duduk ibunya.

Rohana duduk di samping Monik, dan Minar melayani menata racikan gado-gado di piring sang mertua.

Ada kentang, wortel, irisan tahu dan tempe, kubis di iris tipis, lalu diguyur dengan sambal gado-gado yang harumnya menggugah selera. Kemudian ditaburi emping goreng renyah.

“Sedap sekali,” kata Monik memuji sambil mengambil untuk dirinya sendiri.

“Iya benar. Irisan daun jeruk di sambal ini penyebabnya," kata Rohana sambil mengaduk racikan itu. Tapi ketika dia mengangkat tangan untuk memasukkannya ke dalam mulut, mulutnya berdesis kesakitan.

“Aadduuh … kenapa ini, kemarin tidak apa-apa. Tadi pagi masih bisa mengangkat gelas untuk minum,” keluhnya.

“Kenapa Bu?”

“Aku nggak bisa mengangkat tanganku. Padahal tadi sudah aku gosok dengan minyak angin yang panas, dan agak ringan.”

“Kalau begitu Monik suapin saja dulu ya Bu,” kata Monik yang kemudian mengambil sendok Rohana dan menyuapkannya.

“Coba pakai tangan kiriku saja,” kata Rohana setelah menerima suapan Monik yang pertama. Sambil mengunyah dia mencoba mengangkat lengan kirinya. Tapi kemudian Rohana berteriak kesakitan.

“Aauuw … kenapa sakit sekali? Apa terlalu keras tadi pagi aku mengurutnya ya,” kata Rohana sambil mengelus lengannya.

“Setelah makan, kita ke rumah sakit,” kata Monik yang disambut Minar dengan anggukan.

“Nggak mau, panggil dukun urut saja. Pasti hanya keseleo.”

“Dukun urut?” pekik Monik dan Minar bersamaan.

“Memangnya kenapa? Dia pasti bisa membetulkan tulang keseleo.”

“Jangan Bu, lebih baik ke dokter. Nanti akan dilihat, rasa sakit pada lengan ibu itu karena apa. Jangan-jangan ada tulang yang patah, lebih-lebih di lengan kiri ibu itu.”

“Patah?” sekarang Rohana yankg berteriak.

“Tadi Monik lihat membiru dan agak bengkak.”

“Karena tadi aku mengurutnya terlalu keras, barangkali. Tidak apa-apa, dukun urut saja.”

“Begini saja Bu. Kita ke rumah sakit dulu, biar dokter melihat lengan ibu itu kenapa. Kalau hanya memar biasa, barangkali diurut pelan-pelan bisa sembuh, tapi kalau ada fraktur, pastinya harus ditangani lebih cermat.”

“Apa itu fraktur? Jangan menakuti aku dengan istilah yang aneh-aneh.”

“Fraktur itu patah tulang, Bu.”

“Apa? Tidak, masa patah tulang?”

Tapi Rohana berpikir bahwa pukulan penjahat itu memang terlalu keras. Memang nyeri, tapi Rohana bisa menahannya dan menganggap bahwa itu hanya memar.

“Ibu sebenarnya dipukul siapa?”

“Aku sedang duduk menghitung uangku, yang akan aku berikan kepada seseorang. Tapi ada orang yang tiba-tiba merebutnya. Aku meraih pentungan di sebuah pos ronda, kemudian mengejarnya. Aku pukul dia, tapi dia berhasil merebut pentungan itu dan membalas dengan memukul lenganku sebelah kiri ini. Agak keras sih.”

“Ya ampuun. Ibu. Sekarang habiskan makan gado-gadonya ini, lalu kita ke rumah sakit. Tolong Ibu menurutlah. Hanya untuk melihat seberapa parah lengan Ibu yang sakit itu. Terlebih yang kiri, seperti agak bengkak,” kata Monik.

“Yang kanan mungkin karena aku mengayunkan pentungan itu. Kalau yang kiri ini memang terkena pukulan.”

Monik menyelesaikan menyuapi Rohana dengan sepiring gado-gado, kemudian meminta Minar agar bersiap untuk mengantar ibu mertua mereka ke rumah sakit.

“Ingat ya, jangan sampai aku diperlakukan macam-macam di rumah sakit. Aku hanya ingin melihat luka lengan kiri ini, lalu akan mencari dukun urut saja,” kata Rohana sambil bersungut-sungut.

***

Setelah diperiksa, di rontgen, ternyata lengan kiri Rohana retak. Rohana menggerutu.

“Hanya retak, nanti aku bebat dengan kain ketat saja.”

“Bu, kalau ibu tidak mau ditangani dengan baik seperti penanganan yang umum dilakukan di rumah sakit, nanti malah bahaya,” kata dokter membujuknya.

“Bahaya bagaimana?”

“Yang retak bisa menjadi patah. Itu lebih parah.”

“Lalu aku harus diapakan?”

“Lengan ibu harus di gips, dan tidak boleh digerak-gerakkan dalam waktu yang lama, sampai tulang ibu tersambung sempurna. Jadi, nanti setelah di gips, lengan ibu harus digendong, sehingga tidak bisa bergerak leluasa.”

Rohana merinding. Harus menggendong lengannya ketika pergi ke mana-mana? Padahal Rohana punya banyak rencana. Masih ada uang dari almarhumah Sofia yang harus diserahkannya kepada orang yang membutuhkan, atau panti asuhan dan sebangsanya. Memang sih, uang itu sudah berkurang untuk mencukupi kebutuhan Kartinah yang baru saja ditolongnya. Tapi ia harus memberikan sisanya kepada yang lebih membutuhkan. Masa iya, dirinya harus pergi ke mana-mana dengan menggendong lengannya?

“Ibu harus nurut ya, kalau tidak nanti malah bertambah parah.” bujuk Minar dan Monik bergantian. Mereka baru mengabari suami-suami mereka setelah pemeriksaan selesai dilakukan, agar tidak membuat mereka panik.

***

Selesai tindakan yang dilakukan terhadap Rohana, dokter mengijinkannya pulang. Tapi Rohana tak mau pulang bersama mereka.

“Ibu mau ke mana? Sebaiknya pulang bersama kami, lalu beristirahat,” kata Minar.

“Iya Bu, Ibu mau ke mana sih, kami antar.”

“Tidak. Kalian pulanglah, aku mau menemui seseorang.”

“Ibu mau ketemu bapak?”

“Apa maksudmu?”kata Rohana sambil mengerutkan alisnya. Ia bersama yang lain saja enggan mendekat pada bekas suaminya, masa sekarang mau menemuinya sendiri.

“Nanti mas Tomy akan menjemput setelah pulang kantor,” kata Monik.

“Tidak, aku tidak mau ketemu dia. Sudah, kalian pulang saja. Jangan takut, aku tidak akan lari lagi,” katanya sambil membalikkan tubuhnya meninggalkan kedua menantunya yang bengong seperti sapi ompong.

“Mau ke mana ibu itu?”

“Ayo kita ikutin.”

“Jangan, nanti kalau ibu tahu kalau kita mengikutinya, pasti akan marah-marah.”

“Jadi lebih baik kita pulang.”

“Bagaimana kalau melihat keadaan bapak dulu?”

“Iya, nggak apa-apa, bapak juga pasti kesal menunggu dijemput, kalau ada kita, barangkali ada teman untuk berbincang,” kata Minar. Ia juga dekat dengan ayah Tomy, karena ayah Tomy juga menganggap Satria seperti putranya sendiri.

***

Dengan sebelah lengan digendong, Rohana masuk ke dalam, ke ruangan VVIP, karena ia ingin menemui Lisa. Sejak kecelakaan itu Rohana belum pernah melihat bagaimana keadaannya.

Ia bertanya-tanya, dan segera mengetahui di mana kamar temannya.

Ketika Rohana masuk, dilihatnya Lisa sudah duduk di tepi ranjang, ditemani pembantunya. Sebelah matanya masih dibalut perban. Tapi sebelahnya lagi bisa melihat siapa yang datang.

Melihat Rohana datang, wajah Lisa langsung berubah. Barangkali dia malu dengan keadaannya.

“Lisa, bagaimana keadaanmu?” tanya Rohana lembut.

“Mau apa kamu datang kemari? Untuk mentertawakan aku karena sekarang mataku buta sebelah?”

“Lisa, hilangkan prasangka buruk dalam hatimu. Tidak semua orang suka bertepuk tangan melihat kesengsaraan orang lain. Biarpun hubungan kita tidak terlalu baik, aku masih menganggapmu teman. Aku prihatin melihat keadaanmu. Aku berharap penglihatanmu segera pulih.”

“Tidak bisa. Mataku tidak hanya terkena sebilah pecahan kaca, tapi ada beberapa. Itu menghancurkan mataku, membuatku tak lagi bisa melihat,” kata Lisa yang terdengar lebih lunak.

“Aku sungguh merasa prihatin.”

“Kenapa pula tanganmu?”

“Retak, dalam sebuah kecelakaan,” jawab Rohana tanpa ingin menceritakan keadaan sebenarnya.

“Oh, sama denganku. Bukankah ini juga karena kecelakaan? Tapi kamu hanya cedera tangan, sedangkan aku … mata ini ….” katanya pelan. Nada sedih terdengar memilukan.

“Kamu harus sabar, Lisa. Ini ujian bagi kita. Bagi kamu, dan aku. Kehilangan sebelah mata, pasti sangatlah berat. Barangkali kalau matamu bisa tersembuhkan, kamu akan rela melepaskan semua harta yang kamu miliki.”

“Tentu saja, aku mau. Tapi dokter tidak menjanjikan itu.”

“Jadi sekarang kamu mengerti, bahwa harta itu sama sekali tidak berharga, jika dibandingkan dengan perlengkapan yang diberikan Allah untuk tubuh kita ini. Mata yang utuh, tangan yang utuh, kaki, telinga … dan semuanya. Bukan main besar harganya. Kekayaan duniawi tidak akan membuat orang menjadi hebat dan memiliki kedudukan tinggi. Kekayaan bukan sesuatu yang bisa dibandingkan dengan apa yang menempel di tubuh kita ini. Apa kamu mengerti?”

Tiba-tiba air mata Lisa meleleh. Perkataan Rohana sangat menyentuh nuraninya. Dan dia membenarkannya.

“Rohana, sekarang aku menyadari kesalahanku. Kesombonganku. Saat aku tak berdaya tentang mata yang hanya sebelah, dan ternyata itu tak tergantikan, aku sadar bahwa hartaku tak ada harganya. Aku telah melakukan kesalahan besar. Aku melihat kamu, seperti seseorang yang telah berubah. Kemarin-kemarin aku melihatmu dan meremehkanmu, tapi sekarang aku mengerti, kamu sekarang lebih kaya dari Rohana yang pernah aku kenal dulu.”

“Lisa, kaya harta tidak akan kekal, tapi kaya hati nurani tentang semua kebaikan, akan kita bawa sampai di akhirat nanti.”

Lisa turun dari tempat tidurnya, memeluk Rohana erat sekali. Rasa nyaman merayapi hati Rohana. Ia juga ingin menangis. Menangis haru karena telah mengajak seseorang untuk menyadari bagaimana seharusnya menyikapi hidup ini. Bukan dengan memberinya uang seperti dilakukannya kepada Kartinah yang miskin, tapi hanya ucapan. Bukan main nyaman rasa hatinya.

Rohana keluar dari rumah sakit,  masih dengan pertanyaan yang menyelimuti hatinya. Apakah aku masih punya makna?

***

Ketika ia keluar dari lorong ruangan VVIP itu, tanpa sengaja dia melihat bekas suaminya, berjalan keluar dari kamar sambil berjalan pelan. Rohana ingin menghindar, tapi pak Drajat keburu melihat dan memanggil namanya.

“Rohana.”

Rohana berhenti melangkah. Bekas suaminya menatap lengannya yang dibalut gips dan perban, dan digendongnya seperti menggendong bayi.

“Tanganmu kenapa?” tanyanya sambil mendekat.

“Nggak apa-apa, hanya terjatuh.”

“Patah? Kamu habis dioperasi?”

“Tidak, hanya retak dan di gips saja.”

“Ooh, tadi Monik dan Minar datang kemari. Habis mengantarkan kamu? Tapi aku sedang berjalan-jalan. Dia menelpon, tapi aku menyuruhnya pulang.”

“Mengapa?”

“Aku tidak mau ada orang menjemputku dengan berbondong-bondong, seperti menjemput orang sakit beneran,” omelnya.

“Memangnya kamu tidak sakit beneran?”

“Itu kan kata mereka, aku tidak merasa sakit.”

Rohana menahan senyumnya. Dasar keras kepala, kata batinnya.

“Mengapa tanganmu bisa retak?”

“Kan aku sudah bilang bahwa aku terjatuh.”

“Kamu kebanyakan lari-lari. Jadi terjatuh. Kamu dari mana tadi?”

“Ada temanku dirawat di ruangan sana, aku membezoeknya. Sekarang aku pamit dulu.”

“Tunggu, sebentar lagi Tomy datang menjemputku, nanti kamu bisa pulang bersama kami.”

“Bukankah kamu tidak suka dijemput dengan berbondong-bondong?”

“Kan hanya kamu, dan Tomy.”

“Aku tidak pulang ke rumah Tomy.”

“Kamu minggat lagi?” lalu pak Drajat seperti menyesali kata-kata kasarnya.

“Maksudku, kabur lagi,” ulangnya.

“Aku pulang ke rumah Satria.”

“Kamu tidak kerasan tinggal di rumah Tomy? Aku menyuruhnya memperbaiki paviliun, agar kamu bisa tinggal di sana.”

“Aku sudah bilang pada Monik, tidak usah. Aku bisa tinggal di mana saja. Dan jangan memperlakukan aku berlebihan. Aku lebih suka yang sederhana saja.”

“Oh, baiklah. Tapi Tomy sudah memanggil tukang bangunan yang akan memulainya besok. Kalau kamu tidak mau menempatinya, biar untuk persiapan pengantinnya Boy saja. Paviliun itu bisa digunakan untuk kamar pengantin."

“Itu lebih bagus. Sekarang aku permisi.”

“Kamu pulang dengan tangan digendong, sendirian?”

“Aku berjalan dengan kakiku, bukan tanganku,” kata Rohana sambil berlalu.

Pak Drajat tersenyum.

“Dia sudah berubah, syukurlah.”

Lalu ia kembali ke kamarnya, menunggu Tomy yang berjanji akan menjemputnya.

***

Tapi ketika sampai diujung lobi, Rohana melihat seseorang. Orang yang dulu dibencinya sampai ke ubun-ubun. Tapi ke mana sekarang rasa benci itu? Ia seperti melihat darah dagingnya. Padahal sebenarnya bukan.

Rohana berhenti, menunggunya naik ke lobi.

***

Besok lagi ya.

Monday, October 28, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 40

 MASIH ADAKAH MAKNA  40

(Tien Kumalasari)

 

Laki-laki penyerobot uang Rohana itu menatap Rohana dengan pandangan meremehkan. Hanya seorang perempuan tua, lagipula di sekitar tempat itu kelihatan sepi. Ia melenggang seenaknya, sebelum kemudian berbelok ke arah jalan kecil kemudian bermaksud menghilang.

Tapi Rohana bukan wanita lemah. Kemarahannya memuncak, karena sisa uang untuk mengentaskan seorang miskin telah dirampas. Ia meraih pentungan yang ada di pos penjagaan itu dan mengejarnya dengan kekuatan yang tidak wajar, karena diiringi oleh rasa marah yang membakar seluruh aliran darahnya. Dua langkah lagi dia sudah sampai di belakang laki-laki itu dan mengayunkan pentungan ke arah kepalanya, tapi luput karena laki-laki itu lebih tinggi. Hanya mengenai pundaknya, tapi cukup membuat laki-laki itu tersungkur.

Rohana berteriak sekeras-kerasnya.

“Maliiiiiiiing …. maliiiing …. “

Uang yang tadinya berada dalam dekapan laki-laki jahat itu berhamburan di tanah, dan laki-laki itu belum mampu bangkit karena sebelah bahunya terasa sakit. Jeritan Rohana membuat beberapa orang keluar.

Rohana terus berteriak dengan masih memegangi pentungan. Ia ingin mengayunkan pentungan itu lagi, tapi maling keparat itu sudah mampu bangkit. Ia menarik pentungan Rohana dan bermaksud membalasnya dengan ganas. Ia berhasil, lalu memukul lengan kiri Rohana dengan pentungan yang sudah dipegangnya, lalu ingin memukul kepalanya juga. Tapi dari belakang beberapa orang sudah mendekat dan memukuli tubuhnya dengan bertubi-tubi. Si maling kembali jatuh, tapi kemudian bangkit dengan ketakutan. Ia memilih mengambil langkah seribu sebelum tubuhnya remuk dihajar masa.

Rohana berjongkok memunguti uangnya, dan memasukkannya ke dalam tas kembali. Lengan kirinya terasa nyeri, tapi tidak dirasakannya.

Beberapa orang berusaha mengejar si penjahat, beberapa lagi mendekati Rohana.

“Nenek tidak apa-apa?”

Rohana bangkit dan tersenyum.

“Tidak, untunglah kalian datang. Kalau tidak, barangkali ia berhasil meremukkan tulang tuaku ini. Terima kasih banyak.”

“Lain kali Nenek harus berhati-hati. Orang jahat berkeliaran di mana-mana.”

“Iya, baiklah,” kata Rohana kemudian berlalu sambil memegangi lengan sebelah kirinya yang terasa sangat nyeri, karena terkena pentungan dari penjahat itu.

***

Rohana sudah sampai di rumah sakit kembali. Ia puas bisa mendapatkan tempat sederhana yang cukup nyaman untuk Kartinah dan anaknya. Ia juga membeli alas tidur dan beberapa perlengkapan untuk kebutuhan sehari-hari, yang ia tahu bagaimana cara memesannya. Kartinah akan bisa memasak dan menyimpan barang-barangnya di almari plastik yang disiapkan semuanya oleh Rohana. Ketika ia menemui Kartinah di ruang rawat Bejo, dilihatnya Kartinah tampak termenung sambil memegangi lembaran kertas yang diberikan perawat, sebagai tagihan atas beaya selama empat hari Bejo dirawat, dan obat-obat yang diberikan oleh rumah sakit.

Bejo duduk di tepi ranjang, sambil memegangi sepotong roti, sisa kemarin sore, di mana Rohana membelikannya.

“Bejo sudah sehat?” tanya Rohana.

“Hari ini boleh pulang. Tapi ….”

“Tapi apa, uangnya kurang?”

Kartinah tak menjawab. Rohana mengambil kertas yang dipegang Kartinah, dan bergegas pergi ke ruang administrasi.

“Nenek Rohana,” panggil Kartinah.

“Tunggu di situ, aku segera kembali,” kata Rohana yang kemudian menghilang di balik korden pembatas pasien yang ada di ruangan itu.

Kartinah memeluk anaknya dengan linangan air mata.

“Bejo, kamu hidup karena nenek yang baik hati itu. Kata nenek, ini karunia Allah. Kita harus berterima kasih kepadaNya. Mulai sekarang kita tidak boleh melupakanNya. Dan kamu harus belajar menjadi anak soleh, yang mengerti tentang kasih sayangNya. Ya?”

Bejo menatap ibunya sambil menggigit sisa rotinya, tapi si kecil itu seperti mengerti perkataan yang didengarnya. Ia mengangguk, dan sang ibu memeluknya.

“Baju Bejo … baru ya Bu?”

“Iya. Kamu punya beberapa baju baru. Kamu ganteng dan tidak kotor seperti dulu.”

Kartinah mengemasi barang-barangnya.

“Kita  akan jalan-jalan lagi?” tanya si kecil.

“Nenek Rohana melarang kita menjadi peminta-minta. Ibu akan berjualan. Entahlah, apa nanti yang bisa ibu lakukan,” kata Kartinah seakan mengira bahwa sang anak mengerti apa yang dikatakannya. Entahlah, Rohana juga belum mengatakan apa-apa tentang keinginannya itu.

Ketika Rohana kembali, ia menyerahkan berkas dari rumah sakit yang sudah bertanda lunas. Kartinah ingin menjatuhkan tubuhnya di hadapan Rohana, tapi Rohana mengangkatnya.

“Apa yang akan kamu lakukan?”

“Apa yang harus saya lakukan untuk membalas kebaikan Nenek? Saya bersedia menjadi pelayan Nenek dan melayani semua kebutuhan Nenek.”

“Apa? Aku tidak butuh pelayan. Kamu pikir aku seorang nyonya besar? Ayo kita pulang, aku tunjukkan tempat tinggal yang nyaman untuk kalian, dan tempat yang bagus untuk kamu berjualan.”

Rohana membantu Kartinah membawa tas berisi barang-barangnya, lalu menariknya keluar. Kartinah menggandeng tangan Bejo yang sudah bisa berjalan dengan lincah.

***

Kartinah kembali menangis haru sambil memeluk Rohana, ketika mereka sudah sampai di tempat yang disewa Rohana.

"Hentikan tangismu. Lihat, anakmu berbaring nyaman di tempat tidur itu. Ia pasti heran melihat ibunya selalu menangis."

“Ini rumah Nenek?” tanya Bejo sambil tiduran.

“Ini rumah Bejo,” jawab Rohana.

“Rumah Bejo?”

“Ya, sekarang kamu tidur di sini, makan di sini, dan mandi setiap pagi dan sore, supaya wangi.”

Bejo menatap ibunya, tak percaya, matanya berbinar ketika melihat sang ibu mengangguk.

“Kamar ini sudah aku bayar selama setengah tahun. Ini uang untuk kamu. Pakailah untuk berdagang, apa saja. Jangan sampai kamu dan anakmu tidak makan lalu kembali menjadi peminta-minta,” kata Rohana sambil memberikan sejumlah uang.

“Nenek Rohana, Nenek telah membuat kami menjadi orang yang sebenar-benarnya orang. Semuanya karunia bagi saya dan Bejo. Saya pasti akan menjalankan amanah yang Nenek berikan."

“Ingat. Setelah setengah tahun kamu harus bisa melanjutkan pembayaran sewa kamar ini. Kamu tahu caranya bukan? Uang harus diputar. Bagaimana pula caranya? Jadikan sebagai modal usaha. Tidak seberapa, kecil-kecilan saja, kalau kamu tekun pasti akan menjadi besar. Pada suatu hari nanti, ketika aku melihat kalian lagi, aku berharap kamu sudah bisa berdiri tegak, dan satu lagi, jangan sampai anakmu tidak sekolah.”

Kartinah yang tak lagi bisa menjawabnya karena haru yang menyesak, hanya mengangguk-angguk, lalu memeluk Rohana erat.

“Aku kan sudah bilang, jangan menangis,” kata Rohana yang kemudian berlalu dengan air mata yang tak urung juga membasahi pelupuknya. Dalam hati dia bersyukur, bisa melakukan hal yang dianggapnya sangat luar biasa. Hal yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, berbuat sesuatu untuk kehidupan seseorang.

“Ya Allah, terima kasih,” bisiknya sambil menunggu angkot untuk membawanya pulang.

Ketika itu ponselnya berdering, dengan kesal Rohana mengangkatnya.

“Bukankah aku sudah bilang kalau ponsel ini hanya mengganggu?” omelnya, tapi ia tetap mengangkatnya. Dari Monik.

“Ibu ada di mana? Ramai sekali, di jalan ya?”

“Kamu bertanya tapi sudah menjawabnya sendiri,” kesal Rohana.

“Ibu, apakah ibu sudah mau pulang?”

“Ini mau pulang. Apa kamu memasak urap daun kenikir dan layur goreng seperti pesananku?”

“Iya bu, ini sudah selesai. Apa di dekat ibu ada warung yang menjual gado-gado?”

“Gado-gado? Tidak ada. Apa kamu ngidam?”

Monik terkekeh.

“Ya enggak lah Bu, hanya ingin saja. Sekarang ibu cepat pulang ya, Monik sendirian nih.”

Tapi ucapan gado-gado yang didengarnya, membuat Rohana mendapat ide yang dianggapnya lumayan. Tak ada yang jual gado-gado di sekitar tempat itu. Ia bergegas kembali ke tempat di mana Kartinah berada, lalu menawarkan usulan untuk berjualan gado-gado.

***

Rohana pulang dengan wajah berseri-seri. Tiba-tiba dia juga ingin gado-gado. Tapi bagaimana membuat gado-gado? Selama hidup Rohana tidak suka memasak, jadi sudah pasti tidak bisa. Diangkatnya ponselnya untuk menelpon Minar. Bukankah menantunya yang satu itu juga pintar memasak? Akhirnya Rohana mengerti, ternyata ponsel yang sering  membuatnya mengomel ada juga gunanya.

Ketika ia harus naik ke dalam angkot, tiba-tiba ia merasa kedua lengannya nyeri, apalagi yang sebelah kiri.  Tapi kemudian ia mengacuhkannya.

***

Ketika Rohana sampai di rumah Tomy, ia melihat ada beberapa orang sedang ada di paviliun. Mereka mengukur dan keluar masuk sambil mencatat entah apa yang dicatatnya. Monik ada di teras, Rohana menghampirinya.

”Siapa mereka? Apa paviliun itu mau disewakan?” tanya Rohana.

“Tidak Bu, bapak menyuruh membenahi paviliun itu agar lebih baik.”

“Untuk apa? Maksudmu nanti kalau Boy sudah menikah, kamu akan menyuruhnya tinggal di situ?”

“Tidak. Boy sudah punya rumah sendiri. Paviliun itu untuk ibu.”

Rohana tercengang,

“Apa maksudmu?”

“Kata bapak, Ibu lebih baik tinggal di paviliun itu, supaya ibu merasa lebih nyaman, sehingga bisa melakukan apa saja yang ibu sukai. Nanti Monik yang akan melayani semua kebutuhan Ibu.”

“Tidak, jangan lanjutkan. Aku tidak mau diperlakukan lebih. Aku akan tidur di kamar mana saja, jangan membuat aku sungkan dan merasa merepotkan.”

“Mengapa Ibu merasa sungkan? Ini juga rumah Ibu, bukan?”

“Tapi jangan perlakukan aku seperti itu. Aku bukan orang yang harus dilayani khusus, aku lebih suka yang sederhana, jangan berlebihan,” katanya sambil melangkah masuk. Monik mengikutinya.

“Bu, bapak yang meminta itu, kami tak bisa menolaknya.”

“Bilang pada ayah mertuamu itu, aku tidak mau.”

Rohana masuk ke dalam kamar, membersihkan diri dan menggantikan pakaian rumah.

“Besok bapak sudah mau pulang. Nanti Ibu bilang sendiri saja pada Bapak,” kata Monik ketika mereka sudah duduk berdua di ruang makan.

"Besok aku mau ke rumah Satria.”

“Ibu marah?”

“Tidak, aku sudah  pesan gado-gado pada Minar, besok dia akan membuatnya.”

“Haaa, gado-gado itu kan yang pengin Monik? Ibu pesan sama Minar?”

“Iya.”

“Kalau begitu besok Monik antar Ibu ke rumah Minar, Monik juga mau gado-gadonya. Benar, Minar pasti bisa, Monik akan belajar dari dia.”

“Mertua kamu mau pulang, masa kamu malah pergi?”

“Tidak apa-apa, kita perginya pagi. Bapak pulang siang, agak sore, menunggu dijemput mas Tomy."

***

Minar senang sekali ketika ibu mertuanya datang. Ia sudah belanja masakan pesanannya sejak sang ibu menelponnya kemarin. Ia hanya membeli sambal pecel tinggal membumbuinya, dan beli sayuran untuk gado-gado Solo.

“Ibu kan mau tinggal di sini? Kamar sudah Minar siapkan, seperti kamar ibu yang dulu. Ini barang-barang Ibu?” kata Minar sambil membawa tas Rohana yang berisi pakaian, dibawanya masuk.

“Minar, apa kamu sudah selesai masak gado-gadonya? Biar aku bantu kamu memasaknya. Sambil belajar nih,” kata Monik ketika mereka sudah duduk bersama.

“Aku buat gado-gadonya sederhana saja kok.”

“Bukankah harus menumbuk kacang, segala macam?”

“Tidak usah. Aku buat yang sederhana saja kok.”

“Sederhana bagaimana? Nggak pakai kacang, gitu?”

“Eeeh, bukan. Ya pakai. Tapi aku beli sambal pecel yang sudah jadi.”

“Namanya sayur pecel dong, bukan gado-gado.”

“Ya bukan. Sambal pecel itu dilumatkan, dan masih dibumbui juga. Tambahkan bawang putih, sama santan, dan garam juga. Tambahin lagi daun jeruk purut, biar sedap. Lalu icipin, mana yang kurang. Sudah jadi gado-gadonya.”

“Oo, gitu ya? Besok mau nyobain deh.”

“Sekarang saja dicobain rasanya. Ayo Bu, kita makan gado-gado,” ajak Minar sambil menggandeng sang ibu mertua.

Tapi Rohana tampak meringis kesakitan. Lengan kirinya terasa sakit sekali.

“Kenapa Bu?”

“Lenganku sakit sekali. Kemarin tidak apa-apa, atau tidak begitu terasa, tapi sekarang rasanya sangat nyeri.”

“Memangnya ibu kenapa? Habis jatuh?” tanya Monik yang kemudian menyingsingkan lengan baju ibunya.

“Biru begini?”

“Aduuh, mengapa kamu memijitnya keras?”

“Ini kenapa Bu? Sampai matang biru begini?”

“Dipukul orang. Kemarin belum terasa sih.”

“Dipukul orang?” pekik Minar dan Monik hampir bersama-sama. Mereka khawatir karena wajah sang ibu mertua juga kelihatan pucat. Rohana juga merasa sangat kesakitan di lengan kanannya, karena terlalu kuat mengayunkan pentungan kepada penjahat itu.

“Minar, kita bawa ibu sekarang ke rumah sakit.”

“Jangan, aku tidak mau.”

“Jangan bandel ya Bu, nanti Ibu akan mendapat obat, sehingga tidak merasakan sakit lagi.”

 

***

Besok lagi ya.

Saturday, October 26, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 39

 MASIH ADAKAH MAKNA  39

(Tien Kumalasari)

 

Wanita yang memungut uang Rohana, jatuh terjengkang. Rohana marah bukan alang kepalang.

“Lisa! Apa yang kamu lakukan?”

“Bodoh kamu Rohana! Uangmu berserakan dan si miskin itu memungutinya. Apa karena uangmu terlalu banyak sehingga membiarkan dia mencurinya?”

“Saya tidak mencuri. Saya hanya membantu,” kata wanita itu sambil bangkit.

Rohana segera tahu, dialah wanita yang dicarinya.

Ia menerima uang yang tadinya diambilkan wanita itu, dan membantunya berdiri.

“Apa yang membuatmu berubah Rohana? Kamu sudah tidak sekaya dulu, dan pura-pura menjadi wanita baik?”

Rohana menggandeng wanita itu dan mengajaknya masuk ke arah ruangan yang tidak berkelas.

Lisa mencibir sambil membalikkan badannya, tapi ia tak sadar, seorang perawat sedang mendorong seperangkat peralatan yang sebagian besar terbuat dari kaca. Lisa jatuh tertelungkup, dan sebatang pecahan bejana kaca menancap di sebelah matanya.

Jeritannya terdengar bagaikan lolongan yang membelah suasana tenang di pagi itu. Rohana menoleh dan terbelalak. Ia melihat beberapa perawat mengangkat Lisa yang wajahnya bercucuran darah.

“Lisa! Apa yang terjadi?”

Walau kesal, tapi rasa iba memenuhi hati Rohana. Wajah Lisa berlumuran darah, dan perawat langsung mengangkatnya ke atas brankar, melarikannya ke UGD.

“Ya Tuhan, sebiji mata Lisa tak sebanding dengan seluruh harta yang dimilikinya. Mengapa dia bisa sesombong itu? Semoga dia baik-baik saja,” gumamnya sedih.

“Kenapa Bu?” tanya wanita yang tadi digandeng Rohana.

“Entah bagaimana, aku juga tak melihatnya, sepertinya dia menabrak dorongan itu,” kata Rohana yang melihat beberapa petugas membersihkan beberapa perangkat alat kesehatan yang berantakan dan pecah.

“Sebenarnya saya mau membeli obat lagi,” kata wanita itu.

“Oh ya? Bagaimana keadaan anakmu?”

“Sudah tidak seperti kemarin. Tapi masih belum mau makan. Katanya perutnya sakit.”

“Berapa harga obatnya?”

“Entahlah, saya baru mau ke apotek.”

“Oh, baiklah, ayo ke apotek. Uangnya masih ada?”

“Ada, semoga cukup. Terima kasih telah membantu menyambung nyawa anakku,” kata wanita itu haru.

“Berterima kasihlah kepada Allah, aku tidak melakukan apa-apa. Semua karena Allah.”

Wanita itu mengangguk. Kata-kata ‘karena Allah’ itu menusuk nuraninya. Apakah selama ini dia mengenal Allah? Matanya berkaca-kaca. Karena ia tak mengenalNya, maka hidupnya terasa sengsara?

“Katakan kepadaku, bagaimana mengenal Allah.”

“Ia begitu dekat denganmu, tapi kamu tidak mengenalnya?” kata Rohana yang entah darimana datangnya bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Barangkali karena dia juga lama sekali melupakan Junjungannya, lalu ketika kemudian mengenalnya, maka ia bisa mengatakannya kepada orang lain. Bukankah ia menemukan ketenangan saat bersujud, saat memohon ampun dan petunjukNya, saat menangis menyesali semua perbuatannya?

“Pergilah ke apotek, setelah itu marilah kita menemuiNya dalam sujud dan penyesalan atas semua dosa kita.”

Wanita itu beranjak ke apotek, dan Rohana pergi keluar. Ia membeli beberapa potong pakaian orang dewasa, beberapa jilbab, dan beberapa pakaian anak kecil seumur tiga tahunan, juga handuk, sabun dan alat pembersih yang lain. lalu ia kembali masuk ke rumah sakit. Ketika melewati ruang UGD, ia mendengar suara jeritan. Hatinya sangat miris. Lisa sedang ditangani, dan menjerit-jerit kesakitan.

Rohana merasa tak bisa berbuat apa-apa. Ia melihat pembantu Lisa sudah duduk di ruang tunggu dengan gelisah.

Ia menanyakan keadaan LIsa, tapi mana mungkin pembantu itu bisa menjawabnya? Ia hanya menunggu, dan pastinya sudah mengabari keluarganya.

“Semoga Lisa baik-baik saja,” bisiknya tulus.

Rohana menuju ke arah apotek. Wanita yang belum diketahui siapa namanya itu duduk di sana. Rohana mendekat dan memberikan bungkusan yang dibawanya.

“Ini apa?”

“Kamu mandilah, dan ganti pakaian kamu. Ini ada juga pakaian untuk anakmu.”

Tangan wanita itu gemetar menerimanya.

“Kamu benar-benar seperti malaikat,” bisiknya pelan sambil matanya berkaca-kaca.

“Ssssh, sudahlah. Oh ya, berapa harga obatnya?”

“Hanya tujuh puluh ribu. Katanya obatnya berupa infus. Perawat di ruangan Bejo mengatakan bahwa akan ada tagihan ruang rawat juga. Setelah ini aku akan pergi untuk mencari uang. Bejo sedang tidur.”

Jadi anak kecil itu namanya Bejo?

“Kalau ibu namanya siapa? Saya nenek Rohana.”

“Oh, iya. Saya sudah menerima banyak kebaikan dari Nenek, tapi belum memperkenalkan diri. Saya Kartinah. Suami saya sudah meninggal ketika Bejo masih bayi.”

“Kamu tahu? Meminta-minta bukan perbuatan yang bagus.”

“Lalu saya harus bagaimana? Saya orang miskin, bisanya hanya meminta. Tempat tinggalpun tak mampu menyewanya."

“Lakukan sesuatu. Misalnya berjualan.”

“Jualan apa? Harus ada modal untuk itu.”

“Nanti aku beri.”

“Ya Tuhan.”

“Setelah anakmu sembuh, carilah tempat untuk beristirahat, menyewa yang murah misalnya, lalu berjualanlah. Kamu bisa membuat gorengan, atau memasak masakan yang bisa dijual, atau apa, pikirkanlah mana yang bisa kamu lakukan.”

Kartinah menggenggam tangan Rohana sangat erat.

“Nanti aku bantu kamu mencari rumah sewa, aku yang membayar untuk setengah tahun ke depan, lalu aku berikan kamu modal beberapa, lalu kamu sisihkan uang untuk sewa berikutnya, sambil terus berjualan. Niatkanlah usaha itu untuk sesuatu yang berguna. Semoga kamu berhasil.”

“Nenek,” haru hati Kartinah tak tertahankan.

Ketika petugas apotek memanggil nama Bejo, ia berdiri sambil mengusap lagi air matanya.

***

Kartinah sudah kembali ke ruang anaknya, tapi Rohana masih mampir lagi ke depan ruang UGD. Pembantu Lisa kelihatan masih saja gelisah. Keluarganya sudah ada yang datang, katanya sedang menemui dokter. Tapi pembantu itu sedih, pembicaraan yang didengar, sebelah mata Lisa tak bisa diselamatkan. Rohana terpana mendengarnya. Berarti Lisa akan menjadi buta? Ia kesal terhadap temannya yang satu ini, tapi mendengar sebelah matanya kemungkinan menjadi buta, hatinya sedih bukan alang kepalang. Apa yang dipikirkannya benar bukan? Sebelah mata tak sebanding dengan harta yang dimilikinya. Kalau harus memilih,  mana yang akan dipilih, memiliki mata yang utuh, atau harta yang berlimpah ruah?

Tak ada seorangpun memilih harta, karena perlengkapan tubuh yang diberikan oleh Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Murah, bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan semua harta yang ada di dunia ini. Allah Maha Besar.

Rohana pulang dengan perasaan murung.

Ketika ia hampir sampai di pintu keluar, sebuah mobil berhenti. Kaca depan mobil itu terbuka, dan Rohana melihat Boy ada di dalamnya.

“Nenek,” panggilnya.

Boy memarkirkan mobilnya, lalu ia mendekati sang nenek.

“Nenek dari membezoek kakek?”

Rohana menggelengkan kepalanya. Ia tahu sang nenek bukannya benci kepada kakeknya, tapi selalu merasa sungkan setiap kali berdekatan dengannya. Jadi kalau ingin membezoek kakeknya, pastilah kalau sedang bersama anak-anak atau cucunya.

“Membezoek seseorang.”

“Teman Nenek?”

“Iya."

"Nenek jangan pulang sendiri, nanti Boy antarkan. Tapi sekarang Boy mau mengirimkan makanan pesanan kakek.”

Tak ada alasan untuk menolaknya, kecuali mengangguk.

“Nenek harus punya ponsel, nanti Boy belikan.” kata Boy sambil berjalan ke arah dalam, dimana kakeknya dirawat.

“Tidak, untuk apa?”

“Supaya gampang kalau kita mau menghubungi Nenek.”

“Nenek kan sudah bilang kalau ada keperluan, mengapa harus dihubungi? Apa kalian takut nenek akan pergi dan tak akan kembali?”

“Bukan begitu Nek. Terkadang  ada berita yang nenek harus mengetahuinya. Misalnya ada yang mencari Nenek.”

“Nenek kan tidak punya teman. Kalaupun ada, hanya teman yang pasti akan merendahkan nenek dengan keadaan ini.”

“Tapi Nenek bukan orang rendah. Nenek adalah setinggi-tingginya wanita yang Boy junjung dan cintai.”

Rohana terkekeh.

“Jangan, nanti nenek jatuh.”

“Itu benar.”

“Sudah, diamlah. Jangan bicara yang aneh-aneh. Biasa saja,” katanya dengan mulut cemberut.

Tapi ketika ia memasuki ruangan rawat pak Drajat, cemberut itu hilang karena pak Drajat menyapanya dengan ramah.

“Rohana? Kamu baik-baik saja?”

“Ya. Aku baik. Semoga keadaanmu juga lebih baik.”

“Tentu saja, aku sudah mau minta pulang.”

“Kakek, jangan tergesa pulang. Nanti kalau dokter sudah bilang oke, baru Kakek boleh pulang.”

“Dokter itu selalu mengatakan tunggu … tunggu … memangnya aku kenapa? Aku merasa baik. Sebal sekali tanganku diikat dengan segala macam infus itu.”

“Ya sudah, nanti Boy tanyakan pada dokter, apa Kakek sudah sehat atau belum.”

“Tanya bukan kepada dokter, tapi kepada kakek ini, kan kakek yang merasakannya.”

Rohana menahan senyumnya. Pak Drajat memang keras kepala. Ia sukar diatur, tapi sangat tegas. Itu pula sebabnya ia sangat marah ketika melihat dirinya sedang mendekati pak Ratman ketika terlibat hutang.

“Baiklah.”

“Kamu bawa apa?”

“Ini masakan ibu Minar. Baru saja Boy ambil di rumahnya.”

“Iya, aku memesan sup ayam dari dia. Aku ingin makan sekarang. Masih hangatkah?”

“Masih agak panas. Boy ambilkan dulu di mangkuk.”

Rohana undur ke belakang, duduk di sofa, agak jauh dari tempat pak Drajat berbaring. Sungkan menunggui bekas suaminya makan. Takutnya Boy meminta Rohana menyuapinya. Aneh kan?

“Minar selalu memasak enak. Tapi ibumu juga masakannya luar biasa enak. Hanya saja aku terkesan ketika kemarin dia membawakan sup ayam, jadi aku ingin memakannya lagi.”

“Iya, ibu Minar tidak lupa, karenanya pagi tadi Boy ditelponnya.”

“Bagaimana rencana pernikahan kalian?”

“Kakek harus sembuh dulu, baru bicara tentang pernikahan Boy.”

“Karena itulah aku ingin segera pulang.”

“Tidak tergesa-gesa, Kakek. Semuanya sudah disiapkan, tinggal menunggu Kakek sembuh.”

“Benar? Kamu tidak kekurangan uang?”

“Tentu saja tidak. Kakek tidak usah memikirkannya.”

“Apa nenekmu itu tinggal di rumahmu?” kali ini pak Drajat bicara pelan.

“Iya. Kakek keberatan?”

Pak Drajat menggoyang-goyangkan tangannya, karena mulutnya sedang mengunyah gurihnya daging ayam yang baru saja disuapkan cucunya.

"Ada pavilyun yang tidak terpakai. Buat lebih pantas agar dia bisa tinggal lebih nyaman dan bisa melakukan apa yang dia inginkan,” katanya, masih dengan sepelan mungkin.

“Baik, Kakek. Terima kasih atas kebaikan Kakek.”

“Mengapa harus berterima kasih?” kali ini suaranya lebih keras.

“Maksud Boy_”

“Sudah, aku sudah kenyang. Buat nanti lagi,” katanya sambil meraih tissue untuk mengelap mulutnya. Boy mengambilkan minum dan pak Drajat menyedotnya dengan rasa puas.

“Sekarang kalian pulanglah, sebentar lagi Ratman akan datang dan menemani kakek ngobrol."

“Bukankah kakek belum boleh bicara banyak?”

“Apa maksudmu? Bagaimana kalau kemudian aku lupa cara orang berbicara?”

Boy tergelak. Sang kakek selalu bicara sembarangan, dan terkadang lucu. Tapi ia senang, sang kakek sudah tidak sepucat kemarin.

Boy mengantarkan nenek Rohana. Ia  mampir ke toko ponsel, lalu memaksa sang nenek untuk menerima ponsel itu, membuat Rohana bersungut-sungut sampai kemudian memasuki rumah Tomy.

***

Monik yang melayani makan sang ibu mertua, hanya tersenyum ketika mendengarnya mengomel tentang ponsel itu.

“Bu, itu kan penting, untuk berkomunikasi.”

“Seperti orang penting saja. Aku biasa saja kan?”

“Bukan begitu, terkadang ketika ibu pergi, kita ingin bicara tentang sesuatu.”

“Bukankah bisa bicara di rumah?”

“Atau ketika Monik ingin nitip makanan tertentu, agar ibu membelikannya, ketika ibu sedang dijalan, dan Monik lupa bilang sebelum berangkat. Ya kan?”

“Hanya masalah makanan …”

“Sudahlah Bu, diterima saja. Pada suatu waktu, pasti ibu memerlukannya.”

Rohana hanya melanjutkan makan. Makanan dengan menu yang dulu disukainya. Rendang daging dari masakan Padang, yang pedasnya selangit. Dulu dia selalu memakannya dengan lahap, ketika sedang mendapat rejeki dan dia berhasil membelinya. Tapi sekarang biasa saja. Ia mengunyahnya seperti ia mengunyah makanan sederhana. Tahu, tempe, bahkan ikan asin.

“Nambah Bu,” tawar Monik.

“Sudah kenyang. Orang tua itu perutnya sudah menyempit, tidak akan muat menerima makanan banyak, nanti bisa meletus perutku.”

Monik terkekeh.

“Memangnya gunung?”

“Monik, apakah di sini ada tempat atau kamar yang bisa disewakan?”

“Di rumah ini?”

“Bukan, di kampung ini. Tapi yang murah. Hanya kamar. Satu kamar saja.”

“O, kalau di sekitar sini tidak ada Bu, agak jauh. Diujung sana. Mengapa ibu menanyakannya? Jangan bilang ibu ingin tinggal di tempat itu.”

“Tidak, untuk temanku. Besok aku mau jalan-jalan ke sana.”

***

Memang agak jauh, dan Rohana mendapatkannya. Tempat yang sederhana, dan bersih, tapi murah. Rohana membayarnya dengan uang yang dibawanya, kembalian dari pak Trimo si penjual nasi liwet.

Ketika sudah selesai, Rohana berhenti di sebuah pos penjagaan yang kosong, lalu menghitung sisa uangnya. Barangkali untuk perawatan Bejo masih diperlukan uang, sedangkan dia juga berjanji akan memberinya modal pada Kartinah agar mau berusaha untuk berjualan. Tidak mengemis seperti sebelumnya.

Tapi ketika ia sedang menghitung di depan pos penjagaan itu, seorang laki-laki lewat. Ia melihat uang, dan senyum licik tersungging di bibirnya. Dengan cekatan ia merebut setumpuk uang yang masih ada di pangkuan Rohana. Rohana terkejut. Tapi ia tak sudi mengalah. Ia pernah mengalaminya, dan tak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis. Tapi sekarang sudah berbeda. Matanya mencari sesuatu, dan melihat pentungan di pos penjagaan itu.

***

Besok lagi ya.

 






BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...